“Uang? Berapa yang kamu butuhkan?” Tanya Marven sambil menatap Naina dengan serius.Naina menundukkan kepalanya sambil menjawab, “L-lima belas juta, tuan.” Kata Naina gugup.Dia tahu jika uang itu tergolong besar bagi dia yang baru kerja beberapa hari, tapi dia tak punya pilihan untuk meminta sebagian gajinya lebih awal.Marven terlihat memandang Naina sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan kartu bank di sana, “Saya tidak punya cash sebanyak itu, ambil kartu ini. Pin-nya adalah hari pertama kamu bekerja.” Kata Marven dengan tenang.Naina terkejut mendengar kata-kata Marven. Dia sempat terpaku beberapa detik, mencerna apa yang baru saja didengarnya. Sebuah kartu bank? Pin yang diberikan, adalah hari pertama dia bekerja?Dengan perlahan, Naina mengulurkan tangannya untuk menerima kartu tersebut. "Tuan... ini terlalu banyak. Saya hanya memerlukan sejumlah uang untuk beberapa keperluan mendesak, tidak sebesar itu," kata Naina, sedikit ragu.Marven tetap tenang, tanpa mengubah ekspresi waja
TING! TONG!Ceklek!“Lama sekali buka pintu saja! Mana Jake?!” Suara keras dan nyaring menggema, memenuhi ruangan begitu Naina membuka pintu.Naina menahan napas sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Dalam hati, ia sudah menduga sambutan seperti ini. “Silakan masuk, Bu,” ucapnya dengan nada datar, menutup pintu di belakang wanita tua yang langsung melangkah masuk dengan angkuh.Serina, dengan tas mahal yang menggantung di lengannya, berjalan memasuki ruang tamu tanpa basa-basi. Matanya menyapu ruangan seperti sedang menilai, mencari sesuatu yang bisa dikritik. Ia kemudian duduk di sofa dengan sikap angkuh, tangan terlipat di depan dada.“Buatkan aku minuman,” perintahnya singkat, tanpa menatap Naina.Naina menghela napas pelan, menekan rasa kesal yang mulai muncul di dadanya. Ia memaksakan senyum kecil dan menjawab, “Baik, Bu. Ibu ingin teh atau kopi?”Serina mengangkat alis, menatap Naina dengan pandangan meremehkan. “Kopi. Tapi jangan terlalu manis. Dan jangan lama!” tukasnya sebel
“Belanja kali ini sangat menyenangkan. Kau harus sering-sering seperti ini jangan seperti dulu yang melarangku membeli ini dan itu.” Kata Serina sambil memandang tas belanjaannya yang banyak.Naina hanya tersenyum tipis, “Iya, bu.” Kata Naina dengan tenang, lalu mereka masuk ke dalam apartemen.Disana, terlihat wajah Jake yang begitu gelisah dan menghampiri mereka kala melihat mereka sudah kembali.“Jake, lihat. Ibu belanja banyak hari ini, setelah makan malam ibu langsung pulang karena besok ada arisan. Ibu sangat tidak sabar untuk memamerkan tas ibu.” Kata Serina dengan senang.Jake menatap tas belanjaan ibunya dengan tatapan nanar, lalu menarik tangan Naina. “Bu, aku ingin bicara hal penting dengan Naina.”Naina merasa bingung ketika Jake tiba-tiba menarik tangannya, tapi ia tetap mengikuti langkah suaminya ke kamar. Begitu pintu tertutup, Jake menatapnya dengan tajam.“Apa-apaan ini, Naina? Kenapa kau membiarkan ibu belanja sebanyak itu?” tanyanya dengan nada rendah, namun jelas a
