Kepalaku berdenyut. Selain itu, seluruh badanku terasa sakit. Aku mencoba membuka mataku, tetapi tidak bisa. Rasanya seperti mataku dilem. Aku mencoba memanggil Noah, tetapi tidak ada suara apa pun terdengar dari mulutku.Aku bergerak, atau orang lain yang menggerakkanku. Setiap gerakannya membuatku tersentak dan hanya membuat rasa sakitnya bertambah. Kuharap rasa sakit ini bisa berkurang, atau berhenti sama sekali.“Kami perlu dokter!” Seseorang berteriak.Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan atau mengapa mereka memerlukan dokter, atau apa yang sedang terjadi. Aku mencoba untuk tersadar, tetapi kegelapan sekali lagi menyelimutiku dan lama-lama aku jatuh ke dalam kegelapan tersebut.*******Ketika aku mulai tersadar, aku tidak merasakan sakit, tetapi aku tidak bisa membuka mataku dan tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku merasa sendiku seperti dipatri oleh semen. Seperti aku terjebak dalam tubuhku sendiri.Aku mendengar orang berbicara, tetapi suaranya terdengar jauh. Kata-kata
“Nona Santoso, akhirnya Anda sudah sadar. Kami khawatir di luar sana,” Dokter memulai dengan senyuman, “Nah, apakah Anda tahu dimana Anda sekarang dan apa yang terjadi pada Anda?”Aku mengganggukkan kepalaku, “Aku berada di rumah sakit. Sesuatu melemparku secara tiba-tiba saat aku membuka kunci mobilku. Kepalaku terbentur karenanya.”Aku tidak ingin mengingat apa pun yang terjadi padaku saat aku bangun. Aku takut menerima fakta bahwa aku hampir mati.“Benar. Mobil Anda dibom dan karena ledakan itulah Anda terlempar,” dia berhenti sejenak, “Tahun berapa sekarang?”Aku memberitahunya dan dia mencatatnya. Rowan meremas tanganku dan aku melihatnya sejenak. Sesuatu melintasi matanya, tetapi sudah sirna sebelum aku bisa mencernanya.Aku terkejut. Tidak pernah kukira mobilku akan dibom. Karena stress yang kurasakan, aku merasakan sakit kepala dan rasa sakit mulai merasuk.“Anda mengetahui ini tahun berapa, nama Anda, dan Anda tahu siapa Pak Wijaya, maka ini pertanda bagus. Kami masih harus me
Rowan“Bagaimana kabarnya, Rowan?” Kate, Ibu Ava bertanya.Kekhawatiran di suaranya terdengar tulus, Dapat terdengar bagaimana keras usahanya untuk tidak menangis. Hari-hari terakhir ini sangat berat dan aku masih tidak bisa melupakan bahwa kami hampir kehilangan Ava.“Dia bangun kemarin selama beberapa menit dan kembali tertidur. Sebelum Ibu khawatir, dokter bilang itu hal yang normal bagi pasien dengan cidera kepala.”Aku mendengarnya menghela nafas lega. Kate sudah berubah sejak kematian suaminya. Dia ingin dekat hanya dengan Ava, tetapi Ava sudah memutuskan tidak mau berhubungan lagi dengan keluarganya. Lengkapnya, dia tidak ingin berhubungan dengan kami“Apakah dia akan baik-baik saja? Dia akan sembuh sepenuhnya, ‘kan?”“Iya, dia baik-baik saja. Namun, mereka tidak yakin jika dia akan sepenuhnya baik-baik saja. Masih terlalu dini untuk menerka, tetapi mereka bilang dengan cidera kepala seperti ini, bisa jadi ada komplikasi,”Itulah hal yang kukhawatirkan, Jujur saja, aku ingin dia
Aku berbalik untuk melihat pada Emma. Di sebelahnya da Travis. Tidak seperti Emma, dia terlihat kacau.“Apakah dia sudah sadar?” Tanya Travis dengan suara lembut.Semua yang terjadi mengguncangkan dia. Tidak hanya dia, tetapi semuanya. Dia hampir kehilangan adiknya, dan kupikir dia akhirnya sadar. “Belum,” jawabku.“Kamu perlu pulang ke rumah, Rowan,” Emma membuka suara, “Mandilah dan ganti baju lalu kamu bisa kembali. Kamu terlihat seperti mayat berjalan.“Aku tidak akan pergi, Emma.” Aku menolak.Aku tidak akan pergi. Bagaimana jika sesuatu terjadi dan aku tidak di sini?“Kamu tidak akan bisa apa-apa untuknya atau siapa-siapa jika kamu jatuh sakit. Pulanglah. Aku yakin tidak akan memakan waktu lama bagimu untuk kembali seperti semua,” ucap Emma.Travis melihat ke arahku dan setuju, “Emma benar, Rowan. Aku berjanji kami tidak akan meninggalkannya sedetik pun.”Aku melihat ke arah Ava. Dia masih tertidur, dan sepertinya dia tidak akan bangun dalam waktu dekat. Mungkin aku bisa mandi d
Ethan duduk di samping kanannya dengan setumpuk kartu yang telah dibuka. Ava duduk bersandar di bangsalnya. Meskipun dengan perban di kepala dan goresan di wajahnya, dia tersenyum dan itu merubah air mukanya.Dia melihatku dan senyumannya pudar dari wajahnya.“Keluar!” Perintahnya.Aku yakin dia kembali menjadi dingin.“Tidak akan terjadi, Ava.” Aku dengan tenang menjawabnya dan duduk di kirinya.Wajahnya penuh dengan amarah dan matanya menyalang marah. Dia baik-baik saja kemarin, apa yang sudah terjadi?“Aku tidak menginginkanmu di sini, jadi bisakah kamu pergi, lalu bawa mereka berdua pergi juga. Aku tidak butuh kalian di sini.”Aku yakin yang dimaksud olehnya adalah Emma dan Travis. Sesuatu telah terjadi. Kemarin dia jinak, tetapi hari ini berbeda. Mungkin tidak seharusnya aku meninggalkannya dengan Emma dan Travis.“Kamu harus tenang, Ava. Ingatlah kamu sedang tidak sehat dan tidak boleh stres.” Ethan memotong keheningan yang tercipta.Dia meraih tangannya dan meremasnya secara lem
Ava“Aku merindukanmu, Ibu. Mengapa Ibu tidak meneleponku?” Tanya Noah kepadaku, dengan suaranya yang sedih.Aku benar-benar ingin memeluknya dalam rengkuhanku sekarang. Untuk meyakinkan diriku bahwa aku masih bersamanya. Bahwa aku tidak meninggalkannya.“Ibu minta maaf sayang. Ponsel Ibu hilang, jadi harus meminjam ponsel ayahmu.”“Bisakah kita melakukan panggilan video? Aku ingin melihat Ibu,” pintanya.Aku tahu dia merasakan sesuatu sedang terjadi, tetapi aku tidak bisa membiarkannya melihatku terbaring di bangsal rumah sakit. Dia akan khawatir dan minta untuk pulang. Karena aku sekarang menjadi target, aku tidak bisa mengambil resiko jika setelah itu Noah yang akan ditarget.Aku masih tidak percaya bahwa ada kemungkinan aku menjadi target utama. Seseorang menginginkanku mati.“Tidak sekarang, sayang. Aku sedang berada di tempat yang tidak memperbolehkan melakukan panggilan video,” bohongku kepadanya.“Itu peraturan bodoh! Siapa yang membuat peraturan itu?!” Dia berteriak melalui po
Mengapa dia di sini? Siapa yang membiarkannya masuk? Aku ingin dia pergi. Aku tidak ingin dia ada di sekitarku. Siapa tahu apa yang akan dilakukannya saat aku tertidur?“Aku tidak melakukan apa pun, aku hanya mengatakan sebenarnya. Kuharap geng itu tidak membunuhmu terlebih dahulu, Maksudku, aku ingin kamu melihat bagaimana aku mengambil segalanya dariku, seperti yang kamu lakukan padaku, termasuk anakmu. Dia akan segera memanggilku Ibu.Bagaimana hal ini bisa berhubungan denganku? Aku tahu apa yang kulakukan padanya salah, tetapi bukankah aku sudah cukup menebusnya?“Kamu wanita licik, Emma, tetapi ketahuilah satu hal. Noah tidak akan pernah memandangmu sebagai ibunya. Tidakkah kamu ingat bagaimana dia mengabaikanmu di bandara? Kamu bukan siapa-siapa bagi dia, bahkan ketika kamu dan Rowan menikah.”Wajahnya mengerut. Kemarahan menyelimutinya, menghapus raut kemenangannya beberapa detik lalu.“Tidak apa-apa. Paling tidak, namakulah yang akan diteriakkan Rowan setiap malam. Akan kupasti
