Angel duduk meringkuk di atas sofa dengan tampang bersalah. Tidak lagi mengenakan handuk yang mudah melorot dan berpotensi menimbulkan hal-hal yang berbahaya, perempuan itu kini tenggelam dalam selimut bulunya yang lebar. Paling tidak, dengan begini Angel bisa merasa lebih yakin kalau kejadian heboh tadi tidak akan terulang kembali. "Maaf, Pak," ujarnya lirih, dengan hanya wajahnya saja yang menyembul dari dalam selimut yang menyelubunginya ini. "Tadi itu saya spontan melakukannya."Adam memberinya lirikan mematikan, sambil mengusap pipi kirinya yang sedikit memerah. Seumur-umur, baru kali ini ada orang yang berani menamparnya."Jadi sekarang, apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya dengan nada menggerutu. "Tunggu! Mau ke mana lagi kamu?" Adam sedikit terkejut karena Angel yang sudah turun dari sofa dan berjalan menghampirinya. Sebenarnya perempuan itu hendak mengambil ponsel dari dalam tas tangannya, yang kebetulan saja ada di atas meja di dekat Adam berdiri.Namun tentu saja, lelak
Seumur-umur, rasanya tidak pernah wajah Angel secemberut sekarang. "Jadi, ini tempat yang tadi Anda katakan ingin membawa saya, Pak?" tanyanya, disertai tatapan paling kejam yang bisa dia berikan. "Di apartemen Anda!" "Iya." Kali ini bibir Angel mengerucut. Mendengar jawaban singkat Adam tadi jelas tidak membuatnya merasa puas. "Saya cari hotel di sekitar sini saja," ujarnya, segera membalikkan tubuh. "Terima kasih atas tawaran luar biasanya, Pak. Sampai bertemu dua hari lagi." "Satu langkah saja keluar dari apartemenku dan aku akan benar-benar memecatmu, Miss Angel." Langkah Angel seketika terhenti. Dia menoleh dan memandang Adam yang sekarang memasang tampang puas. "Aku atasanmu," ujar lelaki itu dengan penuh keyakinan. "Jadi, seharusnya kamu bisa lebih menghargai diriku dan juga menuruti perintah—" "Pecat saja. Saya pergi. Permisi." Ha? Pikiran Adam membutuhkan waktu beberapa detik untuk bisa memproses informasi tersebut. Lelaki itu lantas mengejar Angel yang sudah memb
Adam menemukan Angel yang sudah tertidur ketika dia kembali. Ada gelombang kelegaan yang menerpa karena sekretarisnya itu benar-benar tidak pergi dari apartemennya. "Bagaimana bisa dia tertidur dengan posisi yang seperti ini?" gumamnya, tersenyum sendiri melihat gaya tidur Angel yang meringkuk. "Seperti kucing kecil saja." Semula Adam hanya sedikit membungkuk untuk menyibakkan beberapa helai rambut Angel. Namun lelaki itu kemudian mendapati bahwa dirinya sudah duduk berjongkok dan mengamati Angel yang sedang tertidur, entah untuk waktu yang sudah berapa lama. "Apa yang sudah kamu lakukan kepadaku?" bisiknya, dengan ujung jari yang dengan ringan menelusuri garis wajah Angel. "Apa kamu tidak tahu, betapa besar usahaku untuk bisa mengeluarkanmu dari pikiranku?" Tatapan Adam melayang ke arah bibir Angel dan ya Tuhan, dia begitu ingin menciumnya. Dia menginginkan kendali penuh atas perempuan ini, seakan tidak ada apa pun di dunia yang lebih dia inginkan selain Angel. Gila. Adam tahu
Adam bahkan tidak bisa mengingat, kapan terakhir kali dia mengalami semua ini. Terbangun pada pagi hari bukan karena bunyi alarm atau teringat janji penting, tapi oleh aroma masakan yang begitu menggoda. Bahkan dalam keadaan yang masih mengantuk berat pun dia bisa merasakan betapa keroncongan perutnya saat ini. Dengan tidak sabar, lelaki itu lantas berguling berniat untuk bangun. "Aduh!" serunya, antara merasa kaget dan juga sakit karena terjatuh dari sofa tempatnya tidur, lalu seketika membentur meja. "Sialan!" Masih belum terbangun sepenuhnya, membuat lelaki itu terlupa dengan kondisinya sejak semalam. Demi mendapatkan jaminan untuk keselamatan bersama, Adam memang sengaja membelit tubuhnya dengan beberapa lapis seprei sekaligus. Lalu seakan masih belum yakin, lelaki itu bahkan mengikat kedua kaki dan tangannya pula. Paling tidak dengan begitu Adam bisa sedikit yakin, kalau dia tidak akan berubah menjadi monster yang mengerikan pada saat malam datang. Ya, Tuhan. Untuk tidur
