Dua hari berlalu, waktunya Naina pulang ke rumah. Jake yang hari ini entah mengapa tampak lebih perhatian dari sebelumnya.“Aku sudah merekrut pelayan untuk memasak dan membersihkan rumah, mulai sekarang kau tak perlu kelelahan lagi.” Kata Jake dengan lembut.Naina hanya diam dan berjalan pelan menuju ke kamarnya, dari lantai dua dia mendengar seruan Jake lagi. “Aku akan pergi ke kantor, jadi istirahatlah yang baik.” Katanya dengan keras namun tak dihiraukan Naina.“Apa gunanya berubah? Pasti ada sesuatu yang nanti dia minta seperti biasanya.”Gumam Naina kemudian masuk ke dalam kamarnya.Di dalam, dia lebih memilih membuka laptopnya. Entah apa yang membuatnya ingin membuka laptop lamanya kala kuliah.Kenangan foto-fotonya bersama Jake saat masih pacaran tampak begitu bahagia, “Bagaimana bisa orang bisa berubah dalam waktu satu tahun?” Gumam Naina, mengingat perubahan Jake tepat saat ulang tahun pernikahan mereka yang ke–1.Dan setelah itu hidupnya seperti di neraka, benar-benar menyi
Sampai pagi, Jake tak pulang ke rumahnya. Membuat Naina tak perlu beralasan untuk pergi bekerja hari ini. Dia juga sudah meminta pak Johan untuk menjemputnya di depan gang.“Selamat pagi pak.” Kata Naina dengan ramah.Pak Johan tersenyum, “Apa anda sudah sehat? Kata tuan jika anda masih sakit tidak perlu pergi bekerja hari ini.” Kata pak Johan dengan ramah.“Saya sudah sehat dan juga tidak pusing lagi. Dibanding terus di rumah saya lebih sehat bekerja.” Kata Naina.Pak Johan mengangguk lalu menjalankan mobilnya, “Saya sangat terkejut kala mendengar anda koma kemarin. Padahal saya mengantar anda dalam keadaan sehat. Apakah ada sesuatu yang terjadi?”Naina tersenyum tipis, “Ada insiden kecil, tidak parah kok, pak. Oh iya jangan lupa ke toko roti yang sebelumnya ya pak. Tuan, sangat suka rotinya di toko itu jadi saya berencana setiap hari membawakannya.”Pak Johan tersenyum mendengar permintaan Naina.”Baik.”Di sepanjang perjalanan, Naina memandang keluar jendela, menikmati pemandangan p
“Kamu berani menentang kakek, Marven?” Suara dingin itu memecah keheningan di ruangan khusus tamu perusahaan, menyelimuti atmosfer dengan ketegangan.Marven tetap tenang, lalu duduk di hadapan pria tua berumur lebih dari tujuh puluh lima tahun itu. “Saya tidak punya waktu untuk membahas hal-hal yang tidak penting, Kek. Jika kedatangan kakek hanya untuk membicarakan pernikahan bisnis, lebih baik kembali ke Jerman. Nikmati masa tua di kampung halaman,” ucap Marven dengan nada datar namun penuh ketegasan.Antony mengepalkan tangannya erat pada pegangan tongkat kayu yang dibawanya, ekspresi wajahnya mengeras. “Kamu semakin tidak tahu aturan! Kamu sudah tiga puluh tahun tapi masih lajang. Apakah kamu ingin keturunan Tuner berhenti di generasimu?!”Marven menghela napas panjang. Lagi-lagi masalah pernikahan dan keturunan—topik yang selalu menjadi fokus utama setiap pertemuan mereka. “Tahun depan, saya pastikan sudah menikah. Siapapun orangnya, Kakek tidak perlu ikut campur,” jawabnya tajam
“Apartemen ini, kan?” gumam Naina sambil memeriksa pesan dari Jake yang berisi alamat apartemen tempat mereka tinggal sementara di ibu kota.Dengan sedikit ragu, dia memasukkan pin berupa tanggal pernikahan mereka dan pintu pun terbuka. Naina melangkah masuk, mendapati apartemen itu kosong. Suasana sunyi menyelimuti, hanya barang-barang yang telah tertata seadanya yang menjadi tanda kehadiran Jake di sana.Dia menghela napas, merasa sedikit lega karena setidaknya tempat itu sudah siap dihuni. Tanpa membuang waktu, Naina mulai merapikan barang-barangnya dan juga milik Jake, menyusun pakaian ke dalam lemari dengan cekatan meski pikirannya melayang ke berbagai arah.“Apa aku sebaiknya memindahkan ayah ke rumah sakit di ibu kota saja?” gumamnya pelan, menghentikan aktivitasnya sejenak. Kekhawatiran menyelimuti hatinya; tidak ada yang bisa menjaga ayahnya jika terjadi sesuatu mendesak.Namun, pikiran itu segera dihadang oleh kenyataan. Dia menghela napas panjang. “Tapi aku masih harus mend
“Kamera kecil dan penyadap suara ternyata mahal sekali.” Gumam Naina saat melihat marketplace yang ada di ponselnya.Pagi setelah bangun tidur dia sudah mencari-cari alat untuk dia jadikan bukti perselingkuhan Jake. Terlebih saat ini Jake berencana masuk ke ibukota, sudah pasti reputasi sangat penting untuk keluarganya.Tapi, masalahnya uangnya sama sekali tidak cukup karena terakhir kali dia sudah mentransfer uang ke rumah sakit untuk pengobatan ayahnya.Naina mendesah, merasa frustasi karena keterbatasan yang dia miliki.Ceklek!“Naina?” Tiba-tiba Jake muncul di balik pintu yang terbuka.Naina yang melihat itu langsung menyembunyikan ponselnya dan mengantonginya. “Ada apa?” Tanya Naina yang berusaha untuk tetap tenang.“Evelyn ingin makan bubur buatanmu, kau bisa membuatkannya kan?” Tanya Jake.Naina mengangguk dan keluar dari kamar, disana dia melihat Evelyn sudah datang dan menonton televisi disana.“Naina, aku ingin minum susu dulu. Jadi, sebelum membuatkan bubur buatkan susu unt
“Nyonya, kenapa kemarin tidak masuk kerja lagi? Bukankah kata pak Johan kemarin anda sudah sehat dan beliau menjemput anda?” Tanya pelayan lain yang ada di mansion saat Naina sedang membuatkan kopi untuk Marven.“Iya, kemarin aku pergi ke perusahaan karena tuan yang memintanya.” Kata Naina dengan ramah.“Anda pergi ke perusahaan?” Beberapa pelayan yang mendekati Naina tampak terkejut.Meskipun bingung, Naina tetap mengangguk “Ada masalah?”Mereka semua saling memandang satu sama lain, “Anda benar-benar dekat ya nyonya dengan tuan?” Tanya salah satu dari mereka.Naina semakin bingung, “Dekat bagaimana? Jika berhubungan dengan pekerjaanku bukankah wajar jika dekat karena aku melayaninya dari jarak dekat?”Pelayan itu menggeleng, “Sebelumnya asisten rumah tangga harus selalu siap di mansion, tidak pernah pergi ke perusahaan apalagi sampai jam kerja selesai. Dan biasanya yang menyiapkan kopi juga tuan Ben, tapi semenjak anda datang tuan Ben sepertinya telah kehilangan satu tugasnya.”Nain
“Uang? Berapa yang kamu butuhkan?” Tanya Marven sambil menatap Naina dengan serius.Naina menundukkan kepalanya sambil menjawab, “L-lima belas juta, tuan.” Kata Naina gugup.Dia tahu jika uang itu tergolong besar bagi dia yang baru kerja beberapa hari, tapi dia tak punya pilihan untuk meminta sebagian gajinya lebih awal.Marven terlihat memandang Naina sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan kartu bank di sana, “Saya tidak punya cash sebanyak itu, ambil kartu ini. Pin-nya adalah hari pertama kamu bekerja.” Kata Marven dengan tenang.Naina terkejut mendengar kata-kata Marven. Dia sempat terpaku beberapa detik, mencerna apa yang baru saja didengarnya. Sebuah kartu bank? Pin yang diberikan, adalah hari pertama dia bekerja?Dengan perlahan, Naina mengulurkan tangannya untuk menerima kartu tersebut. "Tuan... ini terlalu banyak. Saya hanya memerlukan sejumlah uang untuk beberapa keperluan mendesak, tidak sebesar itu," kata Naina, sedikit ragu.Marven tetap tenang, tanpa mengubah ekspresi waja
TING! TONG!Ceklek!“Lama sekali buka pintu saja! Mana Jake?!” Suara keras dan nyaring menggema, memenuhi ruangan begitu Naina membuka pintu.Naina menahan napas sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Dalam hati, ia sudah menduga sambutan seperti ini. “Silakan masuk, Bu,” ucapnya dengan nada datar, menutup pintu di belakang wanita tua yang langsung melangkah masuk dengan angkuh.Serina, dengan tas mahal yang menggantung di lengannya, berjalan memasuki ruang tamu tanpa basa-basi. Matanya menyapu ruangan seperti sedang menilai, mencari sesuatu yang bisa dikritik. Ia kemudian duduk di sofa dengan sikap angkuh, tangan terlipat di depan dada.“Buatkan aku minuman,” perintahnya singkat, tanpa menatap Naina.Naina menghela napas pelan, menekan rasa kesal yang mulai muncul di dadanya. Ia memaksakan senyum kecil dan menjawab, “Baik, Bu. Ibu ingin teh atau kopi?”Serina mengangkat alis, menatap Naina dengan pandangan meremehkan. “Kopi. Tapi jangan terlalu manis. Dan jangan lama!” tukasnya sebel
