Pembalasan TKW yang diselingkuhi
#bab1Lima tahun sudah aku meninggalkan tanah air, bekerja sebagai pembantu di negeri orang. Iya-aku jadi TKW di arab saudi. Bukan keinginanku jauh dari anak dan suamiku tercinta, namun karena keadaan yang mengharuskanku bekerja menjadi TKW di negeri orang.
Hari ini kontrak kerjaku sudah habis. Dan aku memang tidak berniat untuk memperpanjangnya, walaupun majikanku sangat menyayangiku tapi rasa rinduku kepada Anak perempuan semata wayangku, membuatku ingin segera kembali ke tanah air.
Jauh-jauh hari sebelum masa kontrak kerjaku habis, aku sudah menyiapkan surat-surat dari pihak migrasi, aku juga telah memesan tiket pesawat. Semuanya telah siap. Karena bantuan dari anak majikanku semua proses kepulanganku berjalan dengan lancar.
Majikan ku dan keluarga besarnya sangat baik padaku, mereka menganggapku seperti keluarganya sendiri. Terlihat kesedihan di raut wajah mereka saat melepasku pulang. Ibu, Bapak serta kedua anaknya mengantarku sampai ke bandara. Kulihat butiran bening menetes di pelupuk mata ibu, dia memelukku dengan sangat erat. Berat rasanya hati ini berpisah dengan mereka, setelah lima tahun hidup bersama.
Jam telah menunjukan pukul 11.00 waktu saudi arabia. Itu tandanya pesawatku sebentar lagi akan berangkat. Setelah berpamitan, ku langkahkan kaki meninggalkan mereka. Ku tarik satu koper besar berisi barang-barangku dan juga hadiah dari majikanku untuk anakku tercinta.
Selama perjalanan tak henti aku memandangi foto Aisyah. Putriku yang cantik dan montok, dulu saat aku tinggal usianya masih 4 tahun. Sekarang usianya sudah 9 tahun, pasti sudah tumbuh besar. Membayangkan Aisyah tumbuh menjadi anak yang cantik, badannya yang bongsor, pipi yang tembem. Membuat rindu ini semakin tak bisa dibendung, selama 5 tahun aku kerja di saudi, hanya tiga kali aku video call dengan Aisyah. Selebihnya sudah tidak pernah. Setiap aku telpon Aisyah tidak pernah mau ngomong. Mungkin dia rindu dan sedih, karena berjauhan dengan ibunya.
"Hem-Aisyah, Ibu kangen Nak" gumamku dalam hati.
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Lebih dari 20 jam perjalanan dari saudi menuju jakarta. Perjalanan yang sangat melelahkan karena aku harus transit. Tapi sebentar lagi akan terbayar, sesampainya di bandara SOETTA aku langsung menuju money changer untuk menukar uang agar bisa aku gunakan untuk ongkos naik taxi.
Aroma roti yang dijajakan di sekitar bandara mengingatkanku pada Aisyah. Iya putriku itu sangat suka makan roti, apalagi jika berisi selai coklat. Dia pasti akan memakannya dengan lahap. Segera aku menghampiri kios roti dan membeli 3 pc roti isi coklat kesukaan Aisyah.
Langkah kaki ku semakin pasti menuju kerumunan sopir taxi yang sedang menawari jasa kepada para calon penumpang.
"Taxi, Bu!" Tanya seorang supir taxi paruh baya menghampiriku.
"Iya, Pak." Jawabku menganggukan kepala.
Dengan cekatan Bapak supir langsung mengangkat koper besarku dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
Taxi pun mulai melaju meninggalkan bandara.
"Mau kemana, Bu?" Pak sopir menanyakan tujuanku.
"Jauh, Pak. Ke Banten!, bisa kan bapak antar saya?" Sahut ku memastikan.
"Iya, bisa, Bu!" Jawab Pak sopir sambil terus fokus menyetir.
Tiga jam perjalanan dari bandara menuju Banten, jarak yang cukup jauh, membuatku tertidur di mobil.
"Maaf, Bu. Sudah hampir sampai. Ini gangnya yang sebelah mana ya?" Tanya pak sopir membangunkanku yang tengah tertidur.
"Oh iya, Pak. Maaf saya ketiduran. Masuk ke gang Anggur, Pak. Berhenti di rumah dengan pagar warna merah ya pak. Itu rumah saya." Jawabku sambil membenarkan kerudung yang sedikit berantakan.
