Angin laut bertiup semakin kencang. Malam semakin dingin di pulau persembunyian bajak laut. Sakera sedang menyiapkan kapal layar ketika dilihatnya Suropati dan Suzane sedang berlari ke arahnya.
“Ayo, cepat, kesini!” kata Sakera sambil melambaikan tangan.
Suropati dan Suzane yang menggendong anaknya segera menghampiri Sakera.
“Ayo, naik!” kata Sakera.
Suropati membantu Suzane menaiki kapal. Setelah Suzane naik ke kapal dengan aman, Suropati mendorong kapal nelayan itu ke tengah laut. Setelah kapal menuju ke laut, Suropati naik ke kapal itu. Sementara itu Dwipangga tampak berenang menuju kapal itu.
“Ayo, sini,” kata Sakera sambil melambaikan tangan.
Dwipangga segera mempercepat renangnya untuk mencapai kapal dan segera naik ke atasnya.
Kapal bajak laut terbakar hebat, puluhan bajak laut sibuk memadamkan api, tetapi tampaknya sia-sia, api sudah terlanjut membesar.
Sakera mengarahkan kapal menuju
Malam hari. Di tengah laut yang luas. Kapal nelayan yang dinaiki Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane, dan Roberth, melaju di tengah lautan yang luas. Hanya Sakera dan Dwipangga yang terjaga, lainnya tertidur lelap. Sakera yang berpedoman bintang di langit, mencoba untuk mengarahkan kapal itu menuju ke pantai terdekat. Tetapi angin sangat kencang, membuat Sakera harus bekerja keras mengarahkan kapal agar sesuai dengan tujuan.“Cak, tarik tali layar ini!” teriak Sakera pada Dwipangga.Dwipangga segera menuruti perkataan Sakera.“Ini, sudah?”“Kurang kencang, tarik lagi!” kata SakeraDwipangga menarik tali itu sekuat tenaga.Arah kapal sekarang bergeser, sesuai yang dikehendaki Sakera.“Berapa lama lagi kita sampai di daratan?” tanya Dwipangga.“Tidak tahu, mungkin tiga jam atau empat jam, atau nanti setelah matahari terbit,” jawab Sakera.“Wah, masih lama ju
Siang hari. Di tengah lautan luas. Tidak ada angin. Tidak ada ombak. Kapal nelayan yang dinaiki oleh Suropati dan kawan-kawan diam tak bergerak sedikitpun. Matahari bersinar terik di atas kepala mereka. Roberth terus menerus minta di susui, karena kehausan. Suropati menutupi Suzane dan Robeth dengan kain layar kapal agar tidak kepanasan dan kekurangan cairan. Tidak ada kapal yang lewat, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan ikan-ikan yang tadi berkeliaran mendadak tidak tampak lagi.“Ada apa ini, cuaca kok berubah menjadi aneh sekali?” tanya Dwipangga.“Ya, aneh sekali bahkan air laut ini berhenti bergerak,” kata Sakera sambil memasukkan tanggannya ke dalam air.Air laut terlihat seperti kaca tidak ada gerakan apapun di permukaannya, seperti permukaan air dalam gelas.“Apa kamu pernah menemui kejadian seperti ini?” tanya Suropati pada Sakera.“Belum pernah, baru sekali ini aku menemui keadaan cuaca sepert
Suropati memeluk Suzane dan Robeth, mencoba menenangkan. Sakera melihat ke sekeliling. Dwipangga mencoba melihat ke dasar laut, melihat ikan-ikan yang diceritakan Suropati. Mendadak udara menjadi dingin. Angin mulai bertiup dengan pelan. Air laut kembali bergelombang dengan perlahan semakin lama semakin cepat. Langit yang semula terang benderang mendadak redup. Awah hitam datang dengan cepat bergelombang menutupi matahari.“Ada apa ini?” tanya Suropati cemas dan memeluk Suzane lebih erat.“Sepertinya akan ada badai, bersiaplah,” kata Sakera sambil mencari-cari sesuatu di kotak perlengkapan.“Kamu cari apa?” tanya Dwipangga.Sakera mengambil tali-tali dari kotak perlengkapan.“Ini ikatkan diri kalian pada kapal, jika ada badai kalian tidak akan terlempar dari kapal!” kata Sakera sambil memberikan tali-tali yang diambilnya dari kotak perlengkapan.Sementara, angin semakin kencang bertiup, langit
Para penumpang kapal nelayan berada dalam batas antara hidup dan mati. Kapal yang mereka tumpangi dengan cepat terseret arus pusaran air raksasa, berputar menuju pusat pusaran raksasa.Suropati memegang erat Suzane dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berpegangan erat pada badan kapal.“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Dwipangga di tengah gemuruh air laut, angin yang kencang, dan hujan yang semakin deras.“Sepertinya tidak ada, kita hanya dapat menunggu,” jawab Suropati pasrah.“Menunggu? Menunggu apa?” teriak Sakera.“Menungguk takdir menjemput kita!” teriak Suropati lebih keras.’“Kita harus berusaha dulu!” kata Sakera sambil mencari-cari sesuatu di kotak perlengkapan.“Berusaha bagaimana, mau terjun ke air? Atau terbang?” tanya Suropati.“Terbang?” Sakera menatap Suropati, kemudian dia lebih semangat membongkar kotak peral
