"Dia hampir menangis.""Apa?""Perempuan yang tadi berdansa denganmu, dia hampir menangis."Adam melontarkan pandangan bertanya ke arah Keke. Perempuan itu memang baru saja bergabung dengannya di meja bar. Namun bukannya menjawab, Keke justru merebut gelas minuman yang hendak Adam tenggak. "Pesan minumanmu sendiri, Ke," ujar Adam dengan nada berang. "Jangan main rebut gelas orang lain.""Ini sudah gelas wiskimu yang kelima, Adam. Kamu bisa ambruk kalau terus-terusan begini."Adam tidak menghiraukannya. Lelaki itu memanggil bartender dan kembali meminta gelas serta sebotol wiski. "Apa kamu sedang patah hati?"Dengan muak Adam menggeleng. Lelaki itu langsung menenggak segelas wiski yang baru dituang. Dari tadi dia berharap ada sesuatu yang bisa membantu untuk mengalihkan perhatian dan memberinya kedamaian. Namun, justru Keke yang datang.Brengsek. Dasar perempuan. Seharusnya Adam tahu kalau hal itu tidak akan berhasil. Tidak peduli sekeras apa dia mencoba, selalu ada Angel dalam piki
Adam beberapa kali memeriksa file data penumpang yang didapatkan dari Dimas. Paling tidak lelaki itu sekedar ingin memastikan kalau nomor kabin yang dicari tidak salah.Di ponselnya juga sudah tersedia aplikasi khusus yang bisa dia gunakan untuk mengakses denah kapal. Sayangnya, semua hal itu pun tidak banyak membantu. Paling tidak sudah setengah jam berlalu sejak dia tadi pergi meninggalkan Keke. Namun nyatanya, sampai sekarang Adam masih belum berhasil menemukan lokasi kabin tempat Raka menginap. "Sial!" makinya. "Aku benar-benar seperti orang bodoh saja."Dia akhirnya berhenti di sebuah koridor dan menggerutu sendiri. Tidak ada orang lain yang berada di koridor. Hal yang wajar, sebab sekarang sebagian besar penumpang pasti masih menikmati acara pesta di bar. "Masa aku harus bertanya ke kru kapal?" keluhnya, sambil menyugar rambut. "Yah, mungkin lebih baik begitu, daripada aku hanya berputar-putar tidak jelas."Lelaki itu sudah berjalan sampai pertengahan koridor, tapi tidak menem
"Kenapa kamu memakai baju seperti ini?" "Pak, itu- Saya-" Rahang Adam menegang dan ekspresi wajahnya pun mengeras. Mata lelaki itu menatap tajam, menelusuri penampilan sekretarisnya dengan cermat. Panjang kemeja yang dikenakan oleh Angel hanya mencapai pertengahan pahanya. Sementara untuk bagian bawah, sekretarisnya itu tidak mengenakan apa pun. Tidak ada rok atau celana pendek sekalipun, hanya ada sandal kamar yang kini membungkus sepasang kakinya. Melihat penampilan Angel yang semacam ini, tak pelak membuat Adam berpikiran macam-macam. Kenapa Angel hanya mengenakan kemeja seperti ini? Dari ukuran dan potongannya, bisa dipastikan kalau itu adalah kemeja lelaki. "Raka," bisiknya dengan suara menggeram yang menakutkan. "Pasti kemeja si brengsek itu!" Adam sangat ingin merobek kemeja yang Angel pakai saat ini juga. Dia seolah tidak rela kalau ada barang milik lelaki lain yang menempel pada tubuh sekretarisnya. Namun, ditahan-tahannya keinginan tersebut. Lelaki itu menyadari
"Bagaimana kalau nanti Raka mencari saya, Pak?" gumam Angel bertanya. "Tadi saya diam-diam keluar sewaktu dia sudah tertidur.""Apa sudah menjadi kebiasaanmu untuk berkeliaran ke mana-mana dengan berpakaian seperti ini?" Adam balas bertanya, suaranya bergemuruh dalam sementara bibirnya nyaris terkatup. "Saya hanya ingin mencari udara segar saja kok, Pak.""Lalu bagaimana kalau yang menemukanmu adalah lelaki lain? Apa kamu sama sekali tidak berpikir soal keselamatanmu?"Angel menyandarkan kepalanya lebih dalam ke dada Adam. Rupanya perempuan itu sudah merasa nyaman berada dalam gendongan atasannya. Entah sudah berapa kali dia diam-diam menguap. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya yakin kalau sebagian besar orang pasti sedang berada di bar. Bukankah pesta di sana akan berlangsung sampai pagi?""Tapi tetap saja—""Lagi pula, semisal ada yang berani macam-macam terhadap saya, saya pasti bisa mengatasinya kok, Pak."Sepasang alis Adam sekarang seketika berkerut. "Maksudnya? Apakah
