Ku dekap tubuh kurus Aisyah, ku singkap rambut gimbal yang menutupi sebagian matanya. Namun Aisyah tetap tidak ber expresi. Suara perut keroncongan terdengar nyaring di telingaku.
"Aisyah, kamu lapar, Nak?" Segera aku ambil tas jinjing yang tadi ku taruh di sofa. Aku ingat dengan roti yang kubeli di Bandara tadi. Tiga potong roti ku sodorkan di hadapan Aisyah, namun Aisyah tetap tak bergeming, kini tangan kecilnya meremas di perut. Ku ambil sepotong roti dan kutaruh di telapak tangan kecil Aisyah. "Ayo, Nak. Makan rotinya! Ada coklatnya di dalam. Aisyah suka coklat kan?" ucapku sambil terus membujuk Aisyah untuk makan. Akhirnya Aisyah pun mengagguk, perlahan dia masukan roti itu kedalam mulutnya, tanpa mengunyah Aisyah langsung menelannya. Kurang dari satu menit roti itu telah habis dilahap Aisyah. Ku sodorkan roti yang kedua, kali ini Aisyah mau mengambilnya sendiri. Kayaknya Aisyah benar-benar lapar. Sama seperti roti pertama, roti yang kedua pun Aisyah telan tanpa mengunyah.Hatiku bergemuruh melihat kondisi Aisyah yang memprihatinkan. "Kejam sekali kamu, Mas! Lihat saja pembalasanku" lirihku dalam hati.Kulihat jari Aisyah menunjuk ke arah roti yang kupegang, lalu menunjuk ke arahku. Seolah menyuruhku untuk memakan roti ini."Aisyah, mau roti lagi?" tanyaku memastikan. Aisyah tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepala, lalu menunjuk lagi ke arahku. Benar saja Aisyah menyuruhku untuk makan roti ini.Ku suap roti ini ke mulutku, seketika air mataku menetes. Untuk pertama kalinya aku makan bersama Aisyah, setelah lima tahun aku tidak bertemu dengannya.Malam semakin larut, aku dan Aisyah harus segera tidur. Besok pagi aku akan pergi kerumah Mas Rian.***Adzan subuh berkumandang, membangunkan aku dari tidur, segera aku beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Selesai sholat subuh aku langsung masuk ke dalam kamar untuk mencari sertifikat rumah. Jangan sampai sertifikat rumah ini jatuh ketangan Mas Ilham, setelah aku berhasil menemukannya segera ku masukan ke dalam tasku, bersama beberapa stel baju Aisyah.Niat hati ingin membuatkan sarapan untuk Aisyah, namun ternyata di dapur tidak ada apapun yang bisa dimasak. Bahkan tabung gas saja kosong tanpa isi, seletika aku mematung sejenak. "Kalau Gas saja kosong begini, gimana caranya Mas Ilham ngasih makan Aisyah?" kutarik nafas panjang dan kuhempaskan kasar."Aisyah, kamu udah bangun, Nak?" ucapku pada Aisyah yang berdiri di pintu dapur dengan handuk berkalung di lehernya."Aisyah bawa handuk, Aisyah mau mandi?" tanyaku. Lagi-lagi Aisyah tidak menyahut. Dia tetap diam seribu bahasa. Segera ku gendong Aisyah, ku ajak dia ke kamar mandi. Setelah semua bajunya kutanggalkan nampak jelas terlihat beberapa luka di tubuh kurus Aisyah, bahkan luka borok di bagian ketiak sudah mulai melebar, dengan cekatan Aisyah mengambil sabun, dan menggosoknya di badan, seolah mati rasa dengan luka yang menempel ditubuhnya. Walaupun sesekali kulihat dia meringis saat menggosok di bagian yang luka. Aisyah masih sama seperti dulu, dia anak yang kuat dan tidak mudah mengeluh. Air mataku seketika menetes melihat semua ini. Berkali-kali aku meminta maaf kepada Aisyah. Walaupun aku tahu maafku tidak akan membuat Aisyah kembali normal seperti semula."Aisyah, keramas ya, Nak! Biar rambutnya