“Apa maksudmu?” Alisnya bertaut.“Kita berdua tahu bahwa aku adalah orang yang tidak kamu sukai. Jadi, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah seharusnya kamu bersama Emma di rumah, menikmati pertemuan kalian?” Aku bertanya dengan nada pahit. Kata-kata Emma masih terpatri di benakku.Dia menghela nafas, “Jika kamu ingin bertengkar, aku tidak akan meladenimu. Ayo pulang dari rumah sakit dan pulang ke rumah.:“Aku tidak butuh bantuan dari pria yang membenciku! Pergilah, Rowan. Aku tahu kamu lebih memilih untuk berada di tempat lain.”“Benarkah? Kamu tidak ingin bantuanku? Lantas, siapa yang akan kamu hubungi untuk membantumu? Kamu tidak punya teman, Ava.”“Ethan. Ethan bisa mengantarku pulang.” Benar aku tidak punya teman, tetapi Ethan akan kemari jika aku butuh bantuannya.Wajah Rowan mengeras. Dia mengepalkan tangannya dan mengencangkan rahangnya.“Langkahi dulu mayatku,” geramnya, “Kamu punya dua pilihan, Ava, antara aku mengantarmu pulang atau kamu tinggal di sini selama beberapa har
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku
Emma. “Kamu harus keluar dari kamarmu, Emma. Kamu tidak bisa menghabiskan harimu di dalam sini.” Aku mendengar perkataan Ibu, tapi aku tidak menatapnya sebab mataku tetap terfokus pada drama sedih yang sedang kutonton. Aku duduk di ranjangku dengan masih memakai piyama dan beberapa cemilan yang berceceran di sekitar selimutku. Aku minum bermacam-macam minuman dan sekotak besar es krim, yang mana tengah menjadi adiksiku saat ini. Gorden kamarku tertutup dan menghalangi sinar matahari masuk sedari aku menutup gorden ini sejak beberapa bulan lalu. “Itulah yang sudah kucoba katakan padanya, tapi wanita itu tidak mau mendengarku!” dengus Merrisa. Aku bisa merasakan kata-katanya menusuk di hatiku, tapi aku sama sekali tidak mengindahkannya. Aku hanya mau sendirian untuk meresapi penderitaanku. Lagipula, akulah yang membawa penderitaan ini sendiri. “Apa yang akan Guntur katakan kalau dia melihatmu seperti itu? Kamu begitu berantakan, begitu juga dengan ruanganmu. Aku tidak tahu kapan ter
Aku melihat Rowan begitu kami masuk. Sama seperti kembarannya, dia memakai jas hitam. Kami berjalan ke depan kapel saat pendeta berjalan masuk ke dalam.“Hai, Hana,” sapa Rowan dengan sopan dan menyambutku dengan senyumannya. Aku benar-benar terkejut. Dia sudah sangat berubah, dia tidak seperti Rowan yang kuingat. Sebelumnya, dia selalu terlihat dingin dan datar, seolah dia menganggap seluruh orang tidaklah penting. Tapi sekarang, dia terlihat hangat. Seolah kekelaman yang dulu menyelimutinya sudah sepenuhnya sirna. “H ... Hai,” balasku dengan terbata-bata. Aku penasaran apakah dia berhasil kembali bersama mantan pacarnya. Lagipula, semua orang tahu bahwa dia berubah setelah dia kehilangan dirinya dan terpaksa untuk menikahi Ava. Ah, pasti dia sudah kembali bersama mantan pacarnya. Dia begitu membenci Ava, jadi perubahan ini pastilah karena kakaknya Ava, Emma. “Bisa kita mulai sekarang?” sela si pendeta dan kami bertiga mengangguk. Aku berdiri di sebelah Gabriel dan Rowan berdiri
