"Semalem mau nanya apa?" tanya Raka di sela sela sarapannya dengan Mayla. Bik Sani sudah menyiapkan dua piring nasi goreng spesial pagi ini untuk kedua momongannya. "Eee, itu ... " Mayla mendadak gagu. Keinginan kuatnya semalam untuk segera bertemu Raka dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran dari kemarin mendadak hilang seketika melihat wajah kakaknya yang menatapnya dengan intens dan mendominasi seperti biasa. "Itu apa?" tanya Raka lagi. "Katanya penting, nggak bisa diomongin lewat telpon, katanya harus malam ini. Kenapa sekarang malah diam?" sindir Raka. Mayla menelan ludah susah payah. Dia heran karena selalu saja begini. Dia kehilangan kata kata saat Raka mulai menatapnya penuh intimidasi. "Itu Kak ... kemarin May dijemput Ayah pas pulang sekolah."
Beberapa bulan setelah kejadian yang sangat mengesankan bagi Mayla itu, kakaknya tak pernah nampak lagi datang ke rumahnya. Hari demi hari berlalu, setiap pagi Mayla selalu bersemangat saat ada suara mobil yang tiba tiba seperti akan berhenti di depan rumah itu. Dia selalu berharap Raka yang datang untuk mengantarkannya ke sekolah seperti biasa. Lalu tiap kali dia keluar dari halaman sekolah, dia berharap kakaknya itu akan ada di luar gerbangmemanggilnya dengan nada galak seperti biasanya. Tapi semuanya itu tak pernah terjadi. Dia pergi dan pulang dari sekolah dengan naik angkot seperti sebelumnya. Tak pernah lagi ada Raka yang tiba tiba muncul mengagetkan dan menakutinya. Kakaknya itu seperti menghilang di telan bumi. Hanya terkadang ada notifikasi perbankan yang masuk ke ponsel Mayla suatu hari. Sejumlah dana masuk ke rekeningnya disertai pesan; bela
"Dia dimana, Bik?" Bik Sani langsung menyambutnya saat Raka tiba di halaman rumahnya. Raka berjalan tergesa menuju teras rumah. "Di kamarnya, Pak. Dari semalam nggak mau keluar kamar, nggak mau makan. Nangis terus," ucap Bik Sani menjelaskan sambil terus mengikuti langkah Raka menuju ke dalam. "Siapkan makanannya, bawa ke kamar, Bik." "Baik, Pak." Di depan kamar Mayla, Raka sedikit ragu untuk mengetuk. Harusnya hari ini memang dia belum ada rencana untuk menemui adiknya itu. Tapi karena Bik Sani menelponnya dengan panik dan mengabarkan bahwa Mayla yang tidak mau keluar kamar, akhirnya Raka mengurungkan niatnya untuk menemui gadis itu sampai menjelang hari pernikahan mereka. Masih dengan sedikit ragu, akhirnya Raka mengetuk beberapa kali pint
Suasana haru nampak dalam pesta pernikahan yang mewah itu saat pengantin wanitanya yang begitu muda dan cantik beberapa kali menitikkan air mata karena teringat akan kedua orang tuanya. Akhirnya di sinilah dia berlabuh. Di hati seorang pangeran yang kebahagiannya bahkan telah direnggut oleh ibunya semasa wanita itu masih hidup. Mayla nampak sungguh bak putri dalam dongeng yang dipersunting pangeran tampan yang baik hati. Cintanya yang berakhir dengan kebahagiaan membuat iri banyak pasang mata yang kebetulan mengetahui jalan hidupnya. Pesta itu tidak begitu besar karena hanya dihadiri oleh tamu tamu undangan dari kalangan teman, sahabat, dan kerabat saja. Namun segala sesuatunya yang mewah mengesankan betapa sang pengantin pria yang sudah mempersiapkan pesta pernikahannya itu begitu mencintai pasangannya. Tak jauh be
