"Siapa wanita ini?" tanya Nyonya Besar Adyatama itu dengan wajahnya yang penuh kegusaran. Dua lelaki bertubuh tinggi besar itu saling berpandangan sejenak, hingga salah satu dari mereka pun mulai bicara. "Dia ibu dari anak itu, Nyonya," katanya. "Tadi sore bu Ayu datang ke rumah sakit untuk menjenguknya. Wanita itu itu sedang sakit." Astuti, wanita tua yang usianya sudah menginjak kepala 6 itu memandangi video di layar ponsel milik seorang lelaki berotot di depannya masih tak berkedip. Ada wajah Ayu Nindya disana. Putri tersayangnya itu tengah duduk bersebelahan dengan pemuda yang tempo hari pernah datang ke rumahnya. Astuti benar-benar tidak suka melihat pemandangan itu. Anak perempuannya rupanya sudah tergila-gila dengan pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Dan wanita tua itu sangat yakin jika pemuda itu hanya mengincar harta anaknya saja.
Raka baru menginjakkan kaki di rukonya lagi saat hari menjelang malam. Hanya tinggal Radit yang masih setia di ruang kerjanya. "Belum pulang, Bang?" tanyanya sambil mendudukkan tubuh lelahnya di depan sang sahabat. "Bentar lagi, nanggung," jawab Radit sekenanya. "Gimana ibu lo?" "Nggak papa, cuma kecapekan aja katanya. Oya Bang, ada info asisten rumah tangga nggak? Pengen nyariin buat nyokap." "PRT?" "He em." "Datang aja tuh ke agen. Deket perempatan lampu merah itu kan ada. Gede itu agennya. Udah terkenal dan valid juga kayaknya." "O iya ya. Ya deh, thanks, Bang. Besok gue kesana kalau gitu." Raka menyelonjorkan kakinya ke atas meja. Lelah rasanya dan ingin segera membari
"Ngapain kamu di sini?" katanya dengan tatapan tajam ke arah lelaki paruh baya yang wajahnya mendadak pucat di hadapannya itu. "Raka, kamu di sini juga?" Raka jengah dengan pertanyaan yang dilontarkan sang ayah. "Jadi ini Bang orangnya?" Dia menoleh ke arah Radit. "Iya, Ka. Ini yang namanya Pak Romi. Kenapa sih? Kalian kenal?" Perasaan Radit mendadak tidak enak. Dia menduga ada yang tidak beres dengan dua orang yang ada di depannya itu. "Lo urus dia deh, Bang. Males gue lihat muka dia." Secepat kilat Raka berlalu dari hadapan Radit dan Romi setelah sempat menendang tempat sampah yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi hingga sampah kertas di dalamnya berhamburan di lantai. "Raka!" Romi mencoba mengejar sang anak, tapi ta
Wanita itu nampak duduk gelisah di tepi ranjang sebuah rumah mewah yang beberapa waktu ini selalu jadi tempat persinggahannya untuk melarikan diri dari masalah. Mayang sedang menunggu Andi, teman lelakinya yang belum juga muncul di rumahnya yang besar dan bagus itu. "Hai, Sayang. Maaf membuatmu menunggu. Sudah lama?" Tak lama kemudian seorang lelaki seusia dengannya muncul di kamar itu. Melihat penampilannya yang sedikit kusut, sepertinya si lelaki habis bepergian agak jauh. Meski dengan tampang seperti itu, tetap masih jauh lebih gagah dia dibanding penampilan suaminya, Romi, sekarang ini. Mayang yang sudah menunggu selama beberapa jam nampak menghambur ke pelukan lelaki itu. Terlihat sangat tidak sabar. "Aku bersihkan diri dulu. Badanku masih kotor, Sayang," kata lelaki itu melepaskan lembut pelukan Mayang. Lalu b
