Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
Rangga mendadak merinding, seorang pendekar misterius telah memberinya sebuah petunjuk. Karena hari sudah larut malam, Rangga memutuskan untuk menggalinya besok. Udara malam semakin dingin, kabut yang turun semakin pekat. Samar-samar Rangga melihat bayangan sosok-sosok yang sedang bertarung di tengah pekatnya kabut dan mendengar riuhnya suara pertarungan."Ah, aku baru ingat, malam ini malam Anggoro Kasih,"gumam Rangga.Rangga memilih untuk tidak mempedulikan suara-suara itu dan memilih tidur. Dia mulai mengantuk dan mulai memejamkan matanya. Tapi baru saja memejamkan mata, seseorang memanggil namanya."Rangga...Rangga bangunlah!"Rangga mulai ketakutan, dia tak berani membuka matanya. Takut melihat sosok-sosok seram seperti saat melihat Dewi Sekar yang telah menjelma jadi siluman ikan. Tak lama kemudian suara itu memanggil lagi"Rangga bangunlah!"Tiba-tiba terdengar suara ramai di sekitarnya, tapi suara itu bukanlah suara pertempuran. Merasa penasaran, Rangga perlahan membuka matany
Paman Mudra menatap Rangga dengan tajam"Kamu benar-benar serius mau mencari Pasar Dieng?"Tanpa ragu Rangga mengangguk"Tentu saja Paman, namanya pasar tempat yang ramai pasti mudah mencarinya kan."Paman Mudra tertegun namun sejurus kemudian dia terkekeh dan berkata"Pasar Dieng bukan pasar biasa yang sering kamu temui. Tidak semua orang bisa melihat pasar itu kecuali orang-orang yang dikehendaki.""Maksud Paman Pasar Dieng adalah pasar gaib?"Paman Mudra mengangguk"Benar, lebih tepatnya Pasar Setan, untuk menuju ke sana medannya sangat berat dan sulit. Kamu yakin tetap mau ke sana?"Rangga terdiam membayangkan medan yang akan ditempuhnya dalam pencarian Bunga Ungu seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Tapi jika melihat kondisi Mbah Janti, semangat untuk mencari bunga itu muncul kembali."Saya akan tetap ke sana Paman, saya harus melakukannya demi Mbah Janti.""Pasar Dieng ada di puncak gunung Lawu. Jika memang sudah niatmu ke sana, kamu harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,"Pama
"Siapa kamu makhluk menyeramkan?" "Aku Mahesasura, aku adalah Tuhan dari manusia yang yang menjadi budakku!" Hasta yang sudah gelap mata ingin menguasai ilmu Lipyakara, tanpa ragu mengangguk. "Ya, saya setuju, mencari tumbal manusia itu gampang. Setiap hari aku akan menyajikan manusia, untukmu!"ujar Hasta. Makhluk itu tampak gembira mendapatkan pengikut baru "Hua ha ha ha ha bagus, bagus kamu memang cerdas, baiklah aku terima kamu sebagai muridku!" ****** Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Rangga mulai membaik. Pagi itu, Rangga merasa rasa sakit yang selama ini dideritanya, mulai berkurang. Dia segera bangun dari tidurnya lalu langsung keluar kamar mencari Mbah Janti. Saat keluar kamar dia bertemu Badhra yang sedang membawa cawan obat. "Rangga, kamu sudah sembuh?" "Ya Badhra, aku sudah sembuh, sekarang dimana Mbah Janti? Aku mau bertemu dia." "Aku antarkan kamu menemuinya di ruang obat, tapi minum obat ini dulu," Badhra menyorongkan cawan pada Rangga. Rangga l
"Hasta dan komplotannya tidak hanya membunuh Mpu Waringin dan Kangmas Gondo, tetapi mereka juga membunuh Kangmas Jalu," tutur Badhra. "Lalu bagaimana kamu bisa sampai di tempat ini?" Pandangan Badhra menerawang mengingat kembali peristiwa yang telah dialaminya. Setelah terdiam beberapa lama, dia melanjutkan ceritanya. "Aku harus pergi dari padepokan, berbahaya bagiku jika aku terus berada di tempat itu. Perasaanku tak enak, aku merasa saat itu Hasta dan komplotannya sudah mulai mencurigaiku. Karena Kangmas Gondo sudah meninggal, aku dirawat oleh Paman Mudra di pondoknya. Aku menceritakan semua yang kualami kepadanya. Tengah Malam, Paman Mudra membawaku pergi ke desa ini." "Siapa itu Paman Mudra? Saat belajar ilmu pengobatan, aku tidak pernah melihatnya,"tanya Rangga. "Oh, kamu belum tahu ya, Paman Mudra itu bapaknya Gondo. Yaah, dia memang tidak pernah mengajarkan ilmu pengobatan maupun ilmu silat. Sehari-harinya dia hanya membuat obat, tak kusangka ternyata Paman Mudra juga
Rangga menghunus pedang lalu menangkis serangan Hasta dan Jabung Tarawes. Api memercik dari besi pedang setiap kali pedang mereka beradu. Melihat Rangga yang mengalami kemajuan sangat pesat dalam ilmu silatnya, Hasta mulai berpikir Dari kemarin aku perhatikan, Rangga yang semula tidak menguasai satu juruspun sekarang sudah mampu menguasai jurus-jurus yang gerakannya sulit, pikir Hasta. "Traang...traang!" Kembali pedang mereka beradu, Hasta terkejut, dia merasa tangannya kesemutan sehingga pedangnya hampir terlepas. Namun Jabung Tarawes berhasil memanfaatkan celah kosong pertahanan Rangga sehingga pedangnya berhasil membacok lengan Rangga meskipun dia sudah berusaha menghindarinya. "Aaarrrgh!"Rangga berseru kesakitan, kulit lengannya sobek mengucurkan darah. Sementara itu Mbah Janti dan Nyai Kecik sedang mengadu ilmu Kanuragan masing-masing. Melihat Rangga yang terluka. Perhatiannya langsung terpecah. Mbah Janti langsung berteriak cemas "Rangga!" Kesempatan itu digunakan
Rangga dan Mbah Janti kembali melanjutkan perjalanan menuju kediaman Nyai Kecik. Saat itu mereka telah tiba di sebuah candi tua dengan sumber air yang jernih dan mengalir deras. Rangga yang kegirangan melihat air yang mengalir bergemericik langsung menceburkan diri ke dalamnya. "Byuuuur!", "Mbah, airnya segar!" Mbah Janti hanya tersenyum melihat Rangga yang bersukaria berenang di kolam. Namun dia tetap waspada, matanya memandang berkeliling. Dia merasa harus meningkatkan kewaspadaannya demi keselamatan mereka berdua. Tiba-tiba senyuman di bibirnya lenyap. Dari balik patung-patung candi, dia melihat ada beberapa bayangan soaok-sosok manusia sedang mengamati mereka. "Rangga cepat naik, ada orang yang mengawasi kita,"perintah Mbah Janti. Rangga yang masih ingin bersantai menolak keluar. "Mbah, badanku lengket dan bau masa tidak boleh mandi?" "Dasar ngeyel, keluar cepat jika tidak aku akan mematahkan kamimu!" Rangga terkejut, belum pernah dia melihat Mbah Janti semarah itu.
Mbah Janti menarik tangan Rangga melompat ke jurang setelah itu tubuh Rangga meluncur cepat ke dasar jurang. Ada sebuah dahan semak tumbuh di dinding jurang, kaki Mbah Janti menutul dahan kecil itu sehingga laju tubuh mereka sedikit terhambat., lalu mereka kembali meluncur ke bawah jurang. Di bawah mereka tumbuh pohon Cempaka, kaki Rangga dan Mbah Janti sudah menyentuh pucuk pohon cempaka. "Sraaak...buk!" Rangga jatuh ke tanah sementara Mbah Janti mendarat dengan mulus di tanah. Ternyata mereka mendarat si sebuah hutan, tak ada rumah penduduk atau manusia yang ada di situ. Suasana di tempat itu sangat gelap, mbah Janti mengambil sebatang ranting dahan pohon lalu membakar ujungnya. Ujung ranting terbakar menerangi lingkungan di sekitar mereka. "Kita menginap di sini, besok kita cari petirtaan itu." ***** Para prajurit Majapahit di atas jurang terbengong-bengong melihat Rangga dan Mbah Janti melompat ke jurang. Hasta berseru marah "Sial, dia lolos lagi!" Jabung Tarawes me
Api membakar dinding tanaman bambu itu dengan cepat, Mbah Janti segera membereskan beberapa barang yang bisa dibawa. "Rangga, bawa barang-barangmu dan parang, kita memerlukan itu nanti!" Dari jauh terdengar suara-suara para prajurit menuju pondok Mbah Janti. Setelah membereskan barang-barangnya, Mbah Janti dan Rangga lari ke puncak gunung. Saat mendaki gunung menyelamatkan diri, Rangga sempat menoleh ke bawah, api sudah menjalar membakar tanaman dan semak belukar di halaman rumah mereka. "Itu dia...mereka lari ke puncak gunung!"seru salah seorang prajurit. "Kejar mereka, jangan sampai lolos!"seru Hasta. Saat api sudah melalap habis tanaman bambu, Hasta memasuki pondok Mbah Janti namun dia tidak menemukan siapapun di situ. Hasta yang masih mendendam terhadap Rangga, semakin geram. "Sial, kita sudah keduluan mereka sudah pergi!" "Cari mereka sampai dapat!"perintah Jabung Tarawes pada anak buahnya. Beberapa prajurit segera bergerak menyusul ke atas gunung. Sementara itu
"Pamanmu menyuruhku mengawalmu kemari,"ujar Jabung Tarawes.Jabung Tarawes adalah salah satu perwira menengah kesatuan Araraman anak buah Ra Kembar, yang juga dulu ikut membela Prabu Wijaya di masa pemberontakan Jayakatwang. Gembong dan Tunggul yang mencemaskan keselamatan Hasta langsung lari menghampiri Hasta."Kangmas Hasta, kamu tidak apa-apa?"tanya Tunggul.Melihat kedua mantan murid Sekar Jagad itu Benowo llangsung murka melihatnya."Kalian berdua pengkhianat yang tak tahu balas budi. Apa kalian tidak ingat kebaikan Mpu Waringin yang telah mengajarkan ilmu kanuragan pada kalian?!"Gembong maju ke hadapan Benowo lalu berkata dengan sinis"Aku belajar kemari juga membayar sejumlah uang untuk Mpu Waringin, jadi semua sudah impas. Apa salah jika aku kemudian memilih mengikuti Hasta yang bisa memberiku uang dan kedudukan sebagai prajurit Majapahit?"Benowo menatap Gembong dan Tunggul dengan pandangan penuh dendam."Ternyata kalian berdua pemuja harta, jika ada orang yang bisa membaya