Rangga mendadak merinding, seorang pendekar misterius telah memberinya sebuah petunjuk. Karena hari sudah larut malam, Rangga memutuskan untuk menggalinya besok. Udara malam semakin dingin, kabut yang turun semakin pekat. Samar-samar Rangga melihat bayangan sosok-sosok yang sedang bertarung di tengah pekatnya kabut dan mendengar riuhnya suara pertarungan."Ah, aku baru ingat, malam ini malam Anggoro Kasih,"gumam Rangga.Rangga memilih untuk tidak mempedulikan suara-suara itu dan memilih tidur. Dia mulai mengantuk dan mulai memejamkan matanya. Tapi baru saja memejamkan mata, seseorang memanggil namanya."Rangga...Rangga bangunlah!"Rangga mulai ketakutan, dia tak berani membuka matanya. Takut melihat sosok-sosok seram seperti saat melihat Dewi Sekar yang telah menjelma jadi siluman ikan. Tak lama kemudian suara itu memanggil lagi"Rangga bangunlah!"Tiba-tiba terdengar suara ramai di sekitarnya, tapi suara itu bukanlah suara pertempuran. Merasa penasaran, Rangga perlahan membuka matany
"Ternyata dia menyuruhku mengambil pedang ini. Tapi siapa dia sebenarnya? Kenapa dia tidak dimakamkan bersama para pendekar yang lain?pikir Rangga.Rangga melihat ke nisan mencoba membaca tulisan di nisan. Tapi nisan itu sudah ditumbuhi lumut dan jamur sehingga tulisannya tidak terbaca. Rangga mengeluarkan sebilah pisau dari pinggangnya, lalu mulai mengerik dengan hati-hati lumut yang menutupi nisan tua itu.Setelah beberapa saat mengerik, tulisan pada nisan mulai tampak. Samar terlihat nama yang tertulis pada nisan."Oooh ternyata namanya Prabangkara,"gumam Rangga.Dia membaca tahun yang tertera di batu nisan. Tertulis di batu nisan itu tahun 839 Saka. Masa dimana kerajaan Medang masih ada."Ah, pantas dia tidak dikuburkan secara massal di komplek makam itu. Ternyata makam ini sudah ada jauh sebelum Majapahit berdiri dan pertikaian di antara pendekar memperebutkan Kitab Sang Hyang Agni, batin Rangga.Rangga menguruk kembali makam Prabangkara. Usai membereskan makam tua itu, Rangga
Mpu Dharmaja terdiam seperti mengingat-ingat sesuatu, dia mengamati pamor di bilah pedang yang berwarna kebiruan dengan bentuk seperti gelombang air, lalu membaca tulisan 'Pedang Inti Air di bilah pedang. Tiba-tiba dia berseru "Pedang Inti Air, ya itu pedang yang dibuat oleh Dewa Pedang. Jadi ternyata Mpu Prabangkara Dewa pedang itu." "Mpu tahu tentang Prabangkara?" Mpu Dharmaja menggeleng "Aku hanya tahu tentang pedang pusaka ini, kalau Prabangkara aku tidak tahu karena kemungkinan dia hidup di masa Gusti Prabu Samaratungga berkuasa, sedangkan aku berada semasa pemerintahan Gusti Prabu Rakai Kayuwangi, cucu Gusti Prabu Samaratungga." "Kalau begitu aku beruntung bisa mendapatkan pedang legendaris itu dan mendapatkan pelajaran dari Mpu Prabangkara sendiri,"ujar Rangga. "Ya, kamu beruntung Rangga, kamu mendapatkan banyak pelajaran dari hantu-hantu pendekar itu dan Prabangkara." Tiba-tiba Mpu Dharmaja terdiam, berkali-kali dia menghela nafas panjang, matanya menerawang meng
Kegembiraan Hasta seketika musnah sudah, Resi Raju yang diharapkan bisa membantunya mempelajari kitab Sang Hyang Agni, ternyata menolak membantunya. Terdengar bisikan berulang di telinganya"Paksa dia, Resi itu bohong, dia tidak mau membantumu."Bisikan laknat itu terus berbunyi membuat Hasta semakin puyeng, panik dan tidak dapat lagi berpikir jernih. Hasta yang mulai marah menggebrak meja dan membentak"Braaak!""Kamu mau bantu aku tidak?!"Namun Raju tetap menolaknya "Ki Sanak, percayalah mempelajari ilmu itu sama saja dengan membunuhmu perlahan-lahan. Kalaupun selamat, kamu akan jadi gila!""Tidak, kamu jangan bohong?"Sementara itu di kamar sebelah, Amrita putri Resi Raju mendengar keributan di kamar bapaknya. segera keluar dari kamarnya lalu buru-buru masuk kamar Bapaknya."Greeek!"pintu kamar terbuka."Bapak, apa yang terjadi?"Amrita bertanya dengan panik.Hasta menoleh, dilihatnya seorang gadis India yang cantik berdiri di depan pintu. Mendadak Hasta bergerak cepat mendekati
Turangga berjalan dengan hati-hati agar tuannya tidak jatuh. Sesampainya di halaman rumah Hasta, Turangga meringkik panjang dengan suara keras berkali-kali sehingga abdinya keluar dari rumah. Melihat Hasta yang sudah lemas duduk di punggung Turangga. abdibya berseru kaget "Ndoro Hasta!" "Aku lelah, tolong aku!"perintah Hasta lirih. Setelah itu Hasta ambruk tak sadarkan diri. ****** Hasta tersadar dari pingsannya, seluruh tubuhnya terasa sakit semua. Tiba-tiba asap tebal muncul di depannya. Saat asap mulai menipis, tampaklah satu sosok makhluk manusia berkepala kerbau. "Mahesasura, mau apa kamu kemari?"tanya Hasta. "Sekedar mengingatkan saja, sampai saat ini kamu belum memberiku tumbal manusia lagi." Hasta terkejut, baru-baru ini dia memang sudah jarang memperhatikan Mahesasura karena sibuk mempelajari Sang Hyang Agni. "Maaf, belakangan aku sibuk. Baiklah aku akan mencari tumbal baru untukmu." **** Keesokan harinya, masyarakat kota Trowulan kembali dikejutkan deng
Rangga yang baru saja datang dari Gunung Pawitra telah tiba di Trowulan. Saat sedang mencari kedai makan, dari kejauhan dia melihat ada makhluk seram sedang mengganggu orang lewat. Rangga menghunus pedang Inti Air, lalu melompat tinggi melayang menebas kepala leak. Mata leak yang besar bulat berwarna kemerahan melotot marah, lalu menyemburkan api dari mulutnya."Wuuuur!"Tak ada jalan lain, Rangga terpaksa menjatuhkan tubuhnya ke samping daripada terkena sambaran api. "Buuuk."Tubuh Rangga terbanting keras di tanah. Leak itu bertambah ngamuk melihat serangannya luput, dia mengeram marah lalu kembali menyerang. Kali ini kedua tangannya yang berkuku panjang dan tajam seperti belati menyambar-nyambar menyerang Rangga yang baru saja bangkit dari jatuhnnya."Hei kukumu perlu dipotong, sudah terlalu panjang itu. Mau aku bantu potong kuku?"ujar Rangga sambil menebas si Leak."Wuuus," sambaran pedang Rangga kembali menyerang leak di bagian tangan."Kreess!" Pedang Rangga bergerak memotong k
Halaman depan bangunan tua itu sudah ditumbuhi rumput dan semak-semak yang tinggi. Namun ada jalan setapak yang pas dilewati satu orang. Lebih tepatnya jalan setapak itu terbentuk karena rumput di area itu sering diinjak untuk jalan menuju rumah.Dengan hati-hati Rangga berjalan menyusuri jalan setapak menuju pintu rumah yang kayunya sudah pecah Ada jalan setapak, berarti ada yang rutin masuk kemari, semoga saja ada orang yang menginap di sini. Semoga saja rumah tua ini ada penghuninya, pikir Rangga.Rangga berjalan menuju pintu rumah lalu membukanya perlahan. "Krieeet!'Suara pintu yang engselnya sudah rusak itu berbunyi nyaring memecah keheningan malam. Kondisi rumah itu ternyata tidak seperti yang dibayangkannya. Ruangan di dalam rumah rusak itu ternyata lumayan bersih. Tidak ada serpihan kayu, batu ataupun barang-barang tua dan kotor di dalamnya. Yang ada hanyalah tikar dan sebuah lemari kayu. Lampu minyak dengan sinarnya yang temaram menerangi ruang depan.Benar dugaanku, ada
