Gerakan langkah kaki Jalu yang sulit ditebak arahnya membuat dua belas anggota Topeng Maut itu kebingungan. Mereka tampak kesulitan untuk menentukan arah serangan. Sesekali mereka mencoba menyerang, tapi tusukan dan tebasan yang mereka lakukan hanya menerima ruang kosong. Bahkan akibat serangan yang gagal itu malah membuka pertahanan dan kerapatan formasi yang mereka buat. Jalu tersenyum lebar melihat formasi yang dibuat kedua belas lawannya sudah bisa dia ketahui kelemahannya. Untuk itu dia menambahkan lagi kecepatannya dengan tujuan bisa mempersingkat waktu mengalahkan mereka semua. Selain itu dia juga khawatir jika teman-teman lawannya kali ini akan berdatangan, mengingat kobaran api terus menyebar akibat panah api yang gagal mengenai sasaran dan menyasar ke pepohonan serta dedaunan kering. Jika kondisinya fit dan tidak ada racun yang bersarang di tubuhnya, Jalu tentu tidak akan takut menghadapi berapapun banyaknya lawan. Tapi situasi yang dialaminya saat ini benar-benar tidak m
"Praya, benarkah apa yang dikatakan Surapati?" Tetua pertama yang memiliki usia lebih tua dibanding lima tetua lain itu menatap Praya begitu lekat, seolah menggambarkan ketidak percayaannya akan berita yang didapatkan. "Benar, Kang Cakra. Ada seorang pendekar muda berwajah tampan yang sudah memasuki wilayah kita." "Pendekar muda?" Tetua pertama bernama Cakrasura itu menebalkan kulit dahinya yang sudah dipenuhi keriput. "Dan kalian Topeng Maut kalah oleh seorang pendekar muda? Lelucon macam apa ini, Praya?" "Aku tidak akan mungkin berani bercanda dengan membawa kematian anggota kita, Kang. Nyatanya memang begitu, pendekar yang sudah menghabisi anggota Topeng Maut di titik utara wajahnya terlihat masih begitu muda," jawab Praya, raut wajahnya menunjukkan rasa takut jika kakang seperguruannya itu sampai menunjukkan emosinya. Dia takut disalahkan karena meninggalkan anggotanya berjibaku dalam kematian. Cakrasura mengelus jenggotnya yang seluruhnya berwarna putih. Apa yang dilaporkan P
Jalu yang melihat secara langsung bagaimana Wirasoka menjilat bibirnya, langsung teringat dengan Purnomo yang pernah berniat untuk memperkosa Ayu Wulandari. Seketika emosinya pun terangkat naik dan kemudian bangkit berdiri setelah mengetahui niat buruk lelaki setengah baya tersebut. "Seharusnya orang seumuranmu itu lebih banyak mendekatkan diri kepada sang pencipta. Bukannya malah menambah dosa dan membuat orang lain menderita," ujarnya. Wirasoka dan ketujuh orang bayaran yang disewanya secara serta merta menolehkan pandangannya tertuju kepada Jalu. Pendekar muda berparas tampan itu berjalan mendekati Prawira dan Ratih yang juga sedang menatap kehadirannya. "Kalian berdua menyingkirlah. Biar aku yang memberi pelajaran kepada manusia berhati busuk seperti mereka." Prawira terkejut mendengar ucapan Jalu. Lelaki yang hampir seumuran Wirasoka itu tak percaya jika pemuda yang menurutnya masih belum genap dua puluh tahun tersebut mau membantunya. "Tapi mereka jumlahnya tidak sedikit?"
"Apa Paman mengetahuinya?" tanya Jalu penasaran. Prawira tidak langsung menjawab pertanyaan Jalu. Terlebih dahulu dia melirik putrinya yang tak henti menatap wajah Jalu. Senyum kecil terkembang di bibir ketika menyadari putri satu-satunya itu sedang merasakan jatuh cinta. "Sebelum aku menjawab pertanyaamu, bolehkah aku tahu apa alasanmu mencari mereka, Anak muda? Oh, iya, kenalkan namaku Prawira, dan ini putriku Ratih." Jalu tersenyum lebar. Harapannya untuk menemukan Ayu Wulandari kini mulai terbuka. Reaksi yang ditunjukkan Prawira menunjukkan kalau lelaki setengah baya itu mengetahui tentang gerombolan perampok penculik Ayu Wulandari. "Namaku Jalu, Paman," balas Jalu memperkenalkan dirinya. "Temanku dibawa oleh gerombolan perampok yang memiliki lambang gunung dilingkari api itu. Aku harus menyelamatkannya segera sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." Prawira menghela napas berat dan panjang. "Kenapa, Paman?" Jalu semakin penasaran dengan reaksi yang ditunjukkan Prawir
Prawira menggeleng pelan. Desahan halus keluar dari bibirnya sebelum membalas ucapan Nimas. "Itu hanya kedoknya saja ternyata. Malah aku beranggapan jika hilangnya dua gadis dari kampung kita itu Wirasoka pelakunya."Nimas memasang wajah serius. Pikirannya langsung tertuju kepada dua gadis yang seumuran dengan Ratih, begitu suaminya membeberkan dugaannya. "Ya. Aku ingat jika Wulan dan Suci telah menghilang tanpa jejak dan tidak pernah ditemukan hingga sekarang." "Sudahlah, tidak perlu dipikir lagi." Prawira tersenyum, lantas menoleh kepada Jalu. "Wirasoka dan orang-orang bayaran yang selama ini melindunginya tidak akan bisa berbuat jahat lagi. Jalu telah mengirim nyawa mereka ke Neraka!" Nimas memandang Jalu dan menatapnya lekat-lekat. Terbersit sedikit rasa tak percaya jika pemuda sebelia Jalu dan memiliki wajah yang terbilang polos, bisa membunuh Wirasoka dan anak buahnya. Tapi kesaksian suaminya dan juga Ratih tentu tidak akan bisa dibantahnya sedikitpun. Wanita berusia empat p
Wanita yang dipilih Janaka menjadi khawatir, setelah tanpa sengaja ekor matanya melihat penjaga sedang meliriknya buas. Dari gerakan jakun serta lidah yang menjilat bibir, tahulah dia kalau penjaga itu menginginkan tubuhnya. "Ayo ikut aku!" Janaka menarik tangan wanita tersebut dengan sedikit kasar."Kau mau membawaku kemana?" Wanita berusia dua puluh tahunan itu berusaha mempertahankan diri. Dia sadar kalau lelaki bertubuh tinggi besar itu pasti akan memperkosanya. Janaka berbalik badan dan kemudian melayangkan tamparannya yang telak mengenai wanita itu. Plaaak! Wanita berwajah cukup cantik dengan dua bulatan yang membusung di dada itu terhuyung-huyung sebelum Janaka menangkap tubuhnya. Tanpa belas kasihan lelaki bertubuh tinggi besar itu memanggulnya di pundak seperti sedang membawa karung beras.Janaka tidak peduli meski wanita yang dipanggulnya berusaha memberontak. Dia terus berjalan hingga memasuki kamar pribadinya. Dengan sedikit kasar Janaka meletakkan tubuh wanita terseb
Kedua sosok yang ternyata lelaki dan perempuan itu menatap Jalu dengan tatapan curiga. "Berhenti, Kisanak!" Si lelaki memajukan tangannya Jalu menghentikan ayunan langkah kakinya. Sikap waspada seketika dipasangnya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun pemuda berparas tampan itu kemudian sadar jika sudah memakai seragam dari perguruan yang hendak ditujunya. Selain itu, dia juga membawa segel perguruan Gunung Setan yang diberikan Prawira kepadanya. "Tunjukkan tanda pengenalmu!" Tangan kanan Jalu langsung merogoh bagian dalam pakaiannya. Setelah itu dia mengeluarkan lempengan kecil berbahan logam kuningan yang berbentuk sama persis dengan lambang dari perguruan Gunung Setan. "Ini, Kang." Jalu menyerahkan segel kecil itu kepada salah satu sosok yang menghadangnya. Tanpa perlu memegang dan hanya melihatnya saja, kedua sosok tersebut sudah bisa memastikan jika lambang tersebut berasal dari perguruan yang menjadi tempat mereka bernaung. "Katakan kenapa kau naik
Tanpa berpikir panjang, Suryo langsung melesat meninggalkan Sri yang masih termangu di belakang. Lelaki berusia hampir setengah baya mendapat amanat sebagai penjaga pertama itu merasa telah kecolongan dengan kepolosan wajah pemuda yang tadi mereka berdua temui. Dalam jarak 15 meter di belakang, Sri berlari mengejar sembari mendumel karena Suryo meninggalkannya begitu saja. "Tunggu, Kang! Jangan main tinggal saja!" teriaknya kesal bukan bukan main. Sebagai sepasang pendekar yang ditugaskan Supraba untuk menjaga titik awal memasuki wilayah perguruan Gunung Setan, sudah barang tentu wanita empat puluh tahunan itu merasa ketakutan juga jika sampai gagal menjalankan perintah. Sri menambahkan lagi kecepatannya hingga bisa mengimbangi laju lari Suryo. Keduanya begitu lihai meliuk-liuk menghindari pepohonan yang serasa menjadi ranjau penghadang. Malam yang gelap bukan menjadi masalah berarti lagi Suryo dan Sri yang sudah sangat hapal wilayah tersebut. Setibanya di jalan kembar yang salah