Raka sedikit kaget saat sampai di lantai bawah dan dilihatnya penampilan Ayu sedikit berbeda dari biasanya. Jika selama ini Raka selalu hanya melihat Ayu dengan baju kerjanya. Setelan rok atau celana panjang dengan blazer atau kemeja yang sangat formal, kali ini Ayu nampak sangat manis dengan dress santai di bawah lutut berwarna maroon. Pas sekali dengan badannya yang ramping dan menampakkan kesan lebih muda dari usianya yang sekarang. "Hei!" sapa Raka sedikit kikuk. Apalagi saat melihat Ayu tersenyum malu saat Raka mengamati penampilannya yang jauh lebih fresh itu. "Hai, Raka! Sepertinya hari ini aku kehilangan kontak denganmu," sindir Ayu. Raka hanya tersenyum tipis. Seharian dia memang tidak menghubungi Ayu sama sekali mengingat dia sepertinya harus menjaga jarak dengan wanita di depannya ini karena kejadian semalam. "Maaf, iya, hari
Raka keheranan melihat Ayu melipat kertas yang beberapa saat yang lalu sempat diperlihatkannya pada wanita itu. Karena Ayu memaksa ingin melihat, akhirnya Raka terpaksa mengambil juga kertas yang telah disimpannya ralat di kamarnya itu pada Ayu sesampainya mereka di ruko. "Mau buat apa, Yu?" tanya Raka keheranan melihat wanita itu justru memasukkan kertas itu ke dalam tasnya. "Biar kubawa. Aku akan coba cari pelakunya, Ka." "Apa kamu mencurigai seseorang?" "Nggak sih," kata Ayu ragu. Dia belum siap mengatakan pada Raka bahwa ibunya lah di balik semuanya ini. "Kalau gitu ya sudah nggak usah dicari. Nggak ada kerjaan amat." "Tapi ini bahaya, Ka. Aku nggak mau kamu celaka." "Aku nggak akan kenapa-napa. Aku ini cowok
"Kak Raka!" Raka yang baru akan masuk ke dalam mobilnya pagi itu kaget saat mendengar sebuah suara memanggilnya. Sepagi ini sudah ada yang datang ke rukonya? Raka menoleh dan melihat seorang gadis belia berseragam sekolah lengkap dengan hijabnya berlari kecil menghampirinya. Raka menatap lekat pada gadis yang semakin mendekat ke arahnya itu, berusaha mengenalinya dengan baik. "Ya?" Raka sedikit ragu, tapi sepertinya dia tak asing dengan wajah yang berbalut kerudung itu. Siapa dia? "Kak Raka," panggil gadis itu saat telah mencapai tempat Raka berdiri di samping mobilnya. Nafasnya masih sedikit tersengal karena usahanya berlari mencapai Raka tadi. "Kamu siapa?" tanya Raka, karena tak yakin dengan tebakannya. "Aku Mayla, Kak," kata gadis belia itu mengembangkan senyum.
"Kamu jadi anak bodoh banget sih? Kamu pengen sakit hujan-hujanan kayak gini?" bentak Raka saat mereka sudah berada di dalam mobilnya. Beberapa saat yang lalu pemuda itu menarik kasar tangan Mayla yang sedang berdiri kedinginan berteduh di bawah atap pos satpam sekolah yang tentu saja tidak bisa melindungi tubuhnya dari derasnya hujan yang mengguyur sejak siang tadi. Diseretnya gadis remaja itu masuk ke dalam mobil dengan perasaan jengkel. "Mayla nungguin kak Raka," jawab gadis kecil itu dengan bibir birunya yang gemetar karena kedinginan. Raka yang melihat itu langsung melepas jaketnya dan membungkuskannya ke badan kecil Mayla. "Terima kasih, Kak, Mayla nggak apa-apa kok," kata Mayla sambil menatap Raka senang. "Nggak apa-ap
Suasana haru nampak dalam pesta pernikahan yang mewah itu saat pengantin wanitanya yang begitu muda dan cantik beberapa kali menitikkan air mata karena teringat akan kedua orang tuanya. Akhirnya di sinilah dia berlabuh. Di hati seorang pangeran yang kebahagiannya bahkan telah direnggut oleh ibunya semasa wanita itu masih hidup. Mayla nampak sungguh bak putri dalam dongeng yang dipersunting pangeran tampan yang baik hati. Cintanya yang berakhir dengan kebahagiaan membuat iri banyak pasang mata yang kebetulan mengetahui jalan hidupnya. Pesta itu tidak begitu besar karena hanya dihadiri oleh tamu tamu undangan dari kalangan teman, sahabat, dan kerabat saja. Namun segala sesuatunya yang mewah mengesankan betapa sang pengantin pria yang sudah mempersiapkan pesta pernikahannya itu begitu mencintai pasangannya. Tak jauh be
"Dia dimana, Bik?" Bik Sani langsung menyambutnya saat Raka tiba di halaman rumahnya. Raka berjalan tergesa menuju teras rumah. "Di kamarnya, Pak. Dari semalam nggak mau keluar kamar, nggak mau makan. Nangis terus," ucap Bik Sani menjelaskan sambil terus mengikuti langkah Raka menuju ke dalam. "Siapkan makanannya, bawa ke kamar, Bik." "Baik, Pak." Di depan kamar Mayla, Raka sedikit ragu untuk mengetuk. Harusnya hari ini memang dia belum ada rencana untuk menemui adiknya itu. Tapi karena Bik Sani menelponnya dengan panik dan mengabarkan bahwa Mayla yang tidak mau keluar kamar, akhirnya Raka mengurungkan niatnya untuk menemui gadis itu sampai menjelang hari pernikahan mereka. Masih dengan sedikit ragu, akhirnya Raka mengetuk beberapa kali pint
Beberapa bulan setelah kejadian yang sangat mengesankan bagi Mayla itu, kakaknya tak pernah nampak lagi datang ke rumahnya. Hari demi hari berlalu, setiap pagi Mayla selalu bersemangat saat ada suara mobil yang tiba tiba seperti akan berhenti di depan rumah itu. Dia selalu berharap Raka yang datang untuk mengantarkannya ke sekolah seperti biasa. Lalu tiap kali dia keluar dari halaman sekolah, dia berharap kakaknya itu akan ada di luar gerbangmemanggilnya dengan nada galak seperti biasanya. Tapi semuanya itu tak pernah terjadi. Dia pergi dan pulang dari sekolah dengan naik angkot seperti sebelumnya. Tak pernah lagi ada Raka yang tiba tiba muncul mengagetkan dan menakutinya. Kakaknya itu seperti menghilang di telan bumi. Hanya terkadang ada notifikasi perbankan yang masuk ke ponsel Mayla suatu hari. Sejumlah dana masuk ke rekeningnya disertai pesan; bela
"Semalem mau nanya apa?" tanya Raka di sela sela sarapannya dengan Mayla. Bik Sani sudah menyiapkan dua piring nasi goreng spesial pagi ini untuk kedua momongannya. "Eee, itu ... " Mayla mendadak gagu. Keinginan kuatnya semalam untuk segera bertemu Raka dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran dari kemarin mendadak hilang seketika melihat wajah kakaknya yang menatapnya dengan intens dan mendominasi seperti biasa. "Itu apa?" tanya Raka lagi. "Katanya penting, nggak bisa diomongin lewat telpon, katanya harus malam ini. Kenapa sekarang malah diam?" sindir Raka. Mayla menelan ludah susah payah. Dia heran karena selalu saja begini. Dia kehilangan kata kata saat Raka mulai menatapnya penuh intimidasi. "Itu Kak ... kemarin May dijemput Ayah pas pulang sekolah."
"Mayla!" panggil Firman sedikit berteriak saat melihat Mayla muncul dari pintu gerbang sekolah. "Ayah!" Mata Mayla langsung berbinar melihat sang Ayah yang sedang berdiri di dekat mobil MPV keluaran tahun lama itu. "Ayah kok di sini?" tanyanya saat dirinya berhasil sampai di dekat sang Ayah. "Kebetulan tadi Ayah lewat, jadi sekalian mampir. Kamu sudah makan? Temenin Ayah makan siang yuk?" ajak Firman. Mayla pun mengangguk senang. Selain teman temannya di sekolah dan keluarga Ibu Rani, Mayla sangat jarang berinteraksi dengan orang lain. Jadi, kehadiran Ayah kandungnya kali ini nampaknya membawa suasana lain dalam hatinya. Mayla masuk ke dalam mobil sang ayah tepat pada saat mobil Raka berhenti di depan sekolahnya. Melihat Mayla dije
Tak seperti biasanya saat sedang berdua saja dengan Mayla, di rukonya ternyata Raka lebih cuek. Saat sampai di sana, Raka langsung meminta seorang karyawan wanitanya, Nindy, untuk menjelaskan pada Mayla pekerjaan barunya. Sementara dia sendiri sibuk di ruangannya bersama Radit. Kikuk dan minder. Itu yang dirasakan Mayla di kantor itu. Menjadi yang paling muda dan paling tidak tidak mengerti apa apa. Mayla jadi tersadar jika hidupnya selama ini terlalu disibukkan dengan kesengsaraan, ketidak-beruntungan. Hingga membuatnya merasa seperti orang yang terbelakang. Selain juga karena Raka tidak memperlakukannya secara spesial di tempat itu. "Setelah selesai, jangan lupa filenya disimpan ya. Buat nanti laporan mingguan ke Bang Raka," kata Nindy menjelaskan. "Ngerti kan, May?" tanya wanita cantik berambut panjang itu. "Iya, Kak. Insya Allah ngerti." &
Mayla menghentikan langkahnya di teras saat mendengar sebuah mobil memasuki halaman. Dia sudah sangat hafal betul suara mobil kakaknya. Dan jantungnya seketika berdegup sangat kencang membayangkan apa yang akan dilakukan Raka saat melihatnya baru pulang sesore ini. Kakinya mendadak gemetaran. "Dari mana Kamu?!" Dan benar saja, Raka turun dari mobil dengan wajah bersungut. Berjalan cepat menghampirinya yang berdiri tegang di teras rumah menunggunya. "Maaf Kak, Mayla telat pulangnya. Mayla habis dari rumah temen," katanya dengan terbata. "Rumah temen? Sudah mulai keluyuran ya sekarang?" "Bukan Kak, Mayla ..." Belum sempat Mayla melanjutkan bicaranya, Bik Sani sudah muncul dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu sepertinya terganggu dengan suara
"Kamu serius, Ka?" Rani masih belum percaya apa yang baru saja dikatakan putra sulungnya. "Serius, Ma. Raka juga sudah bilang ke Om Firman soal itu." Rio yang dari tadi mendengarkan terlihat hanya mengangguk angguk saja tanda mengerti. Malam itu, Raka sengaja mengajak ibu dan adiknya makan di luar untuk membicarakan masalah keinginannya menikahi adik angkatnya. "Dan Pak Firman bilang apa? Dia mengijinkan?" tanya Rani penasaran. "Pak Firman menyerahkan semuanya sama Mayla. Tapi intinya dia setuju kalau Mayla juga mau, Ma. Mama sendiri gimana?" Seperti ada nada keraguan dari pertanyaan Raka. Dia ingat bagaimana beberapa waktu yang lalu ibunya itu begitu tidak suka melihatnya jalan bareng Mayla. "Kalau mengatakan tidak pun, Mama yakin Kamu
"Om, Tunggu!" Firman menghentikan langkahnya menuju ke pintu keluar area pemakaman saat mendengar suara seseorang memanggilnya. Raka terlihat sedang berjalan cepat ke arah lelaki yang masih mengenakan seragam dinasnya itu. "Raka, ada apa?" tanya Firman sambil mengerutkan dahinya. "Boleh bicara sebentar?" tanya pemuda itu. "Tentu," sambut lelaki itu hangat. Yang Firman tahu, Raka adalah anak sulung dari Rani. Wanita yang telah disakiti oleh mantan kekasihnya dulu, yang bernama Mayang. Namun yang juga sangat berbesar hati menerima anak anak Mayang untuk dirawatnya. Pernah suatu kali Mayla bercerita tentang anak anak Rani saat pertemuan mereka. Salah satunya adalah Raka. Dan sebagai seorang Ayah, Firman sepertinya bisa menebak, bahwa