"Itu papa kan?" tanya Rio sedikit berteriak ke Raka yang sedang duduk dihadapannya. "Mana?" Raka yang sedang menikmati makan siangnya mendongak dan menoleh ke arah yang ditunjuk sang adik. "Tuh!" tunjuk Rio lagi ke arah seorang lelaki berpenampilan kantoran yang sedang berjalan menggandeng wanita cantik dan seorang anak perempuan berusia sekitar 6 tahunan. Tak banyak bicara, Raka segera bangkit dari bangku foodcourt tempatnya makan bersama adiknya siang itu. "Kak, mau kemana?" Rio, remaja 15 tahun yang masih mengenakan seragam sekolah menengah pertamanya itu menyusul kakaknya dengan wajah panik. Mendadak dia menyesal kenapa harus memberitahu kakaknya tentang keberadaan ayah mereka di mall tempatnya hang out bersama sang kakak siang itu. "Pah!" teriak Raka sambil setengah berlari meng
Raka menekuri layar laptop berharga selangit di depannya dengan wajah serius seperti biasanya. Entah sudah berapa lama pemuda bersorot mata tajam itu berkutat dengan benda favoritnya itu. Sesekali dia meraih secangkir kopi yang setia menemaninya sejak pagi. Diteguknya pelan, gelagatnya terlihat seperti memikirkan sesuatu. Lalu sejenak kemudian dia pun kembali ke kegiatannya semula, menatap layar di depannya dengan sangat serius. "Bro, adik lo tuh dibawah!" Tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka dan wajah Radit, sosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri, menyembul dari baliknya. "Suruh naik, Bang," ucapnya tanpa menoleh pada sang sahabat. Tak berapa lama, Rio muncul masih dengan jaket dan tas di punggungnya. "Kak," sapanya. Pemuda yang beberapa bulan lagi akan meraih gel
Minggu pagi itu, Romi bersama istri dan dua anak perempuannya sedang sarapan bersama. Sedari beberapa menit yang lalu, Mayang sang istri, memandangi anak sulungnya yang sedang menikmati sarapan dengan tatapan aneh. "Kamu mau kemana, May? Kok pake baju kedodoran kayak gitu?" tanya sang mama mengernyitkan dahi. Nampak sekali bahwa dia tidak suka melihat anak perempuannya berdandan dengan pakaian seperti itu, gamis dan jilbab yang menutup rapat tubuh anaknya yang mulai beranjak remaja. Wajah anak perempuannya yang kini sudah duduk di bangku kelas 3 SMP itu sangat cantik seperti dirinya. Dia tidak suka kecantikan itu tertutupi oleh pakaian aneh seperti itu. "Mau ikut kajian mingguan di sekolah, Mah. Ada Ustadzah yang lagi viral di televisi itu lho, Mah. Mayla pengen lihat," jelas putrinya. "Yaaa, tapi nggak perlu pake baju kedomb
Raka keluar dari kamarnya di lantai 3 rukonya dengan pakaian simple seperti biasa, celana jeans dan kaos polos warna hitamnya yang sangat kontras dengan kulitnya yang bersih. Dia menyambar salah satu sneaker favoritnya yang masih bersih di rak sepatu tak jauh dari kamarnya dan buru-buru memakainya sebelum akhirnya meluncur ke lantai bawah. Tak banyak yang dia temui di lantai dua ruko 3 lantai yang dia beli dengan uang jerih payahnya setahun yang lalu itu. Hanya ada dua orang karyawan yang masuk hari itu dan juga Radit yang sedang sibuk dengan komputernya di ruang kerjanya. Biasanya hari minggu Radit tidak datang ke ruko Raka karena dia punya family time dengan keluarga kecilnya yang bahagia. Tapi hari ini dia harus mengurus proyek produk baru mereka yang akan launching minggu depan. Jadi Radit datang untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Gue tinggal cabut