Sudah lebih dari sebulan setelah dipecat dari pekerjaannya, Romi belum juga mendapatkan pekerjaan. Setiap hari dia sudah berusaha kesana kemari, menghubungi rekan dan koleganya, tetap saja hasilnya nol. Istrinya mungkin benar, usianya sudah tidak muda lagi, itulah sebabnya tidak akan ada lagi yang mau mempekerjakannya. Ditengah terpuruknya kondisi ekonominya, kelakuan Mayang pun jadi semakin sulit dia kendalikan. Susah diatur, sering membantah, hingga tiap hari ada saja hal yang membuat dua pasangan itu bertengkar. Rumahnya sekarang jadi lebih terasa seperti neraka dibanding tempat yang nyaman untuk beristirahat. Semakin hari istri yang dulu dinikahinya dengan beda jarak usia 15 tahun itu pun juga semakin tidak betah di rumah. Setiap hari ada saja alasan untuk dia bisa meninggalkan rumah, meninggalkan kewajibannya mengurusi suami dan anak-anaknya. Kekhawatir
"Apa? Orang tua lo mau cerai, May?" tanya salah seorang sahabatnya membelalakkan matanya. Ke empat gadis remaja itu sedang duduk melingkar di salah satu bangku kantin sekolah. Tiga sahabatnya sedang sangat konsen mendengarkan cerita Mayla tentang pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibunya akhir-akhir ini. Mereka bertiga nampak menatap gadis cantik itu dengan raut prihatin. "Yang sabar ya, May. Kita pasti akan bantu lo sebisanya kok kalau dibutuhkan," kata salah seorang sahabatnya yang lain. "Membantu? Tapi bagaimana caranya kita bantu Mayla? Uang aja kita masih minta sama orang tua, Gaess," celetuk salah seorang lainnya. "Iya juga ya," sahut yang lain lagi. Mayla yang melihat perhatian yang diberikan oleh teman-temannya pun segera menyela.
Ibunda Ayu meraih kaca mata bacanya di atas meja ruang tamu setelah membenarkan letak duduknya di sofa besarnya yang nyaman. Sementara tangan kanannya membenarkan letak kaca mata, tangan kirinya segera mengambil berkas yang beberapa saat yang lalu diberikan oleh dua lelaki bertubuh tinggi besar di hadapannya, yang merupakan orang-orang kepercayaannya selama bertahun-tahun itu. "Jadi dia anaknya mantan manajer pelaksana di kantor Adyatama?" katanya seperti berguman setelah selesai memeriksa keseluruhan hal yang ada di dalam berkas tadi. "Benar, Nyonya. Beberapa waktu yang lalu ayahnya dipecat secara tidak hormat oleh bu Direktur. Lalu, hari berikutnya istrinya datang ke kantor sambil ngamuk seperti orang gila," jelas salah seorang diantaranya yang berambut lebih cepak. "Hmmm .... Ibunya anak itu?" tanya Nyonya besar Adyatama yang duduk dengan angkuhnya di sof
"Mama masuk rumah sakit, Kak." Kabar singkat yang di dengar Raka lewat sambungan telepon dengan adiknya pagi itu membuat Raka kalang kabut. Baru saja dia berhasil memejamkan mata beberapa jam setelah begadang menyelesaikan calon project barunya semalam, dan tiba-tiba ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidurnya berbunyi tadi. Raka melirik jam di ponselnya. Ini bahkan masih setengah 5 pagi. Secepat kilat Raka membersihkan wajahnya di kamar mandi, lalu mengenakan seragam kebanggaannya, jeans panjang dan kaos oblong. Kemudian melesat menuju rumah sakit yang disebutkan oleh sang adik. Saat akhirnya Raka tiba disana, dilihatnya Rio sedang duduk di tepi ranjang dimana sang ibunda terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Syukurkah, mamanya dalam kondisi sadar. Raka menghela nafas sedikit lega. Dia membayangkan tadi akan melihat mamanya terbaring
Meskipun tidak sesuai dengan harapan, Romi sedikit lega karena akhirnya dia bisa mendapatkan pekerjaan juga meskipun jauh dari bayangannya. Setidaknya ini bisa jadi batu loncatan untuknya bisa belajar berbisnis. Tadi pagi, sesuai instruksi anak perempuannya, Romi datang ke ruko yang tertulis di alamat yang diberikan Mayla. Romi datang dengan pakaian tidak begitu resmi dan mengendarai sepeda motor. Bukannya dia ingin memberi kesan sederhana, namun karena memang hari ini dia tidak bisa menemukan dimana kunci mobilnya. Entah apa dia lupa menaruh atau bagaimana, dia belum sempat memikirkannya. Istrinya pun yang ditanyai hanya menggelengkan kepala. Meskipun bukan sebuah gedung perkantoran megah, namun ruko tiga lantai itu ukurannya sangat luas. Lahan parkirnya pun lumayan luas. Di depan ruko yang dimaksud Mayla hanya ada sebuah papan nama bertuliskan 'Proje
"Siapa wanita ini?" tanya Nyonya Besar Adyatama itu dengan wajahnya yang penuh kegusaran. Dua lelaki bertubuh tinggi besar itu saling berpandangan sejenak, hingga salah satu dari mereka pun mulai bicara. "Dia ibu dari anak itu, Nyonya," katanya. "Tadi sore bu Ayu datang ke rumah sakit untuk menjenguknya. Wanita itu itu sedang sakit." Astuti, wanita tua yang usianya sudah menginjak kepala 6 itu memandangi video di layar ponsel milik seorang lelaki berotot di depannya masih tak berkedip. Ada wajah Ayu Nindya disana. Putri tersayangnya itu tengah duduk bersebelahan dengan pemuda yang tempo hari pernah datang ke rumahnya. Astuti benar-benar tidak suka melihat pemandangan itu. Anak perempuannya rupanya sudah tergila-gila dengan pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Dan wanita tua itu sangat yakin jika pemuda itu hanya mengincar harta anaknya saja.
Raka baru menginjakkan kaki di rukonya lagi saat hari menjelang malam. Hanya tinggal Radit yang masih setia di ruang kerjanya. "Belum pulang, Bang?" tanyanya sambil mendudukkan tubuh lelahnya di depan sang sahabat. "Bentar lagi, nanggung," jawab Radit sekenanya. "Gimana ibu lo?" "Nggak papa, cuma kecapekan aja katanya. Oya Bang, ada info asisten rumah tangga nggak? Pengen nyariin buat nyokap." "PRT?" "He em." "Datang aja tuh ke agen. Deket perempatan lampu merah itu kan ada. Gede itu agennya. Udah terkenal dan valid juga kayaknya." "O iya ya. Ya deh, thanks, Bang. Besok gue kesana kalau gitu." Raka menyelonjorkan kakinya ke atas meja. Lelah rasanya dan ingin segera membari
"Ngapain kamu di sini?" katanya dengan tatapan tajam ke arah lelaki paruh baya yang wajahnya mendadak pucat di hadapannya itu. "Raka, kamu di sini juga?" Raka jengah dengan pertanyaan yang dilontarkan sang ayah. "Jadi ini Bang orangnya?" Dia menoleh ke arah Radit. "Iya, Ka. Ini yang namanya Pak Romi. Kenapa sih? Kalian kenal?" Perasaan Radit mendadak tidak enak. Dia menduga ada yang tidak beres dengan dua orang yang ada di depannya itu. "Lo urus dia deh, Bang. Males gue lihat muka dia." Secepat kilat Raka berlalu dari hadapan Radit dan Romi setelah sempat menendang tempat sampah yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi hingga sampah kertas di dalamnya berhamburan di lantai. "Raka!" Romi mencoba mengejar sang anak, tapi ta