“Selamat datang, tuan besar…” Semua pelayan berjejer dan menunduk menyambut tetua di keluarga Tuner.Antony Tuner, patriark keluarga Tuner, melangkah masuk dengan aura otoritas yang begitu kuat hingga membuat semua orang di sekitarnya terdiam. Matanya yang tajam menyapu setiap sudut ruangan, seolah mencari-cari sesuatu yang tidak beres. Dengan tongkat kayunya yang menghentak lantai keras, setiap langkahnya memancarkan dominasi.Naina, yang berjalan di barisan terdepan para pelayan, merasa tatapan Antony sempat berhenti sejenak padanya. Tapi dia tetap menunduk, menjaga ketenangan di wajahnya meski hatinya berdebar. Antony terkenal dengan sifatnya yang dingin dan sulit dipuaskan, dan kehadirannya selalu menjadi ujian bagi siapa pun di mansion ini.Setelah Antony duduk di ruang tamu utama, dia melirik ke arah Naina sebagai asisten rumah tangga di mansion ini. “Dimana Marven?” tanyanya dengan nada berat.“Tuan Marven sedang bekerja, Tuan Antony. Kami sudah memberi tahu bahwa anda tiba,” j
“Bagaimana bisa pria tua itu ke mansion!! Apa kamu tidak bisa mencegahnya, padahal saya sudah bilang menyuruh bawahannya mengantarnya ke kantor!” Marven sangat marah ketika mendengar kakeknya berada di mansion.Ben yang mendengar itu hanya menunduk, “Saya juga, tidak tahu tuan. Saya baru mendapatkan kabar setelah saya baru tiba di perusahaan karna mengurus dokumen di mansion. Jika saya tahu tuan besar tiba, saya tidak akan pergi ke kantor dan mengatr semuanya.”Marven melonggarkan dasinya dengan frustasi sambil melihat ke arah supir pribadinya dengan tajam, “Percepat mobilnya.”Sopir Marven segera meningkatkan kecepatan mobil, sementara Marven memijat pelipisnya dengan kesal. "Kakek tidak seharusnya ada di mansion. Dia pasti akan membuat kekacauan," gumamnya dengan nada frustasi.Ben, yang duduk di samping Marven, merasa tegang. Lalu mengeluarkan ponsel kala mendengar suara pesan dari orang mansion. Tapi, begitu dia melihat isi pesan itu wajahnya semakin tegang. “T-tuan..”Marven yang
“Awsshh..” Ringis Naina kala dokter membersihkan lukanya. Rasanya sangat perih dan panas secara bersamaan.“Mohon tahan ya, nyonya. Jika tidak dibersihkan akan jadi infeksi.” Kata Dokter wanita itu pada Naina.Naina menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang menusuk saat dokter terus membersihkan lukanya dengan hati-hati. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, tapi dia tetap duduk tegak.Ben yang berdiri di dekat pintu langsung bertanya, “Apakah itu parah, dokter?”Dokter wanita itu menoleh sejenak ke arah Ben, lalu kembali fokus membersihkan luka Naina. “Lukanya cukup dalam, tapi untungnya tidak mengenai tulang atau jaringan vital. Kalau tidak ditangani dengan baik, ini bisa jadi infeksi serius. Untung segera ditangani.”Ben mengangguk mengerti hingga dokter selesai membalut kedua lutut Naina kemudian pergi.Ben langsung mendekat, “Nyonya, setelah istirahat saya akan mengantar anda pulang. Apakah anda perlu kursi roda?”Naina menggeleng, “Saya masih bisa berjalan, tuan
