Raka menekuri layar laptop berharga selangit di depannya dengan wajah serius seperti biasanya. Entah sudah berapa lama pemuda bersorot mata tajam itu berkutat dengan benda favoritnya itu. Sesekali dia meraih secangkir kopi yang setia menemaninya sejak pagi. Diteguknya pelan, gelagatnya terlihat seperti memikirkan sesuatu. Lalu sejenak kemudian dia pun kembali ke kegiatannya semula, menatap layar di depannya dengan sangat serius. "Bro, adik lo tuh dibawah!" Tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka dan wajah Radit, sosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri, menyembul dari baliknya. "Suruh naik, Bang," ucapnya tanpa menoleh pada sang sahabat. Tak berapa lama, Rio muncul masih dengan jaket dan tas di punggungnya. "Kak," sapanya. Pemuda yang beberapa bulan lagi akan meraih gel
Minggu pagi itu, Romi bersama istri dan dua anak perempuannya sedang sarapan bersama. Sedari beberapa menit yang lalu, Mayang sang istri, memandangi anak sulungnya yang sedang menikmati sarapan dengan tatapan aneh. "Kamu mau kemana, May? Kok pake baju kedodoran kayak gitu?" tanya sang mama mengernyitkan dahi. Nampak sekali bahwa dia tidak suka melihat anak perempuannya berdandan dengan pakaian seperti itu, gamis dan jilbab yang menutup rapat tubuh anaknya yang mulai beranjak remaja. Wajah anak perempuannya yang kini sudah duduk di bangku kelas 3 SMP itu sangat cantik seperti dirinya. Dia tidak suka kecantikan itu tertutupi oleh pakaian aneh seperti itu. "Mau ikut kajian mingguan di sekolah, Mah. Ada Ustadzah yang lagi viral di televisi itu lho, Mah. Mayla pengen lihat," jelas putrinya. "Yaaa, tapi nggak perlu pake baju kedomb
Raka keluar dari kamarnya di lantai 3 rukonya dengan pakaian simple seperti biasa, celana jeans dan kaos polos warna hitamnya yang sangat kontras dengan kulitnya yang bersih. Dia menyambar salah satu sneaker favoritnya yang masih bersih di rak sepatu tak jauh dari kamarnya dan buru-buru memakainya sebelum akhirnya meluncur ke lantai bawah. Tak banyak yang dia temui di lantai dua ruko 3 lantai yang dia beli dengan uang jerih payahnya setahun yang lalu itu. Hanya ada dua orang karyawan yang masuk hari itu dan juga Radit yang sedang sibuk dengan komputernya di ruang kerjanya. Biasanya hari minggu Radit tidak datang ke ruko Raka karena dia punya family time dengan keluarga kecilnya yang bahagia. Tapi hari ini dia harus mengurus proyek produk baru mereka yang akan launching minggu depan. Jadi Radit datang untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Gue tinggal cabut
Raka sudah menyelidiki selama berhari-hari bahwa perusahaan konstruksi tempat ayahnya bekerja saat ini dipimpin oleh seorang wanita berusia 35 tahun, putri tunggal dari pemilik perusahaan Adityama Group. Dia menggantikan ayahnya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu untuk memimpin perusahaan keluarga itu. Dia adalah wanita yang juga janda dari seorang pejabat tinggi pemerintahan di negeri ini yang cukup terkenal. Beberapa hari ini Raka mengamati wanita bernama lengkap Ayu Nindya Adityama itu di beberapa situs berita ekonomi di internet. Secara fisik, wanita itu memang tidak terlalu menarik, tetapi penampilannya terlihat sangat berkelas, sesuai dengan jabatannya yang merupakan seorang pemilik sekaligus direktur utama perusahaan. Bagai seorang penguntit, Raka memperhatikan setiap kegiatan wanita itu lewat akun media sosialnya. Kini Raka mulai hafal semua keg