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng
“Baby boy datang….” Nyonya Sisca membawa box bayi dengan semangat.Naina yang terbaring di ranjang tersenyum bahagia karena ini adalah pertama kalinya dia melihat putranya setelah beberapa hari dalam perawatan.Nyonya Sisca meletakkan box bayi itu dengan hati-hati di samping ranjang Naina. “Lihatlah, dia sudah membuka matanya tadi pagi. Seperti sedang mencari-cari ibunya,” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca karena haru.Naina mengangkat tangannya pelan, matanya sudah basah melihat sosok mungil di dalam box itu. “Sayang… sini, peluk mama,” bisiknya lirih.Marven dengan hati-hati mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dada Naina. Tangis kecil si bayi langsung mereda saat merasakan dekapan ibunya.“Raynar Elric Tuner,” gumam Naina sambil mencium kening putranya. “Selamat datang di dunia, nak…”Marven berdiri di samping mereka, mengelus lembut kepala istrinya dan putranya. “Keluarga kita lengkap sekarang…” ucapnya pelan, penuh rasa syukur.Rosana yang menyaksikan dari pintu hanya ter
Di luar ruang operasi, ketiganya tampak berdoa masing-masing menunggu kabar baik.Setelah beberapa jam telah terlewati, mereka mendengar suara tangis bayi di dalam.Nyonya Sisca dan Rosana langsung menoleh, senyum mereka akhirnya merekah.“Bayinya selamat!” Ucap Nyonya Sisca bahagia.Namun Marven sama sekali tak merasa lega, karena dia belum melihat dokter keluar dan bagaimana keadaan istrinya di dalam.Marven berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti batu. Suara tangis bayi yang seharusnya menjadi kabar bahagia justru terasa menggantung baginya. Matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat.Rosana berdiri di sampingnya, ikut terdiam saat menyadari ekspresi kakaknya tak berubah. Nyonya Sisca, yang sebelumnya tersenyum lega, kini ikut dilanda cemas lagi.Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi akhirnya terbuka.Seorang dokter keluar, wajahnya tampak lelah, namun tetap menunjukkan sikap profesional. Marven langsung menghampirinya dengan langkah tergesa.“Dok,
“Sayang, hati-hati!”Suara Marven menggema cukup keras dari balik balkon, namun Naina yang sedang berjalan santai dari arah taman tidak terlalu mendengarnya. Fokusnya tertuju pada burung kecil yang bertengger di pagar, membuat langkahnya sedikit melambat.Namun tiba-tiba kakinya menginjak batu kecil yang tertanam tak rata di jalan setapak. Dalam sekejap, tubuh Naina kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh ke samping, dan suara benturan tubuhnya di tanah disertai ringisan kesakitan langsung membuat jantung Marven seakan berhenti berdetak.“Naina!”Ia langsung berlari menuruni anak tangga tanpa pikir panjang. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu pun ikut panik.“Aaahh… Marven… perutku…” suara Naina lirih namun penuh ketakutan, tangannya menggenggam erat perutnya yang besar.Ketika Marven sampai di sisinya, ia melihat noda darah mulai merembes dari balik gaun Naina. Wajahnya langsung pucat. “B-Ben! Siapkan mobil sekarang! Cepat! Kita ke rumah sakit!” teriaknya tanpa menoleh.Ben yang
“Di lamar?!” Marven dan Naina langsung menoleh bersamaan saat mendengar hal itu.Rosana menundukkan kepalanya malu, “Iya kak,”Naina langsung menjerit kecil penuh antusias sambil memeluk adiknya, “Aaaa! Ros, selamat! Ya ampun, kamu akhirnya dilamar juga! Aku seneng banget!”Marven hanya menghela napas panjang lalu menatap Andrian tajam tapi dengan nada menggoda, “Kau berani-beraninya melamar adikku tanpa izin? Minimal kasih kode dulu”Andrian mengangkat tangan seperti menyerah, “Sumpah, tuan Marven, saya niatnya baik dan serius. Dan cincin itu bukan cuma simbol, saya juga sudah siapkan semuanya untuk langkah selanjutnya.”Naina menoleh ke Marven sambil tersenyum penu