"Aahh ...." Suara desahan lolos dari bibir Keke. Kedua pipinya memerah, rambutnya berantakan, dan tubuhnya tidak tertutup sehelai benang pun. Air melimpah dan tertumpah keluar bathtub ketika perempuan itu menyandarkan punggungnya lebih dalam. Dengan bibir yang cemberut, dia lantas memandang kesal ke arah lelaki yang kini sedang duduk di sebelah bathtub. "Kukira kita akan bercinta," gerutunya. "Tapi ternyata ...." "Bukankah tadi kamu sendiri yang mengatakan, agar aku membantumu membersihkan bekas lelaki itu di tubuhmu?" sahut Keynan dengan tersenyum, seolah tidak berdosa. Dia lalu meraih sebelah tangan Keke dan mulai menyabuninya. "Kalau soal mandi, aku juga sudah langsung mandi setelah lelaki itu tadi pergi, Key," omel Keke lagi. Meski terlihat kesal, tapi dia tidak menarik tangannya dari Keynan. "Jadi, seharusnya aku tidak perlu mandi lagi. Toh, tidak ada bedanya." "Ada dong, Ke." "Memang, apa bedanya?" "Bedanya, aku yang memandikanmu. Jadi sekarang, kamu diam dan nikmati s
"Apa kamu bisa menjelaskan semuanya dulu kepadaku, sebelum melanjutkan marahmu?" "Apa kamu tidak bisa membiarkan aku masuk dulu, sebelum aku menceritakan semuanya?" Keynan langsung bergerak, menghalangi Adam yang sudah hendak menerobos masuk ke kamarnya. "Tidak," ujarnya. "Tidak boleh." "Apa maksudmu dengan tidak boleh?" "Tidak boleh ya, tidak boleh." Keynan menaikkan bahunya sesaat. "Kamu tidak boleh masuk, Adam. Masa seperti itu saja kamu tidak paham?" Adam ternganga mendengarnya. "Apa kamu sedang bercanda, Key? Sebab kalau iya, maka sekarang ini bukan waktu yang tepat." "Sayangnya, tidak. Aku tidak sedang bercanda. Kamu tidak boleh masuk ke kamarku, Adam." "Apa kamu benar-benar ingin aku hajar?" "Coba saja. Kamu kira, aku akan diam saja?" "Oke." Adam mengangguk. "Kebetulan, aku juga sedang merasa sangat kesal. Paling tidak ini bisa menjadi pemanasan yang bagus, sebelum aku benar-benar menghabisi si brengsek itu." "Bagus," sahut Keynan. "Sejak tadi mood-ku juga sedang buru
Angel sama sekali tidak tahu bagaimana dia bisa berada di sini tanpa membunuh dirinya sendiri. Bayangan atas kejadian yang terjadi kurang dari satu jam lalu itu kembali memenuhi benaknya. Ya, Tuhan. Malu sekali rasanya. "Bagaimana bisa aku malah ketiduran sewaktu digendong Pak Adam?" gumamnya, sembari menutup wajah dengan kedua tangan. "Angel, kenapa kamu bisa bodoh sekali, sih?""Ya, ampun!" katanya panik, menyadari pertemuan mereka dengan Raka tadi. "Kenapa kami harus bertemu segala sih? Seharusnya tadi Pak Adam membangunkan aku saja, daripada mondar-mandir sambil menggendongku. Kalau begitu kan, kami tidak perlu sampai ketahuan oleh Raka."Angel berjalan hilir mudik. Dia merasa panik dengan pemikirannya sendiri. "Padahal aku sudah sengaja keluar kamar diam-diam, tapi malah ketahuan seperti ini," gumamnya gelisah. "Lalu, sekarang aku harus bagaimana? Apalagi mereka berdua sempat ribut seperti itu."Wajah Angel terlihat muram ketika teringat kembali dengan kejadian tadi.Raka tent
"Apa kamu hanya akan berdiri diam seperti itu?"Angel mengerjap. Dia juga menyadari mulutnya yang terbuka, meski tanpa ada suara yang keluar. Kedua matanya menatap bingung ke arah perempuan yang kini berdiri di depan kamar Adam. "Minggir. Aku mau masuk." "Ah!"Angel belum sempat bereaksi ketika perempuan itu sudah langsung berjalan masuk dan menabrak bahunya. "Tunggu. Apakah kamu tahu, kamar siapa ini? Maksudku—""Tentu saja aku tahu," sahut perempuan itu, memotong ucapan Angel. "Memangnya, menurutmu kenapa aku berada di sini?"Bagaimana Angel bisa tahu? Sekarang bahkan pertama kalinya dia melihat perempuan ini. Dia dengan cepat mengamati perempuan yang kini dengan santainya duduk di pinggiran tempat tidur. Cantik adalah kata pertama yang terlintas dalam benak Angel. Terlepas dari dandanan tebal dan baju seksi yang dikenakan, perempuan ini memang mempesona. Terlebih dengan sepasang mata yang kini balas menatapnya. "Terlihat kuat, tapi juga seperti sedang menyimpan kesedihan," gum