"Eling, Pak." Wisnu menegakkan badan, menyentak kasar kerah bajunya. "Saya juga pernah selingkuh, tapi tidak mencuri uang istri apalagi buat foya-foya sama Gundik!" sambung Wisnu dengan tatapan sinis dan senyum mengejek.Bisa Wisnu lihat rahang, Jaya mengeras, mata melotot marah dengan suara gemeletuk gigi yang terdengar keras. Jaya meradang, tangan terkepalnya melayang cepat diudara.Bugh bugh!!Dua bogem mentah mendarat sempurna diwajah tampan, Wisnu. Jaya begitu terbakar, darah rasanya mendidih diejek menantunya sendiri.Wisnu hanya meringis menahan sakit, tidak melawan sama sekali."Kurang ajar lu ya. Sialan!!" maki Jaya begitu marah. Saat ingin kembali melayangkan pukulan, tubuhnya ditahan oleh dua petugas. Jaya semakin memberontak, saat melihat Wisnu yang tersenyum sinis sambil menyeka sudut bibir yang mengeluarkan setitik darah."Kasihan ..." desis Wisnu disertai dengkusan kecil, lalu pergi menyusul Hanum."Jangan pergi kau sett--an!!"Jaya berteriak garang, memaki istri dan me
"Kenapa, Buk?" tanya Ika dengan alis mengkerut saat melihat wajah cemas milik, Hanum."Dapat telepon dari siapa?" Ika kembali bertanya."Kantor Polisi," lirih Hanum. "Pak Ismail bilang saat ini ada, Hella disana." sambung Hanum."Hella jenguk, Bapak?" Ika menatap tak percaya. Hanum mengangguk lemas."Luar biasaa!" Ika menggelengkan kepala sambil bertepuk tangan. "Padahal Mas Rudi berbulan-bulan di penjara saja dia tidak muncul loh," ujar Ika tak habis pikir.Hanum semakin cemas mendengar ucapan anaknya."Hella ... dia lebih perhatian dengan Jaya, di banding Rudi?" lirih Hanum dengan perasaan gelisah."Ibu mau kemana?" tanya Ika saat Hanum beranjak dari tempatnya."Ibu mau kesana, sekalian mau tak keruwes-ruwes kepala jaaallang itu!" jawab Hanum kesal, lalu masuk kedalam kamar.Ika ingin sekali ikut, menemani Hanum. Namun, Bayu tidak ada yang menjaga. Tidak tega rasanya, membiarkan Hanum ke kantor Polisi seorang diri. Menghadapi masalah ini sendirian."Iiss ... harusnya, Mas Wisnu cuti
"Loh ... da-damu kenapa merah-merah begini, La." Jaya memicingkan mata menarik lebih dekat daster atas Hella.Hella melebarkan mata, kejadian beberapa waktu bersama Irfan langsung terlintas dikepala.Hella menarik badan, tergugup menutup atas tubuhnya. Jaya memicing, menunggu jawaban."Ini ... tadi di-cakar sama, Hamdan." ujar Hella sambil meringis, mencoba menormalkan dabaran jantung yang mulai bertalu."Di cakar, Hamdan?" Jaya menatap curiga."I-yaa. Tadi aku gendong. Kan Hamdan mau aku coba sapih, dia terus narik-narik, sampai kena cakar." jawab Hella memasang wajah murung."Hamdan kan sudah dua tahun tujuh bulan, jadi aku mau dia stop minum asi." Hella meringis, menggaruk tengkuk leher."Ohh ..." Jaya membulatkan mulut."Semoga Hamdan tidak rewel ya, Mas. Ini aja baru tidur dia. Siang tidak mau tidur nangis terus mau asi." ujar Hella meyakinkan."Ya sudah. Nanti dibelikan susu formula saja, buat pengganti asi. Biar ada vitamin dan nutrisi juga." sahut Jaya. Hella mengagguk pelan,
"Nyetir mobil itu, pandangan harus fokus kedepan melihat jalan. Bukan fokus lihat kesamping ..." ujar Rissa dengan senyum jahil.Bagas meringis, wajahnya langsung terasa hangat. Menyadari, Rissa tengah menggodanya."Iya, kan?" Rissa menyipitkan mata.Bagas meringis, menganggukkan kepala."Ayok jalan lagi." Rissa menegakkan badan. "Dan ... hati-hati pastinya," sambung Rissa.Bagas terkekeh, tersipu malu lalu kembali menghidupkan kendaraan dan melajukannya.Memasuki area parkir, Rissa langsung turun dari mobil saat Bagas mematikan mesin kendaraan. Rissa meregangkan otot tangan, seluruh tubuhnya benar-benar pegal."Mau kemana dulu? Makan?" tanya Bagas."Kelantai atas saja, disana ada tempat pijat refleksi, ada terapi ikan juga. Semoga masih ada ya, terakhir aku kesitu sekitar 2 atau 3 bulan yang lalu." jawab Rissa seraya tersenyum lalu jalan mendahului Bagas.Bagas mengedarkan pandangan, Mall besar dengan 5 lantai yang ada di kotanya begitu megah. Sibuknya mengurus pekerjaan membuatnya t
"Eh, hampir lupa." Hella yang sudah setengah jalan menuju ruang tamu, kembali kedapur lalu menaburkan bubuk putih diatas minuman Jaya."Nah, gini kan enak. Tidak berisik," gumam Hella dengan senyum mengembang. Tubuhnya menegak, dengan langkah gemulai berjalan menuju ruang tamu."Di minum, Mas." Hella menaruh gelas teh diatas meja. Jaya hanya mengangguk, fikiran yang masih kalut membuatnya tidak berselera untuk melakukan apapun."Kenapa sih, Mas. Kok lesu gitu mukanya." Hella mengambil posisi disamping, Jaya."Tidak apa-apa," sahut Jaya sambil menggelengkan kepala."Mau aku pijitin?" tanya Hella. Jaya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala.Entah mengapa, Jaya sedikit enggan berdekatan dengan Hella. Biasanya, Jaya paling senang jika dapat pijitan dari istri mudanya.Irfan yang melihat memasang wajah masam, lalu mengalihkan pandangan."Eh, mau kemana?" tanya Hella saat Jaya bangkit dari sofa."Mandi." jawab Jaya singkat.Hella celingukan, setelah memastikan Jaya memasuki toilet, tub
Jaya berdiri kaku, menatap canggung kearah Hanum."Hhhh ...."Hanum menatap malas, lalu duduk bersebrangan didepan Jaya. Hanum terdiam seribu bahasa, hati sudah bergemuruh, namun mencoba untuk tetap tenang."Sabar ... jangan sampai darah tinggi ini kumat melihat mukanya!" rutuk Hanum dalam hati."Kabarmu, gimana Buk?" ucap Jaya kemudian, setelah beberapa menit dalam kecanggungan.Hanum melirik sekilas, lalu membuang pandangan. Ika dan Wisnu, yang ada diruang yang sama hanya berdiri tegak, dengan wajah menegang."Ada perlu apa kesini, cepat bicara, aku masih banyak kerjaan!" ketus Hanum dengan tatapan sengit.Jaya meringis, bernafas panjang. Rasanya sangat gugup, berhadapan dengan istri sendiri."Kalau cuma diam. Lebih baik kau pulang saja kerumah istri mudamu. Tempatmu bukan disini lagi!" Hanum mulai meninggikan suara.Hati Jaya bergetar, ditatapnya wajah Hanum yang sangat ketus tak bersahabat."I-tu, aku kangen sama, Bayu ..." ujar Jaya kemudian, rentetan kata-kata yang sejak tadi di
Irfan bergeming, lalu mengangguk tanda setuju."Pintar juga kamu, sayang ..." puji Irfan, pada pasangan me-sumnya.Hella tersenyum miring, menarik tangan Irfan masuk ke dalam rumah. Mata mereka beradu pandang, sejurus kemudian mereka langsung berpagut dengan liar penuh gairah."Hhh ..." Hella melepas diri, mengatur nafas yang terlihat memburu."Jangan sekarang. Nanti si bandot itu lihat." ujar Hella dengan mata menyorot kearah kamar yang didalamnya ada, Jaya."Untuk sementara, aku tidak bisa memberinya obat tidur. Bandot itu, mungkin saja lemas karna terlalu sering menelan obat itu." sambung Hella dengan suara berbisik. Irfan menghela nafas, lalu mengangguk pelan.Hella memasuki kamar dengan segelas air di tangannya. Jaya masih terbaring diatas ranjang, dengan mata terpejam."Jangan mati dulu ya, Mas. Pesangonmu belum turun." ujar Hella dalam hati."Mas ..." dengan gerakan pelan, Hella menaruh gelas di atas nakas. "Ayok, minum obat dulu. Nanti tidur lagi." sambungnya sambil menggunca
Senyum Jaya mengembang. Dengan semangat empat lima, dia melangkah lebar kearah pintu kamar, tak sabar ingin memberi hadiah istimewa pada, Hella."La ..." Jaya bersuara, tanpa ragu mendorong pintu kamar yang tidak terkunci.Prakk!Kotak kecil perhiasan terlepas begitu saja, Jaya mematung dengan dada bergemuruh hebat melihat pemandangan dihadapannya.Dunia seakan berhenti berputar, hati bagai tertimpa godam meluluh lantakan jiwa dan perasaan.Nafas Jaya mulai tersendat-sendat, Jaya memegangi dada yang terasa ngilu dan terbakar.Sementara dua manusia tanpa urat malu itu, masih mendengkur kelelahan sambil memeluk satu sama lain.Selimut yang tidak menutupi seluruh badan, membuat tubuh polos keduanya terlihat. Membuat kepala Jaya berputar berdentum-dentum.Jaya mengerang kalut, lutut yang bergetar hebat membuat langkahnya tertatih menuju ranjang.Brak!!Tak sanggup kaki melangkah, Jaya jatuh terduduk di atas lantai dengan air mata mengucur deras. Sakit hatinya begitu hebat, bayangan wajah