"Siapa Ki Sanak ini? Apa salah saya kepada anda?"tanya Rangga. Namun orang itu tak menggubris Rangga. "Sssst...diam kamu, kamu pasti anak Ra Tanca yang disembunyikan itu." Rangga bertambah kesal, dia tidak kenal orang itu tapi orang itu langsung menuduhnya sebagai anak Ra Tanca. "Aku tidak kenal Ra Tanca, aku anak Ki Dipo dari desa Pandakan. Kamu kalau bicara jangan ngawur!" Orang itu bertambah kesal, dia kembali membentak Rangga "Aaah, diam kamu!" Orang itu kembali menoleh pada Awehpati "Sebentar lagi pasukan Teliksandi akan kemari membawamu ke penjara bersama anak Ra Tanca. Kecuali...." Awehpati tertegun lalu bertanya "Kecuali apa?!" Orang itu tersenyum aneh lalu berkata "Kecuali jika kamu serahkan pisau bedah Ra Tanca yang dipakai untuk membunuh Gusti Prabu Jayanegara!" "Setu, untuk apa kamu mencari pisau bedah terkutuk itu?" Ooh...jadi nama orang ini Setu, sepertinya mereka saling kenal pikir Rangga. "Setu, ternyata kamu ini sama bodohnya dengan mereka
Rangga menoleh ke arah suara itu, ketika melihat siapa yang memanggilnya Rangga terkejut, ternyata beberapa manusia berkepala babi telah mengejarnya."Sial, mereka berhasil menyusul kita!"maki Rangga.Rangga dan Awehpati mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar mereka dapat bergerak lebih cepat. Namun ternyata para manusia babi itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang tak kalah hebat. Dalam sekejap mereka mampu menjaga jarak dalam jangkauan pandangan mereka. Sehingga sulit bagi Rangga maupun Awehpati untuk menghindar. Bahkan lama kelamaan jarak mereka sudah semakin dekat.Mereka terus bergerak cepat hingga tibalah mereka di sebuah padang savana. Sebuah lahan terbuka ditumbuhi rumput dan semak-semak. Di beberapa tempat ada bebatuan berserakan di tanah. Para manusia berkepala babi semakin dekat hingga salah satu dari mereka melompat jauh, melayang di atas kepala Rangga, lalu mendarat di depan Rangga dan Awehpati menghalangi jalan mereka.Langkah Rangga terhenti, manusia berkepal
"Lalu bagaimana nasib teman-temannya yang lain?"tanya seseorang."Mereka sama-sama terbakar tapi masih bisa selamat,"seseorang menjawab.Terdengar suara ramai warga kampung yang menanggapi berita itu. Lalu seseorang berkata"Sebaiknya kita urus jenazah Randu dulu sajaTak lama kemudian Jiwan muncul di depan pintu kamar mereka berpamitan."Ki Sanak, saya tinggal pergi dulu ya. Ada warga yang meninggal, saya mau mengurus jenazahnya dulu.""Silahkan saja Ki Sanak,"jawab Awehpati.Jiwan keluar rumah menyusul rombongan teman-temannya. Setelah itu suasana kembali sepi. Saat itu juga perasaan Rangga mulai tak enak. Dia menjawil Awehpati yang duduk di dekatnya."Ki Sanak, perasaanku kok tidak enak ya?""Iya, aku juga kita pergi saja dari sini,"jawab Awehpati."Kita pergi sekarang,"Rangga langsung bangun mengemasi barang-barangnya.Usai berkemas Rangga berkata lagi"Kita pamitan dulu dengan Nyai Jiwan, tapi kalau orangnya sudah tidur kita langsung pergi saja."Berdua mereka mencari Nyai Jiwan
