“Total pembayaranya jadi seratus dua puluh juta, tuan. Anda ingin menggunakan debit/credit?” Jake yang berdiri di depan administrasi menegang kala mendengar nominal biaya rumah sakit Evelyn yang begitu besar.“B-berapa tadi?”“Seratus dua puluh juta, Tuan,” ulang petugas administrasi dengan nada profesional. Jake menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Uang sebanyak itu bukan jumlah yang kecil, terutama ketika bisnisnya sedang kacau. “Bisa… bisa dibayar sebagian dulu?” tanyanya, mencoba menawar. Petugas itu menggeleng. “Maaf, Tuan. Kebijakan rumah sakit mengharuskan pembayaran penuh untuk pasien di ruang VIP sebelum tindakan selanjutnya dilakukan.” Jake mencengkram rambutnya frustasi. Ia langsung merogoh ponselnya, mencari kontak-kontak yang mungkin bisa membantunya. Saat ia melihat nama Naina, tangannya sempat berhenti, tapi ia segera menggeleng. Tidak, perempuan itu jelas tidak akan membantunya lagi. Ia mencoba menelpon beberapa rekan bisnisnya, tapi tak ada y
“Meninggal?!”Suara Naina berubah menjadi serius kala mendengar kabar duka dari kediaman Vesper. Dimana Serina, mantan ibu mertuanya meninggal kemarin malam.Naina menghela nafasnya pelan, kenapa mantan ibu mertuanya itu pergi di waktu yang tidak tepat.“Ada apa, Naina?” Tanya Marven saat pria itu selesai jogging di halaman mansion bersama Naina.“Ah tidak, hanya saja saya harus melayat nanti.” Kata Naina pelan.Marven mengerutkan kening, menghentikan langkahnya. “Melayat? Siapa yang meninggal?” tanyanya dengan nada penasaran. Naina menggenggam ponselnya lebih erat, ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Serina… mantan ibu mertua saya.” Mata Marven sedikit menyipit. Ia tahu betul siapa Jake dan bagaimana pria itu memperlakukan Naina di masa lalu. Mendengar bahwa ibunya meninggal secara mendadak tentu bukan hal biasa. “Kamu ingin saya menemanimu?” tanyanya, suaranya lebih lembut kali ini. Naina tersenyum kecil. “Tidak perlu. Saya hanya ingin datang sebentar untuk menunjukkan
“Apa yang kau katakan Jake! Ibu mu meninggal dengan tidak wajar!” Tuan besar Vesper murka mendengar perkataan cucunya itu.Namun Jake tak peduli, “Kalian Pergi saja!!” Katanya dengan kasar untuk mengusir para polisi itu.Para polisi saling bertukar pandang sebelum salah satu dari mereka berbicara dengan nada tegas. “Maaf, Tuan Jake, tapi ini bukan hanya masalah keluarga. Ini adalah kasus dugaan pembunuhan, dan kami tidak bisa begitu saja menutup penyelidikan.” Jake mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Aku bilang pergi!” teriaknya, suaranya penuh emosi. Tuan Besar Vesper semakin murka. “Jake! Apa yang kau sembunyikan, hah?! Mengapa kau menolak penyelidikan ini?!” Seluruh ruangan menjadi semakin tegang. Para pelayat mulai berbisik lebih keras, tatapan mereka penuh kecurigaan. Sementara itu, Naina memperhatikan setiap gerakan Jake dengan seksama. Rasa curiganya semakin kuat. Jake tidak hanya panik—dia takut. Dan saat itulah Naina sadar. Jake menyembunyikan sesuatu.Pol
Di Ruang Interogasi,Jake duduk di kursi dingin dengan tangan mengepal di atas meja. Sorot lampu di atasnya terasa menyilaukan, membuat kepalanya semakin berdenyut. Beberapa jam lalu, polisi akhirnya datang kembali ke rumah duka dengan surat perintah resmi untuk membawanya ke kantor polisi guna penyelidikan lebih lanjut. Seorang detektif masuk ke dalam ruangan, membawa berkas tebal dan duduk di seberang Jake. Tatapannya tajam, penuh analisis. “Jake Vesper,” detektif itu membuka suara, meletakkan berkas di meja. “Kau tahu kenapa kau ada di sini, bukan?” Jake mengusap wajahnya dengan kasar. “Aku sudah bilang, keluargaku ikhlas. Tidak perlu ada penyelidikan lebih lanjut.” Detektif itu terkekeh kecil, lalu membuka berkasnya. “Ikhlas? Atau kau takut sesuatu akan terungkap?” Jake langsung menatapnya tajam. “Apa maksudmu?” Detektif itu menyodorkan sebuah foto. Itu adalah hasil visum Serina. “Ibumu tidak meninggal karena sebab alami. Ada indikasi kekerasan sebelum kematiannya. Luk
