"Ya-allah, Mas! Apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku ketakutan.
Jantungku berdetak kencang, takut jika Mas Rian berbuat nekat. "Laki-laki kurang ajar itu harus mendapat balasan yang setimpal!""Tapi, Mas, bukan pake cara kekerasan! Kita bisa bicarakan dulu baik-baik. Bagaimanapun saat ini status Mas Ilham masih menjadi suami, Rima," jawabku mendekati Mas Rian yang sedang dibakar emosi."Sudah, Rim. Kamu diam saja! Ini urusan lelaki" sahut Mas Rian tidak memperdulikan ucapanku.Ketakutanku semakin menjadi, saat Mas Rian sibuk mencari kunci motornya.Mas Rian orang yang sangat emosional, amarahnya sulit dikendalikan, jika sedang marah dia bisa berbuat nekat. Teringat kejadian lima belas tahun lalu, saat Almarhum Bapak difitnah oleh temannya, Mas Rian hampir saja menghilangkan nyawa teman Bapak itu.Karena tidak terima bapak di fitnah, Mas Rian menghajar habis-habisan sampai korbannya koma, dan akhirnya Mas Rian berurusan dengan polisi. Untung saja dia hanya di tahan sebentar, karena keluarga korban mau diajak berdamai setelah Bapak membayar penuh biaya rumah sakitnya.Mendengar keributan antara aku dan Mas Rian, Mbak Lena pun akhirnya keluar dari kamar menghampiri kami."Kalian ini apa-apaan sih? Ko malah ribut. Kasihan Aisyah. Dia baru saja tidur, jangan sampai dia terbangun gara-gara kalian berisik!" "Ma'af, Mbak. Aku cuma khawatir jika Mas Rian berbuat nekat," jawabku pelan."Kamu juga, Mas. Apa-apaan sih, pake bawa golok segala?" tegur Mbak Lena, wajahnya sedikit kesal."Kita bicarakan baik-baik solusinya, jangan sampai malah kita yang jadi tersangka!" ucap Mbak Lena menggiring kami untuk duduk.Mendengar ucapan Mbak Lena, Mas Rian langsung nurut. Dia pun kembali menaruh golok di tempat asalnya."Rim, sertifikat rumah sudah atas nama kamu?" tanya Mbak Lena."Belum, Mbak. Masih atas nama almarhum Ibu, rencananya akan segera kurubah menjadi atas namaku.""Kamu bawa sertifikatnya?" Kali ini Mas Rian yang bertanya."Bawa, Mas," jawabku sambil mengeluarkan sertifikat dari dalam tas ku."Bagus! Lebih cepat dirubah, lebih baik!" sahut Mas Rian yang mulai terlihat lebih tenang."Besok, Mbak antar kamu urus semuanya! Kebetulan Mbak punya teman yang bekerja di jasa balik nama tanah dan rumah,""Alhamdulilah, makasih banyak ya, Mbak!" Mendengar ucapan, Mbak Lena, membuatku sedikit lega.Setidaknya rumah dan tanah warisan dari ibu yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilku akan terselamatkan.***Hari sudah sore, aku harus segera pulang. Kulihat Aisyah sedang asik nonton TV bersama Mbak Lena dan Mas Rian."Mas, setelah sholat ashar aku mau pulang. Takut keburu malam,""Kamu gak nginep disini saja, Rim?" cetus Mbak Lena melirik ke arahku."Nggak, Mbak. Kapan-kapan saja, aku masih banyak urusan dirumah yang harus ku selesaikan.""Mending kamu tidur disini saja, Rim!, lebih aman. Lagian kasihan Aisyah. Capek bolak-balik Depok-Banten," seru Mas Rian, tangan kekarnya mengelus kepala Aisyah.'Aku tidak mungkin nginep disini, aku harus segera mencari buku nikah yang disembunyikan Mas Ilham entah dimana. Lagian aku juga belum lapor diri ke Pak RT mengenai kedatanganku dari Saudi,' pikirku dalam hati."Maaf, Mas. Sepertinya