"Tolong...!" Kirani berusaha berteriak, berharap mbok Sum bisa mendengarnya. Darah kental sudah mengalir deras di kedua pahanya. Ia pun sudah terkapar lemah di lantai putih, di dalam kamar besar suaminya, di rumah dua lantai itu. Ingin ia raih gawai hitamnya di atas ranjang besar itu, namun pusing melanda saat ia berusaha berdiri, akhirnya Kirani jatuh lagi, bahkan kali ini langsung terbaring di lantai. Rasanya lebih tak bertenaga dari yang tadi. Bahkan tangan kanannya sudah tak lagi menggenggam bukti-bukti transfer dan pembayaran hotel atas nama seseorang. Nama yang sama, dan sepertinya nama seorang wanita. "Tolong, Mbok...!" Suara Kirani nyaris hilang, tertutup rasa nyeri dan kram di perut yang semakin menghebat juga rasa nyeri di ulung hati yang laksana goresan sembilu yang melukai. Perih. Sudah lama Kirani mendengar kabar itu. selain dari gelagat suaminya yang semakin jarang pulang, bisikan dari beberapa kawannya, juga dengan firasatnya sendiri yang terasa begitu kuat. Namun
Netra hitam pria itu menatap lurus, jauh ke depan. Menatap kerumunan padi yang mulai menguning, menandakan sebentar lagi masa panen akan tiba.Netra itu, meski sudah tak setajam dulu, namun pemiliknya masih orang yang sama. Meski kerut di dahi sudah nampak namun ingatannya akan seorang wanita di masa lalunya tak pernah pudar.Ada rasa sesal di dada yang bergumpal-gumpal, saat mengingat bagaimana ia menciptakan genangan air mata di pipi mulus itu.Ada rasa sesal saat mengingat bagaimana dulu ia tega bermain api. Ia menyangka api itu akan padam. Ya memang padam, namun ada debu dan puing yang tercipta setelahnya.Danu menghela nafas panjang. Gurat lelah nampak di wajahnya yang semakin dewasa. Mungkin sudah tujuh atau delapan tahun berlalu, namun ia tak pernah bosan berkunjung ke desa ini. Melihat hamparan sawah yang begitu luas, juga menatap rumah yang nampak terpisah sendiri dari rumah penduduk lainnya. Selain terpisah sendiri, rumah itu juga terlihat kumuh sendiri di antara rumah-rumah
Perempuan ini selalu saja mencari cara agar keributan terus terjadi antara dirinya dan Danu. Lelaki beristri yang dulu ia pisahkan dari istrinya. “Kalau iya, kenapa?” Danu mulai jengah. Ia tak menyangka bila perempuan yang nampak kalem dan polos dari luarnya tak lebih dari seekor ular berbisa yang menjebaknya di tahun ketiga pernikahannya saat bersama Kirani dulu. “Bagus!, lakukan saja kalau berani, selingkuh saja kalau bisa. Dan akan kupastikan akan mencari siapa perempuan selingkuhanmu, Mas. Biar kuberi pelajaran agar jangan mengganggu suami orang. Perempuan gatal mana yang membuatmu sering terlambat pulang? Hah?” Herda terus mencecar Danu dengan tuduhan-tuduhan yang membuat pria ini terbakar amarah. Marah, namun tak bisa melawan. Tak ada kebahagiaan sama sekali yang dirasakan Danu dengan rumah tangga keduanya. Jangankan dilayani dengan baik, diberi kata-kata yang halus dan menentramkan hati saja sudah cukup. Namun tak ada sama sekali. Mungkin Herda sedikit menghargainya di awa