Aku menyelesaikan riasakanku sebelum menatap diriku di kaca. Aku benar-benar gugup sebab hari ini adalah hari pernikahanku yang ketiga kali. Memang kedengarannya aku kecewa akan hal ini, ‘kan? Satu-satunya hal yang menenangkanku adalah aku akan menikahi pria yang sama yang kunikahi bertahun-tahun yang lalu, suamiku yang pertama. Sembari memakai mantelku, aku mengambil tasku dan berjalan keluar dari kamar. Udara di sana seakan menyengatku seiring dengan rasa kecemasan yang menjalari setiap jengkal tubuhku. Gabriel sudah membawakan kontrak yang baru yang sudah disetujui malam itu, dan sekarang, sehari setelahnya, kami menuju ke gereja untuk pemberkatan. “Apakah kamu sudah siap?” tanya Gabriel saat aku berjalan ke ruang tamu. Aku tidak bisa menjawab. Aku merasa aku tidak bisa berpikir, jadi aku hanya mengangguk. “Kenapa aku tidak bisa pergi bersama Ibu?” keluh Lilly yang membuatku berbalik ke arahnya. Dia sedang duduk di sofa yang berbentuk L sembari mengernyitkan dahinya dan melip
Dia mendorong dokumen itu ke arahku di atas meja. Aku mengambilnya dan mulai membacanya. Aku akan meminta pengacaraku memeriksanya nanti, tapi penting juga bagiku untuk memahami isi kontrak itu sendiri terlebih dahulu. Satu hal yang diajarkan kakakku adalah jangan pernah menandatangani apa pun tanpa membacanya dengan seksama.Dasar-dasar yang kami diskusikan sebelumnya tercantum di sana. Kontrak ini akan berlaku minimal selama dua tahun. Setelahnya, aku akan mendapatkan Perusahaan Gelora dan sedikit tunjangan. Gabriel juga akan terus membiayai Lilly. Dia juga menegaskan bahwa dia ingin Lilly diakui sebagai putrinya dan Lilly harus menyematkan nama Wijaya di nama belakangnya. Itulah poin-poin terpenting bagiku, jadi setelah membaca dan mengulangi bagian itu, aku meletakkan kertas-kertasnya.“Ada keluhan?” tanyanya sambil menyodorkan pulpen ke arahku.“Tidak, tapi aku ingin menambahkan beberapa ketentuan,” ujarku sambil menatap pulpen itu, tapi tidak segera mengambilnya.“Ketentuan sepe
HanaSudah hampir seminggu sejak Gabriel meninggalkan kami dengan sopirnya dan pergi. Aku tidak mendengar kabar darinya, apalagi melihat wajahnya. Dia juga tidak datang ke sini, yang membuatku yakin dia tinggal di salah satu dari banyak properti lain yang dia miliki.Sulit rasanya untuk mulai terbiasa, terutama bagi Lilly. Dia tipe anak yang sulit tidur di tempat tidur asing. Tentu, kasurnya bagus, dan lebih nyaman dibandingkan yang dia punya di rumah, tapi masalahnya adalah ini bukan tempat tidurnya.Saat ini, aku mulai tergoda untuk meminta Gabriel mengirim tempat tidurnya ke sini kalau situasinya terus seperti ini. Dia hampir tidak tidur, dan ketika dia berhasil tidur beberapa jam, aku harus ada di sampingnya supaya dia merasa nyaman.Aku juga tidak tenang. Aku terus bertanya-tanya apakah aku membuat keputusan yang tepat dengan setuju untuk menikah lagi. Hidup bersama Gabriel dulu adalah neraka ... Seharusnya aku mencoba berjuang untuk hak asuh Lilly, ‘kan? Aku mencintai putriku den
Untuk pertama kalinya sejak aku mengangkat teleponnya, aku tersenyum, sebab senang karena dia mulai berpikir untuk mengenal putrinya.“Kalau begitu, aku akan mendukungmu.”“Tapi gimana caranya? Aku paham dunia finansial seperti mengenal diriku sendiri. Tapi soal menjadi Ayah? Aku tidak tahu apa-apa soal itu,” ujarnya sambil mendesah frustrasi, dan itu membuatku tertawa kecil.“Kamu harus sadar kalau tidak ada buku panduan yang bisa memandumu jadi Ayah yang baik. Bahkan setelah bertahun-tahun jadi seorang Ayah, aku masih belajar hal baru setiap hari. Jadi orang tua itu ya begitu, kamu harus percaya akan intuisimu. Hadirlah untuk mereka dan lakukan apa yang menurutmu benar.”“Ya, mungkin kamu benar.”“Apa yang kamu rencanakan dengan Hana, dan apakah kamu merasakan suatu perasaan padanya?” tanyaku dengan penasaran.Dia langsung menyambar pertanyaanku. “Tidak, sama sekali tidak! Aku tidak merasakan apa-apa untuknya, dan kalau bukan karena aku butuh dia, aku tidak bakal repot-repot.”Aku me