Namun baru dua suapan kuah bakso yang masuk ke tenggorokan Kirani, tiba-tiba pandangannya tertuju pada pria yang cukup ia kenal, jalan bergandengan tangan dengan seorang wanita bergaun pendek. Kedua pasangan itu juga memasuki warung tempat Kirani dan Fatma makan.
Lalu Pria itu juga nampak terkejut, saat melihat Kirani sedang duduk bersama seorang perempuan yang sedang duduk membelakangi pintu masuk.
Pria yang barusan masuk, adalah Johan, mantan suami Fatma yang menikah dengan Mira, kawan lama Fatma yang dulu masuk menjadi duri dalam rumah tangganya bersama Johan.
Seketika Johan terhenyak, saat melihat Kirani dan Fatma. Meski hanya melihat dari belakang saja, namun Johan yakin itu adalah Fatma. Wanita yang pernah menemaninya dalam suka dan duka hampir dua tahun lamanya, sebelum kehadiran kawan lama yang menusuknya dari belakang.
Kirani tahu benar cerita mereka, karna saat Fatma dan Johan sedang di ambang perceraian, Kirani sudah kembali pulang di desa tempat mereka tinggal sekarang. Mengalami nasib yang serupa, membuat Fatma jadi banyak curhat pada Kirani saat itu. Meski waktu itu, Kirani juga sedang sibuk membilas luka-luka hatinya yang berdarah, akibat pengkhianatan, namun Kirani akan duduk tenang mendengarkan curhatan Fatma yang penuh emosional.
Kirani tak memberi respon apapun pada Johan yang balik menatapnya. Ingin memberi respon apa, pada orang yang sudah berkhinat. Kirani biarkan dua manusia itu dnegan rasa malunya, ia juga tak memberi kode pada Fatman, bila mantan suaminta dan istrinya mudanya juga ada disini. Lalu bagaimana dengan Mira. Wanita kedua perebut suami sahabatnya itu, terlihat kikuk dan malu pada Kirani yang lebih tua darinya lima tahun. Ingin ia tersenyum pada Kirani, namun bibirnya kelu, melihat siapa yang makan bersama guru mengaji itu.
Tetiba rasa laparnya yang ingin makan mie ayam bakso, menguap begitu saja. Malah, andai tidak malu pada yang punya warung, ingin rasanya Mira pulang dan tak muncul-muncul di hadapan mantan istri, suaminya.
“Habisin cepat, Fat! Habis ini kita pulang, aku tadi belum sempat sapu teras,” pinta Kirani pada Fatma. Ucapan itu sebenarnya adalah kode juga buat Fatma, sebab Kirani melihat Johan dan Mira begitu salah tingkah.
“Belum sapu teras, atau nggak sabar lihat Sofia dan ayahnya?” canda Fatma pada Kirani. Wanita berlesung pipi ini, sungguh sangat ingin melihat Kirani dan ayahnya Sofia berjodoh.
“Apaan, sih, kamu Fat. Nggak enak didengar orang nanti, dikiranya aku, janda gatal,” Bisik Kirani pelan.
Namun kata-kata Kirani barusan malah membuat tawa Fatma meledak.
“Mana ada orang bilang begitu, yang ada mereka pada segan sama bunda Rani.”
Abdul Gani-ayah Sofia-, masih sepupu dua kali dengan Fatma dari ayahnya, sementara Hartini kawan mereka satu lagi, juga sepupu Gani dari pihak ibunya. Kedua kawan dan sepupu ini sangta kompak menjodohkan Kirani dan Gani.
Toh, Gani juga sudah duda, almarhum istrinya, meninggal saat Sofia berumur kira-kira tiga atau empat tahun. Sudah cukup lama Gani hidup menduda. Selama itu pula Fatma dan Hartini, tak pernah mendengar berita atau cerita miring tentang Gani dan perempuan. Pria duda itu lurus-lurus, saja hidupnya, meski karirnya sebagai karyawan salah satu BUMN di batas kota sana, bisa membuatnya mencari wanita mana saja yang ia inginkan, namun, Gani adalah pria yang tahu batasan dan etika.
