Seharusnya aku senang. Akulah yang pertama kali mengajukan pemikiran itu, tetapi hal itu seakan mengganjalku. Seperti dia tengah menjauhiku dan aku bahkan tidak tahu ada gerangan apa. Aku menghela nafas. “Tidak. Dia tidak mau berbicara padaku dan aku tidak mau memaksakannya. Selain itu, akulah yang memintanya untuk menjaga jarak. Dia mungkin pada akhirnya menghargai permintaanku.”“Aku benar-benar tidak meyakini hal itu,” gumamnya sembari menatap ke kejauhan. “Apakah kamu mengetahui sesuatu?”“Tidak juga, tetapi aku curiga sesuatu telah terjadi.”Aku menatapnya sangsi. Satu-satunya hal yang kemungkinan terjadi adalah jika Emma memintanya untuk menjauh dariku. Aku tidak yakin akan hal itu, sih. Rowan bukanlah orang yang bisa diperintah. Apalagi jika apa apa yang diperintah padanya menyangkut Noah. Aku menggelengkan kepala, menepis pemikiran itu. “Hal itu tidak penting. Sama sekali tidak penting untuk hari ini. Kita di sini untuk bersenang-senang dan melupakan apa yang terjadi.”“Kamu
Rowan. Aku adalah seorang pengecut, kuakui itu. Sudah dua bulan lamanya dan aku masih tidak bisa menghadap ke Ava maupun berbicara dengannya. Apa yang harus kukatakan padanya? Apa yang bisa kukatakan pada wanita yang kupikir telah menipuku ketika ternyata semuanya bukan salah dia. Aku malu pada diriku. Malu akan apa yang telah kuperbuat padanya. Malu karena membiarkan dia menanggung kesalahan. Aku malu karena aku diam saja ketika semuanya memeperlakukannya seperti sampah, sebab kupikir dia pantas mendapatkannya. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Bagaimana cara menatap matanya dan meminta maaf. Aku benar-benar tidak tahu cara meminta maaf pada siapa pun, sebab aku tidak pernah salah. Aku selalu benar, kecuali soal Ava. Aku menyesap wiski di gelasku, mencoba meluruhkan perasaan bersalahku. Tidak membantu banyak, tetapi setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berpura-pura bahwa seluruh duniaku seakan berbalik akan kenyataan itu. “Pak, Pak Santoso di sini untuk menemui An
Ava. Aku menatapnya dengan jantung yang berdegup kencang dan pikiranku terpacu. Bagaimana bisa aku di sini? Bagaimana bisa aku tidak menduga ini?Aku terpaku. Merasa malu. Tidak bisa berkata apa-apa. Duniaku seakan runtuh dan hancur berkeping-keping. ‘Bos’Satu kata itu terus berulang di kepalaku. Membuatku tidak waras. Selama ini aku bertanya-tanya dan mencari. Lalu ternyata musuhku ada tepat di depan mataku. “Ada apa ini sebenarnya?!” Teriakan penuh amarah menarikku kembali ke kenyataan yang menyakitkan. Aku berbalik ke belakangku, dan seketika aku terkejut. Ruby diikat di kursi. Dia terlihat ketakutan dan marah di waktu yang sama. Kepalanya berdarah. Aku yakin bajingan yang menculik kami memukul kepalanya juga. Aku terlalu dikuasai oleh ketakutanku akan kematian dan mencoba untuk keluar dari sini sampai-sampai aku tidak menyadari dia juga di sini. Bagaimana lagi, dia ada di belakangku. Aku tidak mengira ada orang di belakangku. “Bukankah sudah jelas? Aku menculik kalian berdu
Ava“Sialan!” Teriakan penuh dengan kegeraman membuatku membuka mataku. Ethan memegangi pundaknya yang berdarah. “Jatuhkan pisolmu itu Ethan atau aku bersumpah, aku akan menembak kepalamu!” Suara amarah Rowan menusuk ke pikiranku yang kalut. Dia adalah orang terakhir yang ingin kulihat sekarang. Kebanyakan karena aku malu. Dia mencoba untuk memperingatkanku, tetapi aku tidak mendengarnya. “Aku sudah mengepung seluruh bangunan ini, Ethan. Kamu kalah jumlah,” imbuh Rowan. Aku menghela nafas lega begitu aku mendengar sirine polisi. Ethan menurunkan senjatanya, sebelum meletakkannya di tanah. Matanya terkunci dengan mataku. Aku ingin mengalihkannya, tapi aku tidak bisa. Aku ingin diingatkan betapa bodohnya aku selama ini.“Ava, sayang lihat aku.” Suaranya mengalihkanku dari tatapan dingin Ethan. Saat itulah aku menyadari bahwa Rowan sedang berdiri di depanku.Melihat wajahnya dari dekat membuat mataku berkaca-kaca. Kata-kata terakhir yang dia ucapkan kepadaku dua bulan lalu masih ter
Aku tahu bagaimana perasaannya sekarang. Aku mengenalkannya ke Ethan, kami bahkan keluar bersama bertiga beberapa kali. Dia pasti juga merasa terkhianati sepertiku. “Tidak, dia menolak mengatakan sepatah kata pun,” kata Brian sambil menggelengkan kepalanya. Aku berbalik untuk menatap Ethan dan menemukan dia juga menatapku dengan tanpa emosi apa pun. Pandangannya yang seperti itu seakan menelanku bulat-bulat. “Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ethan?” Tanyaku dengan suara bergetar. Dia menatapku. Pandangannya yang dingin membuatku seakan tersengat oleh es yang begitu dingin. Aku masih tidak tahu ke mana semua kehangatan yang sebelumnya dia miliki. Apakah dia selama ini bisa merubah perasaannya, dan menukarnya sesuka hati? Ataukah memang dia tidak memiliki perasaan? Jika benar, maka dia adalah aktor yang baik. “Aku menginginkan perusahaan,” katanya singkat. Aku terkejut bahwa dia akhirnya menjawab, aku benar-benar tidak menduganya. Rasa terkejutku diakhiri begitu dia menga
Aku merasa Rowan menegang di sampingku, tetapi aku tidak peduli. Apa yang kukatakan adalah kebenaran. Keluarga pasti akan memedulikanku, dan tidak ada yang peduli padaku di sini kecuali Ruby. “Bisakah kita kembali ke masalah Ethan?” Sahut Gabriel setelah beberapa saat. Ethan mengangkat bahunya. “Aku akan menceritakanmu sebuah cerita mengenai seorang gadis bernama Nora,” dia mulai bercerita. “Nora berasal dari keluarga menengah. Ayahnya adalah seorang pendeta. Dia serta ibunya merupakan Kristen yang taat. Dia dibesarkan untuk benar-benar mengikuti Tuhan beserta firman-Nya, dia melakukan itu semua sampai dia bertemu seorang laki-laki. Nama laki-laki itu adalah Theodore dan dia lebih suka dipanggil Theo.”Kami sangat memerhatikan ceritanya. Aku tidak tahu akan seperti apa cerita ini berakhir, tetapi ini menarik. “Mereka bertemu ketika mereka berusia sebelas dan meski pun dia mencoba untuk menjauhinya, dia tidak bisa. Mereka awalnya adalah teman dan mulai berkencan di usia tiga belas.
Aku duduk di sebelah Rowan dengan membeku. Otakku tidak dapat merespon apa yang dikatakan Ethan padaku. Pertama, James dan Kate Santoso bukanlah orangtuaku. Kedua, dia mengaku sebagai saudaraku.“Apa?!” Aku berteriak sebagai respon ketika aku mencerna kata-katanya. “Kamu tidur denganku dengan mengetahui bahwa kamu adalah saudaraku? Sangat menjijikkan.”“Kamu tidur dengannya?” Tanya Rowan dengan sinis, aura berbahaya seolah memenuhi ruangan dan menyesakkan suasana di antara kami. Aku balik menatapnya sinis. “Bukan urusanmu.”Benakku dipenuhi oleh pengakuan Ethan. Jika apa yang dikatakannya adalah kebenaran, maka berarti aku sudah tidur bersama saudaraku dan dia tidur denganku meski mengetahui kebenarannya. Aku merasakan amarahku memuncak pada pemikiran itu, merasa ini semua benar-benar memuakkan. Bajingan gila macam apa yang melakukan itu? Mengapa kamu tidur dengan seseorang yang kamu tahu pasti memiliki hubungan darah?Semakin aku mengetahui mengenai Ethan, semakin aku merasa dia sel
“Pencarianku mengarah padamu. Aku tahu aku harus melenyapkanmu. Jika kamu tidak ada, maka wasiatnya tidak sah secara hukum dan dibatalkan. Aku datang ke sini dan setelah bertanya mengenai keberadaanmu, aku mendapat banyak sekali informasi. Terlihat dari bagaimana orang-orang membencimu, termasuk suami dan keluargamu, kupikir aku akan membantu mereka. Bagaimana pun, wanita yang mencuri dan menjebak pacar kakaknya tidak bisa jadi seseorang yang pantas untuk dihargai.”Nafasku tercekat mendengarnya. Aku masih tidak percaya bahwa pria yang meyakinkanku bahwa malamku dengan Rowan sembilan tahun yag lalu bukanlah salahku, adalah pria yang sama dengan pria yang berkata bahwa aku tidak pantas hidup. Sesak. Teramat sesak, aku kesulitan bernafas. “Aku perlu mengakui bahwa percobaan pertama dalam pembunuhanmu bukanlah ulahku, tteapi aku mengambil kesempatan. Kulihat ada kesempatan untuk dekat denganmu, dan kuambil. Sungguh jalan terbaik menjadi seperti pahlawan untuk membuatmu memercayaiku. Sem
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku
Emma. “Kamu harus keluar dari kamarmu, Emma. Kamu tidak bisa menghabiskan harimu di dalam sini.” Aku mendengar perkataan Ibu, tapi aku tidak menatapnya sebab mataku tetap terfokus pada drama sedih yang sedang kutonton. Aku duduk di ranjangku dengan masih memakai piyama dan beberapa cemilan yang berceceran di sekitar selimutku. Aku minum bermacam-macam minuman dan sekotak besar es krim, yang mana tengah menjadi adiksiku saat ini. Gorden kamarku tertutup dan menghalangi sinar matahari masuk sedari aku menutup gorden ini sejak beberapa bulan lalu. “Itulah yang sudah kucoba katakan padanya, tapi wanita itu tidak mau mendengarku!” dengus Merrisa. Aku bisa merasakan kata-katanya menusuk di hatiku, tapi aku sama sekali tidak mengindahkannya. Aku hanya mau sendirian untuk meresapi penderitaanku. Lagipula, akulah yang membawa penderitaan ini sendiri. “Apa yang akan Guntur katakan kalau dia melihatmu seperti itu? Kamu begitu berantakan, begitu juga dengan ruanganmu. Aku tidak tahu kapan ter
Aku melihat Rowan begitu kami masuk. Sama seperti kembarannya, dia memakai jas hitam. Kami berjalan ke depan kapel saat pendeta berjalan masuk ke dalam.“Hai, Hana,” sapa Rowan dengan sopan dan menyambutku dengan senyumannya. Aku benar-benar terkejut. Dia sudah sangat berubah, dia tidak seperti Rowan yang kuingat. Sebelumnya, dia selalu terlihat dingin dan datar, seolah dia menganggap seluruh orang tidaklah penting. Tapi sekarang, dia terlihat hangat. Seolah kekelaman yang dulu menyelimutinya sudah sepenuhnya sirna. “H ... Hai,” balasku dengan terbata-bata. Aku penasaran apakah dia berhasil kembali bersama mantan pacarnya. Lagipula, semua orang tahu bahwa dia berubah setelah dia kehilangan dirinya dan terpaksa untuk menikahi Ava. Ah, pasti dia sudah kembali bersama mantan pacarnya. Dia begitu membenci Ava, jadi perubahan ini pastilah karena kakaknya Ava, Emma. “Bisa kita mulai sekarang?” sela si pendeta dan kami bertiga mengangguk. Aku berdiri di sebelah Gabriel dan Rowan berdiri