aku memang tidak bisa nginep disini,""Ya sudah, Rim, kalo kamu ngotot ingin pulang ke Banten, Mas tidak bisa larang. Tapi biarkan Aisyah tidur disini! Disini dia akan lebih aman." "Iya, Rim, biarkan dia tidur disini biar Mbak ada temennya!" timpal Mbak Lena.Setelah dipikir memang benar juga apa yang dibilang oleh Mas Rian dan Mbak Lena, rasanya Aisyah memang lebih aman jika untuk sementara tidur disini. Walau berat hati berjauhan dengan Aisyah, tapi ini yang terbaik.Aku ingin segera mengajukan cerai, jadi aku harus segera mencari buku nikah itu."Ya sudah, Mas! untuk malam ini, Aisyah tidur disini dulu, besok baru aku ajak pulang." Mendengar jawabanku, Mbak Lena langsung tersenyum renyah, jari lentiknya mencubit pipi, Aisyah, lalu memeluknya erat. Mbak Lena sangat menyayangi Aisyah seperti anaknya sendiri. Mungkin karena sudah dua belas tahun menikah tapi belum juga mendapatkan keturunan.Setelah selesai shalat ashar aku langsung berpamitan. "Aisyah, Ibu pulang pulang dulu ya. Aisyah malam ini bobo sama tante ya sayang, besok Ibu jemput," kupeluk tubuh Aisyah cukup lama, ku cium pipi kanan dan kirinya. Wajahnya tetap tanpa expresi, dia hanya mengangguk sambil menggigit kerudung yang dia pakai.Berat hati ini untuk meninggalkan, Aisyah. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kesehatan dan keselamatan, Aisyah. Mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan.'Sabar ya, Nak! Nanti kita berobat ke dokter,' lirihku dalam hati. "Mas, Mbak. Aku pamit dulu ya! Aku titip Aisyah, tolong dijaga baik-baik.""Iya, Rim!" jawab Mas Rian. "Kamu tenang aja, maaf gak bisa anterin kamu, Mas kerja malam!" ucap Mas Rian mengantarku sampai pintu pagar. ***Selama perjalanan yang ada di pikiranku hanya Aisyah. Sebenarnya apa yang telah dilakukan Mas Ilham kepada Aisyah selama lima tahun ini? Kenapa Aisyah sama sekali tidak mau berbicara, bahkan untuk mengutarakan rasa sakit saja tidak bisa. Padahal di sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang seharusnya dia keluhkan saat merasa sakit. Aku harus secepatnya bawa Aisyah ke dokter.Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga dirumah.Aku terkejut saat mengetahui pintu rumah sedikit terbuka. "Ya allah, siapa yang masuk kedalam rumahku? Apa jangan-jangan, Mas Ilham ada di dalam?" seketika dadaku terasa sesak, napas mulai tidak beraturan, tangan dan kaki gemetar. "Ya-allah lindungilah hamba," lirihku takut.Kenapa nyaliku tiba-tiba menciut, aku takut saat aku masuk pemandangan yang kulihat sama seperti kemarin, dengan ragu-ragu aku mulai langkahkan kaki, perlahan ku buka pintu dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu aku tidak melihat ada orang, aku sedikit lega. Kulanjutkan langkahku menuju kamar, dan ternyata tidak ada satu orang pun di dalam kamar. Aku menarik nafas lega."Alhamdulilah ya allah" ucapku tenang."Rima!! Dari mana saja kamu?!"Suara Mas Ilham mengagetkanku dari arah dapur. Aku yang sedang berjalan mengendap-ngendap seketika berhenti karena terkejut. Jantungku hampir saja copot."Mas Ilham!" jawabku. "Ngapain kamu datang lagi ke sini? Apa kurang puas kamu menyakiti aku dan Aisyah?" ucapku dengan nada tinggi, walaupun sebenarnya hati kecil ini takut bukan main. Tapi aku tidak boleh memperlihatkan rasa takutku kepada Mas Ilham."Rima, tolong jangan marah-marah dulu, kita bisa bicarakan baik-baik' kan?" "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas!" sahutku melengos meninggalkan Mas Ilham."Rima! Tunggu! Bisa nggak' sih, kamu dengar dulu penjelasan ku?" Teriak Mas Ilham mengejarku ke kamar Aisyah."Suami macam apa kamu, Mas. Tega-teganya kamu berbohong kepadaku selama ini, setiap aku menelponmu dan ingin berbicara dengan Aisyah, kamu selalu saja banyak alasan dan berusaha mengalihkan pembicaraan, dan ternyata aku baru sadar itu semua kebohonganmu untuk menutupi kesalahanmu, apa yang sebenarnya kamu lakukan terha
"Kamu kenapa sih, Mas? Jangan bikin malu di rumah orang," ucapku pada Mas Ilham yang tiba-tiba nyelonong."Ayo kita pulang, Rim. Mas uda laper, kamu kan harus segera masak!" Dengan seketika Mas Ilham menarik tanganku."Sebentar, Mas. Kita kan masih ngobrol," jawabku menarik tanganku dari genggaman Mas Ilham.Dari kejauhan Ibnu datang menghampiri kami, dia terlihat sangat gagah dengan kemeja putih khas seorang dokter, lengkap dengan tas hitam di tangan kirinya."Hi, Rim! Apa kabar? Kapan datang?" tanya Ibnu ramah membuat Mas Ilham sedikit geram. Aku dan Ibnu saling mengulurkan tangan, namun tidak sampai bersentuhan. Ibnu sangat mengerti jika Mas Ilham sering cemburu padanya."Kabar baik, Nu! Dua hari yang lalu. Kamu sendiri gimana kabarnya? Keren ya sekarang uda jadi dokter.""Keren, tapi masih jomblo, Neng! Susah cari yang cocok. Ibnu pengennya yang seperti Neng Rima. Uda cantik, baik, sholelah, pinter lagi. Tapi sayang …" belum tuntas Bu RT bicara, Ibnu sudah memotongnya."Uda, Bu! J
Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan kehangatan seperti sekarang ini, biasanya hari-hariku selalu dipenuhi luka batin yang kurasakan dari sosok yang menyebutnya Ayah. Iya … semenjak Ayah sering mengajak teman wanitanya ke rumah, aku bagaikan binatang piaraan yang terlantar. Sehari-hari hanya dikurung dalam kandang, menunggu sang pemilik memberinya makan. Pukulan dan hardikan bagai sarapan rutin untukku. Terkadang aku berpikir, aku hanya tinggal menunggu waktu untuk mati. Betapa tidak, untuk sesuap nasi saja, aku harus memohon sampai air mataku kering.Namun, setelah kehadiran seseorang yang memanggil dirinya, Ibu. Hatiku menjadi hangat. Dua hari lalu, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba dia hadir di rumahku, saat melihatku, dia menangis, berderai air mata di pipinya.Tangannya yang halus membelaiku. Dan memelukku dengan erat. Seketika dia menggendongku di pangkuannya. Dengan suara paraunya, dia mengajakku bicara. Namun, trauma yang kurasakan membuatku sulit untuk berucap. Ak
Bu dokter tidak menjawab. Dia hanya memberiku sebuah amplop berisi kertas putih. Tidak menunggu lama, aku langsung membukanya. *"Astagfirullah …! Ya-allah, Aisyah!" seketika air mataku menetes membasahi kertas yang ku pegang.Banyak istilah kedokteran yang aku tidak mengerti, tapi kulihat riwayat kesehatan Aisyah sangat buruk. Bahkan ada beberapa tulisan yang dicetak tebal seperti. Gizi buruk, irritable bowel syndrome/IBS (sindrom iritasi usus), fisura ani (luka/robekan di anus), dan pioderma (infeksi bakteri kulit). Nama-nama yang asing di telingaku, namun sangat menakutkan.Air mataku terus mengalir deras di pipi, Mbak Lena merangkul pundakku, berusaha menguatkan aku. Meskipun aku tau, dia juga merasakan kesedihan yang kurasakan saat ini. Ku lihat tubuh kecil Aisyah yang masih terbaring diatas ranjang, matanya menatap ke arahku, seolah ingin bertanya apa yang aku tangisi.Tak bisa kubayangkan anak sekecil Aisyah harus menderita seperti ini. Berbagai macam penyakit hinggap di tubuh
"Rim, suamimu itu benar-benar keterlaluan. Coba kamu lihat ini!" ucap Mas Rian sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Dan memperlihatkan isinya kepadaku dan Mbak Lena. Sebuah surat perjanjian utang piutang atas nama Ilham Anggoro. Dengan jaminan rumah dan tanah."Ini maksudnya apa, Mas?" tanya Mbak Lena."Tadi aku bertemu dengan temanku, dia sering memberi pinjaman uang dengan jaminan rumah atau tanah. Dan saat aku lihat foto rumah yang sedang dia pegang membuat aku terkejut. Ternyata rumah di dalam foto itu adalah rumah ibu!""Jadi, maksudnya, Mas Ilham meminjam uang dengan jaminan rumah kita?" sahut ku terkejut mendengar apa yang diucapkan Mas Rian."Iya, Rim betul!" "Tapi, mana mungkin Mas Ilham bisa mendapatkan pinjaman. Sementara sertifikat nya saja di tangan kita?" "Si Ilham hanya memberikan foto copy nya saja, temanku bilang si Ilham hanya meminjam uang dalam kurun waktu 1 bulan. Dengan bunga 10%. Bukan hanya itu, sepertinya si Ilham pandai sekali berbohon
"Dasar istri kurang ajar! Semalaman gak pulang, ternyata kamu asik selingkuh dengan si Ibnu!" teriak Mas Ilham yang menyambutku dengan sebuah tamparan."Jangan asal ngomong kamu, Mas! Siapa yang selingkuh? Aku gak pulang semalaman karena jagain Aisyah di rumah sakit!" ucapku tak terima dengan tuduhan Mas Ilham."Gak usah mengelak kamu, dasar pelacur!" kali ini Mas Ilham mendorong tubuhku hingga terjatuh ke kursi."Kamu suami gak punya perasaan, Mas! Selama Aisyah tidak ada di rumah ini apa kamu pernah menanyakan dimana keberadaan Aisyah? Apa pernah kamu mengkhawatirkannya? Aisyah sakit aja kamu gak tau, Mas! Bahkan gak mau tau! Apa jangan-jangan kamu yang selama ini menyakiti Aisyah, Mas?" cecarku penuh emosi."Ngo-ngomong apa kamu, Rima? Jangan asal tuduh sembarangan!" jawab Mas Ilham terbata-bata. Kulihat dia sedikit salah tingkah. "Kenapa, Mas! Mas gak suka 'kan kalo di tuduh sembarangan?" tanyaku memicingkan mata."Jangan kurang ajar kamu, Rima!" "Siapa yang kurang ajar, Mas? Aku
Aku sama sekali tidak menghiraukannya, aku biarkan dia terus-menerus mengirim pesan, aku tidak akan membalasnya. Karena itu hanya sia-sia, Mas Ilham adalah orang yang sangat cemburuan, dia akan berbuat nekat jika aku melayaninya.Sesampainya di rumah sakit aku langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya Aisyah, kulihat Aisyah sedang asik bermain ponsel ditemani Mbak Lena."Assalamualaikum!" ucapku memberi salam."W*'alaikum salam," jawab Mbak Lena."Hai, Aisyah. Aisyah lagi liat apa?" tanyaku pada Aisyah lalu mencium pipi kanan dan kirinya. Aisyah tidak menjawab, namun dengan cekatan dia memperlihat kan layar ponsel yang sedang dia pegang ke arah wajahku, seolah ingin memberitahu apa yang sedang dia lihat."Oh, Aisyah, nonton doraemon, ya?"Aisyah langsung mengangguk mengiyakan."Mas Rian mana 'Mbak?" tanyaku pada Mbak Lena yang sedang menguap ditutupi oleh kedua tangannya, sepertinya Mbak lena ngantuk dan kelelahan, dia menjaga Aisyah seharian tanpa ada yang menggantikan."Mas Rian ta
Pov IlhamLelah sekali rasanya, bertempur dengan Rima untuk pertama kalinya setelah lima tahun tidak pernah berhubungan dengannya. Kulihat Rima masih terbaring lemas di atas ranjang.Aku segera bergegas keluar dari kamar menuju sofa di ruang TV, lalu ku ambil sebatang rokok yang tergeletak di atas meja. Kusandarkan pundakku di bibir sofa untuk beristirahat sambil menunggu peluh yang masih bercucuran ini surut.Rima keluar dari kamar, tubuh mulusnya dibalut selembar handuk putih, langkahnya sedikit tertatih. Sepertinya dia benar-benar kelelahan setelah melayaniku, kakinya melangkah menuju kamar mandi.Setelah kuhisap habis sebatang rokok, aku pun tertidur di atas sofa, entah berapa lama aku tertidur. Namun, saat mataku terbuka hari sudah semakin gelap, kulihat jam di ponsel pukul 19:15 suara gerimis masih terdengar nyaring di telingaku."Rima! Cepat buatkan aku kopi!" teriakku pada Rima."Rima! Rima!" berulang kali ku panggil namanya namun Rima tidak juga menampakan batang hidungnya. "
"Selamat pagi tuan putri," ucap Ibnu saat aku membuka mata."Lho, kamu udah bangun, Nu? Emangnya ini jam berapa?" tanyaku yang masih berbaring di peraduan."Jam tujuh, kalau kamu masih ngantuk, lanjut tidur aja!""Apa?! Jam tujuh?" ucapku segera beranjak dari kasur. "Ko kamu nggak bangunin aku' sih, Nu? Aku kan jadi kesiangan. Ya ampun, bagaimana ini?" ucapku panik. Benar-benar memalukan, masa di hari pertama jadi menantu di rumah ini aku bangun kesiangan. Aduh, apa kata bu RT dan Pak RT. Apa yang harus aku katakan pada mereka."Kamu kenapa sih? Panik banget?" tanya Ibnu dengan santainya. "Ya jelas panik lah, Nu. Masa iya' aku sampai bangun siang gini, kita sampai gak sholat subuh,""Kita? Kamu aja kali. Aku sih' sholat subuh tadi, nih liat, aku udah ganteng kayak gini,""Terus, kenapa kamu gak bangunin aku? Kamu tega banget' sih, Nu!""Hehe, aku sengaja gak bangunin kamu. Habisnya aku gak tega bangunin istri yang lagi tidur nyenyak karena kelelahan habis bertempur semalaman," ucap
🍀 POV RimaTiga bulan setelah sidang perceraian pertama ku dan mas Ilham selesai, hari ini saatnya sidang yang terakhir. Sidang putusan yang aku tunggu-tunggu. Tak sabar rasanya ingin segera lepas dari ikatan ini. Ikatan yang membuat batinku tersiksa."Rim, kamu sudah siap?" ucap Ibnu saat namaku dipanggil oleh hakim. Lantas aku pun mengangguk mengiyakan, kemudian berjalan menuju kursi yang telah disediakan.Beberapa pertanyaan dilontarkan pria paruh baya di hadapanku ini. Beruntung, aku bisa menjawabnya tanpa kesulitan. Sidang berjalan dengan lancar, terlebih mas Ilham tidak hadir dalam persidangan, dan tidak ada tanggapan apapun darinya. Itu yang membuat sidang ini berjalan dengan cepat. "Dengan ini kami putuskan, saudari Rima binti Harsa telah resmi bercerai dengan saudara Ilham bin Marto, maka dengan ini' sidang kami tutup," ucap hakim di barengi dengan ketukan palu yang membuatku lega. "Alhamdulilah, ya Allah, akhirnya selesai juga urusan ku dengan mas Ilham. Setelah ini, aku s
Setelah pertemuan dengan si Ilham tadi, aku pun memutuskan untuk pulang ke kampung. Bisa gila aku jika lama-lama di kota. Apalagi kalau sampai bertemu dengan gadis itu, bisa darah tinggi aku dibuatnya.Bus yang aku tumpangi melaju meninggalkan Banten. Diperkirakan besok pagi aku sampai di kampung halamanku. Kring! Kring!Dering ponsel berbunyi membangunkan aku yang tengah tertidur."Ika? Ada apa dia meneleponku? Bukannya sudah kubilang aku akan tiba jam 7 pagi," gumamku dalam hati. Kemudian segera mengusap tombol hijau di layar."Halo Ibu', ibu dimana? Cepet pulang, Bu! Ika takut," ucap anak perempuan ku itu ketakutan."Ibu masih di bis, kamu kenapa' sih, Ka? Ko' panik banget?""Ika takut, Bu. Barusan ada tiga orang pria berbadan besar datang ke rumah kita. Mereka meminta uang dan mengobrak-abrik isi rumah," "Terus--sekarang mereka dimana?" tanyaku khawatir. Itu pasti para rentenir yang ingin menagih hutangnya si Ilham."Mereka udah pergi, Bu! Tapi mereka bilang, akan datang lagi ke
"Kenapa, Bu? Ibu takut?" tanyaku sedikit meledek. Sebenarnya apa yang aku katakan tentang penggorokan itu tidaklah benar, mana mungkin ada rentenir yang menggorok leher nasabah yang memiliki hutang padanya. Kalau seperti itu, sama saja rentenir itu membeli tiket ke penjara."I-ibu tidak takut! Untuk apa ibu takut sama ancaman kamu!" sahutnya dengan wajah panik."Inget ya' Rima. Ilham masih punya hak atas harta gono-gini yang kamu miliki! Pokoknya kamu harus mengembalikan semua uang yang selama ini Ilham berikan padamu!" Mendengar celotehan ibu, aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum, harta gono-gini dia bilang? Ck! Selama aku menikah dengan mas Ilham, dia sama sekali tidak memberi ku nafkah yang cukup. Bahkan, untuk uang makan sehari-hari saja masih di tanggung oleh almarhum ibu dan bapak dulu. Dan setelah aku jadi TKW, semua biaya kehidupannya aku yang menanggung. Dan sekarang dengan seenaknya ibu meminta hak atas harta gono-gini. Lucu sekali."Bukannya gaji mas Ilham
"Sudahlah, Rim, gak usah dengerin mereka. Lebih baik kita segera pergi dari sini," ajak Mbak Lena menarik tanganku keluar dari ruangan sidang. Melihat kami pergi begitu saja, ibu dan Ika semakin murka. Mereka terus saja melontarkan kata-kata kasarnya padaku dan Aisyah."Rim, kamu pulang bareng Ibnu, ya! Mbak masih harus ke supermarket beli kebutuhan anak-anak panti,""Kenapa kita nggak bareng saja, Mbak. Biar sama-sama naik mobil Ibnu,""Tidak usah, Rim. Mbak sudah pesan taxi online. Tuh dia taxi nya datang," ucap Mbak Lena menunjuk ke arah mobil Alya warna putih yang berhenti tepat di depan kita."Mbak duluan, ya! Kalian hati-hati," ucap Mbak Lena masuk ke dalam mobil meninggalkan kita yang masih berdiri di samping pagar."Mel, makasih banyak ya. Aku gak tau harus ngomong apalagi sama kamu, kalau tanpa bantuan kamu, sidang ini pasti akan berkepanjangan," ucapku pada Mela."Gak usah terima kasih sama aku, Rim. Ini semua berkat Aisyah, seandainya tadi Aisyah tidak datang--mungkin ceri
"Sudahlah, Rima! Jangan bersembunyi di balik hijabmu. Jika kau wanita baik-baik, kau tidak akan pernah memasukan laki-laki itu ke dalam kamar! Ika melihat dengan mata kepalanya sendiri jika kau telah berbuat mesum dengan pria itu!" ucap Mas Ilham menunjuk ke arah Ibnu. Sontak semua mata tertuju pada ibnu, termasuk Pak Hakim."Apa kau tidak malu' memfitnah suami mu sendiri, hah? Aku sudah sabar menanti kehadiranmu selama lima tahun, Rima. Aku rela tidak mendapatkan hak ku atas nafkah batin darimu, aku banting tulang mengurus Aisyah seorang diri. Sedangkan kau--kau sesuka hatimu ingin menjebloskan ku ke penjara?! Kau ini memang perempuan tidak tau diri! Jangan-jangan kau memang bekerja sebagai pelacur di negeri orang!" tuduhnya padaku."Jaga bicaramu, Mas!" ucapku berteriak dengan nada tinggi membuat Pak Hakim langsung mengetuk palunya."Sudah-sudah! Cukup! Saya rasa topik yang Bapak dan Ibu bicarakan sudah keluar dari jalur masalah di sidang ini!" "Ibu Rima, silahkan kembali duduk di
Setelah menembus kemacetan, akhirnya kami sampai di panti asuhan. Terlihat dari kejauhan Mbak Lena sedang sibuk bersih-bersih halaman panti di temani oleh beberapa orang anak panti.“Assalamualaikum, Mbak!” ucapku dan Ibnu bersamaan.“Waalaikumsalam, eh ponakan Tante datang!” wajab Mbak Lena , ia langsung menyambut Aisyah dengan hangat.“Apa kabar, Nu?” tanya Mbak Lena pada Ibnu yang tengah berdiri di sampingku membawa kemeja berlumuran darah.Mata Mbak Lena menatap penasaran dengan apa yang di bawa Ibnu, ia pun bertanya. “I-itu, apa Nu? Ko berlumuran darah?”Seketika aku dan Ib
“Maaf Bu, aku bukan Rima yang dulu, aku bukan menantu bodohmu yang hanya kau jadikan mesin uang. Sudah cukup rasanya pengorbananku selama ini , ketulusanku kalian manfaatkan, aku bukan lagi kerbau yang di cucuk hidungnya, yang selalu nurut apapun yang kalian suruh.” gumamku dalam hati.“Jangan kurang ajar kamu, Rima! Bagaimanapun juga status kamu, masih menantu saya! Jadi kamu harus hormat sama saya, kamu lupa kalau surga itu ada di bawah kaki Ibu? Hah! Dan Ibu kamu itu sudah meninggal, jadi sebagai gantinya adalah saya! Mertuamu sendiri, Ibu dari suamimu, dan surgamu itu ada ditelapak kakiku, kamu paham itu Rima?” terak Ibu berkacak pinggang.“Maaf, Bu. Saya tidak punya banyak waktu untuk berdebat dengan Ibu! Sebaiknya Ibu pergi dari sini, sebelum saya panggil orang sekampung untuk mengusir Ibu!, ini rumah saya dan saya berhak mengusir siapapun yang saya tidak suka dari rumah ini.” ucapku de
Aku bukan menantu bodoh"Mas! Keterlaluan kamu! Lancang sekali kamu nampar pipi ku?" Teriak Ika kesal, dia terus memegangi pipinya yang memerah."Kamu memang pantas ditampar!, sebagai seorang Adik ipar, seharusnya kamu bersikap lebih sopan pada Kakak ipar mu! Bagaimanapun juga Rima adalah kakak ipar mu!" jawab Ibnu dengan tegas, membuat Ika semakin kesal."Kakak ipar macam apa yang berani memasukan laki-laki yang bukan muhrim ke dalam kamar? Padahal uda jelas-jelas suaminya tidak ada dirumah, untung cuma aku lepaskan kerudung nya, kalau perlu aku telanjangi dia, dan di arak keliling kampung, biar semua warga kampung sini tau kelakuan bejatnya!""Plak!" Aku benar-benar hilang kend