Ucapan Alin tadi benar-benar mengurungkan niatku yang sudah kubangun sejak tadi malam. Aku memalingkan pandanganku pada Alin. Melihatnya yang ternyata sejak tadi memperhatikanku.
"Sudahlah, Kay. Ayo kita ke kantin. Aku dengar makanan kantin sekolah ini benar-benar enak. Aku pengen coba," ucapnya seraya menarik tanganku keluar kelas. Aku beranjak dari tempat dudukku tanpa memindahkan mataku dari laki-laki itu. Dia tetap memperhatikanku dengan senyum seraya melipat kedua tangannya dan kakinya yang sudah terangkat ke atas meja. Bunda selalu memperingatkanku agar tidak melihat orang dari penampilannya. Tapi sepertinya orang yang satu ini benar-benar menunjukkan kepribadian dari penampilannya. Jadi, tak salah jika aku merasa dia modelan bad boy.
"Kay, mau pesen apa?" ucap Alin
"Ah, terserah kau aja."
Beberapa menit menunggu, pesanan kami pun datang.
"Kay, kau kenapa sih, selalu mandangin dia?"
Deg, aku harus jawab apa? Jangan sampai Alin mengira aku menyukainya. Ya, benar. Diam saja adalah jalan ninjaku.
"Kau suka sama dia?" ujarnya lagi
Nah, bisa gila aku. Alin sudah berpikir tepat seperti yang aku takutkan.
"Enggak lah, Lin! Gila aja!" tegasku.
Alin hanya tertawa menunjukkan deretan gigi rapatnya yang tengah mengunyah bakso. Anak ini sungguh periang, pikirku. Aku memandang bakso yang dipesan Alin tadi. Mulai mengaduknya dan menyantapnya.
"Gila, kau benar Lin. Enak banget!"
"Apa juga kubilang, hahahah!"
Rasanya suasana kantin saat ini riuh karena tawa kami. Dua insan baru yang mulai mencoba berkenalan satu sama lain. Mencoba memahami sifat dan karakter masing-masing. Ya, aku dan Alin masih sama-sama cupu dalam menilai orang lain. Baik aku maupun Alin harus punya ruang luas untuk bisa bernafas saat dipaksa terbiasa dengan keadaan yang sama-sama baru bagi kami. Ya, benar. Aku harus menerima Alin dan mulai terbuka dengan Alin. Alin mungkin orang yang akan selalu bersamaku lebih dari kedua sahabatku selama 3 tahun ini. Dan ini saatnya aku mulai menerima Alin.
Kami kembali ke kelas. Laki-laki itu berada di tempat yang sama. Memainkan handphone-nya dan kali ini mungkin dia tak menyadari kedatanganku. Hari kedua kemarin dia lagi-lagi tak dapat giliran untuk memperkenalkan diri karena guru yang bersangkutan tiba-tiba ada urusan. Dan hari ini, dia harus memperkenalkan diri. Harus!
Bel masuk berdering keras. Guru yang tadi aku bicarakan pun mulai masuk.
"Baik, apa kabar semua?"
"BAIK BU!!"
"Ah, kalau begitu, kita lanjut perkenalan kita yang sempat tertunda, ya! Silahkan orang selanjutnya!"
Aku sedikit tenang sekarang. Setidaknya hari ini aku bisa tau namanya siapa. Dan tinggal 1 pertanyaan yang melekat di benakku. Bagaimana dia bisa tahu? Entahlah, jika kalian pikir aku berlebihan. Tapi aku juga penasaran dengan sosok Angin dan akun p__1a, dan juga laki-laki yang mengaku sekelasku, yang tahu alamatku. Dan tak butuh waktu lama, dia maju untuk menjalankan gilirannya.
"Halo semua,"
Deg, suaranya benar-benar mampu membiusku.
"Namaku Reyza Pawana Suar. Kalian bisa memanggilku Reyza," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari mataku. Reyza Pawana Suar, namanya bagus. Aku tak mengalihkan pandanganku dari mata cokelatnya sampai dia duduk kembali. Setidaknya satu teka-teki sudah berhasil kujawab. Dia juga tak mengalihkan pandangan dariku. Seolah dia sudah lama mengenalku, dan ingin mengatakan "Kayra, kita ketemu lagi,". Ah, entahlah.