“Apa kau sudah menghubungi istrinya? Seharusnya dia sudah datang pagi ini jika sudah menerima undangan.” Kata detektif pada rekannya yang lain.“Sudah, pak. Mungkin dalam perjalanan.”Baru saja mengatakan hal itu, sebuah mobil mewah terparkir di depan kantor polisi. Detektif itu segera menoleh namun nafasnya langsung tertahan kala melihat siapa yang keluar pertama kali.“Tuan Marven Tuner?!”Tak hanya itu, detektif itu terkejut kala melihat wanita yang dia kenali sebagai istri Jake Vesper keluar dari mobil yang sama.Dia segera memberitahu rekannya untuk bersikap hati-hati di hadapan pria itu dan tak boleh menyinggungnya sedikitpun.Marven melangkah masuk dengan penuh wibawa, sementara Naina berjalan di sampingnya dengan ekspresi tenang. Seluruh ruangan terasa hening seketika, seolah kehadiran pria itu membawa tekanan yang tak terlihat. Detektif yang bertugas segera menyambut mereka dengan sedikit gugup. “Selamat pagi, Tuan Tuner, Nyonya Naina. Silakan ikut saya, kami hanya ingin m
“Akhirnya selesai juga….” Helaan nafas panjang keluar dari mulut Naina saat dia masuk ke dalam mobil.Marven yang melihat itu tersenyum tipis, “Kerja bagus, Naina. Kamu sudah melakukan yang terbaik.” Kata Marven sambil mengelus pelan rambut Naina.Naina tersenyum, “Saya tidak menyangka jika Jake benar-benar tega membunuh ibunya sendiri meskipun itu ketidaksengajaan sekalipun.” Katanya.“Kamu tahu dia pembunuhnya?” Tanya Marven dengan penasaran.Naina mengangguk, “Terlihat jelas gerak geriknya yang sangat gelisah, Jake selalu bertingkah gegabah jika panik.”Marven tersenyum tipis, matanya penuh ketertarikan. "Kau memperhatikannya dengan baik, ya?" Naina mendesah pelan. "Bukan karena aku mau, tapi aku sudah cukup lama hidup bersamanya. Aku tahu cara dia berbohong, cara dia menutupi sesuatu. Saat dia menolak hasil visum dan langsung ingin mengusir polisi, aku sudah yakin dia menyembunyikan sesuatu." Marven mengangguk setuju. "Dan sekarang, tinggal menunggu polisi menemukan bukti yang
Di sebuah restoran mewah, Naina yang digandeng oleh Marven masuk ke dalam dengan senyum merekah. “Kita akan makan malam disini?” Tanya Naina sambil mengamati restoran bertema bangunan khas negara prancis itu dengan kagum. Marven tersenyum tipis melihat ekspresi kagum di wajah Naina. “Tentu. Saya ingin memberikanmu pengalaman terbaik,” katanya sambil menuntunnya menuju meja yang sudah disiapkan. Restoran itu dipenuhi cahaya temaram, musik klasik mengalun lembut di latar belakang, menciptakan suasana yang begitu elegan. Seorang pelayan segera datang dan memberikan menu kepada mereka. Naina melihat sekeliling, matanya berbinar. “Tempat ini luar biasa… Saya bahkan merasa seperti seorang bangsawan,” candanya dengan tawa kecil. Marven menatapnya dengan penuh arti. “Memang seharusnya begitu. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik.” Naina menghela napas kecil, berusaha menenangkan debaran jantungnya setiap Marven mengatakan hal-hal yang manis. Namun, di tengah momen hangat itu, tatapa
“Tidak!! Aku tidak bersalah, aku tak ada sangkut pautnya dengan kematian Nyonya Serina!!” Suara Evelyn bergetar saat berada di ruang interograsi karena dituduh sebagai salah satu pelaku pembunuhan.Detektif menatap Evelyn dengan tajam, mengetuk pena di atas berkasnya dengan ritme pelan namun menekan. “Jika kau tidak bersalah, lalu bagaimana kau bisa memiliki uang dalam jumlah besar tak lama setelah kematian Nyonya Serina?”Evelyn menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. “Itu… itu bukan uang dari Jake! Aku mendapatkannya dari bisnis lain!”Detektif menaikkan alisnya, lalu menyodorkan sebuah foto di atas meja. “Kau dan sepupumu tertangkap kamera CCTV saat menarik sejumlah besar uang dari rumah sakit, setelah kami telusuri ada transaksi janggal. Sepertinya kau menipu Jake untuk memberikan uang pada rumah sakit dan kau mengambilnya dengan koneksi sepupumu. Kau bisa dipidana karena penipuan!”Evelyn membeku di tempatnya. Mata bulatnya menatap foto itu dengan penuh ketakutan. “Tidak… tidak
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng
“Baby boy datang….” Nyonya Sisca membawa box bayi dengan semangat.Naina yang terbaring di ranjang tersenyum bahagia karena ini adalah pertama kalinya dia melihat putranya setelah beberapa hari dalam perawatan.Nyonya Sisca meletakkan box bayi itu dengan hati-hati di samping ranjang Naina. “Lihatlah, dia sudah membuka matanya tadi pagi. Seperti sedang mencari-cari ibunya,” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca karena haru.Naina mengangkat tangannya pelan, matanya sudah basah melihat sosok mungil di dalam box itu. “Sayang… sini, peluk mama,” bisiknya lirih.Marven dengan hati-hati mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dada Naina. Tangis kecil si bayi langsung mereda saat merasakan dekapan ibunya.“Raynar Elric Tuner,” gumam Naina sambil mencium kening putranya. “Selamat datang di dunia, nak…”Marven berdiri di samping mereka, mengelus lembut kepala istrinya dan putranya. “Keluarga kita lengkap sekarang…” ucapnya pelan, penuh rasa syukur.Rosana yang menyaksikan dari pintu hanya ter
Di luar ruang operasi, ketiganya tampak berdoa masing-masing menunggu kabar baik.Setelah beberapa jam telah terlewati, mereka mendengar suara tangis bayi di dalam.Nyonya Sisca dan Rosana langsung menoleh, senyum mereka akhirnya merekah.“Bayinya selamat!” Ucap Nyonya Sisca bahagia.Namun Marven sama sekali tak merasa lega, karena dia belum melihat dokter keluar dan bagaimana keadaan istrinya di dalam.Marven berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti batu. Suara tangis bayi yang seharusnya menjadi kabar bahagia justru terasa menggantung baginya. Matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat.Rosana berdiri di sampingnya, ikut terdiam saat menyadari ekspresi kakaknya tak berubah. Nyonya Sisca, yang sebelumnya tersenyum lega, kini ikut dilanda cemas lagi.Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi akhirnya terbuka.Seorang dokter keluar, wajahnya tampak lelah, namun tetap menunjukkan sikap profesional. Marven langsung menghampirinya dengan langkah tergesa.“Dok,
“Sayang, hati-hati!”Suara Marven menggema cukup keras dari balik balkon, namun Naina yang sedang berjalan santai dari arah taman tidak terlalu mendengarnya. Fokusnya tertuju pada burung kecil yang bertengger di pagar, membuat langkahnya sedikit melambat.Namun tiba-tiba kakinya menginjak batu kecil yang tertanam tak rata di jalan setapak. Dalam sekejap, tubuh Naina kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh ke samping, dan suara benturan tubuhnya di tanah disertai ringisan kesakitan langsung membuat jantung Marven seakan berhenti berdetak.“Naina!”Ia langsung berlari menuruni anak tangga tanpa pikir panjang. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu pun ikut panik.“Aaahh… Marven… perutku…” suara Naina lirih namun penuh ketakutan, tangannya menggenggam erat perutnya yang besar.Ketika Marven sampai di sisinya, ia melihat noda darah mulai merembes dari balik gaun Naina. Wajahnya langsung pucat. “B-Ben! Siapkan mobil sekarang! Cepat! Kita ke rumah sakit!” teriaknya tanpa menoleh.Ben yang
“Di lamar?!” Marven dan Naina langsung menoleh bersamaan saat mendengar hal itu.Rosana menundukkan kepalanya malu, “Iya kak,”Naina langsung menjerit kecil penuh antusias sambil memeluk adiknya, “Aaaa! Ros, selamat! Ya ampun, kamu akhirnya dilamar juga! Aku seneng banget!”Marven hanya menghela napas panjang lalu menatap Andrian tajam tapi dengan nada menggoda, “Kau berani-beraninya melamar adikku tanpa izin? Minimal kasih kode dulu”Andrian mengangkat tangan seperti menyerah, “Sumpah, tuan Marven, saya niatnya baik dan serius. Dan cincin itu bukan cuma simbol, saya juga sudah siapkan semuanya untuk langkah selanjutnya.”Naina menoleh ke Marven sambil tersenyum penu
“Wow cantik sekali, pilihanku memang tak pernah salah,” puji Andrian saat melihat Rosana keluar dengan gaun hijau cantik namun tak berlebihan.Rosana menahan senyumnya sambil memukul lengan pria itu, “jangan menggodaku!”Andrian tertawa ringan sambil merapikan jasnya, lalu membuka pintu mobil untuk Rosana. “Aku hanya jujur, kok. Lagipula, malam ini sepertinya aku yang beruntung bisa pergi dengan wanita secantik kamu.”Rosana tersipu, tapi tetap gengsi untuk mengakuinya. “Huh, bisa aja kamu. Ayo jalan, sebelum aku berubah pikiran.”Andrian mengangguk sambil menahan senyum puas. “Baik, nona Rosana. Tapi kalau kamu berubah pikiran dan memutuskan untuk mencintaiku sekarang juga, aku nggak keberatan.”Rosana hanya mendecak pelan, “Dasar kamu…,” lalu masuk ke mobil dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.Dan saat mereka sampai di sebuah restoran yang menyajikan makanan ala timur tengah, Rosana masuk dengan dibantu oleh Andrian yang setia menggandengnya.“Selamat datang, tuan dan nona. M
“Kematian pada ibu hamil memang beberapa terjadi tuan, tapi itu hanya sebagian kecil dari ibu yang selamat,” jelas dokter saat diundang langsung diruang kerja Marven.Marven sejak kemarin terus dihantui oleh rasa ketakutan istrinya sampai menyuruh Ben mengundang ahli kandungan untuk berkonsultasi sendiri.Dokter yang duduk dengan tenang di hadapan Marven menatap pria muda itu dengan bijak. “Saya paham kekhawatiran Anda, Tuan Marven. Kecemasan seperti ini sangat wajar, apalagi bagi suami yang sangat mencintai istrinya dan calon anaknya. Tapi izinkan saya memberikan sedikit ketenangan…”Marven, yang duduk bersandar dengan tangan saling menggenggam di depan mulutnya, hanya mengangguk pelan. Matanya tampak lelah—bukan karena kurang tidur, tapi karena dihantui ketakutan sejak Naina mengungkapkan kekhawatirannya.“Pertama, kondisi nyonya Naina sejauh ini sangat baik. Tensi, detak jantung janin, pertumbuhan, semua dalam batas normal dan sehat. Tak ada indikasi bahaya seperti preeklampsia, pl
“Sejak kapan perutmu sudah sebesar ini, sayang?” Marven terkejut saat bangun tidur mendapati perut istrinya membuncit dan ada gerakan kecil disana.Naina dengan kesal langsung memukul pelan suaminya itu, “ini sudah hampir tujuh bulan, wajar jika perutku besar.”Marven terkekeh pelan, “Sebentar lagi kita akan bertemu baby boy,” gumamnya sambil menciumi perut istrinya dengan gemas namun langsung ditendang oleh anaknya dari dalam.Marven terperanjat kecil saat perut istrinya menendang balik tepat di pipinya. “Wah! Ini anakmu atau petarung MMA, sih?” ucapnya sambil tertawa geli, masih memegang pipinya yang baru saja ‘disentuh’ oleh calon buah hatinya.Naina ikut tertawa, meski sedikit meringis karena tendangan itu memang cukup kuat. “Dia aktif banget, apalagi kalau dengar suara kamu. Mungkin dia tahu ayahnya cerewet.”Marven menyipitkan mata berpura-pura tersinggung. “Cerewet demi anak dan istri tercinta, oke? Lagian, suara ayahnya ini yang bikin kamu nyaman di perut sana, ya kan, Nak?” k
“Bagaimana keadaan istri saya dok? apakah dia dan calon anak saya baik-baik saja?” tanya Marven dengan wajah kalut penuh ketakutan dan merasa bersalah karena melakukannya dengan keras hingga istrinya kesakitan.Dokter terlihat tenang, menatap Marven dan Naina yang duduk di ranjang rumah sakit. Naina sudah berbaring dengan infus di tangan, sementara Marven masih menggenggam jemarinya erat-erat.“Untung kalian cepat datang,” ucap dokter sambil mengecek data di tablet-nya. “Istri Anda mengalami kontraksi ringan akibat tekanan fisik yang terlalu intens. Tapi tenang, kondisi janinnya masih stabil, tidak ada tanda bahaya besar. Namun…”Marven menegakkan tubuhnya, wajahnya menegang. “Namun…?”Dokter menatap Marven dalam-dalam. “Dia harus benar-benar beristirahat dan menghindari aktivitas fisik yang terlalu berat, termasuk… hubungan suami istri. Setidaknya sampai trimester pertamanya benar-benar aman. Saya akan beri obat pereda kram, dan nanti ada vitamin tambahan juga.”Marven menghela napas