“Ini foto yang, Bapak minta.” Dengan sopan Firman meletakkan sebuah amplop coklat berisi foto-foto kegiatan Herda selama ini jika Danu sedang keluar kota.“Terima kasih, Firman. Kau sudah bersusah payah membantuku,” ucap Danu sambil memegang amplop yang Firman antarkan.“Sudah tugas, saya sebagai anak buah, Pak. Siap menerima dan menjalankan tugas.”sahut Firman sambil merundukkan kepala sebentar. “Maaf ini dari saya pribadi, Pak. Bila ada waktu, sudi kiranya, Bapak menghadiri pernikahan sederhana saya 2 mingu lagi.”“Oh, Alhamdulillah, insya Allah, saya pasti datang,” sahut Danu.________Danu menatap nanar lembaran foto yang berserak, di atas meja berpelitur coklat muda di ruang tengah rumah ibunya. Ada sekitar sepuluh foto yang menampilkan gambar istrinya bersama pria lain. Foto yang diambil diam-diam di dua tempat yang berbeda.Bahkan ada foto yang Herda jalan bertiga bersama putri mereka dengan pria yang sama.Ternyata Danu begitu naif selama ini. Bukan sebentar, hampir delapa
Namun baru dua suapan kuah bakso yang masuk ke tenggorokan Kirani, tiba-tiba pandangannya tertuju pada pria yang cukup ia kenal, jalan bergandengan tangan dengan seorang wanita bergaun pendek. Kedua pasangan itu juga memasuki warung tempat Kirani dan Fatma makan.Lalu Pria itu juga nampak terkejut, saat melihat Kirani sedang duduk bersama seorang perempuan yang sedang duduk membelakangi pintu masuk.Pria yang barusan masuk, adalah Johan, mantan suami Fatma yang menikah dengan Mira, kawan lama Fatma yang dulu masuk menjadi duri dalam rumah tangganya bersama Johan.Seketika Johan terhenyak, saat melihat Kirani dan Fatma. Meski hanya melihat dari belakang saja, namun Johan yakin itu adalah Fatma. Wanita yang pernah menemaninya dalam suka dan duka hampir dua tahun lamanya, sebelum kehadiran kawan lama yang menusuknya dari belakang.Kirani tahu benar cerita mereka, karna saat Fatma dan Johan sedang di ambang perceraian, Kirani sudah kembali pulang di desa tempat mereka tinggal sekarang. Me
Kirani menatap lurus kedepan. Senyum tipis terkadang ia sunggingkan di bibir tipisnya. Sesekali ia memperhatikan penampilan Fatma yang tampak cantik manglingi, dengan kebaya pengantin warna putih. Kemudian ia bergeser sedikit kebelakang duduk tepat di samping ibu sang mempelai. Disebelah kanan Bu Minah, ada Hartini yang duduk dengan gamis biru senada dengan Kirani, hanya saja warna gamis Hartini sedikit lebih tua dari gamis yang digunakan Kirani.Hartini yang sudah hamil tua itu, malah menggeser duduknya ke samping Kirani. Selain di samping Kirani ada kipas angin yang berputar juga karna Hartini tak menyangka bila pria yang menjadi saksi pernikahan Fatma dan Firman dalah Danu. Mantan suami Kirani.Jiwa kepo Hartini pun meronta-ronta. Hartini yang memang ceplas ceplos dari kedua rekannya ini tak tahan untuk tak kepo pada Kirani tentang kehadiran mantan suaminya di acara pernikahan ini. Tumpukan pertanyaan sudah menggunung di kepala wanita berumur tiga puluh empat tahun ini.Bukan hany
Setelah selesai mengisikan nasi dan lauk untuk Sofia, Kirani bersiap untuk mengajak anak itu mencari kursi yang tak jauh dari meja prasmanan. Namun saat dirinya berbalik, hampir saja ia menabrak dada bidang seseorang pria. Pria itu memang sengaja berdiri tepat di belakang Kirani tadi, ia tak tahan untuk mengajak wanita ini berbicara. walau hanya sekadar bertanya kabar.Namun insiden yang terjadi barusan, membuat angan Kirani sedikit melayang. Meski tahun-tahun telah berlalu, namun aroma mint bercampur sandalwood dari salah satu merk parfum ternama, masih jelas di indra penciuman Kirani. Aroma ini dulu yang membuat angannya melayang. Aroma ini dulu yang akan menyatu dengan aroma vanila musk yang menguar dari tubuhnya di malam-malam hangat yang penuh cinta. Aroma ini ini mengingatkannya pada…“Saya juga lapar, Bunda!” suara berat itu menginterupsi lamunan angan Kirani. Suara itu, aroma parfum ini, adalah milik orang yang sama. Orang yang delapan tahun lalu mendekapnya penuh hangat juga
