Dari atas pohon yang berada di dalam hutan, Jalu bisa melihat jika segerombolan lelaki berkuda itu terbagi menjadi dua tim dan berpisah jalan. Sosok pendekar digdaya yang baru berusia 18 tahun itu kemudian memutuskan untuk mencari keberadaan Ayu Wulandari selepas rombongan berkuda itu menghilang. Sebenarnya Jalu bisa saja menghabisi mereka semudah membalikkan telapak tangan. Namun hal itu tidak dia lakukan karena lebih fokus untuk menyelamatkan keberadaan Ayu Wulandari. Lesatan tubuh Jalu bergerak ringan dan lincah melewati pepohonan yang berada di dalam hutan. Saat ini dia hanya perlu mencari tahu, perguruan apakah yang memiliki simbol gambar gunung dilingkari api. Tanpa terasa perjalanan Jalu sudah memasuki sebuah hutan angker yang merupakan wilayah kekuasaan perguruan Siluman Neraka. Perguruan tersebut merupakan salah satu perguruan aliran hitam kelas menengah yang beranggotakan kurang lebih empat ratus anggota. Selain itu, ada juga enam orang tetua yang kesemuanya memiliki kea
Dari dua belas orang yang semuanya berseragam merah tersebut, hanya satu yang tidak menggunakan penutup wajah, sebelas lainnya menggunakan topeng yang terbuat dari kulit pohon. "Siapa kau dan apa tujuanmu memasuki hutan ini?" tanya sosok lelaki berkumis tebal yang tidak mengenakan topeng penutup wajah. Jalu mengangkat kedua alisnya. Selepas itu dia tertawa cukup keras seraya memegangi perutnya. Apa yang dilakukannya membuat lelaki berkumis tebal itu tersinggung. Rahangnya mengeras, bola matanya membelalak lebar menatap Jalu penuh amarah. "Bedebah! Apa yang kau tertawakan bocah?" "Kau sungguh aneh, sejak kapan hutan menjadi wilayah terlarang untuk dimasuki seseorang? Apa hutan ini milik nenek moyangmu?" "Bajingan tengik! Kau rupanya sudah bosan hidup dengan berani menantang maut. Dalam sejarahnya, tidak ada satupun orang asing yang bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini." Jalu tersenyum menyeringai. Ancaman seperti itu sudah tidak asing lagi didengarnya. Bahkan sudah menjadi
"Woi … sampai kapan aku harus menunggu kalian bicara? Apa menunggu upilku sampai terkumpul segenggam lalu kulemparkan ke muka kalian?" ejek Jalu seraya memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang hidungnya. Ketakutan yang dialami Praya seketika menghilang. Ejekan yang dilontarkan Jalu serasa menampar harga dirinya sebagai pemimpin Topeng Maut yang disegani. "Kita habisi dia! Formasi panah api!" teriaknya memberi perintah. Seusai mendapat perintah, sebelas anggota Topeng Maut bergerak memutar membentuk lingkaran yang melingkupi Jalu serta Praya di dalamnya. Jalu hanya bisa diam sambil memperkuat kewaspadaannya. Sebab lawan yang kali ini dia hadapi pasti memiliki formasi lebih menakutkan dari pada formasi yang pernah dia hadapi sebelumnya. Secara perlahan putaran yang dilakukan sebelas anggota Topeng Maut itu semakin cepat. Bahkan dalam beberapa detik berikutnya yang terlihat hanya warna merah berbentuk lingkaran. Angin yang diakibatkan putaran itu menghempas ke sekitar dan menimbul
Gerakan langkah kaki Jalu yang sulit ditebak arahnya membuat dua belas anggota Topeng Maut itu kebingungan. Mereka tampak kesulitan untuk menentukan arah serangan. Sesekali mereka mencoba menyerang, tapi tusukan dan tebasan yang mereka lakukan hanya menerima ruang kosong. Bahkan akibat serangan yang gagal itu malah membuka pertahanan dan kerapatan formasi yang mereka buat. Jalu tersenyum lebar melihat formasi yang dibuat kedua belas lawannya sudah bisa dia ketahui kelemahannya. Untuk itu dia menambahkan lagi kecepatannya dengan tujuan bisa mempersingkat waktu mengalahkan mereka semua. Selain itu dia juga khawatir jika teman-teman lawannya kali ini akan berdatangan, mengingat kobaran api terus menyebar akibat panah api yang gagal mengenai sasaran dan menyasar ke pepohonan serta dedaunan kering. Jika kondisinya fit dan tidak ada racun yang bersarang di tubuhnya, Jalu tentu tidak akan takut menghadapi berapapun banyaknya lawan. Tapi situasi yang dialaminya saat ini benar-benar tidak m