Hembusan angin yang kencang membuat Sakera yang memegang layar membumbung tinggi ke angkasa. Dilihat dibawahnya pusaran air raksasa yang menelan kapal nelayan yang pernah ditumpanginya. Di belakangnya terbang lebih rendah, Suropati dan Suzane yang menggendong Robeth. Paling belakang, Dwipangga yang baru lepas landas dari kapal nelayan. Mereka terbang beriringan menuju arah timur. Di bawah mereka sekitar 50 meter, air laut bergelombang. Sementara hujan perlahan mereda, ketika mereka menjauhi pusaran air raksasa.Semakin jauh mereka terbang, cuaca semakin baik, hujan mulai reda, dan langit mulai cerah. Dalam sekejap mendung sudah tersingkir, matahari kembali bersinar dengan terik. Cuaca kembali tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. di keajuhan mereka melihat pusaran air juga sudah lenyap. Air laut kembali bergelombang seperti biasa seolah tidak pernah terjadi apa-apa.Angin yang tadi begitu kencang bertiup mendadak reda. Hal itu membuat Suropati dan kawan-kawan ya
Siang hari. Di Pulau kecil di tengah lautan luas. Suropati dan kawan-kawan terdampar di pulau itu. Rasa lapar dan haus mulai menyerang mereka. Suropati memperhatikan burung-burung camar yang banyak berkeliaran di pulau itu, memikirkan bagaimana cara menangkapnya. Sementara itu Sakera mencari buahan-buahan dari pohon-pohon yang ada di pulau itu. Tetapi tidak ada buah apapun di pulau itu, semua pohon yang ada di pulau itu hanya satu jenis, seperti pohon palem, tidak berbunga juga tidak berbuah, hanya daunnya saja yang lebat.“Hmm, sepertinya burung-burung itu lezat, tapi bagaimana cara menangkapnya,” gumam Suropati.“Bagaimana kalau kita cari ikan saja?” kata Dwipangga.“Ya, itu pilihan yang masuk akal, tapi kita tidak punya pancing,” kata Suropati.“Aku akan menyelam!” kata Dwipangga langsung beranjak menuju tepi pantai dan langsung terjun ke laut.Sementara itu Sakera terus berkeliling pulau mencari b
Semua terdiam, memandangi golok Sakera yang berlumuran darah dan permukaan kasar di bawah rumput yang dipegang Sakera. Kemudian mereka saling berpandangan mencoba mencari jawaban pada rekan-rekannya.“Hmm, coba kau tusuk lagi,” kata Dwipangga pada Sakera.Sakera segera menusuk lagi kali ini lebih dalam dan lebih bertenaga. Tanah bergetar hebat ketika Sakera menusukkan goloknya lebih dalam, dan terdengar suara melenguh seperti suara kerbau yang keras dan bergema. Tanah yang mereka pijak bergerak-gerak, bahkan seluruh pulau bergerak.“Ada apa ini?” tanya Suzane ketakutan sambil memeluk erat Robeth.Tiba-tiba dari dalam laut di sepanjang tepi pulau muncul tentakel-tentakel seperti tangan gurita bergerak-gerak tak beraturan naik turun ke dalam air, menimbulkan gelombang air besar di sepanjang pantai pulau itu.“Gawat! Kita ternyata berada di atas binatang air raksasa!” kata Suropati yang baru menyadari kenyataan meng
Tegal. Malam hari. Kyai Rangga tampak duduk di kursinya, dihadapannya duduk Adijaya, Bhre Wiraguna, Lembu Sora, dan Arya Tejawungu, para prajurit yang menjadi andalan Kyai Rangga.Setelah tugas mengantar mengantar surat selesai, Kyai Rangga menghadap kepada Sultan Agung untuk menyampaikan balasan dari Jan Pieterzon Coen. Sudah dapat diduga, Sultan Agung sangat marah dan segera memerintahkan penyerangan ke Batavia. Sultan Agung mengangkat Bupati Kendal, Tumenggung Bahurekso untuk menjadi panglima tertinggi penyerangan ke Batavia. Sedangkan Kyai Rangga ditugaskan sebagai pemimpin perbekalan dan perlengkapan.“Titah Sultan Agung sudah jelas, persiapan penyerangan ke Batavia di mulai sejak sekarang, sepuluh hari lagi penyerangan akan dimulai,” kata Kyai Rangga.“Sendiko dawuh, Kanjeng Tumenggung,” jawab Adijaya, Lembu Sora, Bhre Wiraguna ,dan Arya Tejawungu.“Apa perintah Kanjeng Tumenggung?” tanya Adijaya yang sekarang men