Suara erangan sekali lagi lolos dari sepasang bibir merah tersebut. Kali ini bukan karena hentakan demi hentakan yang dia terima dan nikmati sejak tadi, tapi karena berpisahnya kedua milik mereka di bawah sana. "Sudah selesai?" "Kalau menuruti keinginanku, kita bisa di atas tempat tidur terus sampai pagi." "Aku tidak keberatan." "Aku tidak ingin membuatmu terlalu lelah. Ingat, ini malam terakhir kita di sini. Kamu juga tidak lupa kan, kalau besok sudah ada pekerjaan besar yang menanti?" Keke cemberut, tapi tidak bertahan lama. Dia beranjak duduk, lalu menarik selimut hingga sebatas dada. "Kamu akan tidur di sini atau—" Dia tidak meneruskan ucapannya. Keke terpaksa harus menggigit bibir saat melihat ke arah Keynan. Lelaki itu dengan santainya turun dari tempat tidur, tanpa mengenakan apa-apa. Keynan lantas berjalan ke arah kamar mandi, tapi kemudian berhenti dan menoleh. "Tentu saja aku akan tidur di sini. Memangnya, aku akan tidur di mana lagi, Ke?" Rasanya ada sesuatu yang
Rumah sakit di pinggir kota itu biasanya memang tidak terlalu ramai. Apalagi pada pagi hari seperti ini. Suasana yang ada terasa lebih lengang. "Selamat pagi, Dok," sapa seorang perawat ketika dokter Brian melintas di area lobi. "Apakah Anda akan segera pulang?"Sebelumnya, dokter Brian memang mendapatkan giliran jaga shift malam. Lelaki itu melirik sekilas ke jam tangannya, lalu mengangguk."Sebentar lagi," ujarnya disertai senyuman. "Masih ada sisa waktu dua puluh menit. Saya akan memeriksa beberapa pasien dulu, baru akan bersiap-siap pulang."Perawat tersebut sebenarnya masih berniat mengajak dokter Brian mengobrol, tapi urung. Ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya saat ini. Sebuah mobil sedan mewah berwarna putih baru saja memasuki di pelataran rumah sakit. Mobil itu berhenti di area parkir di dekat pintu masuk area lobi, yang dinding-dinding depannya terdiri dari kaca. "Siapa itu?" gumamnya bertanya. Dahi dokter Brian berkerut. Lelaki itu kemudian menggeleng, sama tidak
Pemandangan yang menyambut Adam, cukup menyesakkan. Ruang ICU ini merupakan ruangan VIP, sehingga hanya berisi satu pasien.Lelaki itu berdiri diam selama sesaat. Dia bisa melihat ada banyak alat medis yang digunakan di ruangan tersebut. Sekilas pandangannya menangkap gerakan naik turun ventilator yang memompa udara. Suara dari mesin EKG terdengar teratur senada dengan denyut jantung. Di salah satu sudut meja juga terdapat alat defibrilator yang siap digunakan untuk memacu jantung. Adam menarik napas dalam-dalam. Sekedar berada di dalam ruang ICU ini saja sudah membuatnya begitu tertekan. Rasanya begitu suram, seolah harapan tidak lebih dari sekedar sebuah tali tipis yang bisa putus kapan saja. "Angel, ini—""Itu kakak saya, Pak.""Apa? Kakak? Tapi bukankah kamu—"Angel berjalan mendekati tempat tidur pasien. Perempuan itu terdiam dan menunduk selama beberapa saat, baru kemudian memandang Adam sambil mengulas senyuman. "Perkenalkan, Pak. Ini kakak saya, Erin Hurem.""Hurem," ulang
"Apakah kamu yakin?"Angel seketika terdiam dan terlihat waspada. Tadi dia baru saja keluar dari kamar mandi, lalu sekarang sedang mencuci tangan. Namun kemudian ada sebuah suara, yang tiba-tiba saja menyapanya. "Ayah?" serunya. Dia merasa lega sekaligus heran, saat menyadari sosok lelaki yang terpantul di cermin wastafel. "Kenapa Ayah ada di sini? Apakah Ayah ingin menjemputku?"Tanpa menunggu lama, Angel segera menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Usia lelaki itu sekitar empat puluh tahunan dengan kumis berwarna hitam yang melintang. Jalu Pradhita balas memeluk putrinya sembari tersenyum. Angel memang bukan putri kandungnya, tapi lelaki itu benar-benar menyayanginya dengan tulus. "Kalau Ayah memang datang untuk menjemputmu, lalu apakah kamu akan benar-benar mau ikut pulang?" tanyanya, kali ini menepuk-nepuk kepala Angel seperti yang kerap dia lakukan sejak perempuan ini kecil. "Ayah." Angel cemberut dan bersikap merajuk. "Ayah tahu kan, kalau aku belum bisa pulang selama semua i
"Aku bisa membantumu." Angel terdiam. Perempuan itu sedikit menundukkan kepala dan tetap tidak memberi jawaban, meski beberapa waktu telah berlalu. "Angel," ujar Adam lagi, kali ini dia bahkan menggenggam tangan sekretarisnya. "Aku bisa membantumu." Angel masih saja terdiam. Dia beberapa kali menarik napas dalam, sebelum kemudian memaksakan segaris senyuman. "Lalu, apa?" tanyanya sembari menoleh dan memandang Adam. Saat ini mereka sedang berada dalam mobil Adam. Atasannya itu duduk di bangku pengemudi, sementara Angel mengambil tempat di sebelahnya. Sebenarnya, mereka berdua sudah sampai di area parkiran apartemen. Namun baik Angel maupun Adam, masih tetap berada di dalam mobil. Rasanya aneh apabila dipikirkan, sebab mereka seolah tidak ingin untuk berpisah satu sama lain. "Anda belum menjawab pertanyaan saya, Pak," ujar Angel. Suaranya terdengar begitu pelan, seakan dia sendiri pun sudah merasa lelah. "Sebab aku tidak mengerti." Adam menyahutinya. "Apa maksud pertanyaan
Tempat tidur yang sebenarnya cukup kokoh itu terlihat bergoyang-goyang. Suara deritan pun kerap kali terdengar, menjadi selingan dari desahan dan erangan yang memenuhi kamar tidur. "Ah, sudah. Aku sudah tidak sanggup." Suara bisikan keluar dari sepasang bibir yang sudah terlihat sedikit bengkak. Tidak lama kemudian, dia kembali mendesah-desah. "Katanya sudah tidak sanggup, tapi nyatanya masih saja keenakan seperti itu," balas lelaki yang tengah menindihnya, dengan nada sedikit mengejek. Seolah tanpa ampun, lelaki itu lantas mengangkat lebih tinggi kedua kaki lawan mainnya. Dengan begitu, dia bisa lebih dalam menghujam dan leluasa bergerak. Gerakannya itu tak ayal membuat perempuan yang tengah dia pacu menjadi semakin blingsatan. Dari gerakan yang semakin liar dan tubuh yang kian menegang, lelaki itu tahu bahwa lawan mainnya ini sebentar lagi tidak akan bertahan. "Ak—aku— sedikit lagi— Ah!" Selama beberapa saat, tubuh perempuan itu mengejang, sebelum kemudian terkulai lemas. Bu
"Pesannya sudah kamu kirimkan?""Iya.""Pasti si brengsek itu sudah langsung membacanya."Adam menghembuskan napas panjang. Lelaki itu lantas menunduk, menumpukan dahinya di bahu Angel. Saat ini mereka berdua tengah berada di atas tempat tidur. Angel duduk sambil bersandar pada Adam, yang juga memeluknya dari belakang. Pakaian keduanya berantakan. Kalau Adam masih mengenakan kemejanya meski dengan semua kancing yang terbuka, maka blouse yang tadi Angel kenakan sudah teronggok begitu saja dalam keadaan robek. Tadi mereka nyaris saja khilaf. Adam bahkan sudah meremas kedua buah dadanya, sehingga membuat Angel mendesah-desah. Namun sewaktu tangan lelaki itu bergerak ke bawah dan merayap menuju pangkal pahanya, Angel terkesiap. Dia reflek mendorong dada Adam dan menjerit kaget. "Maafkan saya, Pak," bisiknya dengan gugup. "Tadi saya—""Tidak perlu minta maaf." Adam segera memotong ucapannya. Lelaki itu lantas mengeratkan pelukan dan membawa Angel lebih merapat dengannya. "Tidak perlu m
Malam sudah cukup larut. Meski begitu, Lidia belum juga tidur dan masih harus menerima sebuah panggilan telepon. "Iya, Bu. Aku akan segera mengabari begitu mendapatkan informasi. Iya. Pasti."Dia terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Ibunya dari ujung telepon. "Ibu tenang saja, ya. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin saja kan, kalau Lina hanya sekedar asyik keluar bersama teman kampusnya sampai lupa waktu. Tenanglah, Bu. Tidak akan terjadi sesuatu kok."Kali ini Lidia terdiam lebih lama lagi. Rupanya, kekhawatiran Ibunya terasa semakin menjadi saja. "Bu," ujarnya kemudian, menyela Ibunya. "Peristiwa dulu terjadi karena kecerobohan Lina. Dia yang terlalu gegabah karena merayakan kelulusan SMA-nya dengan berpesta di klub malam. Akhirnya dia mabuk dan peristiwa naas itu terjadi kan? Padahal waktu itu Mas Raka sampai bersusah payah menjemput dan mencari-carinya. Berkat Mas Raka juga Lina bisa lebih cepat ditemukan dan ditolong. Ibu masih ingat kan?"Dari sambungan telepon, Lidia masih bi