Perasaanku senang bukan main. Akhirnya aku bisa bertemu dengan suami dan anakku tercinta, setelah lima tahun aku berpisah dengan mereka. Aku memang sengaja tidak memberitahu mereka tentang kepulanganku sekarang. Aku ingin memberikan kejutan buat anak dan suamiku.
Pak sopir memarkirkan mobilnya tepat di depan rumahku. Rumah dengan bangunan yang masih terlihat baru ini nampak begitu sepi. Mungkin anak dan suamiku sedang di dalam.
"Ini kopernya, Buk!" Ujar Pak sopir sambil meletakan koper di hadapanku.
"Makasih ya, Pak! Kembaliannya ambil aja"
"Makasih banyak, Bu!. Saya pamit dulu" Pak supir pun pamit dan pergi meninggalkanku sendirian di depan rumah.
Rumah berwarna biru muda dilengkapi pagar besi warna merah sesuai permintaanku dulu. Iya saat ku tinggal rumah ini masih setengah jadi. Namun setelah aku menjadi TKW rumah ini bisa di bangun dengan sempurna. Tak sabar rasanya ingin bertemu dengan anakku. Segera ku buka pintu pagar dan aku pun masuk ke halaman rumah.
"Assalamualaikum, Assalamualaikum." Tiga kali aku mengucap salam, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku pun berpikir sejenak. "Jangan-jangan Aisyah dan Mas Ilham sedang tidur"
Rupanya pintu rumah tidak dikunci. Akhirnya aku putuskan untuk masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah aku berteriak memanggil Aisyah dan Mas Ilham, namun lagi-lagi tidak ada jawaban.
Mataku tertuju ke arah kamar utama, kamarku dan Mas Ilham. Terdengar suara saling bersahutan, setelah aku mendekat suaranya semakin jelas terdengar. Suara desahan seorang wanita, disusul dengan suara erangan seorang pria. Suara desahan saling bersahutan, seperti orang yang sedang melakukan hubungan suami istri. Perasaanku tidak karuan, jantungku berpacu lebih kencang dari biasanya, keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi hijabku. "Ya-tuhan, siapa yang ada di dalam kamarku" gumamku dalam hati. Suara desahan si wanita semakin kencang, seolah merasakan titik puncak klimak.
Pintu kamar yang tidak di kunci membuatku dengan gampang bisa membukanya. Dan betapa terkejutnya aku saat ku buka pintu ternyata Mas Ilham sedang terlentang di atas kasur tanpa busana, dan di atas tubuhnya seorang wanita sedang berpacu layaknya seorang joki.
"Masssss !" Teriak aku sekencang-kencangnya.
"Ya-allah, Mas. Tega sekali kamu, Mas!"
Air mataku jatuh seketika, dadaku bagai di hujam benda berkarat, sakit sekali rasanya. Melihat suamiku sedang berhubungan badan dengan wanita lain di kamarku sendiri. Lima tahun aku kerja banting tulang di negeri orang, dia enak-enakan berzina dengan wanita lain.
Beberapa detik setelah teriakkanku mereka masih asyik melanjutkan pertempurannya, seolah tidak memperdulikan kehadiranku. Seakan mereka sedang berpacu menuju titik puncak.
"Mas!" Aku berteriak lebih kencang, kuambil vas bunga di atas nakas, lalu ku pecahkan di lantai. Mas Ilham terkejut dan baru menyadari keberadaanku. Seketika dia beranjak dari kasur dan mendorong wanita selingkuhannya hingga tersungkur di atas kasur.
"Tega kamu, Mas!"
Mas Ilham langsung berdiri, bergegas mengambil celana pendek yang berserakan di lantai dan memasangnya asal, lalu berjalan menghampiriku.
"PLAK" ku tampar pipi kiri Mas Ilham yang masih bercucuran peluh.
"Jahat kamu, Mas. Tega-teganya kamu berzina di rumahku!."
"PLAK" kali ini giliran pipi kanan Mas Ilham yang menerima tamparanku.
"Siapa wanita itu, Mas?" Tanyaku sambil menunjuk wanita bia*ab yang tengah duduk di atas kasurku.
"Ri-rima. Kapan kamu datang? Ma-maaf kan aku Rim, kamu jangan salah paham." Ucap Mas Ilham terbata-bata.
Wajahnya memerah seperti menahan malu karena ketahuan bejatnya.
