Ava“Aku masih tidak mengerti mengapa aku harus pergi. Mengapa aku tidak bisa tinggal bersama Ibu?” Noah mengeluh. Keningnya berkerut di wajah tampannya.Dia sudah lelah dengan semua ini setelah aku bilang padanya dia akan pergi bersama Kakek Neneknya. Awalnya dia sangat antusias, tetapi akhirnya sedih ketika sadar, kami berdua tidak akan menemaninya.Sekolahnya mengerti akan situasinya. Gurunya setuju untuk mengirim materi ajar ke Ibu, agar dia tidak tertinggal terlalu jauh.“Sudah Ibu bilang padamu sayang, ini seperti liburan khusus untuk Kakek-Nenek dan cucu. Hanya untukmu dan mereka.”Setelah berbicara kepada kapolri, dia meyakinkan bahwa mereka akan dikirim ke pulau yang aman.“Kamu akan pergi ke Pantai. Bukankah kamu memohon-mohon pada kami untuk mengajakmu berlibur?” Kataku sambil tersenyum nakal.Kata ‘pantai’ segera menarik perhatiannya. Seluruh keluhan yang dia rasakan, sekarang sirna.Noah benar-benar terobsesi kepada pantai. Dia sangat menyukai pantai, sampai dia pernah men
Dia melangkah mendekat kepadaku. Matanya menyalang dan cuping hidungnya mengembang dan mengempis. Aku tetap di tempatku. Menolak membiarkan dia mengintimidasiku.“Aku tidak akan pergi. Sekarang batalkan pesanan taksimu dan duduklah di mobilku.” Geramnya dan menggertakkan gigi. Aku melihat kilatan amarah dalam sorot matanya.Kemarahanku mulai naik dan aku mengepalkan tanganku. Biasanya aku akan menahan diri sebab aku tidak mau membuatnya marah, tetapi aku sudah tidak peduli.“Dasar manusia arogan. Kamu pikir siapa dirimu ini, hm? Aku bukanlah seekor anjing yang akan patuh jika kamu perintah.” Suaraku mulai meninggi. Aku benar-benar tersinggung.Aku membiarkannya mendikteku selama bertahun-tahun ini. Aku diam karena aku tidak ingin merusak apa yang kupikir kami punya. Namun, apa hasilnya? Apa hasil dari menahan diri ini bagiku? Tidak ada. Hanya sakit hati dan derita yang kudapat.“Ava...” Dia berkata dengan suara mengancam.“Apakah kalian berdua bertengkar lagi?” Suara Noah memotong perk
“Ibumu yang bertanya, bukankah kamu belum berbicara dengannya belakangan ini?”Aku menggeram sebal, “Kamu terlalu cerewet dan lama-lama membuatku sebal, Rowan. Bisakah kamu mengacuhkanku dan menganggapku tidak ada, seperti yang biasanya kamu lakukan?”Cengramannya pada setirnya mengencang. Aku melihat rahangnya menegang. Dia turut merasakan amarah. Mungkin karena aku sudah tidak lagi berlaku seperti domba lemah yang seperti biasanya dia hadapi. Situasi telah terbalik dan dia sangat tidak menyukainya.Aku selalu memaksakan diriku untuk membuatnya senang. Mencoba untuk menjadi apa yang diinginkan olehnya. Mencoba untuk menjadi Emma. Kulakukan apa pun agar aku menjadi istri yang akan dia cintai. Sekarang, aku sudah bermetamorfosis dan dia tidak suka aku tidak bisa lagi diperintah layaknya seekor anjing. Aku tersenyum penuh kemenangan. Membuatnya marah membuatku bersorak di dalam sana.Dari situ, sepanjang perjalanan diisi dengan diam. Masing-masing dari kami duduk diam di bangku kami, sed
Seminggu telah berlalu sejak Noah pergi dan hidupku terasa hambar tanpanya. Ini waktu terlama aku terpisah darinya dan aku malu mengakui bahwa aku tidak bisa menanganinya dengan baik.Noah itu bagaikan jangkar hidupku, tanpanya aku merasa hilang. Seakan aku mengarungi kehidupan di laut lepas dengan potongan kayu kapal. Setiap hari aku sangat menunggu teleponnya, sebab itulah yang membuatku tenang. Telepon dan suaranya membuatku waras.Aku belum mendengar sepatah kata pun dari Rowan sejak kami bertemu di bandara. Bagian kecil hatiku masih merindukannya, tetapi aku tahu ini untuk yang terbaik. Tidak ada masa depan di antara kami dan aku tidak bisa hidup bersama pria yang tidak mencintaiku.Sejauh ini, semuanya berjalan dengan penuh keheningan. Bukan karena orang-orang tetap berkirim kabar denganku atau yang lain. Tetapi karena tidak ada insiden penembakan atau orang yang meninggal lagi, jadi bisa dibilang pelakunya sedang bersembunyi.Tiba-tiba aku menabrak seseorang, membuat lamunanku s
Kami tetap berdiri di sana setelah itu. Aku menyangga tubuhku dengan bertumpu pada sebelah kaki, dan sebelahnya aku istirahatkan, merasa canggung. Dia menatapku, manik cokelatnya seolah merasuk dalam jiwaku. Aku mengalihkan pandanganku untuk menghindarinya.“Ethan!” Seseorang memanggil namanya. Aku berbalik badan dan mendapati seorang polisi memanggilnya.“Iya!” Ethan berteriak sebelum kembali padaku, “Senang bertemu denganmu, cantik. Akan kutemui kamu lagi, oke?”“Baik,” gumamku.Dengan itu, dia memberiku pelukan yang tidak kusangka sebelumnya, lalu berjalan menjauh. Aku tertinggal, mencerna apa yang sudah terjadi. Aku menggelengkan kepalaku, mencoba menghilangkan kebingunganku setelah beberapa saat dan mulai melangkah. Aku harus membeli bahan makanan dan kebetulan tokonya tidak jauh dari sekolah, jadi aku memutuskan untuk jalan.Gipsum di lenganku telah dilepas, dan meskipun pundakku masih nyeri dan kadang terasa sakit, pundakku masih berfungsi. Aku memikirkan apa saja yang harus ku
“Jadi, bagaimana harimu sayang?” Tanyaku kepada Noah Ponselku kusangga di antara pundak serta telingaku. Aku mencoba untuk memaksimalkan kesempatan berbicara dengannya sambil bersih-bersih. Bukan hal mudah, tetapi setidaknya pundakku sudah terasa lebih enak. “Luar biasa!” Kudengar teriakannya di telepon, hampir saja memecahkan gendang telingaku. “Kami baru saja makan es krim, lalu akan ke perosotan. Di sini ada perosotan yang menuju langsung ke pantai.”Rasa antusiasnya membuatku senang. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Melihatnya aman dan bahagia sudah cukup bagiku.“Baguslah sayang. Benar, ‘kan kata Ibu. Kamu akan mengalami banyak hal menyenangkan.”Aku sudah selesai bersih-bersih lalu duduk di sofa. Sebaiknya aku menyelesaikan pembicaraanku dengannya terlebih dahulu.“Bagaimana dengan Ibu? Bagaimana akhir pekan Ibu?”Apa yang bisa kukatakan? Akhir pekanku begitu membosankan. Anakku yang berusia delapan tahun sedang melakukan hal yang lebih menyenangkan dariku. Aku tidak ada te
Dia memutus sambungan telepon dan aku segera berlari ke kamarku untuk mencari sesuatu yang pantas untuk dipakai. Karena kita akan pergi ke lokasi latihan tembak, aku memutuskan untuk memakai sesuatu yang nyaman, jadi aku memakai celana denim, kaos t-shirt dan sepatu. Ethan benar-benar sampai dalam sepuluh menit seperti yang dia katakan, lalu kami segera pergi.“Jadi, apa yang memutuskanmu untuk menjadi polisi?” Tanyaku sambil menatapnya.Suasananya sangat cair dan aku merasa nyaman di sekitarnya. Baguslah, belum pernah aku merasakan nyaman seperti ini di sekitar orang dewasa untuk waktu yang lama.“Ayahku dibunuh oleh seorang polisi,” jawabnya sembari melemaskan bahunya.Aku mengerutkan keningku, terkejut, “Biasanya orang-orang akan menghindari menjadi polisi jika kejadiannya seperti itu.”“Benar. Namun, ayahku bukanlah pria ataupun Ayah yang baik. Ketika polisi mengacungkan pistol kepadanya karena menjual pistol secara ilegal, sebenarnya aku merasa lega. Melihat polisi membunuh sampah
Rowan Aku melihat polisi yang menyelamatkan Ava membawanya pergi. Untuk beberapa alasan, aku tidak suka bagaimana dia menyentuh tangannya. Yang benar saja, haruskah dia memegang tangan Ava?Aku tidak tahu mengapa melihat mereka berdua bersama membuatku kesal. Aku tidak suka apa yang terjadi di antara mereka.Aku merasakan tangan halus menyentuh tanganku, dan aku tersadar dia menggenggam tanganku dan mengepalkannya.“Kamu baik-baik saja?” Tanya Emma dan aku berbalik untuk menatapnya.Wajah cantiknya membawaku kembali ke kenyataan.‘Dia adalah wanita yang kuinginkan, yang selalu kupikirkan.’ Aku mengingatkan diriku sendiri, membuang pikiran mengenai Ava.Aku tidak menginginkan Ava, jadi seharusnya itu tidak menggangguku jika pria lain tertarik padanya, ‘kan?“Iya. Aku baik-baik saja,” jawabku dan tersenyum kepadanya.Dia tersenyum kembali kepadaku, dan seperti pertama kali aku melihatnya, senyumannya membuatku terkagum. Membuatku berdebar dan mengingat masa-masa saat kami bersama.Beber
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku
Emma. “Kamu harus keluar dari kamarmu, Emma. Kamu tidak bisa menghabiskan harimu di dalam sini.” Aku mendengar perkataan Ibu, tapi aku tidak menatapnya sebab mataku tetap terfokus pada drama sedih yang sedang kutonton. Aku duduk di ranjangku dengan masih memakai piyama dan beberapa cemilan yang berceceran di sekitar selimutku. Aku minum bermacam-macam minuman dan sekotak besar es krim, yang mana tengah menjadi adiksiku saat ini. Gorden kamarku tertutup dan menghalangi sinar matahari masuk sedari aku menutup gorden ini sejak beberapa bulan lalu. “Itulah yang sudah kucoba katakan padanya, tapi wanita itu tidak mau mendengarku!” dengus Merrisa. Aku bisa merasakan kata-katanya menusuk di hatiku, tapi aku sama sekali tidak mengindahkannya. Aku hanya mau sendirian untuk meresapi penderitaanku. Lagipula, akulah yang membawa penderitaan ini sendiri. “Apa yang akan Guntur katakan kalau dia melihatmu seperti itu? Kamu begitu berantakan, begitu juga dengan ruanganmu. Aku tidak tahu kapan ter
Aku melihat Rowan begitu kami masuk. Sama seperti kembarannya, dia memakai jas hitam. Kami berjalan ke depan kapel saat pendeta berjalan masuk ke dalam.“Hai, Hana,” sapa Rowan dengan sopan dan menyambutku dengan senyumannya. Aku benar-benar terkejut. Dia sudah sangat berubah, dia tidak seperti Rowan yang kuingat. Sebelumnya, dia selalu terlihat dingin dan datar, seolah dia menganggap seluruh orang tidaklah penting. Tapi sekarang, dia terlihat hangat. Seolah kekelaman yang dulu menyelimutinya sudah sepenuhnya sirna. “H ... Hai,” balasku dengan terbata-bata. Aku penasaran apakah dia berhasil kembali bersama mantan pacarnya. Lagipula, semua orang tahu bahwa dia berubah setelah dia kehilangan dirinya dan terpaksa untuk menikahi Ava. Ah, pasti dia sudah kembali bersama mantan pacarnya. Dia begitu membenci Ava, jadi perubahan ini pastilah karena kakaknya Ava, Emma. “Bisa kita mulai sekarang?” sela si pendeta dan kami bertiga mengangguk. Aku berdiri di sebelah Gabriel dan Rowan berdiri
Aku menyelesaikan riasakanku sebelum menatap diriku di kaca. Aku benar-benar gugup sebab hari ini adalah hari pernikahanku yang ketiga kali. Memang kedengarannya aku kecewa akan hal ini, ‘kan? Satu-satunya hal yang menenangkanku adalah aku akan menikahi pria yang sama yang kunikahi bertahun-tahun yang lalu, suamiku yang pertama. Sembari memakai mantelku, aku mengambil tasku dan berjalan keluar dari kamar. Udara di sana seakan menyengatku seiring dengan rasa kecemasan yang menjalari setiap jengkal tubuhku. Gabriel sudah membawakan kontrak yang baru yang sudah disetujui malam itu, dan sekarang, sehari setelahnya, kami menuju ke gereja untuk pemberkatan. “Apakah kamu sudah siap?” tanya Gabriel saat aku berjalan ke ruang tamu. Aku tidak bisa menjawab. Aku merasa aku tidak bisa berpikir, jadi aku hanya mengangguk. “Kenapa aku tidak bisa pergi bersama Ibu?” keluh Lilly yang membuatku berbalik ke arahnya. Dia sedang duduk di sofa yang berbentuk L sembari mengernyitkan dahinya dan melip
Dia mendorong dokumen itu ke arahku di atas meja. Aku mengambilnya dan mulai membacanya. Aku akan meminta pengacaraku memeriksanya nanti, tapi penting juga bagiku untuk memahami isi kontrak itu sendiri terlebih dahulu. Satu hal yang diajarkan kakakku adalah jangan pernah menandatangani apa pun tanpa membacanya dengan seksama.Dasar-dasar yang kami diskusikan sebelumnya tercantum di sana. Kontrak ini akan berlaku minimal selama dua tahun. Setelahnya, aku akan mendapatkan Perusahaan Gelora dan sedikit tunjangan. Gabriel juga akan terus membiayai Lilly. Dia juga menegaskan bahwa dia ingin Lilly diakui sebagai putrinya dan Lilly harus menyematkan nama Wijaya di nama belakangnya. Itulah poin-poin terpenting bagiku, jadi setelah membaca dan mengulangi bagian itu, aku meletakkan kertas-kertasnya.“Ada keluhan?” tanyanya sambil menyodorkan pulpen ke arahku.“Tidak, tapi aku ingin menambahkan beberapa ketentuan,” ujarku sambil menatap pulpen itu, tapi tidak segera mengambilnya.“Ketentuan sepe