Rangga dan Awehpati berhenti melangkah lalu menoleh. Seorang kakek tua berjalan menghampiri mereka. Warga yang sedang berbincang di pendopo rumah berhenti berbincang memperhatikan mereka."Ki Sanak, hari sudah malam,apalagi kalian datang dari jauh pasti kalian sudah lelah. Silahkan menginap di rumah saya ,"orang tua itu menawarkan jasanya.Rangga dan Awehpati berpandangan."Gimana, kita jadi nginep di sini?"tanya Rangga.Sekilas Rangga melihat keraguan dalam mata Awehpati, namun teman seperjalanannya itu hanya mengangguk setuju."Kalau anda tidak keberatan, kami mau menginap semalam saja di sini,"kata Rangga.Orang tua itu tertawa menepuk bahu Rangga."Tidak saya tidak keberatan sama sekali. Saya senang bisa menolong orang dari jauh. Siapa nama Ki Sanak sekalian?""Saya Rangga dan dia teman saya Ki Awehpati.""Saya Jiwan, mari silahkan masuk,"Jiwan mempersilahkan mereka masuk ke rumahnya.Rumah Jiwan rumah gubuk sederhana berlantai tanah. Rangga dan Awehpati samar-samar mencium bau am
Rangga melirik Awehpati yang masih saja mengikutinya selama dalam perjalanan. Orang tua itu katanya ingin merantau ke wilayah Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari pasukan Majapahit yang memburunya. Tapi bukannya memikirkan cara untuk segera sampai ke wilayah Sunda Galuh, orang tua itu malah mengikutinya mencari Pasar Dieng di gunung Lawu. "Ki Sanak, mungkin sebaiknya anda meneruskan perjalanan ke Sunda Galuh saja. Biar saya sendirian saja mencari Pasar Dieng,"Rangga menyarankan. Awehpati hanya tersenyum lalu menepuk bahunya dan berkata "Ngger, kamu adalah anak dari sahabat sekaligus guruku. Dia sudah kuanggap seperti Saudara sendiri. Setelah dia tiada, akulah yang bertanggungjawab terhadapmu. Lagipula untuk menuju ke arah barat aku tetap harus melewati gunung ini." Rangga diam-diam merasa terharu dengan kebaikan Awehpati. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Di satu sisi dia gembira karena akhirnya dia mengetahui jati dirinya dan orangtua kandungnya. Namun dia juga
"Kedua isteri dan anak-anaknya masih tinggal di sana tapi para gundiknya sudah pergi meninggaklan tempat itu begitu mendengar Prawara bangkrut. Rumah yang mereka tempati sekarangpun hanya gubug sederhana,"ujar Ki Yasa. Rangga menghela nafas lalu berkata "Kasihan mereka, pastinya berat rasanya sudah terbiasa hidup mewah kini harus hidup miskin seperti leluhurnya dulu." Nyai Yasa masuk kamar dan mengabarkan. "Ki Awehpati masih belum sadar sampai saat ini." Rangga mulai mencemaskan kondisi Awehpati. "Kenapa dia masih belum sadar juga?" "Tidak apa-apa, besok dia sudah bisa sadar. Energi buruk yang didapatnya dari Laut Kidul membuat tubuhnya lemah. Kita bisa minta tolong Pandhita Kasyiwan di pura desa untuk mendoakannya supaya energi buruknya bisa hilang,"Ki Yasa menenangkan Rangga. Ki Yasa lalu memanggil anaknya untuk memanggilkan Pandhita Kasyiwan di pura desa. Setelah anaknya pergi, terdengar pintu rumah diketuk dan suara seorang wanita memberi salam. "Kulonuwun!" N
Rangga terkejut, dia mengira Prawara akan kembali bersama-sama. Tapi ternyata dia justru mengorbankan dirinya demi membebaskan keluarganya dari korban tumbal Nyi Blorong. Namun Ranggabtetapmingin membawa Prawara pergi."Ki Prawara, anda tetap ikut dengan kami pulang ke rumah."Ratu Kidul dan Nyi Blorong menatap Rangga dengan pandangan mengejek"Semua sudah ada di perjanjian antara kami dengan dia!"tangan Nyi Blorong menunjuk orang tua tadi.Orang tua itu hanya menunduk dan menangis menyesali keputusannya yang membuat anak keturunannya menderita."Maafkan aku sudah membuat kalian menderita. Ya, aku memang sudah memberikan stempel darah untuk kontrak perjanjian dengan Nyi Blorong bahwa aku bersedia mengorbankan anak cucuku sebagai tumbal dengan imbalan kekayaan tanpa batas,"orang tua itu berbicara sambil terisak.Nyi Blorong tersenyum sinis lalu berkata"Nah, kalian sudah dengar sendiri kan? Kami selalu menepati janji memberi kekayaan. Tapi kalian manusia yang selalu ingkar janji. Bahka
Tapi para penagih itu tidak peduli, mereka tetap memukuli bapak itu hingga luka-luka. Lalu salah satu anak buahnya mengambil tiga anak gadis bapak itu, memperkosa mereka lalu membawanya pergi. Tayangan di cermin kemudian berganti, anak kecil yang sakit itu meninggal. Sedangkan tiga anak gadis yang diambil itu terlihat berada di sebuah rumah plesir, berdandan menor melayani berbagai laki-laki yang datang di sana. Prawara dan Pawana menangis melihat penderitaan leluhurnya. "Pawana, kamu lihat sendiri penderitaan leluhur kita. Betapa menyakitkan dan menderita menjadi orang miskin. Entahlah apa keluargaku nanti mampu menghadapi keadaan ketika aku meninggalkan ilmu pesugihan ini,"kata Prawara sambil terisak. "Sudahlah Kangmas Prawara, semuanya sudah terjadi. Semoga saja Sang Hyang Widi masih mengasihani kita dan memberikan kita kesempatan untuk terlahir kembali dengan keadaan yang lebih baik,"Pawana menghibur saudaranya. "Pantas saja dengan penderitaan karena kemiskinan yang sep
"Aku sudah sering berinteraksi dengan hantu, tapi yang ini benar-benar menjijikan, mana baunya amis dan busuk,"gerutu Rangga."Ssshh...jangan keras-keras, nanti dia ngamuk,"Awehpati memperingatkan.Namun Rangga tak peduli, sambil menutup hidung, Rangga mundur beberapa langkah"Hei...hantu busuk, menjauhlah dariku. Aku tidak takut denganmu tapi aku tidak tahan dengan baumu yang busuk."Penjaga Laut Kidul itu marah lalu kembali menyabetkan cambuknya ke arah Rangga. Dengan sigap spontan Rangga menghindar. Tangannya bergerak mengerahkan energi Sang Hyang Agni ke tangannya. Sejurus kemudian api sudah berkobar di telapak tangannya membentuk selendang api. Lalu dia melemparkan selendang api ke arah si penjaga."Wuuush!"Api berkobar menyambar penjaga itu. Teriakan memilukan keluar dari bibirnya yang sudah tinggal separuh karena busuk."Aaarrrgh!"Rangga terus menyerang, selendang api sudah membelit tubuh penjaga berwajah busuk itu. Tak lama kemudian tubuh penjaga itu musnah jadi abu. Para
"Kangmas Prawara!"Pawana berlari gembira menyambut kakaknya. Pawana tidak menderita penyakit kulit seperti Prawara. Mungkin karena dia memang sudah dipilih jadi tumbal yang tentunya harus bersih dari penyakit. Tetapi tubuhnya tampak lebih kurus, dia hanya mengenakan celana gringsing yang sudah kumal, tangan dan kakinya dirantai.Kedua saudara kembar itu kemudian berbincang sementara Rangga dan Awehpati mengamati dari jauh."Kasihan Pawana, sukmanya terjebak di dunia demit dijadikan budak mereka sampai akhir jaman,"ujar Awehpati dengan suara lirih."Bisakah kita membebaskan sukmanya agar kematiannya bisa sempurna dan dia bisa terlahir kembali?""tanya Rangga."Entahlah, jika selama ini tidak ada yang mendoakan dia, mungkin sulit bagi sukmanya untuk kembali. Apalagi keluarganya adalah pemuja setan. Siapa lagi yang seharusnya mendoakannya kalau bukan dari keluarga sendiri,"ujar AwehpatiTak lama kemudian Pawana dan Prawara datang menghampiri Rangga lalu berkata"Ki Sanak sekalian, kita a