Malam hari. Di pulau persembunyian bajak laut. Suara tangis bayi masih terdengar dari rumah bajak laut. Tangis bayi yang khas membuat semua perhatian tertuju pada bayi itu. Suropati, Sakera, dan Dwipangga yang bersembunyi di bawah pohon bakau masih bingung bagaimana cara mereka menyelamatkan Suzane.
Suropati memandangi rumah asal suara tangis bayi, itu adalah anaknya, buah cintanya dengan Suzane anak Kapten Francois Tack. Kemudian dia memandang ke arah laut tempat kapal bajak laut berlabuh.
“Aku ada ide!” kata Suropati tiba-tiba mengejutkan kedua temannya.
“Apa?” tanya Dwipangga.
“Kita harus mengalihkan perhatian para bajak laut itu,” kata Suropati.
“Caranya?” tanya Sakera.
“Pertama, kita bakar kapal mereka, saat mereka panik aku akan menyelinap ke rumah itu untuk menyelamatkan Suzane,” Suropati menjelaskan rencananya.
“Lha, siapa yang akan bakar kapal itu?” tanya Sakera.
“Ya, di antara kalian berdua, siapa yang s
Angin laut bertiup semakin kencang. Malam semakin dingin di pulau persembunyian bajak laut. Sakera sedang menyiapkan kapal layar ketika dilihatnya Suropati dan Suzane sedang berlari ke arahnya.“Ayo, cepat, kesini!” kata Sakera sambil melambaikan tangan.Suropati dan Suzane yang menggendong anaknya segera menghampiri Sakera.“Ayo, naik!” kata Sakera.Suropati membantu Suzane menaiki kapal. Setelah Suzane naik ke kapal dengan aman, Suropati mendorong kapal nelayan itu ke tengah laut. Setelah kapal menuju ke laut, Suropati naik ke kapal itu. Sementara itu Dwipangga tampak berenang menuju kapal itu.“Ayo, sini,” kata Sakera sambil melambaikan tangan.Dwipangga segera mempercepat renangnya untuk mencapai kapal dan segera naik ke atasnya.Kapal bajak laut terbakar hebat, puluhan bajak laut sibuk memadamkan api, tetapi tampaknya sia-sia, api sudah terlanjut membesar.Sakera mengarahkan kapal menuju
Malam hari. Di tengah laut yang luas. Kapal nelayan yang dinaiki Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane, dan Roberth, melaju di tengah lautan yang luas. Hanya Sakera dan Dwipangga yang terjaga, lainnya tertidur lelap. Sakera yang berpedoman bintang di langit, mencoba untuk mengarahkan kapal itu menuju ke pantai terdekat. Tetapi angin sangat kencang, membuat Sakera harus bekerja keras mengarahkan kapal agar sesuai dengan tujuan.“Cak, tarik tali layar ini!” teriak Sakera pada Dwipangga.Dwipangga segera menuruti perkataan Sakera.“Ini, sudah?”“Kurang kencang, tarik lagi!” kata SakeraDwipangga menarik tali itu sekuat tenaga.Arah kapal sekarang bergeser, sesuai yang dikehendaki Sakera.“Berapa lama lagi kita sampai di daratan?” tanya Dwipangga.“Tidak tahu, mungkin tiga jam atau empat jam, atau nanti setelah matahari terbit,” jawab Sakera.“Wah, masih lama ju
Siang hari. Di tengah lautan luas. Tidak ada angin. Tidak ada ombak. Kapal nelayan yang dinaiki oleh Suropati dan kawan-kawan diam tak bergerak sedikitpun. Matahari bersinar terik di atas kepala mereka. Roberth terus menerus minta di susui, karena kehausan. Suropati menutupi Suzane dan Robeth dengan kain layar kapal agar tidak kepanasan dan kekurangan cairan. Tidak ada kapal yang lewat, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan ikan-ikan yang tadi berkeliaran mendadak tidak tampak lagi.“Ada apa ini, cuaca kok berubah menjadi aneh sekali?” tanya Dwipangga.“Ya, aneh sekali bahkan air laut ini berhenti bergerak,” kata Sakera sambil memasukkan tanggannya ke dalam air.Air laut terlihat seperti kaca tidak ada gerakan apapun di permukaannya, seperti permukaan air dalam gelas.“Apa kamu pernah menemui kejadian seperti ini?” tanya Suropati pada Sakera.“Belum pernah, baru sekali ini aku menemui keadaan cuaca sepert
Suropati memeluk Suzane dan Robeth, mencoba menenangkan. Sakera melihat ke sekeliling. Dwipangga mencoba melihat ke dasar laut, melihat ikan-ikan yang diceritakan Suropati. Mendadak udara menjadi dingin. Angin mulai bertiup dengan pelan. Air laut kembali bergelombang dengan perlahan semakin lama semakin cepat. Langit yang semula terang benderang mendadak redup. Awah hitam datang dengan cepat bergelombang menutupi matahari.“Ada apa ini?” tanya Suropati cemas dan memeluk Suzane lebih erat.“Sepertinya akan ada badai, bersiaplah,” kata Sakera sambil mencari-cari sesuatu di kotak perlengkapan.“Kamu cari apa?” tanya Dwipangga.Sakera mengambil tali-tali dari kotak perlengkapan.“Ini ikatkan diri kalian pada kapal, jika ada badai kalian tidak akan terlempar dari kapal!” kata Sakera sambil memberikan tali-tali yang diambilnya dari kotak perlengkapan.Sementara, angin semakin kencang bertiup, langit
Para penumpang kapal nelayan berada dalam batas antara hidup dan mati. Kapal yang mereka tumpangi dengan cepat terseret arus pusaran air raksasa, berputar menuju pusat pusaran raksasa.Suropati memegang erat Suzane dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berpegangan erat pada badan kapal.“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Dwipangga di tengah gemuruh air laut, angin yang kencang, dan hujan yang semakin deras.“Sepertinya tidak ada, kita hanya dapat menunggu,” jawab Suropati pasrah.“Menunggu? Menunggu apa?” teriak Sakera.“Menungguk takdir menjemput kita!” teriak Suropati lebih keras.’“Kita harus berusaha dulu!” kata Sakera sambil mencari-cari sesuatu di kotak perlengkapan.“Berusaha bagaimana, mau terjun ke air? Atau terbang?” tanya Suropati.“Terbang?” Sakera menatap Suropati, kemudian dia lebih semangat membongkar kotak peral
Hembusan angin yang kencang membuat Sakera yang memegang layar membumbung tinggi ke angkasa. Dilihat dibawahnya pusaran air raksasa yang menelan kapal nelayan yang pernah ditumpanginya. Di belakangnya terbang lebih rendah, Suropati dan Suzane yang menggendong Robeth. Paling belakang, Dwipangga yang baru lepas landas dari kapal nelayan. Mereka terbang beriringan menuju arah timur. Di bawah mereka sekitar 50 meter, air laut bergelombang. Sementara hujan perlahan mereda, ketika mereka menjauhi pusaran air raksasa.Semakin jauh mereka terbang, cuaca semakin baik, hujan mulai reda, dan langit mulai cerah. Dalam sekejap mendung sudah tersingkir, matahari kembali bersinar dengan terik. Cuaca kembali tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. di keajuhan mereka melihat pusaran air juga sudah lenyap. Air laut kembali bergelombang seperti biasa seolah tidak pernah terjadi apa-apa.Angin yang tadi begitu kencang bertiup mendadak reda. Hal itu membuat Suropati dan kawan-kawan ya
Siang hari. Di Pulau kecil di tengah lautan luas. Suropati dan kawan-kawan terdampar di pulau itu. Rasa lapar dan haus mulai menyerang mereka. Suropati memperhatikan burung-burung camar yang banyak berkeliaran di pulau itu, memikirkan bagaimana cara menangkapnya. Sementara itu Sakera mencari buahan-buahan dari pohon-pohon yang ada di pulau itu. Tetapi tidak ada buah apapun di pulau itu, semua pohon yang ada di pulau itu hanya satu jenis, seperti pohon palem, tidak berbunga juga tidak berbuah, hanya daunnya saja yang lebat.“Hmm, sepertinya burung-burung itu lezat, tapi bagaimana cara menangkapnya,” gumam Suropati.“Bagaimana kalau kita cari ikan saja?” kata Dwipangga.“Ya, itu pilihan yang masuk akal, tapi kita tidak punya pancing,” kata Suropati.“Aku akan menyelam!” kata Dwipangga langsung beranjak menuju tepi pantai dan langsung terjun ke laut.Sementara itu Sakera terus berkeliling pulau mencari b
Semua terdiam, memandangi golok Sakera yang berlumuran darah dan permukaan kasar di bawah rumput yang dipegang Sakera. Kemudian mereka saling berpandangan mencoba mencari jawaban pada rekan-rekannya.“Hmm, coba kau tusuk lagi,” kata Dwipangga pada Sakera.Sakera segera menusuk lagi kali ini lebih dalam dan lebih bertenaga. Tanah bergetar hebat ketika Sakera menusukkan goloknya lebih dalam, dan terdengar suara melenguh seperti suara kerbau yang keras dan bergema. Tanah yang mereka pijak bergerak-gerak, bahkan seluruh pulau bergerak.“Ada apa ini?” tanya Suzane ketakutan sambil memeluk erat Robeth.Tiba-tiba dari dalam laut di sepanjang tepi pulau muncul tentakel-tentakel seperti tangan gurita bergerak-gerak tak beraturan naik turun ke dalam air, menimbulkan gelombang air besar di sepanjang pantai pulau itu.“Gawat! Kita ternyata berada di atas binatang air raksasa!” kata Suropati yang baru menyadari kenyataan meng
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a