"Sudah cukup, Mas! Jangan membela diri. Aku sudah lihat semuanya, lebih baik sekarang kamu bawa pergi wanita itu dari rumahku!"
"Cepat pakai bajumu dan pergi dari rumahku!" Kali ini aku berteriak di depan wajah wanita bia*ad yang masih bertelanjang itu. Ku lemparkan pakaiannya yang tergeletak di lantai ke mukanya. Ingin sekali rasanya aku menjambak dan memotong rambut lurus rebonding nya. Tapi aku masih bisa menahan diri dan terus berucap istighfar dalam hati.
Aku benar-benar tidak habis pikir jika kedatanganku ke rumah ini akan disambut oleh pemandangan yang menjijikan. Ditengah emosiku yang menjadi, ku dengar bunyi piring pecah mengagetkan aku dari arah belakang. Saat ku putar badan betapa terkejutnya aku melihat sosok anak kecil bertubuh kurus, berambut gimbal, terdapat banyak luka borok di kaki dan tangannya. Wajahnya pucat pasi, Telapak kakinya terluka terkena pecahan piring. Badannya gemetar seolah ketakutan. Anak itu melongo melihat ke arah kami.
"Aisyah!" Ucapku bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang kulihat.
🌺🌺 hallo teman-teman, saya hadir dengan cerita baru. Semoga suka ya🙏 jangan lupa klik follow dan subscribe cerita ini ya🌺
Pembalasan TKW yang diselingkuhi#bab2#RhienzJangan lupa follow dan subscribe dulu sebelum membaca ya. Terima kasih"Aisyah!" ucapku bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang kulihat.Segera aku menghampirinya, ku peluk erat tubuh kurusnya."Ya-allah Aisyah, kenapa kamu jadi begini, Nak?" Tangisku pecah seketika di pelukan Puteri semata wayangku. Aku tidak ingin Aisyah melihat kelakuan b*jat sang Ayah.Segera kugendong Aisyah menjauh dari Mas Ilham dan wanita sekingkuhannya yang tak kunjung mengenakanan baju, seolah dengan sengaja memamerkan tubuh seksi nya di hadapanku. Membuatku muak dan ingin sekali merajamnya.Ku ajak Aisyah duduk di sofa, wajahnya menunduk malu di pangkuanku. Tak henti-hentinya aku terus mencium Aisyah, setelah sekian lama aku tidak bertemu dengannya. Hari ini saat pertama kali aku melihatnya, sungguh membuatku menyesal telah meninggalkannya selama lima tahun. Seandainya dulu aku tidak meninggalkannya, Aisyah p
Ku dekap tubuh kurus Aisyah, ku singkap rambut gimbal yang menutupi sebagian matanya. Namun Aisyah tetap tidak ber expresi. Suara perut keroncongan terdengar nyaring di telingaku. "Aisyah, kamu lapar, Nak?" Segera aku ambil tas jinjing yang tadi ku taruh di sofa. Aku ingat dengan roti yang kubeli di Bandara tadi. Tiga potong roti ku sodorkan di hadapan Aisyah, namun Aisyah tetap tak bergeming, kini tangan kecilnya meremas di perut. Ku ambil sepotong roti dan kutaruh di telapak tangan kecil Aisyah. "Ayo, Nak. Makan rotinya! Ada coklatnya di dalam. Aisyah suka coklat kan?" ucapku sambil terus membujuk Aisyah untuk makan. Akhirnya Aisyah pun mengagguk, perlahan dia masukan roti itu kedalam mulutnya, tanpa mengunyah Aisyah langsung menelannya. Kurang dari satu menit roti itu telah habis dilahap Aisyah. Ku sodorkan roti yang kedua, kali ini Aisyah mau mengambilnya sendiri. Kayaknya Aisyah benar-benar lapar. Sama seperti roti pertama, roti yang kedua pun Aisyah telan tanpa mengunyah.Hatik
"Ya-allah, Mas! Apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku ketakutan.Jantungku berdetak kencang, takut jika Mas Rian berbuat nekat. "Laki-laki kurang ajar itu harus mendapat balasan yang setimpal!""Tapi, Mas, bukan pake cara kekerasan! Kita bisa bicarakan dulu baik-baik. Bagaimanapun saat ini status Mas Ilham masih menjadi suami, Rima," jawabku mendekati Mas Rian yang sedang dibakar emosi."Sudah, Rim. Kamu diam saja! Ini urusan lelaki" sahut Mas Rian tidak memperdulikan ucapanku.Ketakutanku semakin menjadi, saat Mas Rian sibuk mencari kunci motornya.Mas Rian orang yang sangat emosional, amarahnya sulit dikendalikan, jika sedang marah dia bisa berbuat nekat. Teringat kejadian lima belas tahun lalu, saat Almarhum Bapak difitnah oleh temannya, Mas Rian hampir saja menghilangkan nyawa teman Bapak itu.Karena tidak terima bapak di fitnah, Mas Rian menghajar habis-habisan sampai korbannya koma, dan akhirnya Mas Rian berurusan dengan polisi. Untung saja dia hanya di tahan sebentar, karena kel
Suara Mas Ilham mengagetkanku dari arah dapur. Aku yang sedang berjalan mengendap-ngendap seketika berhenti karena terkejut. Jantungku hampir saja copot."Mas Ilham!" jawabku. "Ngapain kamu datang lagi ke sini? Apa kurang puas kamu menyakiti aku dan Aisyah?" ucapku dengan nada tinggi, walaupun sebenarnya hati kecil ini takut bukan main. Tapi aku tidak boleh memperlihatkan rasa takutku kepada Mas Ilham."Rima, tolong jangan marah-marah dulu, kita bisa bicarakan baik-baik' kan?" "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas!" sahutku melengos meninggalkan Mas Ilham."Rima! Tunggu! Bisa nggak' sih, kamu dengar dulu penjelasan ku?" Teriak Mas Ilham mengejarku ke kamar Aisyah."Suami macam apa kamu, Mas. Tega-teganya kamu berbohong kepadaku selama ini, setiap aku menelponmu dan ingin berbicara dengan Aisyah, kamu selalu saja banyak alasan dan berusaha mengalihkan pembicaraan, dan ternyata aku baru sadar itu semua kebohonganmu untuk menutupi kesalahanmu, apa yang sebenarnya kamu lakukan terha
"Kamu kenapa sih, Mas? Jangan bikin malu di rumah orang," ucapku pada Mas Ilham yang tiba-tiba nyelonong."Ayo kita pulang, Rim. Mas uda laper, kamu kan harus segera masak!" Dengan seketika Mas Ilham menarik tanganku."Sebentar, Mas. Kita kan masih ngobrol," jawabku menarik tanganku dari genggaman Mas Ilham.Dari kejauhan Ibnu datang menghampiri kami, dia terlihat sangat gagah dengan kemeja putih khas seorang dokter, lengkap dengan tas hitam di tangan kirinya."Hi, Rim! Apa kabar? Kapan datang?" tanya Ibnu ramah membuat Mas Ilham sedikit geram. Aku dan Ibnu saling mengulurkan tangan, namun tidak sampai bersentuhan. Ibnu sangat mengerti jika Mas Ilham sering cemburu padanya."Kabar baik, Nu! Dua hari yang lalu. Kamu sendiri gimana kabarnya? Keren ya sekarang uda jadi dokter.""Keren, tapi masih jomblo, Neng! Susah cari yang cocok. Ibnu pengennya yang seperti Neng Rima. Uda cantik, baik, sholelah, pinter lagi. Tapi sayang …" belum tuntas Bu RT bicara, Ibnu sudah memotongnya."Uda, Bu! J
Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan kehangatan seperti sekarang ini, biasanya hari-hariku selalu dipenuhi luka batin yang kurasakan dari sosok yang menyebutnya Ayah. Iya … semenjak Ayah sering mengajak teman wanitanya ke rumah, aku bagaikan binatang piaraan yang terlantar. Sehari-hari hanya dikurung dalam kandang, menunggu sang pemilik memberinya makan. Pukulan dan hardikan bagai sarapan rutin untukku. Terkadang aku berpikir, aku hanya tinggal menunggu waktu untuk mati. Betapa tidak, untuk sesuap nasi saja, aku harus memohon sampai air mataku kering.Namun, setelah kehadiran seseorang yang memanggil dirinya, Ibu. Hatiku menjadi hangat. Dua hari lalu, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba dia hadir di rumahku, saat melihatku, dia menangis, berderai air mata di pipinya.Tangannya yang halus membelaiku. Dan memelukku dengan erat. Seketika dia menggendongku di pangkuannya. Dengan suara paraunya, dia mengajakku bicara. Namun, trauma yang kurasakan membuatku sulit untuk berucap. Ak
Bu dokter tidak menjawab. Dia hanya memberiku sebuah amplop berisi kertas putih. Tidak menunggu lama, aku langsung membukanya. *"Astagfirullah …! Ya-allah, Aisyah!" seketika air mataku menetes membasahi kertas yang ku pegang.Banyak istilah kedokteran yang aku tidak mengerti, tapi kulihat riwayat kesehatan Aisyah sangat buruk. Bahkan ada beberapa tulisan yang dicetak tebal seperti. Gizi buruk, irritable bowel syndrome/IBS (sindrom iritasi usus), fisura ani (luka/robekan di anus), dan pioderma (infeksi bakteri kulit). Nama-nama yang asing di telingaku, namun sangat menakutkan.Air mataku terus mengalir deras di pipi, Mbak Lena merangkul pundakku, berusaha menguatkan aku. Meskipun aku tau, dia juga merasakan kesedihan yang kurasakan saat ini. Ku lihat tubuh kecil Aisyah yang masih terbaring diatas ranjang, matanya menatap ke arahku, seolah ingin bertanya apa yang aku tangisi.Tak bisa kubayangkan anak sekecil Aisyah harus menderita seperti ini. Berbagai macam penyakit hinggap di tubuh
"Rim, suamimu itu benar-benar keterlaluan. Coba kamu lihat ini!" ucap Mas Rian sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Dan memperlihatkan isinya kepadaku dan Mbak Lena. Sebuah surat perjanjian utang piutang atas nama Ilham Anggoro. Dengan jaminan rumah dan tanah."Ini maksudnya apa, Mas?" tanya Mbak Lena."Tadi aku bertemu dengan temanku, dia sering memberi pinjaman uang dengan jaminan rumah atau tanah. Dan saat aku lihat foto rumah yang sedang dia pegang membuat aku terkejut. Ternyata rumah di dalam foto itu adalah rumah ibu!""Jadi, maksudnya, Mas Ilham meminjam uang dengan jaminan rumah kita?" sahut ku terkejut mendengar apa yang diucapkan Mas Rian."Iya, Rim betul!" "Tapi, mana mungkin Mas Ilham bisa mendapatkan pinjaman. Sementara sertifikat nya saja di tangan kita?" "Si Ilham hanya memberikan foto copy nya saja, temanku bilang si Ilham hanya meminjam uang dalam kurun waktu 1 bulan. Dengan bunga 10%. Bukan hanya itu, sepertinya si Ilham pandai sekali berbohon
"Selamat pagi tuan putri," ucap Ibnu saat aku membuka mata."Lho, kamu udah bangun, Nu? Emangnya ini jam berapa?" tanyaku yang masih berbaring di peraduan."Jam tujuh, kalau kamu masih ngantuk, lanjut tidur aja!""Apa?! Jam tujuh?" ucapku segera beranjak dari kasur. "Ko kamu nggak bangunin aku' sih, Nu? Aku kan jadi kesiangan. Ya ampun, bagaimana ini?" ucapku panik. Benar-benar memalukan, masa di hari pertama jadi menantu di rumah ini aku bangun kesiangan. Aduh, apa kata bu RT dan Pak RT. Apa yang harus aku katakan pada mereka."Kamu kenapa sih? Panik banget?" tanya Ibnu dengan santainya. "Ya jelas panik lah, Nu. Masa iya' aku sampai bangun siang gini, kita sampai gak sholat subuh,""Kita? Kamu aja kali. Aku sih' sholat subuh tadi, nih liat, aku udah ganteng kayak gini,""Terus, kenapa kamu gak bangunin aku? Kamu tega banget' sih, Nu!""Hehe, aku sengaja gak bangunin kamu. Habisnya aku gak tega bangunin istri yang lagi tidur nyenyak karena kelelahan habis bertempur semalaman," ucap
🍀 POV RimaTiga bulan setelah sidang perceraian pertama ku dan mas Ilham selesai, hari ini saatnya sidang yang terakhir. Sidang putusan yang aku tunggu-tunggu. Tak sabar rasanya ingin segera lepas dari ikatan ini. Ikatan yang membuat batinku tersiksa."Rim, kamu sudah siap?" ucap Ibnu saat namaku dipanggil oleh hakim. Lantas aku pun mengangguk mengiyakan, kemudian berjalan menuju kursi yang telah disediakan.Beberapa pertanyaan dilontarkan pria paruh baya di hadapanku ini. Beruntung, aku bisa menjawabnya tanpa kesulitan. Sidang berjalan dengan lancar, terlebih mas Ilham tidak hadir dalam persidangan, dan tidak ada tanggapan apapun darinya. Itu yang membuat sidang ini berjalan dengan cepat. "Dengan ini kami putuskan, saudari Rima binti Harsa telah resmi bercerai dengan saudara Ilham bin Marto, maka dengan ini' sidang kami tutup," ucap hakim di barengi dengan ketukan palu yang membuatku lega. "Alhamdulilah, ya Allah, akhirnya selesai juga urusan ku dengan mas Ilham. Setelah ini, aku s
Setelah pertemuan dengan si Ilham tadi, aku pun memutuskan untuk pulang ke kampung. Bisa gila aku jika lama-lama di kota. Apalagi kalau sampai bertemu dengan gadis itu, bisa darah tinggi aku dibuatnya.Bus yang aku tumpangi melaju meninggalkan Banten. Diperkirakan besok pagi aku sampai di kampung halamanku. Kring! Kring!Dering ponsel berbunyi membangunkan aku yang tengah tertidur."Ika? Ada apa dia meneleponku? Bukannya sudah kubilang aku akan tiba jam 7 pagi," gumamku dalam hati. Kemudian segera mengusap tombol hijau di layar."Halo Ibu', ibu dimana? Cepet pulang, Bu! Ika takut," ucap anak perempuan ku itu ketakutan."Ibu masih di bis, kamu kenapa' sih, Ka? Ko' panik banget?""Ika takut, Bu. Barusan ada tiga orang pria berbadan besar datang ke rumah kita. Mereka meminta uang dan mengobrak-abrik isi rumah," "Terus--sekarang mereka dimana?" tanyaku khawatir. Itu pasti para rentenir yang ingin menagih hutangnya si Ilham."Mereka udah pergi, Bu! Tapi mereka bilang, akan datang lagi ke
"Kenapa, Bu? Ibu takut?" tanyaku sedikit meledek. Sebenarnya apa yang aku katakan tentang penggorokan itu tidaklah benar, mana mungkin ada rentenir yang menggorok leher nasabah yang memiliki hutang padanya. Kalau seperti itu, sama saja rentenir itu membeli tiket ke penjara."I-ibu tidak takut! Untuk apa ibu takut sama ancaman kamu!" sahutnya dengan wajah panik."Inget ya' Rima. Ilham masih punya hak atas harta gono-gini yang kamu miliki! Pokoknya kamu harus mengembalikan semua uang yang selama ini Ilham berikan padamu!" Mendengar celotehan ibu, aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum, harta gono-gini dia bilang? Ck! Selama aku menikah dengan mas Ilham, dia sama sekali tidak memberi ku nafkah yang cukup. Bahkan, untuk uang makan sehari-hari saja masih di tanggung oleh almarhum ibu dan bapak dulu. Dan setelah aku jadi TKW, semua biaya kehidupannya aku yang menanggung. Dan sekarang dengan seenaknya ibu meminta hak atas harta gono-gini. Lucu sekali."Bukannya gaji mas Ilham
"Sudahlah, Rim, gak usah dengerin mereka. Lebih baik kita segera pergi dari sini," ajak Mbak Lena menarik tanganku keluar dari ruangan sidang. Melihat kami pergi begitu saja, ibu dan Ika semakin murka. Mereka terus saja melontarkan kata-kata kasarnya padaku dan Aisyah."Rim, kamu pulang bareng Ibnu, ya! Mbak masih harus ke supermarket beli kebutuhan anak-anak panti,""Kenapa kita nggak bareng saja, Mbak. Biar sama-sama naik mobil Ibnu,""Tidak usah, Rim. Mbak sudah pesan taxi online. Tuh dia taxi nya datang," ucap Mbak Lena menunjuk ke arah mobil Alya warna putih yang berhenti tepat di depan kita."Mbak duluan, ya! Kalian hati-hati," ucap Mbak Lena masuk ke dalam mobil meninggalkan kita yang masih berdiri di samping pagar."Mel, makasih banyak ya. Aku gak tau harus ngomong apalagi sama kamu, kalau tanpa bantuan kamu, sidang ini pasti akan berkepanjangan," ucapku pada Mela."Gak usah terima kasih sama aku, Rim. Ini semua berkat Aisyah, seandainya tadi Aisyah tidak datang--mungkin ceri
"Sudahlah, Rima! Jangan bersembunyi di balik hijabmu. Jika kau wanita baik-baik, kau tidak akan pernah memasukan laki-laki itu ke dalam kamar! Ika melihat dengan mata kepalanya sendiri jika kau telah berbuat mesum dengan pria itu!" ucap Mas Ilham menunjuk ke arah Ibnu. Sontak semua mata tertuju pada ibnu, termasuk Pak Hakim."Apa kau tidak malu' memfitnah suami mu sendiri, hah? Aku sudah sabar menanti kehadiranmu selama lima tahun, Rima. Aku rela tidak mendapatkan hak ku atas nafkah batin darimu, aku banting tulang mengurus Aisyah seorang diri. Sedangkan kau--kau sesuka hatimu ingin menjebloskan ku ke penjara?! Kau ini memang perempuan tidak tau diri! Jangan-jangan kau memang bekerja sebagai pelacur di negeri orang!" tuduhnya padaku."Jaga bicaramu, Mas!" ucapku berteriak dengan nada tinggi membuat Pak Hakim langsung mengetuk palunya."Sudah-sudah! Cukup! Saya rasa topik yang Bapak dan Ibu bicarakan sudah keluar dari jalur masalah di sidang ini!" "Ibu Rima, silahkan kembali duduk di
Setelah menembus kemacetan, akhirnya kami sampai di panti asuhan. Terlihat dari kejauhan Mbak Lena sedang sibuk bersih-bersih halaman panti di temani oleh beberapa orang anak panti.“Assalamualaikum, Mbak!” ucapku dan Ibnu bersamaan.“Waalaikumsalam, eh ponakan Tante datang!” wajab Mbak Lena , ia langsung menyambut Aisyah dengan hangat.“Apa kabar, Nu?” tanya Mbak Lena pada Ibnu yang tengah berdiri di sampingku membawa kemeja berlumuran darah.Mata Mbak Lena menatap penasaran dengan apa yang di bawa Ibnu, ia pun bertanya. “I-itu, apa Nu? Ko berlumuran darah?”Seketika aku dan Ib
“Maaf Bu, aku bukan Rima yang dulu, aku bukan menantu bodohmu yang hanya kau jadikan mesin uang. Sudah cukup rasanya pengorbananku selama ini , ketulusanku kalian manfaatkan, aku bukan lagi kerbau yang di cucuk hidungnya, yang selalu nurut apapun yang kalian suruh.” gumamku dalam hati.“Jangan kurang ajar kamu, Rima! Bagaimanapun juga status kamu, masih menantu saya! Jadi kamu harus hormat sama saya, kamu lupa kalau surga itu ada di bawah kaki Ibu? Hah! Dan Ibu kamu itu sudah meninggal, jadi sebagai gantinya adalah saya! Mertuamu sendiri, Ibu dari suamimu, dan surgamu itu ada ditelapak kakiku, kamu paham itu Rima?” terak Ibu berkacak pinggang.“Maaf, Bu. Saya tidak punya banyak waktu untuk berdebat dengan Ibu! Sebaiknya Ibu pergi dari sini, sebelum saya panggil orang sekampung untuk mengusir Ibu!, ini rumah saya dan saya berhak mengusir siapapun yang saya tidak suka dari rumah ini.” ucapku de
Aku bukan menantu bodoh"Mas! Keterlaluan kamu! Lancang sekali kamu nampar pipi ku?" Teriak Ika kesal, dia terus memegangi pipinya yang memerah."Kamu memang pantas ditampar!, sebagai seorang Adik ipar, seharusnya kamu bersikap lebih sopan pada Kakak ipar mu! Bagaimanapun juga Rima adalah kakak ipar mu!" jawab Ibnu dengan tegas, membuat Ika semakin kesal."Kakak ipar macam apa yang berani memasukan laki-laki yang bukan muhrim ke dalam kamar? Padahal uda jelas-jelas suaminya tidak ada dirumah, untung cuma aku lepaskan kerudung nya, kalau perlu aku telanjangi dia, dan di arak keliling kampung, biar semua warga kampung sini tau kelakuan bejatnya!""Plak!" Aku benar-benar hilang kend