“Kamu sejak tadi tersenyum, Naina. Apa ada hal baik?” Suara Marven membuat Naina langsung tersadar dari lamunannya.Namun tak melepaskan senyumnya yang sejak tadi terpasang, “Tidak begitu, tuan. Hanya saja liburan saya kemarin menyenangkan.” Kata Naina dengan tenang.Marven mengangkat salah satu alisnya, seolah penasaran tapi juga tak ingin bertanya lebih lanjut.“Susun dokumen ini, dan minta pelayan lain untuk menyiapkan ruang meeting di mansion. Ada beberapa karyawan nanti yang datang untuk membahas proyek.” Kata Marven sambil menyerahkan setumpuk dokumen tebal kepada Naina.Naina menerima dokumen itu dengan sigap, meski dalam hati dia sedikit terkejut dengan tumpukan yang lebih tebal dari biasanya. “Baik, Tuan. Akan saya susun dan pastikan ruang meeting siap sebelum tamu datang,” jawabnya dengan nada profesional.Marven memandangi Naina sejenak, lalu kembali fokus ke layar komputernya. “Dan pastikan pelayan lainnya tidak membuat kekacauan. Saya tidak ingin ada hal yang mengganggu p
“Proyek real estate ini bisa memakan biaya ratusan milyaran, namun terdapat kendala di bagian masyarakat disana yang tidak ingin pindah dan diberikan kompensasi. Ini adalah PR untuk kita semua, tuan. Menurut anda bagaimana solusi agar proyek ini bisa segera direalisasikan?” Salah satu karyawan Marven mengajukan pertanyaan seperti itu, karena dari tim mereka sudah tidak bisa memikirkan cara yang lebih efektif.Marven tampak tenang, seolah ini bukanlah masalah serius. Bahkan, dengan santai dia menatap Naina yang duduk di sisi kanannya. “Menurutmu bagaimana, Naina?”Naina yang mendengar itu terkejut, bahkan tak hanya Naina tapi semua orang yang ikut rapat kali ini.Bagaimana tidak? Naina hanyalah asisten rumah tangga, namun dilibatkan dalam rapat penting seperti ini. Namun, para karyawan disana tak berani menginterupsi.Naina terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan kepadanya. Matanya bertemu dengan tatapan Marven yang tenang, seolah memberikan dorongan aga
“Kau sudah memberikannya makanan? Apa dia langsung memakannya?”Pertanyaan itu langsung muncul kala Naina baru saja kembali dari apartemen Evelyn. Di tengah kesibukannya, Jake masih sempat-sempatnya bertanya hal seperti itu.“Apa aku harus menunggunya selesai makan? Atau bahkan aku harus menyuapinya?” Tanya Naina dengan datar kemudian kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk mereka berdua.“Kau semakin sensitif, tidak seperti dulu. Apa karena pria itu kau berubah?” Tanya Jake yang langsung menutup laptopnya dengan keras.Naina mengabaikannya, sudah pasti Jake akan membawa-bawa Marven di perdebatan mereka kali ini.“Sudah aku bilang, jangan bawa-bawa dia. Dia tak ada hubungannya denganku apalagi denganmu.” Kata Niana tegas lalu menata piring di meja makan.Jake menatap Naina penuh selidik, seolah tak percaya. “Jangan membohongi aku, Naina.”Naina yang mendengar itu langsung meletakkan sup di meja dengan keras hingga menimbulkan suara. “Aku berbohong seperti apa? Dan kenapa k
Setelah malam yang begitu menyesakkan, Naina akhirnya bisa menghirup udara pagi yang segar di dalam mobil yang dikendarai oleh pak Johan.Wajah yang sebelumnya kusut akhirnya mulai kembali tersenyum, “Anda akhirnya pindah ke ibukota, nyonya. Apakah suami anda sudah mengijinkan anda bekerja?”Naina tersenyum saat mendengar pertanyaan pak Johan, dia hanya menjawab dengan singkat. “Tidak, pak.”Pak Johan mengangguk, “Tapi saya penasaran, kenapa anda memilih bekerja. Karena saya lihat suami anda juga bukan dari kalangan biasa.”“Bukankah kita sebagai wanita tak harus bergantung pada pria?”Pak Johan tersenyum mendengar jawaban Naina. “Anda benar, Nyonya. Wanita sekarang memang harus mandiri. Tapi, saya rasa itu bukan satu-satunya alasan Anda bekerja, kan?” Naina menatap keluar jendela, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang mulai menghiasi jalanan ibukota. “Ada banyak alasan, Pak Johan. Beberapa di antaranya mungkin sulit dijelaskan. Tapi intinya, saya ingin memiliki kendali atas hidup
“Selamat datang, tuan besar…” Semua pelayan berjejer dan menunduk menyambut tetua di keluarga Tuner.Antony Tuner, patriark keluarga Tuner, melangkah masuk dengan aura otoritas yang begitu kuat hingga membuat semua orang di sekitarnya terdiam. Matanya yang tajam menyapu setiap sudut ruangan, seolah mencari-cari sesuatu yang tidak beres. Dengan tongkat kayunya yang menghentak lantai keras, setiap langkahnya memancarkan dominasi.Naina, yang berjalan di barisan terdepan para pelayan, merasa tatapan Antony sempat berhenti sejenak padanya. Tapi dia tetap menunduk, menjaga ketenangan di wajahnya meski hatinya berdebar. Antony terkenal dengan sifatnya yang dingin dan sulit dipuaskan, dan kehadirannya selalu menjadi ujian bagi siapa pun di mansion ini.Setelah Antony duduk di ruang tamu utama, dia melirik ke arah Naina sebagai asisten rumah tangga di mansion ini. “Dimana Marven?” tanyanya dengan nada berat.“Tuan Marven sedang bekerja, Tuan Antony. Kami sudah memberi tahu bahwa anda tiba,” j
“Bagaimana? Apakah dia hamil?”Marven langsung menembak pertanyaan saat dokter keluarga memeriksa Naina setelah kembali ke mansion.“Hamil?” Dokter keluarga itu mengerutkan dahi, menatap Marven sejenak sebelum kembali memeriksa hasil catatannya.“Tidak, dia tidak hamil,” jawabnya dengan nada datar namun meyakinkan. “Tekanan darahnya sedikit rendah dan lambungnya iritasi, mungkin karena kelelahan dan pola makan yang tidak teratur. Itu saja.”Marven menarik napas lega, namun tak sempat menyembunyikan ekspresi lega yang langsung terlihat oleh Naina yang duduk di sisi ranjang.“Kenapa kamu curiga aku hamil?” tanya Naina dengan bingung.Marven menatap Naina beberapa detik, seolah memilih kata-kata yang tepat. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tak mengalihkan pandangannya darinya.“Karena kamu tiba-tiba mual, pucat… dan kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ujarnya dengan tenang. “Dan… bibi Sisca juga langsung menebaknya.”Naina mengerutkan kening, “Jadi kamu percaya omongan bibi Sisca?”Marv
Brak!Suara ponsel yang hancur ke lantai menggema di ruangan kamar itu. Rosana yang melihat sosial media bibinya langsung mendidih karena melihat kemesraan Naina dan Marven.Dia menggigit kuku jarinya dengan gelisah, hingga suara ketukan kaca dari arah balkon membuatnya menoleh.Dengan cepat dia bangkit dan menghampiri orang itu dengan semangat, “Bagaimana? kau sudah menemukan rahasia wanita itu?”Pria dengan masker hitam itu mengangguk, “ternyata dia wanita yang sudah menikah, dan baru saja bercerai.”Mendengar itu Rosana menyeringai, “licik juga dia, pasti kakak tidak tahu jika dia seorang janda!’Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini salinan surat perceraiannya. Lengkap dengan data mantan suaminya.”Rosana membuka map itu dengan antusias, matanya berbinar saat membaca setiap lembarannya. “Ini... ini sempurna,” gumamnya. “Dengan ini, aku bisa membuat kakak membencinya. Seorang Tuner tak mungkin bersama janda!”Dia terkekeh pelan, namun nada tawanya dipenuhi kebencian.
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalana
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang a
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim