Di sebuah restoran mewah, Naina yang digandeng oleh Marven masuk ke dalam dengan senyum merekah. “Kita akan makan malam disini?” Tanya Naina sambil mengamati restoran bertema bangunan khas negara prancis itu dengan kagum. Marven tersenyum tipis melihat ekspresi kagum di wajah Naina. “Tentu. Saya ingin memberikanmu pengalaman terbaik,” katanya sambil menuntunnya menuju meja yang sudah disiapkan. Restoran itu dipenuhi cahaya temaram, musik klasik mengalun lembut di latar belakang, menciptakan suasana yang begitu elegan. Seorang pelayan segera datang dan memberikan menu kepada mereka. Naina melihat sekeliling, matanya berbinar. “Tempat ini luar biasa… Saya bahkan merasa seperti seorang bangsawan,” candanya dengan tawa kecil. Marven menatapnya dengan penuh arti. “Memang seharusnya begitu. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik.” Naina menghela napas kecil, berusaha menenangkan debaran jantungnya setiap Marven mengatakan hal-hal yang manis. Namun, di tengah momen hangat itu, tatapa
“Tidak!! Aku tidak bersalah, aku tak ada sangkut pautnya dengan kematian Nyonya Serina!!” Suara Evelyn bergetar saat berada di ruang interograsi karena dituduh sebagai salah satu pelaku pembunuhan.Detektif menatap Evelyn dengan tajam, mengetuk pena di atas berkasnya dengan ritme pelan namun menekan. “Jika kau tidak bersalah, lalu bagaimana kau bisa memiliki uang dalam jumlah besar tak lama setelah kematian Nyonya Serina?”Evelyn menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. “Itu… itu bukan uang dari Jake! Aku mendapatkannya dari bisnis lain!”Detektif menaikkan alisnya, lalu menyodorkan sebuah foto di atas meja. “Kau dan sepupumu tertangkap kamera CCTV saat menarik sejumlah besar uang dari rumah sakit, setelah kami telusuri ada transaksi janggal. Sepertinya kau menipu Jake untuk memberikan uang pada rumah sakit dan kau mengambilnya dengan koneksi sepupumu. Kau bisa dipidana karena penipuan!”Evelyn membeku di tempatnya. Mata bulatnya menatap foto itu dengan penuh ketakutan. “Tidak… tidak
“Saya tidak bisa mengikatmu dengan pekerjaan, tapi setidaknya, saya ingin orang lain tahu bahwa kamu milik saya.”Kata-kata Marven membuat Naina terdiam sejenak, hingga saat dia menguasai pikirannya kembali, Naina menatap Marven dengan mata ragu.“Kamu mengajak saya tunangan?” Tanya Naina ragu.Marven menatapnya tanpa ragu sedikit pun. “Ya,” jawabnya tegas.Naina menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. “Tapi… ini terlalu cepat. Kita bahkan belum lama mengenal satu sama lain.”Marven tersenyum tipis, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. “Apa itu masalah? Saya tahu apa yang saya mau, dan saya mau kamu, Naina.”Naina merasa jantungnya hampir melompat keluar. Pria ini selalu tahu bagaimana membuatnya kehilangan kata-kata. Dia menunduk, menatap cincin di dalam kotak kecil itu, berkilauan di bawah cahaya mobil.Tak ada alasan untuk menolak Marven, apalagi mereka sudah membicarakan status mereka yang berbeda dan pria itu sama sekali tak peduli. Marven juga sangat baik, bahkan m