wangi" ucapku parau. Aisyah langsung mengangguk. Ku tuangkan beberapa tetes sampo ke rambut gimbal Aisyah, entah sudah berapa lama dia tidak keramas, rambutnya tercium bau amis yang cukup menyengat.Selesai mandi ku pakaikan Aisyah baju yang ku bawa dari saudi, walau terlihat kebesaran tapi sepertinya Aisyah senang. Matanya sedikit berbinar, butuh waktu yang lama aku menyisir rambut gimbalnya.Setelah selesai disisir kupakaikan Aisyah kerudung. Wajahnya nampak cantik dengan kerudung warna merah muda."Nanti kita beli sarapan diluar ya, Nak! Sekarang Aisyah ikut ibu." Aku dan Aisyah pun pergi meninggalkan rumah. Tiga jam perjalanan dari Banten ke Depok, tapi tidak membuat Aisyah kelelahan. Kayaknya Aisyah senang bisa jalan-jalan.Sesampainya di halaman rumah Mas Rian, aku langsung masuk ke dalam rumah. "Assalamualaikum,""W*'alaikum salam" jawab Mbak Lena, istri Mas Rian."Ya-allah, Rima. Kapan kamu datang? Mbak kangen banget sama kamu." teriak Mbak Rima sambil memelukku."Kemarin, Mbak,""Ini, Aisyah ya? Duh cantik sekali keponakan Tante!" seru Mbak Lena sambil memciumi pipi Aisyah."Mas, Mas, cepet sini. Lihat ini siapa yang datang!" teriak Mbak Lena memanggil Mas Rian. "Rima!" Seketika Mas Rian memelukku, setelah sekian lama tidak bertemu, rasa kangen kakak beradik ini seolah tidak bisa dibendung. Saat aku pergi ke saudi, Mas Rian sedang kerja di kalimantan, jadi tidak tahu tentang keberangkatanku. Kita pun mengobrol bersama melepaskan rasa rindu."Berapa jam perjalanan dari saudi ke sini Rim?" tanya Mbak Lena sambil meletakan empat gelas teh hangat di meja."Kalau pakai pesawat non stop tanpa transit sekitar 9 jam, tapi kemarin pesawatku transit jadi sekitar 20 jam. Mau nyari yang non stop jadwalnya harus nunggu 1 minggu lagi Mbak. Terlalu lama, aku uda kangen sama Aisyah""Lama juga ya, Rim" jawab Mbak Lena."Mas aku …" ucapanku terhenti."Kenapa Rim?" tanya Mas Rian penasan.Akhirnya dengan berat hati ku ceritakan panjang lebar semua perbuatan Mas Ilham kepadaku dan Aisyah selama ini, termasuk kejadian di rumahku kemarin saat ku pergoki Mas Ilham sedang bersetubuh dengan wanita lain di kamarku, air mata tak henti menetes membasahi pipiku, berkali kali aku menelan saliva ku dan mengatur nafas agar bisa bercerita dengan tenang. Namun perasaan sedih dan sakit hati ini tidak bisa dibendung.Wajah Mas Rian memerah, tangannya di kepal, berkali-kali Mas Rian memukulkan tangannya ke meja, membuat Aisyah ketakutan.Aku yakin saat ini hatinya sedang membara menahan emosi di jiwanya. Seorang kakak yang mendengar adik perempuannya tersakiti pasti tidak akan tinggal diam."Kurang ajar si Ilham! Bisa-bisanya dia menyakiti kamu Rim. Kamu yang kerja banting tulang menghidupi dirinya, menuruti kemauannya, dia malah enak-enakan selingkuh dengan wanita lain!" ujar Mas Rian murka."Tenang, Mas. Jangan emosi! Kasihan Aisyah ketakutan melihat kamu marah-marah" seru Mbak Lena, berusaha menenangkan suaminya."Tapi aku tak bisa tinggal diam, Len! Melihat adik perempuanku satu-satunya diperlakukan seperti ini, apalagi dia menyiksa Aisyah hingga Aisyah seperti ini." ucap Mas Rian sambil menunjuk Aisyah di pelukanku."Mbk, tolong bawa Aisyah ke kamar ya! Biar aku yang ngomong sama Mas Rian." Dengan cekatan Mbak Lena menggendong Aisyah menjauh dari kami.Kulihat wajah Mas Rian benar-benar marah, kakak pertamaku ini memang mudah tersulut emosi, dia menggulung lengan bajunya sampai terlihat tato di lengan kanan dan kirinya.Dia berdiri lalu berjalan menuju lemari kayu, betapa terkejutnya aku saat Mas Rian berbalik badan dengan golok di tangan kanannya."Ya-allah, Mas! Apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku ketakutan.Jantungku berdetak kencang, takut jika Mas Rian berbuat nekat. "Laki-laki kurang ajar itu harus mendapat balasan yang setimpal!""Tapi, Mas, bukan pake cara kekerasan! Kita bisa bicarakan dulu baik-baik. Bagaimanapun saat ini status Mas Ilham masih menjadi suami, Rima," jawabku mendekati Mas Rian yang sedang dibakar emosi."Sudah, Rim. Kamu diam saja! Ini urusan lelaki" sahut Mas Rian tidak memperdulikan ucapanku.Ketakutanku semakin menjadi, saat Mas Rian sibuk mencari kunci motornya.Mas Rian orang yang sangat emosional, amarahnya sulit dikendalikan, jika sedang marah dia bisa berbuat nekat. Teringat kejadian lima belas tahun lalu, saat Almarhum Bapak difitnah oleh temannya, Mas Rian hampir saja menghilangkan nyawa teman Bapak itu.Karena tidak terima bapak di fitnah, Mas Rian menghajar habis-habisan sampai korbannya koma, dan akhirnya Mas Rian berurusan dengan polisi. Untung saja dia hanya di tahan sebentar, karena kel
Suara Mas Ilham mengagetkanku dari arah dapur. Aku yang sedang berjalan mengendap-ngendap seketika berhenti karena terkejut. Jantungku hampir saja copot."Mas Ilham!" jawabku. "Ngapain kamu datang lagi ke sini? Apa kurang puas kamu menyakiti aku dan Aisyah?" ucapku dengan nada tinggi, walaupun sebenarnya hati kecil ini takut bukan main. Tapi aku tidak boleh memperlihatkan rasa takutku kepada Mas Ilham."Rima, tolong jangan marah-marah dulu, kita bisa bicarakan baik-baik' kan?" "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas!" sahutku melengos meninggalkan Mas Ilham."Rima! Tunggu! Bisa nggak' sih, kamu dengar dulu penjelasan ku?" Teriak Mas Ilham mengejarku ke kamar Aisyah."Suami macam apa kamu, Mas. Tega-teganya kamu berbohong kepadaku selama ini, setiap aku menelponmu dan ingin berbicara dengan Aisyah, kamu selalu saja banyak alasan dan berusaha mengalihkan pembicaraan, dan ternyata aku baru sadar itu semua kebohonganmu untuk menutupi kesalahanmu, apa yang sebenarnya kamu lakukan terha
"Kamu kenapa sih, Mas? Jangan bikin malu di rumah orang," ucapku pada Mas Ilham yang tiba-tiba nyelonong."Ayo kita pulang, Rim. Mas uda laper, kamu kan harus segera masak!" Dengan seketika Mas Ilham menarik tanganku."Sebentar, Mas. Kita kan masih ngobrol," jawabku menarik tanganku dari genggaman Mas Ilham.Dari kejauhan Ibnu datang menghampiri kami, dia terlihat sangat gagah dengan kemeja putih khas seorang dokter, lengkap dengan tas hitam di tangan kirinya."Hi, Rim! Apa kabar? Kapan datang?" tanya Ibnu ramah membuat Mas Ilham sedikit geram. Aku dan Ibnu saling mengulurkan tangan, namun tidak sampai bersentuhan. Ibnu sangat mengerti jika Mas Ilham sering cemburu padanya."Kabar baik, Nu! Dua hari yang lalu. Kamu sendiri gimana kabarnya? Keren ya sekarang uda jadi dokter.""Keren, tapi masih jomblo, Neng! Susah cari yang cocok. Ibnu pengennya yang seperti Neng Rima. Uda cantik, baik, sholelah, pinter lagi. Tapi sayang …" belum tuntas Bu RT bicara, Ibnu sudah memotongnya."Uda, Bu! J
Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan kehangatan seperti sekarang ini, biasanya hari-hariku selalu dipenuhi luka batin yang kurasakan dari sosok yang menyebutnya Ayah. Iya … semenjak Ayah sering mengajak teman wanitanya ke rumah, aku bagaikan binatang piaraan yang terlantar. Sehari-hari hanya dikurung dalam kandang, menunggu sang pemilik memberinya makan. Pukulan dan hardikan bagai sarapan rutin untukku. Terkadang aku berpikir, aku hanya tinggal menunggu waktu untuk mati. Betapa tidak, untuk sesuap nasi saja, aku harus memohon sampai air mataku kering.Namun, setelah kehadiran seseorang yang memanggil dirinya, Ibu. Hatiku menjadi hangat. Dua hari lalu, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba dia hadir di rumahku, saat melihatku, dia menangis, berderai air mata di pipinya.Tangannya yang halus membelaiku. Dan memelukku dengan erat. Seketika dia menggendongku di pangkuannya. Dengan suara paraunya, dia mengajakku bicara. Namun, trauma yang kurasakan membuatku sulit untuk berucap. Ak
Bu dokter tidak menjawab. Dia hanya memberiku sebuah amplop berisi kertas putih. Tidak menunggu lama, aku langsung membukanya. *"Astagfirullah …! Ya-allah, Aisyah!" seketika air mataku menetes membasahi kertas yang ku pegang.Banyak istilah kedokteran yang aku tidak mengerti, tapi kulihat riwayat kesehatan Aisyah sangat buruk. Bahkan ada beberapa tulisan yang dicetak tebal seperti. Gizi buruk, irritable bowel syndrome/IBS (sindrom iritasi usus), fisura ani (luka/robekan di anus), dan pioderma (infeksi bakteri kulit). Nama-nama yang asing di telingaku, namun sangat menakutkan.Air mataku terus mengalir deras di pipi, Mbak Lena merangkul pundakku, berusaha menguatkan aku. Meskipun aku tau, dia juga merasakan kesedihan yang kurasakan saat ini. Ku lihat tubuh kecil Aisyah yang masih terbaring diatas ranjang, matanya menatap ke arahku, seolah ingin bertanya apa yang aku tangisi.Tak bisa kubayangkan anak sekecil Aisyah harus menderita seperti ini. Berbagai macam penyakit hinggap di tubuh
"Rim, suamimu itu benar-benar keterlaluan. Coba kamu lihat ini!" ucap Mas Rian sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Dan memperlihatkan isinya kepadaku dan Mbak Lena. Sebuah surat perjanjian utang piutang atas nama Ilham Anggoro. Dengan jaminan rumah dan tanah."Ini maksudnya apa, Mas?" tanya Mbak Lena."Tadi aku bertemu dengan temanku, dia sering memberi pinjaman uang dengan jaminan rumah atau tanah. Dan saat aku lihat foto rumah yang sedang dia pegang membuat aku terkejut. Ternyata rumah di dalam foto itu adalah rumah ibu!""Jadi, maksudnya, Mas Ilham meminjam uang dengan jaminan rumah kita?" sahut ku terkejut mendengar apa yang diucapkan Mas Rian."Iya, Rim betul!" "Tapi, mana mungkin Mas Ilham bisa mendapatkan pinjaman. Sementara sertifikat nya saja di tangan kita?" "Si Ilham hanya memberikan foto copy nya saja, temanku bilang si Ilham hanya meminjam uang dalam kurun waktu 1 bulan. Dengan bunga 10%. Bukan hanya itu, sepertinya si Ilham pandai sekali berbohon
"Dasar istri kurang ajar! Semalaman gak pulang, ternyata kamu asik selingkuh dengan si Ibnu!" teriak Mas Ilham yang menyambutku dengan sebuah tamparan."Jangan asal ngomong kamu, Mas! Siapa yang selingkuh? Aku gak pulang semalaman karena jagain Aisyah di rumah sakit!" ucapku tak terima dengan tuduhan Mas Ilham."Gak usah mengelak kamu, dasar pelacur!" kali ini Mas Ilham mendorong tubuhku hingga terjatuh ke kursi."Kamu suami gak punya perasaan, Mas! Selama Aisyah tidak ada di rumah ini apa kamu pernah menanyakan dimana keberadaan Aisyah? Apa pernah kamu mengkhawatirkannya? Aisyah sakit aja kamu gak tau, Mas! Bahkan gak mau tau! Apa jangan-jangan kamu yang selama ini menyakiti Aisyah, Mas?" cecarku penuh emosi."Ngo-ngomong apa kamu, Rima? Jangan asal tuduh sembarangan!" jawab Mas Ilham terbata-bata. Kulihat dia sedikit salah tingkah. "Kenapa, Mas! Mas gak suka 'kan kalo di tuduh sembarangan?" tanyaku memicingkan mata."Jangan kurang ajar kamu, Rima!" "Siapa yang kurang ajar, Mas? Aku
Aku sama sekali tidak menghiraukannya, aku biarkan dia terus-menerus mengirim pesan, aku tidak akan membalasnya. Karena itu hanya sia-sia, Mas Ilham adalah orang yang sangat cemburuan, dia akan berbuat nekat jika aku melayaninya.Sesampainya di rumah sakit aku langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya Aisyah, kulihat Aisyah sedang asik bermain ponsel ditemani Mbak Lena."Assalamualaikum!" ucapku memberi salam."W*'alaikum salam," jawab Mbak Lena."Hai, Aisyah. Aisyah lagi liat apa?" tanyaku pada Aisyah lalu mencium pipi kanan dan kirinya. Aisyah tidak menjawab, namun dengan cekatan dia memperlihat kan layar ponsel yang sedang dia pegang ke arah wajahku, seolah ingin memberitahu apa yang sedang dia lihat."Oh, Aisyah, nonton doraemon, ya?"Aisyah langsung mengangguk mengiyakan."Mas Rian mana 'Mbak?" tanyaku pada Mbak Lena yang sedang menguap ditutupi oleh kedua tangannya, sepertinya Mbak lena ngantuk dan kelelahan, dia menjaga Aisyah seharian tanpa ada yang menggantikan."Mas Rian ta
"Selamat pagi tuan putri," ucap Ibnu saat aku membuka mata."Lho, kamu udah bangun, Nu? Emangnya ini jam berapa?" tanyaku yang masih berbaring di peraduan."Jam tujuh, kalau kamu masih ngantuk, lanjut tidur aja!""Apa?! Jam tujuh?" ucapku segera beranjak dari kasur. "Ko kamu nggak bangunin aku' sih, Nu? Aku kan jadi kesiangan. Ya ampun, bagaimana ini?" ucapku panik. Benar-benar memalukan, masa di hari pertama jadi menantu di rumah ini aku bangun kesiangan. Aduh, apa kata bu RT dan Pak RT. Apa yang harus aku katakan pada mereka."Kamu kenapa sih? Panik banget?" tanya Ibnu dengan santainya. "Ya jelas panik lah, Nu. Masa iya' aku sampai bangun siang gini, kita sampai gak sholat subuh,""Kita? Kamu aja kali. Aku sih' sholat subuh tadi, nih liat, aku udah ganteng kayak gini,""Terus, kenapa kamu gak bangunin aku? Kamu tega banget' sih, Nu!""Hehe, aku sengaja gak bangunin kamu. Habisnya aku gak tega bangunin istri yang lagi tidur nyenyak karena kelelahan habis bertempur semalaman," ucap
🍀 POV RimaTiga bulan setelah sidang perceraian pertama ku dan mas Ilham selesai, hari ini saatnya sidang yang terakhir. Sidang putusan yang aku tunggu-tunggu. Tak sabar rasanya ingin segera lepas dari ikatan ini. Ikatan yang membuat batinku tersiksa."Rim, kamu sudah siap?" ucap Ibnu saat namaku dipanggil oleh hakim. Lantas aku pun mengangguk mengiyakan, kemudian berjalan menuju kursi yang telah disediakan.Beberapa pertanyaan dilontarkan pria paruh baya di hadapanku ini. Beruntung, aku bisa menjawabnya tanpa kesulitan. Sidang berjalan dengan lancar, terlebih mas Ilham tidak hadir dalam persidangan, dan tidak ada tanggapan apapun darinya. Itu yang membuat sidang ini berjalan dengan cepat. "Dengan ini kami putuskan, saudari Rima binti Harsa telah resmi bercerai dengan saudara Ilham bin Marto, maka dengan ini' sidang kami tutup," ucap hakim di barengi dengan ketukan palu yang membuatku lega. "Alhamdulilah, ya Allah, akhirnya selesai juga urusan ku dengan mas Ilham. Setelah ini, aku s
Setelah pertemuan dengan si Ilham tadi, aku pun memutuskan untuk pulang ke kampung. Bisa gila aku jika lama-lama di kota. Apalagi kalau sampai bertemu dengan gadis itu, bisa darah tinggi aku dibuatnya.Bus yang aku tumpangi melaju meninggalkan Banten. Diperkirakan besok pagi aku sampai di kampung halamanku. Kring! Kring!Dering ponsel berbunyi membangunkan aku yang tengah tertidur."Ika? Ada apa dia meneleponku? Bukannya sudah kubilang aku akan tiba jam 7 pagi," gumamku dalam hati. Kemudian segera mengusap tombol hijau di layar."Halo Ibu', ibu dimana? Cepet pulang, Bu! Ika takut," ucap anak perempuan ku itu ketakutan."Ibu masih di bis, kamu kenapa' sih, Ka? Ko' panik banget?""Ika takut, Bu. Barusan ada tiga orang pria berbadan besar datang ke rumah kita. Mereka meminta uang dan mengobrak-abrik isi rumah," "Terus--sekarang mereka dimana?" tanyaku khawatir. Itu pasti para rentenir yang ingin menagih hutangnya si Ilham."Mereka udah pergi, Bu! Tapi mereka bilang, akan datang lagi ke
"Kenapa, Bu? Ibu takut?" tanyaku sedikit meledek. Sebenarnya apa yang aku katakan tentang penggorokan itu tidaklah benar, mana mungkin ada rentenir yang menggorok leher nasabah yang memiliki hutang padanya. Kalau seperti itu, sama saja rentenir itu membeli tiket ke penjara."I-ibu tidak takut! Untuk apa ibu takut sama ancaman kamu!" sahutnya dengan wajah panik."Inget ya' Rima. Ilham masih punya hak atas harta gono-gini yang kamu miliki! Pokoknya kamu harus mengembalikan semua uang yang selama ini Ilham berikan padamu!" Mendengar celotehan ibu, aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum, harta gono-gini dia bilang? Ck! Selama aku menikah dengan mas Ilham, dia sama sekali tidak memberi ku nafkah yang cukup. Bahkan, untuk uang makan sehari-hari saja masih di tanggung oleh almarhum ibu dan bapak dulu. Dan setelah aku jadi TKW, semua biaya kehidupannya aku yang menanggung. Dan sekarang dengan seenaknya ibu meminta hak atas harta gono-gini. Lucu sekali."Bukannya gaji mas Ilham
"Sudahlah, Rim, gak usah dengerin mereka. Lebih baik kita segera pergi dari sini," ajak Mbak Lena menarik tanganku keluar dari ruangan sidang. Melihat kami pergi begitu saja, ibu dan Ika semakin murka. Mereka terus saja melontarkan kata-kata kasarnya padaku dan Aisyah."Rim, kamu pulang bareng Ibnu, ya! Mbak masih harus ke supermarket beli kebutuhan anak-anak panti,""Kenapa kita nggak bareng saja, Mbak. Biar sama-sama naik mobil Ibnu,""Tidak usah, Rim. Mbak sudah pesan taxi online. Tuh dia taxi nya datang," ucap Mbak Lena menunjuk ke arah mobil Alya warna putih yang berhenti tepat di depan kita."Mbak duluan, ya! Kalian hati-hati," ucap Mbak Lena masuk ke dalam mobil meninggalkan kita yang masih berdiri di samping pagar."Mel, makasih banyak ya. Aku gak tau harus ngomong apalagi sama kamu, kalau tanpa bantuan kamu, sidang ini pasti akan berkepanjangan," ucapku pada Mela."Gak usah terima kasih sama aku, Rim. Ini semua berkat Aisyah, seandainya tadi Aisyah tidak datang--mungkin ceri
"Sudahlah, Rima! Jangan bersembunyi di balik hijabmu. Jika kau wanita baik-baik, kau tidak akan pernah memasukan laki-laki itu ke dalam kamar! Ika melihat dengan mata kepalanya sendiri jika kau telah berbuat mesum dengan pria itu!" ucap Mas Ilham menunjuk ke arah Ibnu. Sontak semua mata tertuju pada ibnu, termasuk Pak Hakim."Apa kau tidak malu' memfitnah suami mu sendiri, hah? Aku sudah sabar menanti kehadiranmu selama lima tahun, Rima. Aku rela tidak mendapatkan hak ku atas nafkah batin darimu, aku banting tulang mengurus Aisyah seorang diri. Sedangkan kau--kau sesuka hatimu ingin menjebloskan ku ke penjara?! Kau ini memang perempuan tidak tau diri! Jangan-jangan kau memang bekerja sebagai pelacur di negeri orang!" tuduhnya padaku."Jaga bicaramu, Mas!" ucapku berteriak dengan nada tinggi membuat Pak Hakim langsung mengetuk palunya."Sudah-sudah! Cukup! Saya rasa topik yang Bapak dan Ibu bicarakan sudah keluar dari jalur masalah di sidang ini!" "Ibu Rima, silahkan kembali duduk di
Setelah menembus kemacetan, akhirnya kami sampai di panti asuhan. Terlihat dari kejauhan Mbak Lena sedang sibuk bersih-bersih halaman panti di temani oleh beberapa orang anak panti.“Assalamualaikum, Mbak!” ucapku dan Ibnu bersamaan.“Waalaikumsalam, eh ponakan Tante datang!” wajab Mbak Lena , ia langsung menyambut Aisyah dengan hangat.“Apa kabar, Nu?” tanya Mbak Lena pada Ibnu yang tengah berdiri di sampingku membawa kemeja berlumuran darah.Mata Mbak Lena menatap penasaran dengan apa yang di bawa Ibnu, ia pun bertanya. “I-itu, apa Nu? Ko berlumuran darah?”Seketika aku dan Ib
“Maaf Bu, aku bukan Rima yang dulu, aku bukan menantu bodohmu yang hanya kau jadikan mesin uang. Sudah cukup rasanya pengorbananku selama ini , ketulusanku kalian manfaatkan, aku bukan lagi kerbau yang di cucuk hidungnya, yang selalu nurut apapun yang kalian suruh.” gumamku dalam hati.“Jangan kurang ajar kamu, Rima! Bagaimanapun juga status kamu, masih menantu saya! Jadi kamu harus hormat sama saya, kamu lupa kalau surga itu ada di bawah kaki Ibu? Hah! Dan Ibu kamu itu sudah meninggal, jadi sebagai gantinya adalah saya! Mertuamu sendiri, Ibu dari suamimu, dan surgamu itu ada ditelapak kakiku, kamu paham itu Rima?” terak Ibu berkacak pinggang.“Maaf, Bu. Saya tidak punya banyak waktu untuk berdebat dengan Ibu! Sebaiknya Ibu pergi dari sini, sebelum saya panggil orang sekampung untuk mengusir Ibu!, ini rumah saya dan saya berhak mengusir siapapun yang saya tidak suka dari rumah ini.” ucapku de
Aku bukan menantu bodoh"Mas! Keterlaluan kamu! Lancang sekali kamu nampar pipi ku?" Teriak Ika kesal, dia terus memegangi pipinya yang memerah."Kamu memang pantas ditampar!, sebagai seorang Adik ipar, seharusnya kamu bersikap lebih sopan pada Kakak ipar mu! Bagaimanapun juga Rima adalah kakak ipar mu!" jawab Ibnu dengan tegas, membuat Ika semakin kesal."Kakak ipar macam apa yang berani memasukan laki-laki yang bukan muhrim ke dalam kamar? Padahal uda jelas-jelas suaminya tidak ada dirumah, untung cuma aku lepaskan kerudung nya, kalau perlu aku telanjangi dia, dan di arak keliling kampung, biar semua warga kampung sini tau kelakuan bejatnya!""Plak!" Aku benar-benar hilang kend