Setelah memasuki pintu gerbang kompleks perumahan elit itu, Mayla mengisyaratkan Raka untuk berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar berwarna dinding soft ungu. Warna itu memang warna favorit ibunya. Dan itulah kenapa barang-barang di rumah hampir semuanya berwarna ungu. "Ini rumah Kamu?" tanya Raka yang segera dijawab anggukan oleh Mayla. "Terima kasih ya kak sudah diantar pulang," ucap gadis itu tulus. Dan Raka pun mengangguk dengan senyum tipisnya. "Sama-sama. Maaf juga tadi nggak sengaja nabrak kamu," ujar Raka dengan tulus juga. "Iya Kak, nggak papa. Ya udah Mayla turun dulu ya?" katanya dengan nada khas anak ABG. Raka pun mengangguk. Setelah itu, Mayla pun segera membuka pintu mobil. Namun anehnya, gadis remaja itu malah mematung dalam posisi duduknya di
Hari berganti. Kedekatan Raka dengan pemilik perusahaan Adyatama pun semakin terlihat. Ayu kerap menyambangi Raka ke tempat tinggalnya, hanya sekedar untuk mengobrol atau mengajaknya makan di luar. Dia pun sangat sering mengirimi pemuda itu pesan di sela-sela aktifitas hariannya. Sementara Raka, menyambutnya dengan tangan terbuka. Dalam kamus Raka, semakin dekat dia dengan Ayu, maka tujuannya untuk membalaskan sakit hati pada sang ayah semakin mudah. Seperti kali ini, Ayu mengundang Raka untuk menghadiri meetingnya dengan para staf pemasaran untuk menjelaskan konsep marketing yang dia tawarkan ke perusahaan Ayu beberapa hari sebelumnya. Sebenarnya Raka belum ingin bertemu dengan sang ayah di kondisinya yang sekarang ini. Tapi dia tidak bisa menolak tawaran Ayu untuk datang ke kantornya hari ini. Saat Raka sampai di pelataran kantor Adyatama, matanya tertumbuk pada sebuah mobil yang dikenalnya terparkir di salah satu
Meskipun di luar rencana bagaimana akhirnya Raka menceritakan masa lalu keluarganya pada Ayu, namun Raka merasa lega karena ternyata wanita itu menaruh rasa empati pada ibunya. Dari cerita Ayu juga lah Raka tahu banyak tentang masa lalu wanita itu yang ternyata juga penuh kepahitan karena pengkhianatan sang suami. Perlahan ada getaran aneh dalam hati Raka saat malam itu mengingat Ayu. Apa yang dia rasakan pada wanita yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua darinya itu sepertinya perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Entah apa ini hanya karena kasihan atau suka, Raka belum begitu yakin. Namun, setelah keduanya sama-sama saling jujur di dalam ruangan Ayu tadi siang, Raka merasakan bebannya sedikit berkurang. Entah kenapa dia merasa sangat nyaman dengan wanita itu. Ayu yang sangat perhatian saat mendengarkannya menumpahkan segala kekesalannya pada sang ayah. Dan setelah beberapa
"Pak Romi tau kenapa saya panggil?" tanya Ayu dengan serius di kursi kebesarannya di ruang direktur. Romi yang duduk di hadapannya hanya menggeleng bingung. "Sama sekali tidak, bu Direktur." "Saya baru saja mempelajari laporan kinerja Bapak selama beberapa bulan terakhir. Dan sepertinya Anda sudah banyak sekali melakukan pelanggaran, Pak." "Pelanggaran apa, Bu? Sepertinya saya melakukan pekerjaan saya dengan baik selama ini," sanggah lelaki itu. "Saya menghargai kesetiaan Anda pada perusahaan ini, tapi sayang banyak hal tidak baik yang luput dari perhatian Anda, Pak Romi. Di laporan kerja Anda banyak sekali saya temukan kejanggalan." Ayu menghempaskan berkas laporan kerja Romi di atas mejanya. "Saya ... saya tidak mengerti, Bu," ucap Romi terbata. Lemas seketika tubuhnya ketika melihat pancaran ke
Suasana haru nampak dalam pesta pernikahan yang mewah itu saat pengantin wanitanya yang begitu muda dan cantik beberapa kali menitikkan air mata karena teringat akan kedua orang tuanya. Akhirnya di sinilah dia berlabuh. Di hati seorang pangeran yang kebahagiannya bahkan telah direnggut oleh ibunya semasa wanita itu masih hidup. Mayla nampak sungguh bak putri dalam dongeng yang dipersunting pangeran tampan yang baik hati. Cintanya yang berakhir dengan kebahagiaan membuat iri banyak pasang mata yang kebetulan mengetahui jalan hidupnya. Pesta itu tidak begitu besar karena hanya dihadiri oleh tamu tamu undangan dari kalangan teman, sahabat, dan kerabat saja. Namun segala sesuatunya yang mewah mengesankan betapa sang pengantin pria yang sudah mempersiapkan pesta pernikahannya itu begitu mencintai pasangannya. Tak jauh be
"Dia dimana, Bik?" Bik Sani langsung menyambutnya saat Raka tiba di halaman rumahnya. Raka berjalan tergesa menuju teras rumah. "Di kamarnya, Pak. Dari semalam nggak mau keluar kamar, nggak mau makan. Nangis terus," ucap Bik Sani menjelaskan sambil terus mengikuti langkah Raka menuju ke dalam. "Siapkan makanannya, bawa ke kamar, Bik." "Baik, Pak." Di depan kamar Mayla, Raka sedikit ragu untuk mengetuk. Harusnya hari ini memang dia belum ada rencana untuk menemui adiknya itu. Tapi karena Bik Sani menelponnya dengan panik dan mengabarkan bahwa Mayla yang tidak mau keluar kamar, akhirnya Raka mengurungkan niatnya untuk menemui gadis itu sampai menjelang hari pernikahan mereka. Masih dengan sedikit ragu, akhirnya Raka mengetuk beberapa kali pint
Beberapa bulan setelah kejadian yang sangat mengesankan bagi Mayla itu, kakaknya tak pernah nampak lagi datang ke rumahnya. Hari demi hari berlalu, setiap pagi Mayla selalu bersemangat saat ada suara mobil yang tiba tiba seperti akan berhenti di depan rumah itu. Dia selalu berharap Raka yang datang untuk mengantarkannya ke sekolah seperti biasa. Lalu tiap kali dia keluar dari halaman sekolah, dia berharap kakaknya itu akan ada di luar gerbangmemanggilnya dengan nada galak seperti biasanya. Tapi semuanya itu tak pernah terjadi. Dia pergi dan pulang dari sekolah dengan naik angkot seperti sebelumnya. Tak pernah lagi ada Raka yang tiba tiba muncul mengagetkan dan menakutinya. Kakaknya itu seperti menghilang di telan bumi. Hanya terkadang ada notifikasi perbankan yang masuk ke ponsel Mayla suatu hari. Sejumlah dana masuk ke rekeningnya disertai pesan; bela
"Semalem mau nanya apa?" tanya Raka di sela sela sarapannya dengan Mayla. Bik Sani sudah menyiapkan dua piring nasi goreng spesial pagi ini untuk kedua momongannya. "Eee, itu ... " Mayla mendadak gagu. Keinginan kuatnya semalam untuk segera bertemu Raka dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran dari kemarin mendadak hilang seketika melihat wajah kakaknya yang menatapnya dengan intens dan mendominasi seperti biasa. "Itu apa?" tanya Raka lagi. "Katanya penting, nggak bisa diomongin lewat telpon, katanya harus malam ini. Kenapa sekarang malah diam?" sindir Raka. Mayla menelan ludah susah payah. Dia heran karena selalu saja begini. Dia kehilangan kata kata saat Raka mulai menatapnya penuh intimidasi. "Itu Kak ... kemarin May dijemput Ayah pas pulang sekolah."
