Jaya menggeram kesal, hati mengutuk keras perbuatan, Hanum yang sangat mempermalukan harga dirinya."Awas kamu, Num!!" geram Jaya dengan gigi bergelutuk.Didalam mobil, Jaya mengeluarkan gawai. Membuka blokiran Hanum, dan menghubunginya.Namun sialnya, Hanum tidak merespon. Membiarkan panggilan, tanpa ingin menjawab penggilan dari Jaya."Ah, sial! Maunya apa sih." gerutu Jaya dengan hati memanas. "Sudah gila si, Hanum. Bener-bener brengsek!" geram Jaya penuh amarah.Sesampainya di kantor, Jaya langsung digiring menuju ruangan introgasi. Hati sudah mulai gelisah, membayangkan akan kembali menginap di penjara."Kurang ajar si, Hanum!" rutuk Jaya, kesal."Bapak tidak bisa main tangkap saja dong. Kalau tidak ada bukti, mana bisa saya di tahan!" gerutu Jaya, saat Polisi masuk kedalam ruangan."Apa Hanum ada bukti nyata, kalau saya mengambil uang disana? Kok main tangkap saja. Ini sih, namanya pencemaran nama baik!" tukas Jaya tak habis pikir."Bisa-bisanya Polisi ceroboh hendak menangkap o
"Eling, Pak." Wisnu menegakkan badan, menyentak kasar kerah bajunya. "Saya juga pernah selingkuh, tapi tidak mencuri uang istri apalagi buat foya-foya sama Gundik!" sambung Wisnu dengan tatapan sinis dan senyum mengejek.Bisa Wisnu lihat rahang, Jaya mengeras, mata melotot marah dengan suara gemeletuk gigi yang terdengar keras. Jaya meradang, tangan terkepalnya melayang cepat diudara.Bugh bugh!!Dua bogem mentah mendarat sempurna diwajah tampan, Wisnu. Jaya begitu terbakar, darah rasanya mendidih diejek menantunya sendiri.Wisnu hanya meringis menahan sakit, tidak melawan sama sekali."Kurang ajar lu ya. Sialan!!" maki Jaya begitu marah. Saat ingin kembali melayangkan pukulan, tubuhnya ditahan oleh dua petugas. Jaya semakin memberontak, saat melihat Wisnu yang tersenyum sinis sambil menyeka sudut bibir yang mengeluarkan setitik darah."Kasihan ..." desis Wisnu disertai dengkusan kecil, lalu pergi menyusul Hanum."Jangan pergi kau sett--an!!"Jaya berteriak garang, memaki istri dan me
"Kenapa, Buk?" tanya Ika dengan alis mengkerut saat melihat wajah cemas milik, Hanum."Dapat telepon dari siapa?" Ika kembali bertanya."Kantor Polisi," lirih Hanum. "Pak Ismail bilang saat ini ada, Hella disana." sambung Hanum."Hella jenguk, Bapak?" Ika menatap tak percaya. Hanum mengangguk lemas."Luar biasaa!" Ika menggelengkan kepala sambil bertepuk tangan. "Padahal Mas Rudi berbulan-bulan di penjara saja dia tidak muncul loh," ujar Ika tak habis pikir.Hanum semakin cemas mendengar ucapan anaknya."Hella ... dia lebih perhatian dengan Jaya, di banding Rudi?" lirih Hanum dengan perasaan gelisah."Ibu mau kemana?" tanya Ika saat Hanum beranjak dari tempatnya."Ibu mau kesana, sekalian mau tak keruwes-ruwes kepala jaaallang itu!" jawab Hanum kesal, lalu masuk kedalam kamar.Ika ingin sekali ikut, menemani Hanum. Namun, Bayu tidak ada yang menjaga. Tidak tega rasanya, membiarkan Hanum ke kantor Polisi seorang diri. Menghadapi masalah ini sendirian."Iiss ... harusnya, Mas Wisnu cuti
"Loh ... da-damu kenapa merah-merah begini, La." Jaya memicingkan mata menarik lebih dekat daster atas Hella.Hella melebarkan mata, kejadian beberapa waktu bersama Irfan langsung terlintas dikepala.Hella menarik badan, tergugup menutup atas tubuhnya. Jaya memicing, menunggu jawaban."Ini ... tadi di-cakar sama, Hamdan." ujar Hella sambil meringis, mencoba menormalkan dabaran jantung yang mulai bertalu."Di cakar, Hamdan?" Jaya menatap curiga."I-yaa. Tadi aku gendong. Kan Hamdan mau aku coba sapih, dia terus narik-narik, sampai kena cakar." jawab Hella memasang wajah murung."Hamdan kan sudah dua tahun tujuh bulan, jadi aku mau dia stop minum asi." Hella meringis, menggaruk tengkuk leher."Ohh ..." Jaya membulatkan mulut."Semoga Hamdan tidak rewel ya, Mas. Ini aja baru tidur dia. Siang tidak mau tidur nangis terus mau asi." ujar Hella meyakinkan."Ya sudah. Nanti dibelikan susu formula saja, buat pengganti asi. Biar ada vitamin dan nutrisi juga." sahut Jaya. Hella mengagguk pelan,
"Nyetir mobil itu, pandangan harus fokus kedepan melihat jalan. Bukan fokus lihat kesamping ..." ujar Rissa dengan senyum jahil.Bagas meringis, wajahnya langsung terasa hangat. Menyadari, Rissa tengah menggodanya."Iya, kan?" Rissa menyipitkan mata.Bagas meringis, menganggukkan kepala."Ayok jalan lagi." Rissa menegakkan badan. "Dan ... hati-hati pastinya," sambung Rissa.Bagas terkekeh, tersipu malu lalu kembali menghidupkan kendaraan dan melajukannya.Memasuki area parkir, Rissa langsung turun dari mobil saat Bagas mematikan mesin kendaraan. Rissa meregangkan otot tangan, seluruh tubuhnya benar-benar pegal."Mau kemana dulu? Makan?" tanya Bagas."Kelantai atas saja, disana ada tempat pijat refleksi, ada terapi ikan juga. Semoga masih ada ya, terakhir aku kesitu sekitar 2 atau 3 bulan yang lalu." jawab Rissa seraya tersenyum lalu jalan mendahului Bagas.Bagas mengedarkan pandangan, Mall besar dengan 5 lantai yang ada di kotanya begitu megah. Sibuknya mengurus pekerjaan membuatnya t
"Eh, hampir lupa." Hella yang sudah setengah jalan menuju ruang tamu, kembali kedapur lalu menaburkan bubuk putih diatas minuman Jaya."Nah, gini kan enak. Tidak berisik," gumam Hella dengan senyum mengembang. Tubuhnya menegak, dengan langkah gemulai berjalan menuju ruang tamu."Di minum, Mas." Hella menaruh gelas teh diatas meja. Jaya hanya mengangguk, fikiran yang masih kalut membuatnya tidak berselera untuk melakukan apapun."Kenapa sih, Mas. Kok lesu gitu mukanya." Hella mengambil posisi disamping, Jaya."Tidak apa-apa," sahut Jaya sambil menggelengkan kepala."Mau aku pijitin?" tanya Hella. Jaya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala.Entah mengapa, Jaya sedikit enggan berdekatan dengan Hella. Biasanya, Jaya paling senang jika dapat pijitan dari istri mudanya.Irfan yang melihat memasang wajah masam, lalu mengalihkan pandangan."Eh, mau kemana?" tanya Hella saat Jaya bangkit dari sofa."Mandi." jawab Jaya singkat.Hella celingukan, setelah memastikan Jaya memasuki toilet, tub
Jaya berdiri kaku, menatap canggung kearah Hanum."Hhhh ...."Hanum menatap malas, lalu duduk bersebrangan didepan Jaya. Hanum terdiam seribu bahasa, hati sudah bergemuruh, namun mencoba untuk tetap tenang."Sabar ... jangan sampai darah tinggi ini kumat melihat mukanya!" rutuk Hanum dalam hati."Kabarmu, gimana Buk?" ucap Jaya kemudian, setelah beberapa menit dalam kecanggungan.Hanum melirik sekilas, lalu membuang pandangan. Ika dan Wisnu, yang ada diruang yang sama hanya berdiri tegak, dengan wajah menegang."Ada perlu apa kesini, cepat bicara, aku masih banyak kerjaan!" ketus Hanum dengan tatapan sengit.Jaya meringis, bernafas panjang. Rasanya sangat gugup, berhadapan dengan istri sendiri."Kalau cuma diam. Lebih baik kau pulang saja kerumah istri mudamu. Tempatmu bukan disini lagi!" Hanum mulai meninggikan suara.Hati Jaya bergetar, ditatapnya wajah Hanum yang sangat ketus tak bersahabat."I-tu, aku kangen sama, Bayu ..." ujar Jaya kemudian, rentetan kata-kata yang sejak tadi di
Irfan bergeming, lalu mengangguk tanda setuju."Pintar juga kamu, sayang ..." puji Irfan, pada pasangan me-sumnya.Hella tersenyum miring, menarik tangan Irfan masuk ke dalam rumah. Mata mereka beradu pandang, sejurus kemudian mereka langsung berpagut dengan liar penuh gairah."Hhh ..." Hella melepas diri, mengatur nafas yang terlihat memburu."Jangan sekarang. Nanti si bandot itu lihat." ujar Hella dengan mata menyorot kearah kamar yang didalamnya ada, Jaya."Untuk sementara, aku tidak bisa memberinya obat tidur. Bandot itu, mungkin saja lemas karna terlalu sering menelan obat itu." sambung Hella dengan suara berbisik. Irfan menghela nafas, lalu mengangguk pelan.Hella memasuki kamar dengan segelas air di tangannya. Jaya masih terbaring diatas ranjang, dengan mata terpejam."Jangan mati dulu ya, Mas. Pesangonmu belum turun." ujar Hella dalam hati."Mas ..." dengan gerakan pelan, Hella menaruh gelas di atas nakas. "Ayok, minum obat dulu. Nanti tidur lagi." sambungnya sambil menggunca
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.