“Wow cantik sekali, pilihanku memang tak pernah salah,” puji Andrian saat melihat Rosana keluar dengan gaun hijau cantik namun tak berlebihan.Rosana menahan senyumnya sambil memukul lengan pria itu, “jangan menggodaku!”Andrian tertawa ringan sambil merapikan jasnya, lalu membuka pintu mobil untuk Rosana. “Aku hanya jujur, kok. Lagipula, malam ini sepertinya aku yang beruntung bisa pergi dengan wanita secantik kamu.”Rosana tersipu, tapi tetap gengsi untuk mengakuinya. “Huh, bisa aja kamu. Ayo jalan, sebelum aku berubah pikiran.”Andrian mengangguk sambil menahan senyum puas. “Baik, nona Rosana. Tapi kalau kamu berubah pikiran dan memutuskan untuk mencintaiku sekarang juga, aku nggak keberatan.”Rosana hanya mendecak pelan, “Dasar kamu…,” lalu masuk ke mobil dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.Dan saat mereka sampai di sebuah restoran yang menyajikan makanan ala timur tengah, Rosana masuk dengan dibantu oleh Andrian yang setia menggandengnya.“Selamat datang, tuan dan nona. M
“Kematian pada ibu hamil memang beberapa terjadi tuan, tapi itu hanya sebagian kecil dari ibu yang selamat,” jelas dokter saat diundang langsung diruang kerja Marven.Marven sejak kemarin terus dihantui oleh rasa ketakutan istrinya sampai menyuruh Ben mengundang ahli kandungan untuk berkonsultasi sendiri.Dokter yang duduk dengan tenang di hadapan Marven menatap pria muda itu dengan bijak. “Saya paham kekhawatiran Anda, Tuan Marven. Kecemasan seperti ini sangat wajar, apalagi bagi suami yang sangat mencintai istrinya dan calon anaknya. Tapi izinkan saya memberikan sedikit ketenangan…”Marven, yang duduk bersandar dengan tangan saling menggenggam di depan mulutnya, hanya mengangguk pelan. Matanya tampak lelah—bukan karena kurang tidur, tapi karena dihantui ketakutan sejak Naina mengungkapkan kekhawatirannya.“Pertama, kondisi nyonya Naina sejauh ini sangat baik. Tensi, detak jantung janin, pertumbuhan, semua dalam batas normal dan sehat. Tak ada indikasi bahaya seperti preeklampsia, pl
“Sejak kapan perutmu sudah sebesar ini, sayang?” Marven terkejut saat bangun tidur mendapati perut istrinya membuncit dan ada gerakan kecil disana.Naina dengan kesal langsung memukul pelan suaminya itu, “ini sudah hampir tujuh bulan, wajar jika perutku besar.”Marven terkekeh pelan, “Sebentar lagi kita akan bertemu baby boy,” gumamnya sambil menciumi perut istrinya dengan gemas namun langsung ditendang oleh anaknya dari dalam.Marven terperanjat kecil saat perut istrinya menendang balik tepat di pipinya. “Wah! Ini anakmu atau petarung MMA, sih?” ucapnya sambil tertawa geli, masih memegang pipinya yang baru saja ‘disentuh’ oleh calon buah hatinya.Naina ikut tertawa, meski sedikit meringis karena tendangan itu memang cukup kuat. “Dia aktif banget, apalagi kalau dengar suara kamu. Mungkin dia tahu ayahnya cerewet.”Marven menyipitkan mata berpura-pura tersinggung. “Cerewet demi anak dan istri tercinta, oke? Lagian, suara ayahnya ini yang bikin kamu nyaman di perut sana, ya kan, Nak?” k
“Bagaimana keadaan istri saya dok? apakah dia dan calon anak saya baik-baik saja?” tanya Marven dengan wajah kalut penuh ketakutan dan merasa bersalah karena melakukannya dengan keras hingga istrinya kesakitan.Dokter terlihat tenang, menatap Marven dan Naina yang duduk di ranjang rumah sakit. Naina sudah berbaring dengan infus di tangan, sementara Marven masih menggenggam jemarinya erat-erat.“Untung kalian cepat datang,” ucap dokter sambil mengecek data di tablet-nya. “Istri Anda mengalami kontraksi ringan akibat tekanan fisik yang terlalu intens. Tapi tenang, kondisi janinnya masih stabil, tidak ada tanda bahaya besar. Namun…”Marven menegakkan tubuhnya, wajahnya menegang. “Namun…?”Dokter menatap Marven dalam-dalam. “Dia harus benar-benar beristirahat dan menghindari aktivitas fisik yang terlalu berat, termasuk… hubungan suami istri. Setidaknya sampai trimester pertamanya benar-benar aman. Saya akan beri obat pereda kram, dan nanti ada vitamin tambahan juga.”Marven menghela napas