“Ran,”“Makan dulu, Mas!” bergetar suara Kirani.“Aku kangen sama, kamu.” Ia tatap wajah yang sudah sedikit memerah itu.“Aku nggak, Mas!”Namun senyum tiba-tiba terbit di wajah Danu. Senyum yang rasanya sudah lama tak menghiasi wajah berhiaskan brewok kasar yang selalu tercukur rapi.“Kirani!” Danu sudah melanggar batasannya. Ia genggam erat jemari yang sedikit bergetar itu. bahkan piring yang di pegang tangan kiri Kirani juga nampak bergetar.“Mas, lepas!” Kirani mendongak, netranya memerah, sungguh ia tak ingin orang lain melihatnya terlalu dekat dengan Danu. Danu ini sekarang suami perempuan lain.Danu rasanya hampir kehilangan kontrol. Melihat mantan wanita hampir menangis, ingin rasanya Danu mendekapnya dalam pelukan. Sebab luka itu masih jelas terlihat. Luka yang membayangi jelaga kelam itu.Kemudian Danu meremas sedikit kuat jemari yang tak terlalu halus itu, mengalirkan untaian rindunya yang hampir buncah.“Mas, lepas.” Cicit suara Kirani. Benar-benar ingin menangis rasanya.
Waktu berjalan begitu pantas dan berlalu tanpa bisa dihentikan. Masa-masa derita, sakit hati, kecewa dan air mata kini berganti tawa bahagia. Meski luka itu tetap meninggalkan bekasnya. Namun duka itu sebisa mungkin tak diingat-ingat lagi oleh Sofia dan Arbi. Pun dengan Kirani yang sudah terlebih dahulu memaafka luka masa lalu yang dulu membuatnya menangis kecewa. “Nenek sudah makan?” Davka yang sudah kelas lima SD menghampiri Kirani yang terlihat sedang menjahit sebuah jaket berwarna coklat tua. “Sudah, tadi ibumu sudah bawakan nenek ubi jalar rebus. Nenek sudah dua hari tak makan nasi, ibumu yang melarang.” “Karna mama bilang, gula darah nenek tinggi lagi!” Davka memperhatikan jaket coklat yang sering digunakan neneknya akhir-akhir ini. Terlihat ada tiga bekas jahitan pada baju hangat itu. “Nenek, kayanya suka sekali dengan jaket kakek ini?” “Ya, suka sekali. Kakekmu itu baik dan sangat sayang pada nenek.” Bukan sekali dua kali Kirani menceritakan tentang Gani pada cucu mere
“Kok, begitu liatnya, Mas?” Kening lebat Sofia berkedut heran, melihat Arbi menatapnya seolah tak berkedip. Baju dinas belum sempat Sofia lepas, bahkan rambut panjangnya hanya dicepol asal. Sofia sedikit terlambat pulang, siang ini. Membuatnya harus terburu mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Ia ingat suaminya pasti belum makan siang. Tinggal di desa seperti ini, tak seperti di kota, bila lapar bisa lari ke warung makan yang bertebaran dimana-dimana. Di sini, belum banyak yang menjual makanan masak. Hanya ada bakso, ayam crispy dan jajanan cilok dan sejenisnya. Penampilan berantakan itu malah membuat Sofia semakin terlihat cantik. Wajahnya terlihat bersinar. Bisa jadi karna efek KB juga. Sofia tak ingin kecolongan. Setelah memastikan dirinya tak hamil, segera saja ia meminta suntik KB satu bulan. Mungkin Kbnya cocok di tubuh Sofia. Ia tak merasa pusing atau keluhan lainnya. Lagian masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya masih takut untuk memberi adik lagi pada Davka. Arbi me
