"Nyetir mobil itu, pandangan harus fokus kedepan melihat jalan. Bukan fokus lihat kesamping ..." ujar Rissa dengan senyum jahil.Bagas meringis, wajahnya langsung terasa hangat. Menyadari, Rissa tengah menggodanya."Iya, kan?" Rissa menyipitkan mata.Bagas meringis, menganggukkan kepala."Ayok jalan lagi." Rissa menegakkan badan. "Dan ... hati-hati pastinya," sambung Rissa.Bagas terkekeh, tersipu malu lalu kembali menghidupkan kendaraan dan melajukannya.Memasuki area parkir, Rissa langsung turun dari mobil saat Bagas mematikan mesin kendaraan. Rissa meregangkan otot tangan, seluruh tubuhnya benar-benar pegal."Mau kemana dulu? Makan?" tanya Bagas."Kelantai atas saja, disana ada tempat pijat refleksi, ada terapi ikan juga. Semoga masih ada ya, terakhir aku kesitu sekitar 2 atau 3 bulan yang lalu." jawab Rissa seraya tersenyum lalu jalan mendahului Bagas.Bagas mengedarkan pandangan, Mall besar dengan 5 lantai yang ada di kotanya begitu megah. Sibuknya mengurus pekerjaan membuatnya t
"Eh, hampir lupa." Hella yang sudah setengah jalan menuju ruang tamu, kembali kedapur lalu menaburkan bubuk putih diatas minuman Jaya."Nah, gini kan enak. Tidak berisik," gumam Hella dengan senyum mengembang. Tubuhnya menegak, dengan langkah gemulai berjalan menuju ruang tamu."Di minum, Mas." Hella menaruh gelas teh diatas meja. Jaya hanya mengangguk, fikiran yang masih kalut membuatnya tidak berselera untuk melakukan apapun."Kenapa sih, Mas. Kok lesu gitu mukanya." Hella mengambil posisi disamping, Jaya."Tidak apa-apa," sahut Jaya sambil menggelengkan kepala."Mau aku pijitin?" tanya Hella. Jaya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala.Entah mengapa, Jaya sedikit enggan berdekatan dengan Hella. Biasanya, Jaya paling senang jika dapat pijitan dari istri mudanya.Irfan yang melihat memasang wajah masam, lalu mengalihkan pandangan."Eh, mau kemana?" tanya Hella saat Jaya bangkit dari sofa."Mandi." jawab Jaya singkat.Hella celingukan, setelah memastikan Jaya memasuki toilet, tub
Jaya berdiri kaku, menatap canggung kearah Hanum."Hhhh ...."Hanum menatap malas, lalu duduk bersebrangan didepan Jaya. Hanum terdiam seribu bahasa, hati sudah bergemuruh, namun mencoba untuk tetap tenang."Sabar ... jangan sampai darah tinggi ini kumat melihat mukanya!" rutuk Hanum dalam hati."Kabarmu, gimana Buk?" ucap Jaya kemudian, setelah beberapa menit dalam kecanggungan.Hanum melirik sekilas, lalu membuang pandangan. Ika dan Wisnu, yang ada diruang yang sama hanya berdiri tegak, dengan wajah menegang."Ada perlu apa kesini, cepat bicara, aku masih banyak kerjaan!" ketus Hanum dengan tatapan sengit.Jaya meringis, bernafas panjang. Rasanya sangat gugup, berhadapan dengan istri sendiri."Kalau cuma diam. Lebih baik kau pulang saja kerumah istri mudamu. Tempatmu bukan disini lagi!" Hanum mulai meninggikan suara.Hati Jaya bergetar, ditatapnya wajah Hanum yang sangat ketus tak bersahabat."I-tu, aku kangen sama, Bayu ..." ujar Jaya kemudian, rentetan kata-kata yang sejak tadi di
Irfan bergeming, lalu mengangguk tanda setuju."Pintar juga kamu, sayang ..." puji Irfan, pada pasangan me-sumnya.Hella tersenyum miring, menarik tangan Irfan masuk ke dalam rumah. Mata mereka beradu pandang, sejurus kemudian mereka langsung berpagut dengan liar penuh gairah."Hhh ..." Hella melepas diri, mengatur nafas yang terlihat memburu."Jangan sekarang. Nanti si bandot itu lihat." ujar Hella dengan mata menyorot kearah kamar yang didalamnya ada, Jaya."Untuk sementara, aku tidak bisa memberinya obat tidur. Bandot itu, mungkin saja lemas karna terlalu sering menelan obat itu." sambung Hella dengan suara berbisik. Irfan menghela nafas, lalu mengangguk pelan.Hella memasuki kamar dengan segelas air di tangannya. Jaya masih terbaring diatas ranjang, dengan mata terpejam."Jangan mati dulu ya, Mas. Pesangonmu belum turun." ujar Hella dalam hati."Mas ..." dengan gerakan pelan, Hella menaruh gelas di atas nakas. "Ayok, minum obat dulu. Nanti tidur lagi." sambungnya sambil menggunca
Senyum Jaya mengembang. Dengan semangat empat lima, dia melangkah lebar kearah pintu kamar, tak sabar ingin memberi hadiah istimewa pada, Hella."La ..." Jaya bersuara, tanpa ragu mendorong pintu kamar yang tidak terkunci.Prakk!Kotak kecil perhiasan terlepas begitu saja, Jaya mematung dengan dada bergemuruh hebat melihat pemandangan dihadapannya.Dunia seakan berhenti berputar, hati bagai tertimpa godam meluluh lantakan jiwa dan perasaan.Nafas Jaya mulai tersendat-sendat, Jaya memegangi dada yang terasa ngilu dan terbakar.Sementara dua manusia tanpa urat malu itu, masih mendengkur kelelahan sambil memeluk satu sama lain.Selimut yang tidak menutupi seluruh badan, membuat tubuh polos keduanya terlihat. Membuat kepala Jaya berputar berdentum-dentum.Jaya mengerang kalut, lutut yang bergetar hebat membuat langkahnya tertatih menuju ranjang.Brak!!Tak sanggup kaki melangkah, Jaya jatuh terduduk di atas lantai dengan air mata mengucur deras. Sakit hatinya begitu hebat, bayangan wajah
Sigap, Ika membantu Jaya beringsut bangun, memegangi tangan, Bapaknya. "Ka ..." suara Jaya tercekat, saat menyadari sebelah anggota tubuhnya tidak dapat di gerakan."Kenapa, Pak? Ayok, pelan-pelan saja." ujar Ika sambil mengeratkan tangan, membangunkan tubuh, Jaya."Ka ..." Jaya menatap nanar, bibirnya bergetar dengan wajah ketakutan."Kenapa, Pak?" Ika mendekatkan wajah, menelisik Jaya."Ta-ngan ..." Jaya menatap nanar wajah, Ika. "Tangan kanan, Bapak tidak bisa di gerakkan." sambung Jaya, dengan nafas tersendat.Ika bergeming mencerna kata-kata, Bapaknya. Lalu beradu pandang oleh Bidan."Ya Alloh, Buk. Ini kenapa, Bapak saya?" ujar Ika panik, saat melihat Jaya semakin meringis dengan wajah cemas."To-long, Ka. Kaki, Bapak juga tidak bisa di gerakan." cicit Jaya dengan wajah menyedihkan.Hanum langsung mendekat, menatap cemas keadaan mantan suaminya."Buk, Bapak kenapa?" cecar Ika, pada Bidan.Bidan Devi memasang stetoskop di telinga, lalu mengarahkan pada dada, Jaya."Sakit tidak,
"Dasar tua bangka. Kau sembunyikan dimana suamiku, hah!" cecar Hella sambil menerobos masuk ke dalam rumah.Hella begitu murka, di tambah saat melihat gelang emas yang berukuran lumayan besar melingkar di lengan Hanum.Pikiran sudah menerka-nerka, Hanum sudah merayu Jaya dan merampok uang pesangon.Hanum yang mendapat serangan tak terduga, membelalakan mata. Detak jantung terpompa lebih cepat saat menyadari rupa perempuan yang memasuki rumahnya tanpa permisi."Mana, hah!" Hella berkacak pinggang dengan mata melirik ke kiri dan kanan.Hanum menarik nafas panjang, menormalkan detak jantung sebelum mengeluarkan suara."Dasar jalang!" desis Hanum dengan rahang terkantup. "Kau pikir disini tempat penampungan suami orang!""Halahh ... ngeles saja! Tuh di luar. Itu motor suamiku!" sengit Hella."Dasar jalang tidak punya adab! Masuk tanpa permisi, menuduh orang pula. Nyari masalah kau rupanya!" gentak Hanum tak mau kalah, kedua tangannya bergantian menggulung dastar berlengan panjang."Keluar
Jaya tertegun, air mata mengalir deras seirama dengan pintu yang perlahan tertutup.Tercenung seorang diri, hawa sunyi langsung hinggap di sanubari. Tak ada satu pun keluarga yang menjenguk, membuat Jaya semakin nelangsa.Andai, Hanum masih disisinya. Sudah pasti, Hanum akan melayani dan menemani sepenuh hati.Nasi sudah menjadi bubur, walau diratap sepilu apapun semua takkan berubah."Ya A-lloh ..." lirih Jaya pilu, dengan bibir yang sulit bergerak dan miring sebelah.***Ofd.Sesampainya dirumah, setelah membersihkan badan, Ika langsung menghampiri Hanum. Sorotnya nanar melihat, Hanum yang duduk terpaku menghadap jendela dengan Bayu di dalam pangkuan.Ika mendesah lelah, menduga sesuatu yang buruk sudah dialami sang, Ibu."Buk ..." tidak ada sahutan, hanya ada helaan nafas panjang dari mulut Hanum."Taruh saja, Bayu di kasur. Ibu istirahat saja." ujar Ika, sambil meraih Bayu dari pangkuan Hanum lalu menaruhnya di atas ranjang.Mengedarkan pandangan, banyak pakaian yang berserak di at