Meskipun di luar rencana bagaimana akhirnya Raka menceritakan masa lalu keluarganya pada Ayu, namun Raka merasa lega karena ternyata wanita itu menaruh rasa empati pada ibunya. Dari cerita Ayu juga lah Raka tahu banyak tentang masa lalu wanita itu yang ternyata juga penuh kepahitan karena pengkhianatan sang suami. Perlahan ada getaran aneh dalam hati Raka saat malam itu mengingat Ayu. Apa yang dia rasakan pada wanita yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua darinya itu sepertinya perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Entah apa ini hanya karena kasihan atau suka, Raka belum begitu yakin. Namun, setelah keduanya sama-sama saling jujur di dalam ruangan Ayu tadi siang, Raka merasakan bebannya sedikit berkurang. Entah kenapa dia merasa sangat nyaman dengan wanita itu. Ayu yang sangat perhatian saat mendengarkannya menumpahkan segala kekesalannya pada sang ayah. Dan setelah beberapa
"Pak Romi tau kenapa saya panggil?" tanya Ayu dengan serius di kursi kebesarannya di ruang direktur. Romi yang duduk di hadapannya hanya menggeleng bingung. "Sama sekali tidak, bu Direktur." "Saya baru saja mempelajari laporan kinerja Bapak selama beberapa bulan terakhir. Dan sepertinya Anda sudah banyak sekali melakukan pelanggaran, Pak." "Pelanggaran apa, Bu? Sepertinya saya melakukan pekerjaan saya dengan baik selama ini," sanggah lelaki itu. "Saya menghargai kesetiaan Anda pada perusahaan ini, tapi sayang banyak hal tidak baik yang luput dari perhatian Anda, Pak Romi. Di laporan kerja Anda banyak sekali saya temukan kejanggalan." Ayu menghempaskan berkas laporan kerja Romi di atas mejanya. "Saya ... saya tidak mengerti, Bu," ucap Romi terbata. Lemas seketika tubuhnya ketika melihat pancaran ke
"Banyak sekali makanannya, apa yang sedang kita rayakan?" tanya Raka mengerutkan dahinya. Ayu tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan pemuda tampan di depannya. "Kita sedang merayakan kemenanganmu, Raka," jawabnya. Beberapa saat yang lalu Raka menjemput Ayu dikantornya setelah menerima pesan dari wanita itu bahwa sang direktur Adyatama itu ingin makan siang bersamanya. Kemudian Ayu menyuruhnya melajukan mobil ke salah satu restoran terkenal favoritnya. Ayu sudah membuat reservasi beberapa menit sebelumnya dan memesan hidangan special untuk makan siangnya kali ini bersama Raka. "Kemenanganku? Apa itu?" Raka memicingkan mata ke arah wanita yang duduk di seberang tempat duduknya itu.
"Bang, ponsel lu tuh," teriak seorang karyawannya dari meja kerjanya. Raka yang sedang berada di meja Radit menoleh, kemudian bergegas menghampiri ponselnya yang tadi dia letakkan di atas meja si karyawan. "Halo, Yo. Kenapa?" tanyanya saat berhasil tersambung dengan sang adik. "Kak, Mama minta kakak pulang sebentar." "Kapan? Sekarang? Ada apa? Mama sakit?" "Ada yang mau Mama bicarakan sama kakak," kata Rio di seberang. "Ya udah sebentar. Kakak masih ada kerjaan dikit lagi. Kalau sudah selesai nanti kakak kesitu." . . . "Kok masih di rumah juga sih, Pah? Katanya mau pergi nyari kerjaan?" Mayang nampak tidak suka melihat suaminya ternyata masih berada di rumah saja dengan baju santainya dari tadi. Dia bahkan sudah pergi ke rumah Rani
Ayu baru saja akan bangkit dari kursi kerjanya saat tiba-tiba sambungan telepon internal dari lantai bawah menyala. Bergegas dia menekan sebuah tombol pada pesawat telepon itu. "Ya?" "Bu Ayu, ada Pak Raka di bawah," kata seorang resepsionisnya di seberang saluran. Alis Ayu tertaut. Raka tidak biasanya datang tanpa dia undang atau dia minta. Kenapa tiba-tiba dia kemari hari ini? "Minta langsung ke ruangan Saya," kata Ayu dengan hati dipenuhi tanya. "Baik, Bu," sahut si resepsionis. Beberapa menit kemudian, terdengar pintu ruangannya diketuk dari luar. "Masuk!" Dan muncullah Raka dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ap
"Kamu dari mana sih, May? Jam segini baru pulang?" Mayla kaget saat tiba-tiba ibunya menyambutnya dengan wajah ditekuk tidak karuan saat dia baru saja menjejakkan kakinya di ruang tamu rumahnya. "Ada apa sih, Mah?" tanya Mayla kebingungan. "Ada apa, Ada apa? Ini sudah sore, Kamu ngelayap kemana saja? Kalau pulang sekolah itu langsung pulang, jangan ngelayap dulu. Sudah tau juga dirumah nggak ada lagi pembantu. Malah keluyuran nggak pulang-pulang." Mayang menatap anaknya dengan jengkel. "Ini kan baru jam 4, Mah, biasanya Mayla juga kan pulangnya sore," protes gadis remaja itu. "Halah kamu itu, May. Alasan saja. Udah sana ganti baju, trus makan, lalu bantuin mama di belakang," ujarnya cepat melotot ke anaknya. "Iyaa, Mah." Mayla segera berlari ke kamar, men
Raka sedikit ragu saat maps di ponselnya memberi tanda bahwa dia sudah sampai di tempat yang ditujunya. Sebuah rumah sangat besar dengan halaman super luas dengan pintu gerbang tertutup rapat yang dijaga oleh seorang satpam. Raka baru akan turun dari mobilnya ketika satpam penjaga itu menghampirinya. "Selamat malam, Pak. Ada yang bisa dibantu?" tanyanya dengan nada formal. "Benar rumahnya Ibu Ayu?" "Ibu Ayu siapa?" tanya si satpam sedikit curiga. "Ayu Nindya dari Adyatama." "Maaf, kalau boleh tau ada kepentingan apa, Bapak?" "Saya mau jemput Bu Ayu. Sudah ada janji," jelas Raka sedikit kaku karena tidak nyaman dengan sikap petugas keamanan yang dirasanya terlalu berlebihan itu. Jadi, seketat ini rumah wanit
Sudah lebih dari sebulan setelah dipecat dari pekerjaannya, Romi belum juga mendapatkan pekerjaan. Setiap hari dia sudah berusaha kesana kemari, menghubungi rekan dan koleganya, tetap saja hasilnya nol. Istrinya mungkin benar, usianya sudah tidak muda lagi, itulah sebabnya tidak akan ada lagi yang mau mempekerjakannya. Ditengah terpuruknya kondisi ekonominya, kelakuan Mayang pun jadi semakin sulit dia kendalikan. Susah diatur, sering membantah, hingga tiap hari ada saja hal yang membuat dua pasangan itu bertengkar. Rumahnya sekarang jadi lebih terasa seperti neraka dibanding tempat yang nyaman untuk beristirahat. Semakin hari istri yang dulu dinikahinya dengan beda jarak usia 15 tahun itu pun juga semakin tidak betah di rumah. Setiap hari ada saja alasan untuk dia bisa meninggalkan rumah, meninggalkan kewajibannya mengurusi suami dan anak-anaknya. Kekhawatir