“Fia,”“Y-ya, Mas!”Rasanya begitu gugup. Bukan hanya Sofia, tapi juga Arbi. Benar-benar canggung. Bahkan debaran itu semakin menggila saat Arbi melihat lagi rambut sebahu istrinya yang begitu indah. Bertahun-tahun baru ia melihat mahkota legam itu lagi. Ditambah dengan Sofia yang masih menggunakan baju mandi saja, membuat Arbi semakin, ah ...Tak jadi masuk, Arbi malah keluar lagi, mengganti lampu di ruang TV dengan yang lebih redup.“Huf! Selamat,” batin Sofia.Namun ...“Lho kok dimatiin lampunya, Mas?”Arbi masuk lagi, mematikan lampu kamar. Namun pintu kamar ia buka sedikit agar tetap bisa mengawasi Davka yang sedang tertidur di depan. Ingin tidur di kamar ini juga tak bisa, sebab kasurnya hanya muat untuk dua orang. Memang malam ini mereka harus tidur bertiga di depan tv. Namun, Arbi ada keinginan sendiri yang tak bisa ditunda. Melihat penampilan Sofia tadi membuatnya seketika on fire.“Mas kangen banget sama, kamu!”Arbi mendekat, bahkan langsung memeluk. Mendekap tubuh itu d
Sofia tergugu dalam isak tangisnya. Ini bukan tangis kesedihan lagi. Namun ini tangis keikhlasan. Keikhlasan yang membawanya kembali pada jodoh pertamanya.Ingin sekali rasanya Arbi memeluk tubuh terguncang itu, tapi disini ada bunda Kiran, dan tentu Sofia tak ingin disentuh terlalu jauh, sebab keduanya belum menjadi muhrim lagi.Antara bahagia dan sedih, juga rasa khawatir menyatu, mengepung benak perempuan tiga puluh tiga tahun ini. “Mama, maukah mama maafkan papa, biar papa bisa bobo sama kita disini?”Davka berdiri dengan sebuah kotak cincin sederhana di belakang Sofia yang sedang mengusap air mata yang tak ingin berhenti.Pertanyaan yang sudah diajarkan Arbi berulang kali tadi pada sang putra sebelum mereka masuk ke dapur menemui Sofia yang sedang menghapus air matanya yang tak ingin berhenti.Pernyataan Arbi tadi bila akan menikah, membuat hatinya nelangsa dan semakin hilang separuh rasanya.“Eh, Avka. Apa itu, Nak? Kembalikan sama papa.” Jujur hati Sofia sedikit tercubit, meli
Arbi yang dulu selingkuh, Arbi pula yang merasa kecewa. Keputusan Sofia yang belum ingin membuka hatinya kembali, cukup membuat Arbi merasa kecewa, sekaligus takut. Mengapa kecewa?Sebab Arbi merasa Sofia bukan hanya sedang menghukum dirinya, tapi juga sedang menghukum Davka yang begitu ingin melihat mama papanya tinggal serumah.“Kamu nggak, kasihan sama Davka, kah?”“Nanti pasti akan mengerti, Mas.”Sofia selalu yakin bila suatu hari Davka akan mengerti tentang kondisi orang tuanya yang tak sudah tak bersama. Kelak pun akan diceritakannya pada putranya itu bila, papa mamanya sudah berpisah sebelum dirinya dilahirkan.“Kok, papa nggak pernah bobo sama kita, Ma?” Pertanyaan polos seperti itu bukan satu dua kali meluncur dari bocah tampan berhidung mangir mirip ayahnya. Namun Sofia menguatkan hati, selalu mencari jawaban yang tepat, agar sang putra tak merasa sedih.“Papa kan, kerja, Nak. Jadi tidak bisa tinggal disini.”“Papanya Nanda juga kerja, tapi selalu diantar ngaji sama papa m
Masa sudah berlalu. Siang dan malam berkejaran laksana busur panah yang tak bisa dihentikan. Musim penghujan pun berganti dengan kemarau yang cukup panjang. Violetta menatap jauh kebawah sana. Pemadangan hijau nan asri begitu menyejukkan mata. Ia berdiri di balkon villa milik ibunya. Membelakangi Adam yang tampak begitu berharap padanya.“Mengapa menutup diri terlalu kuat, Vio. Apa tak ada cinta sedikit pun di hatimu untuk aku?”“Rasa mungkin bisa dipupuk kembali, Mas. tapi restu yang utama, kan? aku ini janda dan punya masa lalu yang cukup buruk. Menikah tanpa restu sudah pernah kurasakan. Dan akhirnya begitu sakit.”Violetta tersenyum kecut. Perasaannya untuk Arbi belum hilang sepenuhnya. Bukan hanya perasaan cinta, tapi juga ada dendam yang masih belum tuntas. Violetta cukup terharu, melihat kesungguhan di mata Adam. Namun Violetta juga tahu, jalannya bersama lelaki ini tidak akan semudah keinginan pria bermata tajam ini. Violetta mendekat mengelus cambang kasar yang tumbuh di s
“Ya Allah, ya Allah!”Habis sudah bangunan dan isi ruko tempat Arbi menjalankan usahanya sehari-hari selama ini. usaha yang awalnya dirintis oleh ayahnya, setelah rujuk kembali bersama ibunya. Kini ludes terbakar. Semen, cat tembok, pipa dan bahan bangunan lainnya ikut terbakar. Mungkin paku dan bahan lainnya yang terbuat dari besi atau aluminium, tidak ikut terbakar tapi tentu sudah tak bisa di jual lagi.Dua buah mobil pemadam kebaran datang membantu berusaha memadamkan api. Sebab api yang makin besar, membuat warga yang tadi ikut membantu memdamkan api, sekarang tak berani mendekat.Arbi menangis! netranya memerah. Perasaannya semakin kacau. Entah. Apa ini hari pembalasan untuk Arbi mulai dari pagi tadi, rasanya tak ada satupun urusannya yang beres.Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain memandangi api yang melalap habis bangunan di depan matanya.Kehebohan bukan hanya terjadi di sini. Tapi juga tadi di rumah papa Gani. Sebab kabar kebakaran itu diterima Arbi saat ia duduk seba
Pov. Author__Arbi begitu susah payah menelan makanan enak yang ada diatas piringnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Laksana ada duri yang tumbuh pada batang lehernya. Bahkan beberapa kali dia harus menelan air mineral yang tersedia di depannya. Bahkan Davka yang duduk di pangkuannya dan menanyakan banyak hal, tak terlalu digubrisnya. Fokusnya lebih banyak pada Sofia yang nampak begitu cantik hari ini. gamis biru muda dengan potongan brokat di bagian dada dan lengan berpadu dengan jilbab warna senada dan make up tipis di wajahnya. Semakin mempertegas kecantikan mantan istrinya.Di depan sana, Sofia nampak duduk di samping seorang gadis berhijab yang mengenakan kebaya brokat warna kuning gading. Di samping gadis itu ada Keenan yang menggunakan kemeja batik dan celana kain warna hitam.Sofia dan Keenan, meski lahir dari ibu yang berbeda, namun garis wajah keduanya cukup mirip. Sama-sama beralis tebal dan berhidung bangir.Rasanya separuh sukma Arbi hilang tadi, saat remaja ya
Pov Arbi__Sengaja kudatangi penjara tempat Adam ditahan. Dari awal aku memang sedikit tak percaya saat mendengar pengakuan dirinya bila ia sudah mengintai dan merencanakan untuk mencelakai Sofia.Jika dibandingkan dengan Adam, mungkin aku jauh lebih pengecut dan brengsek dibanding dirinya. Lihatlah, bagaimana ia berusaha melindungi Violetta saat perempuan itu masih menjadi istriku.Peristiwa kecelakaan yang menimpa Sofia, menyadarkan diriku bila semua itu terjadi sebab kesalahan yang kubuat. Tak kusangka, walau aku dan Sofia sudah berpisah, tapi rupanya Violetta tak terima, saat kutuntut cerai dari dirinya.Dan kembali perempuan tersabar yang pernah kumiliki dalam hidupku yang menjadi korbannya.Satu kesalahan terbesar dalam hidupku saat mencoba bermain api bersama putri dari bos besar tempatku mencari nafkah.“Mas Arbi dewasa sekali. Aku nyaman sam mas Arbi.”Aku begitu terbuai saat mendengar kata-kata perempuan muda itu. sukses kedua orang tuanya ternyata membuat Violetta justru t