"Mayla!" panggil Firman sedikit berteriak saat melihat Mayla muncul dari pintu gerbang sekolah. "Ayah!" Mata Mayla langsung berbinar melihat sang Ayah yang sedang berdiri di dekat mobil MPV keluaran tahun lama itu. "Ayah kok di sini?" tanyanya saat dirinya berhasil sampai di dekat sang Ayah. "Kebetulan tadi Ayah lewat, jadi sekalian mampir. Kamu sudah makan? Temenin Ayah makan siang yuk?" ajak Firman. Mayla pun mengangguk senang. Selain teman temannya di sekolah dan keluarga Ibu Rani, Mayla sangat jarang berinteraksi dengan orang lain. Jadi, kehadiran Ayah kandungnya kali ini nampaknya membawa suasana lain dalam hatinya. Mayla masuk ke dalam mobil sang ayah tepat pada saat mobil Raka berhenti di depan sekolahnya. Melihat Mayla dije
Tak seperti biasanya saat sedang berdua saja dengan Mayla, di rukonya ternyata Raka lebih cuek. Saat sampai di sana, Raka langsung meminta seorang karyawan wanitanya, Nindy, untuk menjelaskan pada Mayla pekerjaan barunya. Sementara dia sendiri sibuk di ruangannya bersama Radit. Kikuk dan minder. Itu yang dirasakan Mayla di kantor itu. Menjadi yang paling muda dan paling tidak tidak mengerti apa apa. Mayla jadi tersadar jika hidupnya selama ini terlalu disibukkan dengan kesengsaraan, ketidak-beruntungan. Hingga membuatnya merasa seperti orang yang terbelakang. Selain juga karena Raka tidak memperlakukannya secara spesial di tempat itu. "Setelah selesai, jangan lupa filenya disimpan ya. Buat nanti laporan mingguan ke Bang Raka," kata Nindy menjelaskan. "Ngerti kan, May?" tanya wanita cantik berambut panjang itu. "Iya, Kak. Insya Allah ngerti." &
Mayla menghentikan langkahnya di teras saat mendengar sebuah mobil memasuki halaman. Dia sudah sangat hafal betul suara mobil kakaknya. Dan jantungnya seketika berdegup sangat kencang membayangkan apa yang akan dilakukan Raka saat melihatnya baru pulang sesore ini. Kakinya mendadak gemetaran. "Dari mana Kamu?!" Dan benar saja, Raka turun dari mobil dengan wajah bersungut. Berjalan cepat menghampirinya yang berdiri tegang di teras rumah menunggunya. "Maaf Kak, Mayla telat pulangnya. Mayla habis dari rumah temen," katanya dengan terbata. "Rumah temen? Sudah mulai keluyuran ya sekarang?" "Bukan Kak, Mayla ..." Belum sempat Mayla melanjutkan bicaranya, Bik Sani sudah muncul dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu sepertinya terganggu dengan suara
"Kamu serius, Ka?" Rani masih belum percaya apa yang baru saja dikatakan putra sulungnya. "Serius, Ma. Raka juga sudah bilang ke Om Firman soal itu." Rio yang dari tadi mendengarkan terlihat hanya mengangguk angguk saja tanda mengerti. Malam itu, Raka sengaja mengajak ibu dan adiknya makan di luar untuk membicarakan masalah keinginannya menikahi adik angkatnya. "Dan Pak Firman bilang apa? Dia mengijinkan?" tanya Rani penasaran. "Pak Firman menyerahkan semuanya sama Mayla. Tapi intinya dia setuju kalau Mayla juga mau, Ma. Mama sendiri gimana?" Seperti ada nada keraguan dari pertanyaan Raka. Dia ingat bagaimana beberapa waktu yang lalu ibunya itu begitu tidak suka melihatnya jalan bareng Mayla. "Kalau mengatakan tidak pun, Mama yakin Kamu
"Om, Tunggu!" Firman menghentikan langkahnya menuju ke pintu keluar area pemakaman saat mendengar suara seseorang memanggilnya. Raka terlihat sedang berjalan cepat ke arah lelaki yang masih mengenakan seragam dinasnya itu. "Raka, ada apa?" tanya Firman sambil mengerutkan dahinya. "Boleh bicara sebentar?" tanya pemuda itu. "Tentu," sambut lelaki itu hangat. Yang Firman tahu, Raka adalah anak sulung dari Rani. Wanita yang telah disakiti oleh mantan kekasihnya dulu, yang bernama Mayang. Namun yang juga sangat berbesar hati menerima anak anak Mayang untuk dirawatnya. Pernah suatu kali Mayla bercerita tentang anak anak Rani saat pertemuan mereka. Salah satunya adalah Raka. Dan sebagai seorang Ayah, Firman sepertinya bisa menebak, bahwa