Aditya akhirnya bertemu dengan Indra dan Calvin di dalam bangunan itu. Bangunan yang tentu saja terlihat lusuh dan tidak terawat. Mungkin memang tidak ada orang yang menghuni rumah tersebut dan ditinggalkan begitu saja. Indra meminta Aditya datang kemari barangkali agar tidak ada orang yang curiga bahwa mereka ada di sana. Indra langsung tersenyum begitu melihat kedatangan Aditya. Aditya masih berusaha untuk bersikap tenang dan seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Dia juga membalas senyum Indra dengan senyum bersahabat. Meskipun sebenarnya dalam hatinya dia mengejek pria itu ketika mengingat bahwa saat ini mereka sedang menyembunyikan senjata di balik baju mereka. Sedangkan Jonathan sendiri sama sekali tidak tersenyum dan hanya menatap serius pada Indra. Dia paling tidak bisa berakting atau berlaga palsu di depan orang apalagi orang tersebut adalah orang yang dibenci olehnya. Dia tipikal orang yang tidak suka dramatis. Jonathan tidak segan menunjukkan perasaannya pad
Kali ini Aditya tidak tahan lagi ketika Indra menghina ibunya. Meskipun tidak sampai memukul, Aditya hanya mendorong kasar tubuh Indra untuk menjauh darinya. Dia menatap nyalang ke arah pria itu yang justru membalas tatapannya dengan pandangan meremehkan. Indra sepertinya sudah cukup puas melihat Aditya marah padanya. "Jangan pernah sekalipun mulut kotormu itu menghina ibuku!" "Nyatanya memang seperti itu. Ah, entahlah! Apakah sekarang aku harus merasa bersyukur karena kau dekat dengan anakku atau tidak, jika kau tidak pernah dekat dengan Catrina, mungkin aku tidak akan pernah mengetahui kebenaran yang mengejutkan ini." Aditya terdiam dalam beberapa detik, membiarkan Indra berbicara sesuka hatinya. Padahal dalam hatinya dia sangat berharap pria itu langsung saja menjelaskan semua alasannya melakukan hal mengerikan itu. "Aku mengajakmu bertemu kemari juga bukan untuk membuang waktu. Aku hanya ingin menyadarkanmu tentang di manakah posisimu di sini. Sebenarnya sudah seharusnya sejak
"Maafkan aku, Aditya, ternyata kaulah yang tidak tahu diri di sini. Aku tidak pernah mengira bahwa ternyata kau sudah merencanakan semua ini. Kau dan tangan kananmu itu membawa sebuah pistol yang jelas saja ditujukan untuk membunuh. Kau memang orang yang penuh kejutan, Aditya. Kau lebih agresif daripada ayahmu sendiri." Mereka masih saling menodongkan pistol dengan pandangannya nyalang. Indra masih dengan senyumannya, sedangkan Calvin di belakangnya juga menodongkan pistol pada Jonathan. Udara terasa membeku dan terasa sangat dekat. Tak ada sedikit pun kesejukan di rumah tua itu. Membuat suasananya semakin mengerikan dan semakin gelap. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Aditya, seperti perkataannya tadi, Indra juga tidak menyangka bahwa ternyata Aditya membawa pistol yang sudah disediakan untuk membalas serangannya. Itu berarti anak tersebut sudah mengetahui rencana Indra. "Siapa pun yang akan mati hari ini, percayalah bahwa salah satu orang tersebut adalah kau, Indra. Jika kau
Catrina merasa kalangkabut ketika harus membayangkan apa yang terjadi sekarang pada Aditya, ayahnya, dan juga Calvin. Ia tahu bahwa perselisihan ketiga orang itu sangat kacau. Bahkan dia bisa menebak apabila dia tidak datang tepat waktu, semuanya akan jauh lebih fatal daripada yang dia bayangkan selama ini. Mungkin akan ada nyawa yang melayang di sana. Karena itulah disini Catrina berusaha membuang perasaannya sebagai seorang anak maupun sebagai seorang kekasih karena sebenarnya dia tidak mau memihak siappun apalagi memihak yang salah. Memang sangat sulit ketika dia memutuskan untuk mendatangi kantor polisi dan melaporkan ayahnya sendiri. Bukan sesuatu yang mudah ketika dia menyadari bahwa saat ini dia dihadapkan pada dua pilihan. Dia harus memilih antara orang yang dia cintai dan juga ayah yang dia sayangi. Sebagai seorang wanita yang lebih menggunakan perasaan di segala situasi, berada dalam keadaan semacam ini dan dipaksa untuk menggunakan logika, tentu merupakan suatu hal yang sa