PLAK!!Naina membelalak sambil memegang wajahnya karena ditampar tiba-tiba oleh Jake, dia terkejut sekaligus bingung.“Kau kenapa? Kenapa memukulku tiba-tiba setelah pulang?!!!” Naina berseru keras pada Jake.Jake menatap Naina dengan mata penuh kemarahan dan kekecewaan. “Kau masih berani bertanya kenapa?!” serunya dengan suara keras. Dia melemparkan ponselnya ke meja di dekat mereka, memperlihatkan foto Naina masuk ke mobil mewah.Naina memandangi foto itu dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu? Kau memukulku hanya karena ini?!”Jake mendekat, menunjuk foto tersebut. “Jangan pura-pura tidak tahu, Naina! Setiap pagi kau pergi, dan sekarang aku tahu kau dijemput oleh mobil mewah ini. Siapa dia? Kau selingkuh, ya?!”Naina menggeleng dengan ekspresi tak percaya. “Kau gila, aku tidak berselingkuh!”“Kau masih mengelak?? LIhat itu, siapa yang bisa menjemputmu dengan mobil mewah itu selain selingkuhanmu!!” Naina terdiam, dia bingung harus menjawab apa. Dia tak boleh mengungkapkan pada Jake ji
“Wah… Kalian masih bersama? Benar-benar pasangan sempurna!” Celin, teman lama Evelyn yang sedang merayakan ulang tahunnya, menyapa dengan nada menggoda saat melihat keduanya tiba.Evelyn menggandeng lengan Jake dengan anggun sambil tersenyum kecil, “Ah, kau ini bisa saja. Maaf, kami datang sedikit terlambat,” jawabnya dengan nada ramah namun tetap menjaga kesopanan.Celin terkekeh sambil melambaikan tangan, “Aish… Tidak perlu sungkan begitu! Ayo, Ayo, masuklah, kalian harus menikmati acara ini.”Jake dan Evelyn melangkah masuk ke dalam klub yang telah disulap menjadi tempat perayaan mewah oleh Celin. Lampu-lampu neon yang berkilauan dan musik yang menggema di seluruh ruangan menciptakan suasana yang hangat sekaligus megah, membuat pesta itu terasa penuh semangat.Di dalam klub, gelak tawa dan obrolan riang terdengar di setiap sudut ruangan. Beberapa teman lama mereka menghampiri, menyambut Jake dan Evelyn dengan pelukan hangat dan candaan nostalgia. "Jake! Evelyn! Lama sekali kita ti
“Aaaah.. Ahhhh… mmmhhh Jake—” Erangan Evelyn memenuhi apartemen itu dengan panas.Jake yang dibawa oleh nafsu telah kehilangan akal hingga bermain api dengan Evelyn. Dia tak menyadari panggilan telepon dari ponselnya berdering sejak tadi.Sementara Jake dan Evelyn larut dalam aktivitas panas mereka, di meja samping, ponsel Jake terus berdering tanpa henti. Nama "Rumah Sakit" terpampang jelas di layar, namun tidak ada yang memperhatikan. Di sisi lain, di rumah sakit, seorang perawat menatap layar komputer dengan cemas. Kondisi ayah Naina yang dirawat di ruang ICU semakin memburuk, dan mereka sangat membutuhkan keputusan keluarga untuk langkah medis berikutnya. "Masih tidak ada jawaban?" tanya dokter dengan nada khawatir.Perawat menggeleng. "Kami sudah mencoba beberapa kali, tapi ponselnya terus tidak diangkat."Dokter mendesah berat. "Kita tidak punya banyak waktu. Hubungi lagi, dan jika tidak ada respons, cari kontak darurat lainnya."Di apartemen Jake, ponsel itu akhirnya berhent
“Beliau dehidrasi parah dan terjadi infeksi pada lututnya. Untungnya anda segera membawanya ke rumah sakit.” Kata dokter itu dengan serius.Jake yang tadi menyandarkan tubuhnya ke tembok langsung menegakkan tubuhnya, “Apa? Infeksi? Berapa lama sembuhnya? Dia harus mendonorkan darahnya satu bulan lagi, dok.” Kata Jake dengan serius.Marven yang mendengarkan itu mengepalkan tangannya, namun dia tak bertindak anarkis. “Lakukan perawatan terbaik, pindahkan juga di kamar VVIP.” Kata Marven dengan tegas.Jake terkejut, “VVIP? Hei, kalau ngomong jangan seenak jidat kau pikir VVIP di ibukota murah? Tidak, tidak, aku suaminya dok. Rawat di kamar kelas 3 saja.” Kata Jake dengan nada keberatan.Dokter mengerutkan kening mendengar perdebatan keduanya, tetapi tetap menjaga profesionalitasnya. "Saya sarankan untuk merawat pasien di lingkungan yang lebih nyaman agar pemulihan lebih cepat," ujar dokter itu dengan tegas.Marven melirik tajam ke arah Jake. "Tidak peduli berapa biayanya, Naina pantas me
“Cantik?” Tanya Evelyn dengan wajah bahagia kala mengenakan gaun berwarna biru muda itu di hadapan Jake.Jake yang tadinya melamun langsung tersadar kala Evelyn ada di hadapannya.Jake menatap Evelyn dari ujung kepala hingga ujung kaki, mengamati gaun biru muda yang dikenakannya. Evelyn terlihat anggun dan penuh percaya diri, jelas dia tahu bahwa penampilannya memukau. Jake mengangguk kecil, mencoba menunjukkan antusiasme meskipun pikirannya masih sedikit melayang. "Ya, cantik," jawab Jake singkat dengan senyuman tipis, lalu melirik ke arah jam tangannya. "Kita harus segera berangkat. Aku tidak ingin terlambat untuk acara ini." Evelyn tersenyum puas, memperbaiki gaunnya sedikit, lalu mengapit lengan Jake dengan manja. "Tentu saja. Aku tidak sabar melihat siapa saja yang akan hadir di perjamuan ini. Dan, tentu saja, memastikan kau mendapatkan perhatian yang layak." Jake hanya memberikan anggukan kecil sambil berjalan menuju pintu. Suara telepon kembali terdengar, sejak mereka tiba
“Bagaimana? Apakah dia hamil?”Marven langsung menembak pertanyaan saat dokter keluarga memeriksa Naina setelah kembali ke mansion.“Hamil?” Dokter keluarga itu mengerutkan dahi, menatap Marven sejenak sebelum kembali memeriksa hasil catatannya.“Tidak, dia tidak hamil,” jawabnya dengan nada datar namun meyakinkan. “Tekanan darahnya sedikit rendah dan lambungnya iritasi, mungkin karena kelelahan dan pola makan yang tidak teratur. Itu saja.”Marven menarik napas lega, namun tak sempat menyembunyikan ekspresi lega yang langsung terlihat oleh Naina yang duduk di sisi ranjang.“Kenapa kamu curiga aku hamil?” tanya Naina dengan bingung.Marven menatap Naina beberapa detik, seolah memilih kata-kata yang tepat. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tak mengalihkan pandangannya darinya.“Karena kamu tiba-tiba mual, pucat… dan kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ujarnya dengan tenang. “Dan… bibi Sisca juga langsung menebaknya.”Naina mengerutkan kening, “Jadi kamu percaya omongan bibi Sisca?”Marv
Brak!Suara ponsel yang hancur ke lantai menggema di ruangan kamar itu. Rosana yang melihat sosial media bibinya langsung mendidih karena melihat kemesraan Naina dan Marven.Dia menggigit kuku jarinya dengan gelisah, hingga suara ketukan kaca dari arah balkon membuatnya menoleh.Dengan cepat dia bangkit dan menghampiri orang itu dengan semangat, “Bagaimana? kau sudah menemukan rahasia wanita itu?”Pria dengan masker hitam itu mengangguk, “ternyata dia wanita yang sudah menikah, dan baru saja bercerai.”Mendengar itu Rosana menyeringai, “licik juga dia, pasti kakak tidak tahu jika dia seorang janda!’Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini salinan surat perceraiannya. Lengkap dengan data mantan suaminya.”Rosana membuka map itu dengan antusias, matanya berbinar saat membaca setiap lembarannya. “Ini... ini sempurna,” gumamnya. “Dengan ini, aku bisa membuat kakak membencinya. Seorang Tuner tak mungkin bersama janda!”Dia terkekeh pelan, namun nada tawanya dipenuhi kebencian.
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalana
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang a
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim