Dengan wajah serius dan tegangnya, Aldo menjemput kembali Rembulan ke rumah mertuanya. Dengan menenteng satu bungkusan yang berisi tiga buah alat tes kehamilan, Aldo mendatangi rumah mama mertuanya ini.“Ma?” panggilnya saat memasuki ruang keluarga.Rembulan langsung bangun dari duduknya dan menghampiri Aldo. Wajah mereka sama-sama tegang.“Kita ke dokter aja ya, Sayang ? Nanti, aku buatkan janji temu sama obgyn di tempatku kerja. Ada satu dokter perempuan yang sangat kompeten,” ujar Aldo tergesa-gesa.“Tapi, Mas. Kata Mama, enaknya periksa pake testpack aja dulu. Aku nggak pede juga kalau langsung ke dokter gitu,” Rembulan menghela napas panjang. “Lagian, emang aku udah positif? Kalo nanti udah dateng ke dokter terus taunya nggak ada isinya, gimana?” katanya dengan wajah yang menggemaskan.Rembulan sudah berlendotan manja di lengan Aldo. Berharap bujukannya kali ini berhasil. Setidaknya, menurut Rembulan, kalau dia menggunakan alat tes kehamilan itu dulu di rumah, dan hasilnya negati
“Kamu emang nggak praktek di rumah hari ini? Nanti kalau ada pasien yang menunggu bagaimana, Mas?” tanya Rembulan.“Aku sudah telepon Nina tadi waktu aku ke apotek. Aku bilang kemungkinan aku nggak bisa praktek. Tadi, waktu Surti bilang mau beli tespack untukmu aku langsung mengambil inisiatif,” jawab Aldo.Kemudian Aldo langsung masuk ke kamar mandi, meninggalkan Rembulan sendiri terpekur di tepi ranjang. Perlahan, Rembulan arahkan tangannya ke atas perut, dia usapkan dengan lembut di atas sana.‘Halo, sweety baby. Kamu sungguh sudah ada di sini?’ ucap Rembulan dalam hati.Datang ke rumah sakit tidak pernah menjadi setegang ini untuk Rembulan.Sepanjang menunggu giliran masuk ke ruangan periksa Dokter Nela Mirzani Sp.Og (K), Rembulan tak henti meremas tangan Aldo dan Ayunda bergantian. Jarinya dingin, kukunya pucat. Dia benar-benar merasa gugup.“Nyonya Rembulan,” panggil perawat. Seketika degup jantung Rembulan makin cepat.Dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, Aldo mengajak Re
Di minggu kedua pasca mengetahui kehamilannya baik-baik saja, dan Rembulan sudah kembali bekerja seperti biasa, meskipun Buana membatasi jam kerjanya. Dara pun bersikap lebih protektif lagi kepada atasan sekaligus sahabatnya itu.Seperti saat ini, Rembulan dan Buana juga Dara harus presentasi di luar kantor untuk memenangkan tender. Acara yang berlangsung selama tiga jam itu sudah sukses dilakukan. Dan perusahaan mereka pun keluar sebagai pemenang tender itu. Dara menghampiri Rembulan dan memberikan sahabatnya itu sebotol air mineral.“Capek nggak Lan? Ingat usia kandunganmu itu belum terlalu kuat untuk pekerjaan yang melelahkan?” tanya Dara beruntun.Rembulan lebih dulu menenggak minumannya sebelum menjawab Dara. Rembulan menggeleng tegas, “Nggak. Capek dari mana? Kan hanya presentasi aja. Itu juga kan dibantu kalian.”“Aldo apa dia baik-baik saja? Kamu sudah melakukan apa yang aku katakan, kan?” tanya Dara. Sampai hari ini wanita itu memang belum sepenuhnya percaya jika Aldo tida
Sebelum membuka pintu kamar rawat istrinya itu, Aldo mencoba menghela napas dalam-dalam. Dia terpukul, jelas saja. Tapi, inilah ketentuan yang diberikan Tuhan pada mereka. Hanya dua minggu mereka dibiarkan mengalami kebahagiaan paling tinggi usai menikah.Pintu dibuka oleh Aldo. Dara terlihat duduk di kursi tunggu. Dan Rembulan, terlihat masih menangis di pelukan Buana.Perlahan, Buana melepas pelukan mereka dan mengajak serta Dara untuk keluar bersama. Membiarkan sepasang suami istri itu memiliki privasinya sendiri.“Mas...” Air mata Rembulan sudah mengembun. Bibirnya bergetar menahan tangis saat melihat Aldo menghampirinya.Aldo tersenyum, meski sesak jelas sekali meronta dalam hatinya. Kehilangan tak pernah terasa biasa.Tanpa banyak kata, Aldo langsung memeluk Rembulan. Ia sadar betul... bila dirinya terguncang, maka Rembulan lah orang yang paling terguncang saat ini.Rembulan menangis meraung-raung, melepas rasa sesal, rasa sedih yang sedari tadi coba dia tahan. Berteriak menyala
Mentari tengah berada di kamar mandi dengan memegang alat berukuran pipih di tangannya.“Aku hamil,” gumamnya.Gadis itu menghela napas panjang, selama ini ia hanya berhubungan dengan dua orang saja. Billy dan Aldo. Dapat dipastikan jika anak yang saat ini ada dalam kandungannya adalah anak dari Aldo karena Billy sudah menjalani vasektomi sehingga dia tidak akan dapat membuahi sel telur Mentari.Seharusnya memang hal ini membuatnya senang karena ini adalah tujuannya, merebut Aldo dari tangan Rembulan. Tapi, masih banyak kontrak yang harus ia selesaikan.Mentari menghela napas panjang, “Aku harus melenyapkan anak ini, aku masih ingin bebas berkarir dan bebas,” gumamnya lagi.TING TONG!Tiba-tiba bel pintunya berbunyi. Mentari pun segera membukanya dan langsung memeluk Aldo saat ia melihat sang kekasih datang dengan wajah yang lesu.Sebelumnya ia memang sudah tau jika Rembulan mengalami keguguran."Kamu nggak apa-apa ninggalin dia? Apa lagi kalian sedang ada di rumah mama dan papa. Na
Merasakan tubuh Mentari sudah berbaring dengan nyaman di meja makan, Aldo menyusul naik menahan tubuhnya. Lalu Aldo menarik tali yang terjulur dari kap lampu di atas kepalanya. Sehingga hanya ruang tamu itu yang terang, sedangkan sekelilingnya tetap gelap. Membuat suasana tetap dramatis.Sekarang Mentari baru melihat bahwa sudah dalam keadaan telanjang, dengan botol selai di tangan. Aldo merenggut blus yang dipakai Mentari, sehingga kedua bukitnya langsung menyembul menyambut.Sebelum Mentari sempat menduga-duga, Aldo menumpahkan selai coklat di belahan dada Mentari. Lalu Aldo membenamkan wajahnya di sana, menjilati selai itu dengan rakus“Aldo!” pekik Mentari dengan tubuh bergetar hebat.Mentari berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Aldo, namun Aldo menahannya lebih rapat ke atas meja.“Jangan bergerak,” katanya tegas. “Kamu harus pasrah, menyerahkan semuanya kepadaku.”Dengan patuh Mentari mengikuti perintah kekasihnya itu. Ia berbaring terlentang dengan pasrah. Membebaskan
Aldo terbelalak melihat hasil tes kehamilan yang diberikan oleh Mentari kepadanya. "Sayang, kamu hamil?" tanyanya. "Iya, dan ini anakmu," jawab Mentari sambil mengempaskan tubuhnya di atas kursi. Aldo mengembuskan napasnya perlahan."Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan bertanggung jawab, Tari." "Kamu yakin, Mas?" "Yakin. Sekarang aku harus pulang dulu. Kamu tidak mau jika kita ketauan secepat ini, bukan?" kata Aldo. "Pulanglah." Aldo pun segera memeluk Mentari dan mengecup kening kekasihnya itu dengan lembut kemudian ia pun segera beranjak pergi.Ketika sampai di halaman rumah mertuanya, Aldo mengerutkan dahi karena melihat Laura yang mondar mandir di halaman. Dengan cepet ia pun bergegas karena takut terjadi sesuatu kepada Rembulan."Mbak Laura sedang apa? Menunggu saya? Rembulan baik-baik saja?" tanya Aldo. Laura tersenyum tipis pada iparnya itu."Kamu tenang aja. Rembulan baik-baik saja, kok. Tadi dia udah tidur, ditemenin Mama. Mbak lagi tunggu Mas Buana. Nggak biasanya d
Rembulan menggelengkan kepalanya perlahan."Aku yang salah, Ma. Aku hanya tidak sabar untuk bisa meninggalkan tempat tidur ini. Aku bosan, Ma. Aku hanya bosan. Setiap hari beristirahat tanpa mengerjakan sesuatu. Aku ingin bebas bekerja lagi. Kenapa sih kandunganku harus lemah begini, Ma? Kenapa aku harus kehilangan anakku?" keluh Rembulan."Jadi, Aldo marah karena?""Karena ia menganggap aku lebih mementingkan pekerjaan dan tidak mencintai anaknya. Padahal kemarin dia bilang semua bukan salahku. Dan sebagai dokter dia tau jika memang bukan salahku, kan, Ma?" Ayunda tersenyum dan membelai rambut putrinya itu. "Bukan mama membela Aldo, dia kesal karena kamu ngeyel. Dia ingin kamu sehat kembali. Kuretase memang tidak sama dengan melahirkan, tetapi di dalamnya kan luka kita tidak bisa melihat. Kamu memang harus pulih dan menjaga kesehatan. Memang kamu tidak mau hamil lagi?" kata Ayunda."Iya, Mama.""Sudahlah, jangan mengeluh dan cemberut. Memang apa sih yang kamu