“Evelyn! Kau juga disini?” Suara Jake yang ada di dalam jeruji besi selagi menunggu putusan hakim, sangat senang kala melihat Evelyn yang datang menemuinya disana.Evelyn dengan senyum palsunya menatap Jake dengan wajah sendu, “Jake, aku tak menyangka kau akan seperti ini. Melihatmu seperti ini aku jadi sedih.” Kata Evelyn sambil mengusap air mata palsunya.Jake yang melihat itu tersentuh, “Hanya kau yang megerti aku, Evelyn. Tidak seperti Naina yang malah membuangku saat seperti ini.”Mendengar itu Evelyn terkejut, dia berpikir jika Naina meninggalkan Jake dalam keadaan seperti ini maka tak akan ada gunanya lagi dia memeras Jake.“Bagaimana bisa Naina meninggalkanmu? Dia sangat kejam. Padahal kau bisa bebas jika ditebus uang lima ratus juta. Aku sudah bernegosiasi pada aparat disini dan mereka setuju asal kau mempunyai uang lima ratus juta.” Kata Evelyn sambil iba.“Andai aku punya uang sebanyak itu, pasti aku akan membebaskanmu jake.” Kata Evelyn sambil menangis, namun di balik itu
“Tip?”Naina yang mendengar itu langsung menoleh setelah staf hotel membersihkan kamarnya menyodorkan tangan terbuka di hadapannya.“Tip?” Beo-nya.Staf itu langsung berdecak kesal, “Iya, saya kan sudah membersihkan kamar anda.” Katanya dengan ketus.Naina menatap staf itu dengan dingin. “Bukankah membersihkan kamar tamu memang bagian dari pekerjaan Anda?” Staf itu mendengus, wajahnya jelas menunjukkan kejengkelan. “Memang, tapi kalau mau pelayanan yang lebih baik, ya kasih tip dong, Bu.” Naina menghela napas, mencoba menahan emosinya. Dia sudah sering menginap di berbagai hotel, tapi belum pernah menemui staf yang secara terang-terangan meminta tip dengan cara seperti ini. “Jadi, kalau tamu tidak memberi tip, kalian tidak akan membersihkan kamar dengan baik?” tanyanya, menatap staf itu tajam. Staf itu terlihat canggung sesaat, tapi kemudian mengangkat bahu. “Terserah mau berpikir begitu atau tidak. Tapi kalau mau kamar bersih dan pelayanan lebih cepat, ya ada harganya.” Nai
“Kenapa tidak mengabari saya?” Suara Marven berubah menjadi dingin.Naina yang mendengar itu menelan ludahnya pelan, “Bukankah saya sudah bilang jika saya bekerja?”Naina mendengar nafas berat dari sana, “Makan siang dimana? Saya akan menjemputmu.”Naina melirik jam di pergelangan tangannya. Dia memang belum makan siang, tapi…“Saya masih di hotel, mungkin makan di sini saja,” jawabnya hati-hati.“Hotel? Kamu bekerja di hotel?!”Naina menutup matanya pelan karena kebodohannya sendiri, dia tak memberitahu Marven jika dia bekerja langsung dibawah Nyonya Sisca karena tahu pria itu pasti akan menolak tegas.“Saya bertemu klien, jadi makan di restoran hotel.” Kata Naina cepat.Marven terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Baik. Saya akan ke sana dalam dua puluh menit. Tunggu saya.”Sebelum Naina sempat menolak, panggilan sudah terputus. Dia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk.Tyo yang masih berdiri di dekatnya berdeham kecil. “Tuan Marven?”Naina
“Apa yang salah!! Kenapa saya di hukum!!” Suara Jake menggema di ruang persidangan saat putusan hakim telah di tetapkan dengan ketukan palu.Jake benar-benar tak bisa menerima ini, dia sudah membayar untuk dibebaskan, tapi kenapa dia tetap di penjara selama dua puluh lima tahun?Dia dengan cepat mencari Evelyn di kursi penonton, untuk melihat apakah wanita itu ada di barisan orang yang sedang menonton sidang ini.Namun, matanya membelalak saat tidak menemukan sosok Evelyn di sana."Evelyn?! Di mana dia?!" Jake berteriak panik, matanya liar mencari wanita yang seharusnya membantunya.Pengacaranya hanya bisa menghela napas berat. “Tuan, tak ada orang yang berna Evelyn yang hadir di persidangan. Bukti sudah jelas dan anda harus di hukum. Mohon menerima putusan.” Kata pengacara itu, karena pengacara itu sudah berusaha keras untuk menangguhkan putusan Jake namun tetap gagal. Jake memang harus menerima hukuman sesuai putusan yang berlaku.Jake merasakan tubuhnya melemas. Dikhianati.Dia men
“Bagaimana? Sudah puas melihat penderitaan, Jake?” Tanya Marven dengan lembut saat mereka berada di dalam mobil.Naina yang mendengar itu tersenyum, “Dua puluh lima tahun cukup untuk membayar darah yang saya keluarkan, namun tidak cukup untuk menebus dosanya yang telah membunuh anaknya sendiri.” Kata Naina yang meremas tas yang ada di pangkuannya itu.Marven menatap Naina sejenak sebelum meraih tangannya dengan lembut, menggenggamnya erat. “Kamu sudah melewati banyak hal,” katanya pelan. “Kamu lupakan semua itu, tinggalkan masa lalumu dan kita rajut lagi kisah yang bahagia.”Naina tersenyum lalu mengangguk, “Tapi saya masih belum puas jika Evelyn masih bebas dan berkeliaran dengan uang Jake.”“Saya akan mengurusnya, saya pastikan dia tak bisa kabur kemana-mana. Apa yang ingin kamu lakukan dengannya? Membuatnya dipenjara?” Tanya Marven dengan lembut.Naina menggeleng, “Saya ingin dia merasakan rasanya hampir mati saat darah hampir habis di tubuhnya.” Katanya dengan dingin.Marven menga
“Bagaimana? Apakah dia hamil?”Marven langsung menembak pertanyaan saat dokter keluarga memeriksa Naina setelah kembali ke mansion.“Hamil?” Dokter keluarga itu mengerutkan dahi, menatap Marven sejenak sebelum kembali memeriksa hasil catatannya.“Tidak, dia tidak hamil,” jawabnya dengan nada datar namun meyakinkan. “Tekanan darahnya sedikit rendah dan lambungnya iritasi, mungkin karena kelelahan dan pola makan yang tidak teratur. Itu saja.”Marven menarik napas lega, namun tak sempat menyembunyikan ekspresi lega yang langsung terlihat oleh Naina yang duduk di sisi ranjang.“Kenapa kamu curiga aku hamil?” tanya Naina dengan bingung.Marven menatap Naina beberapa detik, seolah memilih kata-kata yang tepat. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tak mengalihkan pandangannya darinya.“Karena kamu tiba-tiba mual, pucat… dan kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ujarnya dengan tenang. “Dan… bibi Sisca juga langsung menebaknya.”Naina mengerutkan kening, “Jadi kamu percaya omongan bibi Sisca?”Marv
Brak!Suara ponsel yang hancur ke lantai menggema di ruangan kamar itu. Rosana yang melihat sosial media bibinya langsung mendidih karena melihat kemesraan Naina dan Marven.Dia menggigit kuku jarinya dengan gelisah, hingga suara ketukan kaca dari arah balkon membuatnya menoleh.Dengan cepat dia bangkit dan menghampiri orang itu dengan semangat, “Bagaimana? kau sudah menemukan rahasia wanita itu?”Pria dengan masker hitam itu mengangguk, “ternyata dia wanita yang sudah menikah, dan baru saja bercerai.”Mendengar itu Rosana menyeringai, “licik juga dia, pasti kakak tidak tahu jika dia seorang janda!’Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini salinan surat perceraiannya. Lengkap dengan data mantan suaminya.”Rosana membuka map itu dengan antusias, matanya berbinar saat membaca setiap lembarannya. “Ini... ini sempurna,” gumamnya. “Dengan ini, aku bisa membuat kakak membencinya. Seorang Tuner tak mungkin bersama janda!”Dia terkekeh pelan, namun nada tawanya dipenuhi kebencian.
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalana
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang a
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim