"Eh, hampir lupa." Hella yang sudah setengah jalan menuju ruang tamu, kembali kedapur lalu menaburkan bubuk putih diatas minuman Jaya."Nah, gini kan enak. Tidak berisik," gumam Hella dengan senyum mengembang. Tubuhnya menegak, dengan langkah gemulai berjalan menuju ruang tamu."Di minum, Mas." Hella menaruh gelas teh diatas meja. Jaya hanya mengangguk, fikiran yang masih kalut membuatnya tidak berselera untuk melakukan apapun."Kenapa sih, Mas. Kok lesu gitu mukanya." Hella mengambil posisi disamping, Jaya."Tidak apa-apa," sahut Jaya sambil menggelengkan kepala."Mau aku pijitin?" tanya Hella. Jaya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala.Entah mengapa, Jaya sedikit enggan berdekatan dengan Hella. Biasanya, Jaya paling senang jika dapat pijitan dari istri mudanya.Irfan yang melihat memasang wajah masam, lalu mengalihkan pandangan."Eh, mau kemana?" tanya Hella saat Jaya bangkit dari sofa."Mandi." jawab Jaya singkat.Hella celingukan, setelah memastikan Jaya memasuki toilet, tub
Jaya berdiri kaku, menatap canggung kearah Hanum."Hhhh ...."Hanum menatap malas, lalu duduk bersebrangan didepan Jaya. Hanum terdiam seribu bahasa, hati sudah bergemuruh, namun mencoba untuk tetap tenang."Sabar ... jangan sampai darah tinggi ini kumat melihat mukanya!" rutuk Hanum dalam hati."Kabarmu, gimana Buk?" ucap Jaya kemudian, setelah beberapa menit dalam kecanggungan.Hanum melirik sekilas, lalu membuang pandangan. Ika dan Wisnu, yang ada diruang yang sama hanya berdiri tegak, dengan wajah menegang."Ada perlu apa kesini, cepat bicara, aku masih banyak kerjaan!" ketus Hanum dengan tatapan sengit.Jaya meringis, bernafas panjang. Rasanya sangat gugup, berhadapan dengan istri sendiri."Kalau cuma diam. Lebih baik kau pulang saja kerumah istri mudamu. Tempatmu bukan disini lagi!" Hanum mulai meninggikan suara.Hati Jaya bergetar, ditatapnya wajah Hanum yang sangat ketus tak bersahabat."I-tu, aku kangen sama, Bayu ..." ujar Jaya kemudian, rentetan kata-kata yang sejak tadi di
Irfan bergeming, lalu mengangguk tanda setuju."Pintar juga kamu, sayang ..." puji Irfan, pada pasangan me-sumnya.Hella tersenyum miring, menarik tangan Irfan masuk ke dalam rumah. Mata mereka beradu pandang, sejurus kemudian mereka langsung berpagut dengan liar penuh gairah."Hhh ..." Hella melepas diri, mengatur nafas yang terlihat memburu."Jangan sekarang. Nanti si bandot itu lihat." ujar Hella dengan mata menyorot kearah kamar yang didalamnya ada, Jaya."Untuk sementara, aku tidak bisa memberinya obat tidur. Bandot itu, mungkin saja lemas karna terlalu sering menelan obat itu." sambung Hella dengan suara berbisik. Irfan menghela nafas, lalu mengangguk pelan.Hella memasuki kamar dengan segelas air di tangannya. Jaya masih terbaring diatas ranjang, dengan mata terpejam."Jangan mati dulu ya, Mas. Pesangonmu belum turun." ujar Hella dalam hati."Mas ..." dengan gerakan pelan, Hella menaruh gelas di atas nakas. "Ayok, minum obat dulu. Nanti tidur lagi." sambungnya sambil menggunca
Senyum Jaya mengembang. Dengan semangat empat lima, dia melangkah lebar kearah pintu kamar, tak sabar ingin memberi hadiah istimewa pada, Hella."La ..." Jaya bersuara, tanpa ragu mendorong pintu kamar yang tidak terkunci.Prakk!Kotak kecil perhiasan terlepas begitu saja, Jaya mematung dengan dada bergemuruh hebat melihat pemandangan dihadapannya.Dunia seakan berhenti berputar, hati bagai tertimpa godam meluluh lantakan jiwa dan perasaan.Nafas Jaya mulai tersendat-sendat, Jaya memegangi dada yang terasa ngilu dan terbakar.Sementara dua manusia tanpa urat malu itu, masih mendengkur kelelahan sambil memeluk satu sama lain.Selimut yang tidak menutupi seluruh badan, membuat tubuh polos keduanya terlihat. Membuat kepala Jaya berputar berdentum-dentum.Jaya mengerang kalut, lutut yang bergetar hebat membuat langkahnya tertatih menuju ranjang.Brak!!Tak sanggup kaki melangkah, Jaya jatuh terduduk di atas lantai dengan air mata mengucur deras. Sakit hatinya begitu hebat, bayangan wajah
Sigap, Ika membantu Jaya beringsut bangun, memegangi tangan, Bapaknya. "Ka ..." suara Jaya tercekat, saat menyadari sebelah anggota tubuhnya tidak dapat di gerakan."Kenapa, Pak? Ayok, pelan-pelan saja." ujar Ika sambil mengeratkan tangan, membangunkan tubuh, Jaya."Ka ..." Jaya menatap nanar, bibirnya bergetar dengan wajah ketakutan."Kenapa, Pak?" Ika mendekatkan wajah, menelisik Jaya."Ta-ngan ..." Jaya menatap nanar wajah, Ika. "Tangan kanan, Bapak tidak bisa di gerakkan." sambung Jaya, dengan nafas tersendat.Ika bergeming mencerna kata-kata, Bapaknya. Lalu beradu pandang oleh Bidan."Ya Alloh, Buk. Ini kenapa, Bapak saya?" ujar Ika panik, saat melihat Jaya semakin meringis dengan wajah cemas."To-long, Ka. Kaki, Bapak juga tidak bisa di gerakan." cicit Jaya dengan wajah menyedihkan.Hanum langsung mendekat, menatap cemas keadaan mantan suaminya."Buk, Bapak kenapa?" cecar Ika, pada Bidan.Bidan Devi memasang stetoskop di telinga, lalu mengarahkan pada dada, Jaya."Sakit tidak,
"Dasar tua bangka. Kau sembunyikan dimana suamiku, hah!" cecar Hella sambil menerobos masuk ke dalam rumah.Hella begitu murka, di tambah saat melihat gelang emas yang berukuran lumayan besar melingkar di lengan Hanum.Pikiran sudah menerka-nerka, Hanum sudah merayu Jaya dan merampok uang pesangon.Hanum yang mendapat serangan tak terduga, membelalakan mata. Detak jantung terpompa lebih cepat saat menyadari rupa perempuan yang memasuki rumahnya tanpa permisi."Mana, hah!" Hella berkacak pinggang dengan mata melirik ke kiri dan kanan.Hanum menarik nafas panjang, menormalkan detak jantung sebelum mengeluarkan suara."Dasar jalang!" desis Hanum dengan rahang terkantup. "Kau pikir disini tempat penampungan suami orang!""Halahh ... ngeles saja! Tuh di luar. Itu motor suamiku!" sengit Hella."Dasar jalang tidak punya adab! Masuk tanpa permisi, menuduh orang pula. Nyari masalah kau rupanya!" gentak Hanum tak mau kalah, kedua tangannya bergantian menggulung dastar berlengan panjang."Keluar
Jaya tertegun, air mata mengalir deras seirama dengan pintu yang perlahan tertutup.Tercenung seorang diri, hawa sunyi langsung hinggap di sanubari. Tak ada satu pun keluarga yang menjenguk, membuat Jaya semakin nelangsa.Andai, Hanum masih disisinya. Sudah pasti, Hanum akan melayani dan menemani sepenuh hati.Nasi sudah menjadi bubur, walau diratap sepilu apapun semua takkan berubah."Ya A-lloh ..." lirih Jaya pilu, dengan bibir yang sulit bergerak dan miring sebelah.***Ofd.Sesampainya dirumah, setelah membersihkan badan, Ika langsung menghampiri Hanum. Sorotnya nanar melihat, Hanum yang duduk terpaku menghadap jendela dengan Bayu di dalam pangkuan.Ika mendesah lelah, menduga sesuatu yang buruk sudah dialami sang, Ibu."Buk ..." tidak ada sahutan, hanya ada helaan nafas panjang dari mulut Hanum."Taruh saja, Bayu di kasur. Ibu istirahat saja." ujar Ika, sambil meraih Bayu dari pangkuan Hanum lalu menaruhnya di atas ranjang.Mengedarkan pandangan, banyak pakaian yang berserak di at
"Habis makan, kita cari toko emas terdekat. Lalu kita jual gelang sama kalung yang ukurannya besar." Irfan menarik turunkan alisnya."Oke!" sahut Hella semangat, sambil mengacungkan jempol."Setidaknya, satu kalung lima juta. Coba bayangkan kalau kita jual semua ..." ujar Irfan dengan mata berbinar-binar."Kaya ... kita, Mas." ujar Hella sambil menggenggam erat tangan, Irfan."Pasti!" balas Irfan dengan senyum lebar."Kita buka usaha, nyewa karyawan. Hidup santai, uang berdatangan." seru Irfan begitu semangat. Hella tersenyum lepas, hidup penuh kedamaian menari-nari di kepala.Makanan lezat berjejeran rapih di atas meja. Hella dan Irfan begitu semangat melahap santapannya. Derai tawa mengiringi setiap kunyahan, senyum kemenangan terukir jelas di wajah keduanya."Ya ampun, Mas. Mahal sekali," bisik Hella saat tiba di depan kasir."Masa makan kepiting sama ikan-ikanan doang, harganya sampai satu juta." sambung Hella dengan wajah tak rela."Ck! Sudah bayar saja. Uang segitu tidak ada arti
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.