Umur yang hampir empat puluh, malah membuat Gani, menepi sedikit dari hiruk pikuk Dunia. Ia takut terjerumus dalam dosa, sebab biasanya pria bila memasuki umur empat puluh tahun, sikap dan sifatnya akan kembali seperti usia dua puluh tahun. Pubernya pun demikian, kadang-kadang lebih parah saat usia dua puluh tahun.
Ini nyata, ada beberapa kawan kerja yang Gani lihat. Usia empat puluh tahun, namun beberapa kali terlihat menggandeng wanita muda yang bukan istrinya. Bukan Cuma satu dua kawannya yang seperti itu. namun ada beberapa.
Yang paling parah, malah ada yang nekat membawa selingkuhannya keluar kota, padahal di rumah anak-anaknya sudah besar-besar. Dan tentu saja bila sudah keluar kota, mereka akan bebas berbuat intim di kamar hotel. Astagfirullah.
“Syukurlah kalau gitu, aku takut saja, Fat.” Kirani masih berbisik. Wanita ini sempat mencuri pandang pada pasangan yang duduk di pojokan.
“Memangnya bunda Kirani, ini seperti janda-janda lain kah, bunda Kirani janda terhormat, bukan seperti janda yang sengaja merebut suami orang, apalagi merebut suami kawan sendiri,” tandas Fatma.
Sontak saja, Kirani sedikit khawatir mendengar ucapan Fatma yang nampak seperti sindiran pada mantan suaminya. Padahal Fatma hanya berkata apa adanya saja, bukan karna mengetahui keberadaan mantan suami dan mantan sahabatnya yang sudah menjadi suami istri, namun karna Fatman pernah merasakan pengkhianatan yang seperti itu.
“Duh, iya-iya, ayo habisin, habis itu kita bayar,” ucap Kirani lagi dengan pelan.
“Aku sudah selesai, biar aku yang bayar Ran, sekalian mau bungkusin satu buat si bumil Tini.”
“Ok, kita lewat depan rumahnya berarti sebentar.”
Kemudian Fatma berdiri dan menuju kasir sekaligus pemilik warung, namun tiba-tiba langkahnya terhenti sejenak, tak menyangka ia bisa melihat mantan suaminya dan kawan yang dulu membuatnya menjadi janda.
Sejenak, Fatma menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan dengan pelan. Lalu ia menguasai dirinya dan berjalan dengan kepala tegak ke arah kasir. Meski tadi netranya sempat bersirobok dengan kedua manusia yang pernah membodohinya di masa lalu, namun Fatma memutus kontak dengan cepat, malah tadi menatap jengah ke arah keduanya. Membuat Johan dan Mira semakin salah tingkah.
__
“Aduh, bagaimana ini,” Herda risau dan gelisha dari semalam. Danu yang tak biasanya marah lama-lama dan tak biasanya tak pulang, membuat Herda was-was juga. Meskipun rumah dan mobil sudah menjadi aset atas namanya, namun aib yang Danu beberkan semalam, cukup membuatnya khawatir. Tentu ia tak ingin nama baiknya tercoreng. Selama menjadi istri Danu, Herda senang menghadiri acara-acara kantor suaminya, bukan karna memang senang mendukung karir suami, namun untuk menujukkan, hidup sosialita yang ia punya. Meski istri-istri karyawan senior banyak yang enggan menyapa, sebab mereka tahu siapa dan bagaiman Herda dulu mendapatkan Danu.
“Aku harus menghubungi mas Danu, harus kubujuk!” gumam Herda, sudah gelisah sendiri.
Segera ia menekan kontak Danu di layar ponsel yang bergambar apel digigit, namun hingga panggilan ke tiga, deringan ponsel pria tak kunjung berbunyi.
Lalu ia semakin panik, saat panggilan masuk dari nomor tukang kredit, di ponsel mahalnya.
__
Kirana mematut diri di cermin. Ia nampak cantik dan elegan dengan gamis brokat warna biru laut dengan dilengkapi renda dan sedikit payet dibagian dada. Jilba warna biru yangs setingkat warnanya diatas warna bajunya semakin mempertegas kecantikan dan keayuan perempuan berkulit kuning langsat ini. Make up pun tak glamour, hanya riasan tipis, tadi Hartini yang datang mendadani wajah bulatnya. Ibu Hamil itu memang hobbi menonton cara makeup-makeup di yotube. Sementara kirani dan fatma lebih senang melihat acara masak-masak dan makan-makan.
Hari ini adalah pernikahan kedua Fatma. Meski pernikahan kedua, namun Firman, calon suaminya seorang single yang belum pernah menikah.
Kirani akan sibuk di pernikahan sahabatnya itu, sebab dirinya di daulat menjadi pengiring penagntin dan juga Kirani akan memperhatikan konsumsi untuk tamu-tamu yang akan hadir.
Segera tangan lentiknya menyambar tas hitam. Tas pesta murah, yang Kirani beli di pasar minggu. Meskipun murah, namun nampak cantik dan elegan. Lalu ia segera keluar saat Hartini dan suaminya sudah datang menjemput menggunakan roda empat yang mereka miliki.
__
Danu tidak asing dengan daerah ini. salah satu bawahannya, menikah dengan perempuan yang berasal dari desa yang sama dengan Kirani. Ia pun ingat, bila rumah Kirani sepertinya tak terlalu jauh dari sini. Danu di daulat untuk mengantar dan menjadi saksi pengantin. Para karyawan bersemangat mengiringi acara pengantin Firman. Karna dilakukan hari minggu, kewan kerja mereka juga ingin melihat air terjun yang katanya tak terlalu jauh dari rumah mempelai perempuan.
Hitung-hitung refreshing ini.
Danu hanya mengantar pengantin saja, namun entah mengapa, hatinya berdebar cukup cepat, bahkan kelopak mata sebelah kanannya ikut berkedut diiringi sehelai bulu mata yang jatuh di pipi berhiasakan cambang kasar itu.
Sebentar lagi akad nikah di mulai, Danu sudah duduk pada tempat yang sudah disediakan. semua sudah hadir termasuk penghulu dan mempelai laki-laki. Para tamu juga sudah banyak yang hadir. Rekan kerja mereka saja tadi ada sekitar lima mobil.
Rasanya syahdu di pernikahan kedua Fatma ini, bukan hanya karna pujia-pujian ilahi yang terdengar dari sound system namun juga mendung tipis yang menggelayut di langit biru, membuat cuaca terasa sejuk.
Sesekali Danu menoleh kiri, kanan dan ke belakang, berharap ada seseorang yang membuat debaran di jantungnya hadir di pesta ini.
“Mempelai wanita memasuki ruangan akad nikah.” Begitu aba-aba yang terdengar dari seorang MC perempuan berhijab yang di daulat memandu jalannya pernikahan Fatma dan Firman hari ini.
Danu kemudian berbalik, menatap ke arah yang sama dimana mempelai perempuan akan datang.
Dan…
“Masya Allah,” Danu menggumam lirih. Debaran di dadanya semakin menggila. Mungkin wajahnya pun sudah memerah, demi melihat wanita bergamis biru yang menuntun sang mempelai wanita dengan khidmat.
Kirani menatap lurus kedepan. Senyum tipis terkadang ia sunggingkan di bibir tipisnya. Sesekali ia memperhatikan penampilan Fatma yang tampak cantik manglingi, dengan kebaya pengantin warna putih. Kemudian ia bergeser sedikit kebelakang duduk tepat di samping ibu sang mempelai. Disebelah kanan Bu Minah, ada Hartini yang duduk dengan gamis biru senada dengan Kirani, hanya saja warna gamis Hartini sedikit lebih tua dari gamis yang digunakan Kirani.Hartini yang sudah hamil tua itu, malah menggeser duduknya ke samping Kirani. Selain di samping Kirani ada kipas angin yang berputar juga karna Hartini tak menyangka bila pria yang menjadi saksi pernikahan Fatma dan Firman dalah Danu. Mantan suami Kirani.Jiwa kepo Hartini pun meronta-ronta. Hartini yang memang ceplas ceplos dari kedua rekannya ini tak tahan untuk tak kepo pada Kirani tentang kehadiran mantan suaminya di acara pernikahan ini. Tumpukan pertanyaan sudah menggunung di kepala wanita berumur tiga puluh empat tahun ini.Bukan hany
Setelah selesai mengisikan nasi dan lauk untuk Sofia, Kirani bersiap untuk mengajak anak itu mencari kursi yang tak jauh dari meja prasmanan. Namun saat dirinya berbalik, hampir saja ia menabrak dada bidang seseorang pria. Pria itu memang sengaja berdiri tepat di belakang Kirani tadi, ia tak tahan untuk mengajak wanita ini berbicara. walau hanya sekadar bertanya kabar.Namun insiden yang terjadi barusan, membuat angan Kirani sedikit melayang. Meski tahun-tahun telah berlalu, namun aroma mint bercampur sandalwood dari salah satu merk parfum ternama, masih jelas di indra penciuman Kirani. Aroma ini dulu yang membuat angannya melayang. Aroma ini dulu yang akan menyatu dengan aroma vanila musk yang menguar dari tubuhnya di malam-malam hangat yang penuh cinta. Aroma ini ini mengingatkannya pada…“Saya juga lapar, Bunda!” suara berat itu menginterupsi lamunan angan Kirani. Suara itu, aroma parfum ini, adalah milik orang yang sama. Orang yang delapan tahun lalu mendekapnya penuh hangat juga
“Ran,”“Makan dulu, Mas!” bergetar suara Kirani.“Aku kangen sama, kamu.” Ia tatap wajah yang sudah sedikit memerah itu.“Aku nggak, Mas!”Namun senyum tiba-tiba terbit di wajah Danu. Senyum yang rasanya sudah lama tak menghiasi wajah berhiaskan brewok kasar yang selalu tercukur rapi.“Kirani!” Danu sudah melanggar batasannya. Ia genggam erat jemari yang sedikit bergetar itu. bahkan piring yang di pegang tangan kiri Kirani juga nampak bergetar.“Mas, lepas!” Kirani mendongak, netranya memerah, sungguh ia tak ingin orang lain melihatnya terlalu dekat dengan Danu. Danu ini sekarang suami perempuan lain.Danu rasanya hampir kehilangan kontrol. Melihat mantan wanita hampir menangis, ingin rasanya Danu mendekapnya dalam pelukan. Sebab luka itu masih jelas terlihat. Luka yang membayangi jelaga kelam itu.Kemudian Danu meremas sedikit kuat jemari yang tak terlalu halus itu, mengalirkan untaian rindunya yang hampir buncah.“Mas, lepas.” Cicit suara Kirani. Benar-benar ingin menangis rasanya.
Hampir seminggu ini, Danu tidur berganti-ganti tempat. Ada dua hari di rumah ibunya, dan sisanya ia habiskan di salah satu apartemen miliknya. Apartemen yang dulu ia cicil atas nama Kirani. Meski tak besar, namun di apartemen ini dulu dirinya kerap menghabiskan waktu memadu kasih bersama Kirani.“Mas, bosan di rumah, kita malam minggu di apartemen!” ajak Danu suatu sore pada Kirani yang baru saja selesai keramas.“Tapi langsung tidur ya, aku pegel, Mas.” keluh Kirani manja.“Iya,” sahut Danu tak janji.Apartemen minimalis, type studio. Yang mampu di cicil Danu saat itu. meski tak besar, dan sangat minimalis, namun disinilah keintiman antar dirinya dan Kirani benar-benar dekat. Semua gerak gerik yang Kirani lakukan dapat Danu pantau. Semua, apa saja yang Danu ingin lihat dari wanitanya di masa lalu.Dan seperti biasa keinginan Kirani untuk tidur saja di apartemen itu, tak pernah terjadi. Makan bersama, tidur bersama hingga mandi bersama, semua Danu tuntut pada Kirani di awal-awal perni
Herda menangis histeris!Dengan linangan air mata ia berlutut sambil memeluk kedua kaki Danu yang baru saja mengucap ikrar talak di hadapannya dengan disaksikan kedua orang tua Herda juga Firman yang dipanggil oleh Danu untuk menemani dirinya.Firman pun sudah tahu kisah lama yang pernah terjalin antara atasannya ini dengan Kirani, kawan istrinya.Cerita itu didengar dari istrinya juga diceritakan langsung oleh Danu. Saat jam makan siang kemarin.Kisah yang cukup rumit menurut Firman, namun itulah kenyataan yang ada. Kawan istrinya yang Firman panggil dengans ebutan mbak Kirani merupakan mantan istri dari atasannya. Sementara istri atasannya sekarang adalah mantan sekretaris kawan atasannya, yang ternyata melahirkan anak yang bukan anak atasannya.Duh, memikirkan itu Firman jadi pusing sendiri. Kadang-kadang apa yang dilihat orang lain dari luar belum tentu sama dengan dalamnya. Sepertia atasannya ini. Dari luar nampak berwibawa, keluarganya harmonis, punya harta yang cukup, hidupnya
Mungkin cinta dulu adaNamun luka kerap mengejekJejakkan sakit yang piluMembawa masa lalu yang membayangiKirani kemudian menyalami mantan suaminya setelah menyalami mantan mertuanya dengan takzim.Ini pertama kalinya lagi Kirani bertemu bu Maryam, sejak perceraian yang ia tuntut pada putra mantan mertuanya itu, hanya sekali dulu mereka bertemu. Di awal-awal saat Kirani pertama kali pulang ke rumah ibunya. Seminggu kemudian bu Maryam datang, menangis dan memohon maaf pada Kirani dan ibunya. Beliau memohonkan maaf untuk khilaf yang Danu lakukan.Bukan hanya bu Maryam yang menangis, tapi juga Kirani. Tiga tahun menjadi menantu bu Maryam, cukup membuat wanita paruh baya itu merasa memiliki seorang putri. Sikap sopan dan santun yang Kirani miliki membuat bu Maryam benar-benar menyayangi Kirani, layaknya putri sendiri.Saking kecewanya bu Maryam atas perselingkuhan yang putranya lakukan, membuat ibu ini mendiamkan putranya berbulan-bulan lamanya. Bahkan saat Danu melaksanakan pernikahan
Danu menatap tak suka pada lelaki yang baru turun dari mobil Avanza hitam yang baru saja berhenti di depan rumah Kirani.Danu ingat, lelaki yang baru saja turun bersama anak perempuannya, adalah lelaki yang sama di pesta penikahan Firman dan kawan Kirani. Lelaki dan anak perempuannya yang nampak memberi perhatian pada Kirani.Cemburu.Tiba-tiba saja rasa itu datang mengejek di kepala Danu yang rambutnya hampir kuyup. Pantaskah?Sedang Kirani bukan lagi siapa-siapanya. Kirani hanyalah wanita pertama yang ia cintai juga wanita pertama yang ia sakiti.Sesal semakin mendera. Bukan hanya pada Danu, namun juga pada bu Maryam yang begitu berharap bermenantukan Kirani kembali.Namun bila Kirani memilih keputusannya sendiri. Anak dan ibu itu tak punya kuasa mengatur keinginan Kirani. Seperti dulu mereka tak kuasa menahan Kirani untuk tetap tinggal.Ini masalah hati dan perasaan. Boleh saja Kirani tersenyum pada mereka, menyambut keduanya dengan baik namun siapa yang tahu sisa luka dalam hati y
Danu bersikeras untuk mengantarkan Kirani kerumah Sofia, namun wanit ini juga gigih menolak. Kirani tak ingin jadi perbincangan orang kampung. Sebab sudah pasti akan jadi bahan perbincangan jika dirinya diantara mobil ke rumah murid ngajinya itu. Tentu tetanggan akan bertanya-tanya, siapa gerangan yang mengantar janda yang hidupnya sendiri seperti Kirani.Lagi pula banyak orang kampung situ yang mengenal Danu, terutama orang-orang yang dulu dekat pada mantan mertuanya. Meski dulu jarang ke desa ini, namun sebagian dari mereka tetap mengenal Danu. Lagian tak eis rasanya. Meskipun ada bu Maryam, namun Kirani tak enak saja.Sukuplah tadi Kirani malu saat Danu menyadari bila baju yang dipinjamkan pada Danu adalah baju lelaki itu yang sengaja Kirani bawa dulu.Dan teledornya Kirani, baju basah Danu tadi lupa dikasi. Masih tertinggal di dalam kamar mandi harusnya tak ketinggalan, sebab pria itu bisa datang lagi, dengan alasan mengambil baju.Gemuruh lebat tadi sudah berganti dengan gerimis
Waktu berjalan begitu pantas dan berlalu tanpa bisa dihentikan. Masa-masa derita, sakit hati, kecewa dan air mata kini berganti tawa bahagia. Meski luka itu tetap meninggalkan bekasnya. Namun duka itu sebisa mungkin tak diingat-ingat lagi oleh Sofia dan Arbi. Pun dengan Kirani yang sudah terlebih dahulu memaafka luka masa lalu yang dulu membuatnya menangis kecewa. “Nenek sudah makan?” Davka yang sudah kelas lima SD menghampiri Kirani yang terlihat sedang menjahit sebuah jaket berwarna coklat tua. “Sudah, tadi ibumu sudah bawakan nenek ubi jalar rebus. Nenek sudah dua hari tak makan nasi, ibumu yang melarang.” “Karna mama bilang, gula darah nenek tinggi lagi!” Davka memperhatikan jaket coklat yang sering digunakan neneknya akhir-akhir ini. Terlihat ada tiga bekas jahitan pada baju hangat itu. “Nenek, kayanya suka sekali dengan jaket kakek ini?” “Ya, suka sekali. Kakekmu itu baik dan sangat sayang pada nenek.” Bukan sekali dua kali Kirani menceritakan tentang Gani pada cucu mere
“Kok, begitu liatnya, Mas?” Kening lebat Sofia berkedut heran, melihat Arbi menatapnya seolah tak berkedip. Baju dinas belum sempat Sofia lepas, bahkan rambut panjangnya hanya dicepol asal. Sofia sedikit terlambat pulang, siang ini. Membuatnya harus terburu mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Ia ingat suaminya pasti belum makan siang. Tinggal di desa seperti ini, tak seperti di kota, bila lapar bisa lari ke warung makan yang bertebaran dimana-dimana. Di sini, belum banyak yang menjual makanan masak. Hanya ada bakso, ayam crispy dan jajanan cilok dan sejenisnya. Penampilan berantakan itu malah membuat Sofia semakin terlihat cantik. Wajahnya terlihat bersinar. Bisa jadi karna efek KB juga. Sofia tak ingin kecolongan. Setelah memastikan dirinya tak hamil, segera saja ia meminta suntik KB satu bulan. Mungkin Kbnya cocok di tubuh Sofia. Ia tak merasa pusing atau keluhan lainnya. Lagian masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya masih takut untuk memberi adik lagi pada Davka. Arbi me
“Fia,”“Y-ya, Mas!”Rasanya begitu gugup. Bukan hanya Sofia, tapi juga Arbi. Benar-benar canggung. Bahkan debaran itu semakin menggila saat Arbi melihat lagi rambut sebahu istrinya yang begitu indah. Bertahun-tahun baru ia melihat mahkota legam itu lagi. Ditambah dengan Sofia yang masih menggunakan baju mandi saja, membuat Arbi semakin, ah ...Tak jadi masuk, Arbi malah keluar lagi, mengganti lampu di ruang TV dengan yang lebih redup.“Huf! Selamat,” batin Sofia.Namun ...“Lho kok dimatiin lampunya, Mas?”Arbi masuk lagi, mematikan lampu kamar. Namun pintu kamar ia buka sedikit agar tetap bisa mengawasi Davka yang sedang tertidur di depan. Ingin tidur di kamar ini juga tak bisa, sebab kasurnya hanya muat untuk dua orang. Memang malam ini mereka harus tidur bertiga di depan tv. Namun, Arbi ada keinginan sendiri yang tak bisa ditunda. Melihat penampilan Sofia tadi membuatnya seketika on fire.“Mas kangen banget sama, kamu!”Arbi mendekat, bahkan langsung memeluk. Mendekap tubuh itu d
Sofia tergugu dalam isak tangisnya. Ini bukan tangis kesedihan lagi. Namun ini tangis keikhlasan. Keikhlasan yang membawanya kembali pada jodoh pertamanya.Ingin sekali rasanya Arbi memeluk tubuh terguncang itu, tapi disini ada bunda Kiran, dan tentu Sofia tak ingin disentuh terlalu jauh, sebab keduanya belum menjadi muhrim lagi.Antara bahagia dan sedih, juga rasa khawatir menyatu, mengepung benak perempuan tiga puluh tiga tahun ini. “Mama, maukah mama maafkan papa, biar papa bisa bobo sama kita disini?”Davka berdiri dengan sebuah kotak cincin sederhana di belakang Sofia yang sedang mengusap air mata yang tak ingin berhenti.Pertanyaan yang sudah diajarkan Arbi berulang kali tadi pada sang putra sebelum mereka masuk ke dapur menemui Sofia yang sedang menghapus air matanya yang tak ingin berhenti.Pernyataan Arbi tadi bila akan menikah, membuat hatinya nelangsa dan semakin hilang separuh rasanya.“Eh, Avka. Apa itu, Nak? Kembalikan sama papa.” Jujur hati Sofia sedikit tercubit, meli
Arbi yang dulu selingkuh, Arbi pula yang merasa kecewa. Keputusan Sofia yang belum ingin membuka hatinya kembali, cukup membuat Arbi merasa kecewa, sekaligus takut. Mengapa kecewa?Sebab Arbi merasa Sofia bukan hanya sedang menghukum dirinya, tapi juga sedang menghukum Davka yang begitu ingin melihat mama papanya tinggal serumah.“Kamu nggak, kasihan sama Davka, kah?”“Nanti pasti akan mengerti, Mas.”Sofia selalu yakin bila suatu hari Davka akan mengerti tentang kondisi orang tuanya yang tak sudah tak bersama. Kelak pun akan diceritakannya pada putranya itu bila, papa mamanya sudah berpisah sebelum dirinya dilahirkan.“Kok, papa nggak pernah bobo sama kita, Ma?” Pertanyaan polos seperti itu bukan satu dua kali meluncur dari bocah tampan berhidung mangir mirip ayahnya. Namun Sofia menguatkan hati, selalu mencari jawaban yang tepat, agar sang putra tak merasa sedih.“Papa kan, kerja, Nak. Jadi tidak bisa tinggal disini.”“Papanya Nanda juga kerja, tapi selalu diantar ngaji sama papa m
Masa sudah berlalu. Siang dan malam berkejaran laksana busur panah yang tak bisa dihentikan. Musim penghujan pun berganti dengan kemarau yang cukup panjang. Violetta menatap jauh kebawah sana. Pemadangan hijau nan asri begitu menyejukkan mata. Ia berdiri di balkon villa milik ibunya. Membelakangi Adam yang tampak begitu berharap padanya.“Mengapa menutup diri terlalu kuat, Vio. Apa tak ada cinta sedikit pun di hatimu untuk aku?”“Rasa mungkin bisa dipupuk kembali, Mas. tapi restu yang utama, kan? aku ini janda dan punya masa lalu yang cukup buruk. Menikah tanpa restu sudah pernah kurasakan. Dan akhirnya begitu sakit.”Violetta tersenyum kecut. Perasaannya untuk Arbi belum hilang sepenuhnya. Bukan hanya perasaan cinta, tapi juga ada dendam yang masih belum tuntas. Violetta cukup terharu, melihat kesungguhan di mata Adam. Namun Violetta juga tahu, jalannya bersama lelaki ini tidak akan semudah keinginan pria bermata tajam ini. Violetta mendekat mengelus cambang kasar yang tumbuh di s
“Ya Allah, ya Allah!”Habis sudah bangunan dan isi ruko tempat Arbi menjalankan usahanya sehari-hari selama ini. usaha yang awalnya dirintis oleh ayahnya, setelah rujuk kembali bersama ibunya. Kini ludes terbakar. Semen, cat tembok, pipa dan bahan bangunan lainnya ikut terbakar. Mungkin paku dan bahan lainnya yang terbuat dari besi atau aluminium, tidak ikut terbakar tapi tentu sudah tak bisa di jual lagi.Dua buah mobil pemadam kebaran datang membantu berusaha memadamkan api. Sebab api yang makin besar, membuat warga yang tadi ikut membantu memdamkan api, sekarang tak berani mendekat.Arbi menangis! netranya memerah. Perasaannya semakin kacau. Entah. Apa ini hari pembalasan untuk Arbi mulai dari pagi tadi, rasanya tak ada satupun urusannya yang beres.Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain memandangi api yang melalap habis bangunan di depan matanya.Kehebohan bukan hanya terjadi di sini. Tapi juga tadi di rumah papa Gani. Sebab kabar kebakaran itu diterima Arbi saat ia duduk seba
Pov. Author__Arbi begitu susah payah menelan makanan enak yang ada diatas piringnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Laksana ada duri yang tumbuh pada batang lehernya. Bahkan beberapa kali dia harus menelan air mineral yang tersedia di depannya. Bahkan Davka yang duduk di pangkuannya dan menanyakan banyak hal, tak terlalu digubrisnya. Fokusnya lebih banyak pada Sofia yang nampak begitu cantik hari ini. gamis biru muda dengan potongan brokat di bagian dada dan lengan berpadu dengan jilbab warna senada dan make up tipis di wajahnya. Semakin mempertegas kecantikan mantan istrinya.Di depan sana, Sofia nampak duduk di samping seorang gadis berhijab yang mengenakan kebaya brokat warna kuning gading. Di samping gadis itu ada Keenan yang menggunakan kemeja batik dan celana kain warna hitam.Sofia dan Keenan, meski lahir dari ibu yang berbeda, namun garis wajah keduanya cukup mirip. Sama-sama beralis tebal dan berhidung bangir.Rasanya separuh sukma Arbi hilang tadi, saat remaja ya
Pov Arbi__Sengaja kudatangi penjara tempat Adam ditahan. Dari awal aku memang sedikit tak percaya saat mendengar pengakuan dirinya bila ia sudah mengintai dan merencanakan untuk mencelakai Sofia.Jika dibandingkan dengan Adam, mungkin aku jauh lebih pengecut dan brengsek dibanding dirinya. Lihatlah, bagaimana ia berusaha melindungi Violetta saat perempuan itu masih menjadi istriku.Peristiwa kecelakaan yang menimpa Sofia, menyadarkan diriku bila semua itu terjadi sebab kesalahan yang kubuat. Tak kusangka, walau aku dan Sofia sudah berpisah, tapi rupanya Violetta tak terima, saat kutuntut cerai dari dirinya.Dan kembali perempuan tersabar yang pernah kumiliki dalam hidupku yang menjadi korbannya.Satu kesalahan terbesar dalam hidupku saat mencoba bermain api bersama putri dari bos besar tempatku mencari nafkah.“Mas Arbi dewasa sekali. Aku nyaman sam mas Arbi.”Aku begitu terbuai saat mendengar kata-kata perempuan muda itu. sukses kedua orang tuanya ternyata membuat Violetta justru t