Indra, Calvin, Aditya, bahkan juga Jonathan sangat terkejut begitu melihat kehadiran Catrina yang didampingi pula oleh beberapa polisi di sana yang langsung menodongkan pistol pada mereka. Namun hal tersebut tidaklah cukup membuat Indra menyerah dengan keinginannya membunuh Aditya hari ini juga. Tekadnya sudah terlanjur bulat dan tidak bisa diundur lagi hanya karena kedatangan anaknya sendiri bersama beberapa petugas tak diundang itu.Dalam hatinya, tentu saja dia merasa sangat terkejut juga marah pada Catrina yang entah dengan cara apa telah mengetahui rencananya dan juga lokasi mereka saat ini. Berani sekali Catrina membawa serta polisi ke sana dan membuat mereka membeku di tempat, tak tahu harus melakukan apa. "Turunkan senjata kalian!" Salah satu polisi itu berkata tegas yang langsung membuat keempat orang itu menurunkan pistol mereka. Indra langsung menatap tajam pada putrinya sendiri yang saat ini menunduk dan tidak berani menatap matanya. Catrina yang merasa bahwa tindakannya s
"Aku tidak peduli apakah menurut Ayah itu adalah sesuatu yang benar untuk dilakukan, namun dari apa yang aku ketahui selama ini, pembunuhan tidaklah dibenarkan apalagi dengan alasan yang Ayah buat. Ayah harus tetap menyerahkan diri dan membiarkan para petugas polisi untuk mengadili semua tindakan Ayah selama ini. Kami sudah terlalu muak dengan apa yang Ayah lakukan." Indra semakin menatap marah pada putrinya. Mereka terdiam sejenak dengan beberapa polisi yang masih saja menodongkan pistol dan mengepung mereka. Keempat pria itu masih waspada, namun juga berusaha untuk tetap tenang ketika dikepung oleh polisi. Pistol mereka belum mereka jatuhkan ke lantai. "kau memang pengkhianat Catrina!" dengus Indra masih tak bis menerimanya."Apakah kamu sungguh darah dagingku Cat_""Tak perlu banyak basa-basi! Ayo, ikut kami segera!" potong salah satu petugas polisi.Para polisi itu mulai semakin tegas dan menggertak. Namun hal itu tetap saja tidak membuat Indra bergerak dari tempatnya, seakan saa
"Cat bangun Cat, apa yang kamu lakukan?""Bangunlah… bangunlah Cat, jangan buat aku merasa bersalah. Jangan tinggalkan aku.""Cat, Cat, Cat!"Lidah Aditya amat kelu, hanya itu yang bisa dia katakan. Hanya memanggil nama wanita yang kini sudah tak tahu masih bernapas atau belum.Ambulans datang, saat tubuh Catrina direbut dari tangannya. Aditya benar-benar tidak sadar jika tubuh yang lemah dan hampir kehabisan darah itu harus segera diselamatkan. Tangan Aditya sangat erat memegang tubuh Catrina, hingga beberapa paramedis harus memisahkan keduanya dengan penuh tenaga."Aditya sadar, sadar!"Jonathan yang tadi sudah diamankan para petugas polisi itu segera kembali untuk menyadarkan kondisi Aditya yang tiba-tiba saja begitu, pria itu terlihat amat trauma dengan kejadian yang telah terjadi tepat di hadapannya itu."Sadarlah, Catrina pasti akan selamat. Kalau kamu begini terpuruk, kamu akan menyesalinya Aditya."Jonathan terus memberikan kata-kata semangat agar temannya itu segera bangkit."
Jonathan yang sadar akan situasi segera menarik lengan petugas tersebut, petugas itu tampak sangat kesal dengan tindakan Aditya yang kabur begitu saja."Ah Pak tolong biarkan dia pergi, nanti juga dia akan menyusul kalau wanita tadi kondisinya aman." Cegah Jonathan."Ini pelanggaran, gak boleh kayak gini. Memangnya siapa wanita tadi, bukankah dia hanya anak dari Indra?" tanya petugas itu."Ya, anak Indra itu adalah kekasih Aditya."Mata kedua petugas polisi itu membulat, mulutnya juga monyong hingga membentuk hurup O. Terlihat sangat terkejut.Akhirnya mau tidak mau petugas itu pun mengerti, toh Aditya bersama mobilnya juga sudah jauh dan hilang dari pandangannya. Hanya saja dia merasa sia-sia karena sudah menunggu cukup lama tapi malah ditinggalkan begitu saja."Apa temanmu itu tahu dimana kekasihnya dirawat?" tanya petugas polisi saat dia dan Jonathan kini sudah berada di dalam mobil yang sedang melaju menuju tempat tujuan mereka, yaitu kantor polisi.Jonathan menggelengkan kepalanya