Meski panggilan telepon sudah berakhir, tapi Angel masih memandangi ponsel di tangannya selama beberapa saat. Ada rasa tidak percaya, kesal, dan juga heran yang kini bergelut dalam dirinya. Apa-apaan atasannya itu tadi? "Sudah seenaknya menutup panggilan telepon, masih sempat-sempatnya pula mengatakan kalau omellete buatanku terlalu asin," gerutunya. "Padahal jatah yang aku makan tadi enak kok. Pas rasanya." Mendengus, perempuan itu masih juga tidak bisa menghilangkan rasa sebalnya. "Lidahnya saja yang mungkin bermasalah. Tahu begitu, lebih tadi tidak perlu aku telepon atau buatkan sarapan sekalian! Lalu, apa katanya tadi? Aku seperti orang yang sudah tidak sabar untuk menikah? Ada-ada saja." Sesaat Angel terdiam, sebelum kemudian tertawa kecil. Wajahnya pun seketika terlihat muram. "Dasar," bisiknya. "Memangnya, siapa yang mau menikah? Lagi pula, lelaki mana yang sudi menikah denganku? Mau apa pun alasannya, aku ini kan, tetap seorang pelakor." Saat melintas masuk ke kamar tidur
Suara decitan ban mobil terdengar nyaring, disusul dengan bunyi tabrakan. Adam memaki keras-keras ketika dahinya terbentur gara-gara tabrakan di bagian belakang mobilnya. Lelaki itu segera melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. "Apa kamu sudah gila? Kenapa mengerem dan berhenti mendadak di tengah jalan seperti ini?" Bukan Adam yang memaki, melainkan sopir taksi yang baru saja menabrak mobilnya dari belakang. "Lihat! Bagian depan mobilku sampai rusak! Sekarang siapa yang akan bertanggung jawab? Ha!" Adam melirik sekilas ke mobil taksi tersebut. Bumper depannya memang penyok dan lecet, dan sebelah lampunya pun pecah. Melirik ke arah lain, dia bisa melihat kalau bumper belakang mobilnya juga mengalami kerusakan yang sama. Ah, bukan masalah besar. Biaya perbaikan mobil taksi tersebut tidak seberapa dan jelas tidak setara, bila dibandingkan dengan biaya yang harus Adam keluarkan untuk memperbaiki mobil mewahnya. "Jangan diam saja! Apa kamu tuli? Heh! Jaw—" Sopir taksi
Angel meletakkan secangkir teh yang masih mengepulkan uap di atas meja yang terdapat di depan Raka.Bisa dikata kalau menyajikan minuman seperti ini merupakan hal yang sangat jarang dia lakukan. Biasanya sih, lebih banyak Angel yang memerintah Raka dan meminta untuk dilayani. Namun saat ini, situasinya berbeda. Raka sedang emosi. Itu satu hal yang bisa Angel ketahui dengan baik. "Siapa?" tanya Raka pelan, dengan suara yang nyaris menggeram. "Siapa lelaki yang sudah berani-berani kamu undang untuk datang ke sini? Siapa, Baby? Jawab!"Kata terakhir Raka ucapkan dengan nada membentak, membuat Angel harus menggigit bibirnya agar tidak menjerit kaget. Perempuan itu tidak suka dibentak, tapi kali ini dia harus bisa menahan dan bersikap sabar. "Bukan siapa-siapa," jawabnya, mati-matian bersikap tenang. Angel berharap agar suaranya tidak terdengar gemetar. "Mana mungkin aku memasukkan lelaki lain selain kamu. Lagi pula, bukankah tadi kamu sudah memeriksa sendiri apartemen ini?"Setelah da
"Aku pergi." "A—apa?" "Aku pergi, Raka. Ambil saja kembali apartemen ini beserta isinya. Aku tidak butuh!" "Baby, tunggu dulu." Raka berseru panik. Dia benar-benar terkejut, sewaktu melihat Angel keluar dari kamar tidurnya dengan sudah menyeret koper. "Ayolah, jangan seperti ini. Sabar dulu, Baby. Jangan marah, ya. Kita bicarakan semua dengan baik-baik." "Tidak ada satu pun barang dari apartemen ini yang aku bawa," ujar Angel lagi, seolah tidak menghiraukan Raka sama sekali. "Termasuk perhiasan-perhiasan dan juga barang-barang lain pemberianmu, aku tinggalkan semuanya, Raka." "Baby, ayolah. Jangan begini. Dengarkan aku sebentar saj—" Angel tiba-tiba saja berhenti dan langsung berbalik menghadapnya, membuat Raka sedikit terkejut. "Jadi, kamu tidak ingin aku pergi dari sini?" tanya perempuan yang menjadi kekasihnya itu. Tanpa sadar Raka meneguk ludah, demi melihat amarah yang berkobar di sepasang mata yang biasanya memandangnya dengan manja. "Jawab, Raka!" "I—iya." Raka buru-bur