"Praya, benarkah apa yang dikatakan Surapati?" Tetua pertama yang memiliki usia lebih tua dibanding lima tetua lain itu menatap Praya begitu lekat, seolah menggambarkan ketidak percayaannya akan berita yang didapatkan. "Benar, Kang Cakra. Ada seorang pendekar muda berwajah tampan yang sudah memasuki wilayah kita." "Pendekar muda?" Tetua pertama bernama Cakrasura itu menebalkan kulit dahinya yang sudah dipenuhi keriput. "Dan kalian Topeng Maut kalah oleh seorang pendekar muda? Lelucon macam apa ini, Praya?" "Aku tidak akan mungkin berani bercanda dengan membawa kematian anggota kita, Kang. Nyatanya memang begitu, pendekar yang sudah menghabisi anggota Topeng Maut di titik utara wajahnya terlihat masih begitu muda," jawab Praya, raut wajahnya menunjukkan rasa takut jika kakang seperguruannya itu sampai menunjukkan emosinya. Dia takut disalahkan karena meninggalkan anggotanya berjibaku dalam kematian. Cakrasura mengelus jenggotnya yang seluruhnya berwarna putih. Apa yang dilaporkan P
Jalu yang melihat secara langsung bagaimana Wirasoka menjilat bibirnya, langsung teringat dengan Purnomo yang pernah berniat untuk memperkosa Ayu Wulandari. Seketika emosinya pun terangkat naik dan kemudian bangkit berdiri setelah mengetahui niat buruk lelaki setengah baya tersebut. "Seharusnya orang seumuranmu itu lebih banyak mendekatkan diri kepada sang pencipta. Bukannya malah menambah dosa dan membuat orang lain menderita," ujarnya. Wirasoka dan ketujuh orang bayaran yang disewanya secara serta merta menolehkan pandangannya tertuju kepada Jalu. Pendekar muda berparas tampan itu berjalan mendekati Prawira dan Ratih yang juga sedang menatap kehadirannya. "Kalian berdua menyingkirlah. Biar aku yang memberi pelajaran kepada manusia berhati busuk seperti mereka." Prawira terkejut mendengar ucapan Jalu. Lelaki yang hampir seumuran Wirasoka itu tak percaya jika pemuda yang menurutnya masih belum genap dua puluh tahun tersebut mau membantunya. "Tapi mereka jumlahnya tidak sedikit?"
"Apa Paman mengetahuinya?" tanya Jalu penasaran. Prawira tidak langsung menjawab pertanyaan Jalu. Terlebih dahulu dia melirik putrinya yang tak henti menatap wajah Jalu. Senyum kecil terkembang di bibir ketika menyadari putri satu-satunya itu sedang merasakan jatuh cinta. "Sebelum aku menjawab pertanyaamu, bolehkah aku tahu apa alasanmu mencari mereka, Anak muda? Oh, iya, kenalkan namaku Prawira, dan ini putriku Ratih." Jalu tersenyum lebar. Harapannya untuk menemukan Ayu Wulandari kini mulai terbuka. Reaksi yang ditunjukkan Prawira menunjukkan kalau lelaki setengah baya itu mengetahui tentang gerombolan perampok penculik Ayu Wulandari. "Namaku Jalu, Paman," balas Jalu memperkenalkan dirinya. "Temanku dibawa oleh gerombolan perampok yang memiliki lambang gunung dilingkari api itu. Aku harus menyelamatkannya segera sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." Prawira menghela napas berat dan panjang. "Kenapa, Paman?" Jalu semakin penasaran dengan reaksi yang ditunjukkan Prawir
Prawira menggeleng pelan. Desahan halus keluar dari bibirnya sebelum membalas ucapan Nimas. "Itu hanya kedoknya saja ternyata. Malah aku beranggapan jika hilangnya dua gadis dari kampung kita itu Wirasoka pelakunya."Nimas memasang wajah serius. Pikirannya langsung tertuju kepada dua gadis yang seumuran dengan Ratih, begitu suaminya membeberkan dugaannya. "Ya. Aku ingat jika Wulan dan Suci telah menghilang tanpa jejak dan tidak pernah ditemukan hingga sekarang." "Sudahlah, tidak perlu dipikir lagi." Prawira tersenyum, lantas menoleh kepada Jalu. "Wirasoka dan orang-orang bayaran yang selama ini melindunginya tidak akan bisa berbuat jahat lagi. Jalu telah mengirim nyawa mereka ke Neraka!" Nimas memandang Jalu dan menatapnya lekat-lekat. Terbersit sedikit rasa tak percaya jika pemuda sebelia Jalu dan memiliki wajah yang terbilang polos, bisa membunuh Wirasoka dan anak buahnya. Tapi kesaksian suaminya dan juga Ratih tentu tidak akan bisa dibantahnya sedikitpun. Wanita berusia empat p