Aku kembali fokus dengan kelas. Namun aku tak bisa sefokus sebelumnya, sebelum orang yang bernama Reyza itu memperkenalkan diri. Dia memang sudah menyebutkan namanya. Tapi itu tidak cukup. Malah aku merasa dia semakin misterius. Matanya dan gerak-geriknya yang seolah tahu banyak tentangku.
Bel istirahat berbunyi. Aku berjalan keluar kelas. Lagi-lagi pintu kelas sangat ramai sehingga memaksaku untuk mundur tak terkontrol. Sesaat kemudian aku merasa aku menginjak kaki orang di belakangku. Aku hampir saja jatuh jika orang di belakangku tidak menahan bahuku. Duh, mati aku. Aku langsung mengatur keseimbangan dan berbalik ke belakang. Deg! Itu dia. Reyza. Orang yang kuinjak dan menahan bahuku tadi, dia adalah Reyza. Jika aku bisa melihat dengan kaca, maka aku bisa melihat wajahku yang berubah warna seperti tomat. Reyza menatapku. Cukup lama. Aku juga tak bisa memalingkan wajahku dari matanya. Matanya sungguh bagus.
"Kayra?"
Arrgghh suaranya. Aku langsung membalikkan badanku kembali seraya berkata "maaf". Apa aku salah? Bukankah seharusnya aku juga mengatakan terimakasih? Ah entahlah. Aku langsung berlari keluar menemui Alin. Reyza masih disitu. Terpaku dengan senyum.
Alin tertawa keras. Ternyata dia tadi melihat serangkaian kejadian memalukan itu. Aku menepuk punggung Alin. Dia mengejekku seraya menirukan gelagatku tadi.
"Kay, tapi kayaknya ada yang aneh deh, si Reyza itu dari tadi aku perhatiin ngeliatin kau terus," ucap Alin.
Yaaaaa, ternyata bukan aku yang terlalu PD mengatakan orang itu memperhatikanku. Kurasa semua orang juga merasa hal yang sama. Karena saat perkenalan tadi dia benar-benar tidak memalingkan pandangannya dariku. Hatinya mengatakan "Kayra, bukankah ini yang kau mau? Aku menyebutkan namaku agar kau tak penasaran lagi tentangku". Hahaha.
"Masa sih?" jawabku pada Alin.
"Iya, Kay. Jangan-jangan kalian saling kenal?" lanjutnya.
Aku menggelengkan kepala. Aku nggak kenal dia. Tapi dia berlagak seolah mengenalku dan tahu banyak tentangku.
Hari ini aku tak langsung pulang. Aku memutuskan untuk pergi ke cafe berdua dengan Alin. Dia tahu banyak tentang cafe bahkan yang berada di sudut kota ini. Mungkin karena semasa SMP dia sering nongkrong bersama teman-temannya. Berbeda denganku yang menjadikan taman kota sebagai destinasi utama saat aku bosan. Tentu bersama dengan kedua sahabatku, Sabil dan Aul.
Aku menghabiskan waktu hari itu berdua dengan Alin. Menyeruput kopi kami masing-masing hingga sore tiba. Alin bercerita banyak tentang kehidupan asmaranya. Dia saat ini sedang menjalin hubungan dengan orang yang lebih tua satu tahun dari usia kami. Dan nampaknya dia benar-benar menyukai orang itu. Aku kagum dengannya. Dan seketika kagumku hilang saat Alin bertanya padaku seperti apa pacarku.
"Kay, gimana pacarmu?"
Aku tertegun. Aku sama sekali belum pernah merasakan jatuh cinta. Atau mungkin pernah dan aku saja yang tidak tahu kalau itu yang dinamakan jatuh cinta. Aku juga ingin, tapi aku tak ingin bernasib sama seperti Sabil yang selalu bercerita tentang kesakitan hatinya.
"Aku nggak pernah pacaran, Lin," ujarku.
Alin tertawa keras. Aku menggerutu melihatnya.
"Beneran nggak ada?" ujarnya lagi.
Aku menggelengkan kepala. "Nggak ada yang spesial menurutku," ujarku lagi. Alin memegang tanganku. Aku melihat matanya yang tiba-tiba berbinar. Ia bergegas membuka handphone-nya dan menunjukkan satu nama padaku, lengkap dengan fotonya. Naufal. Perawakannya tinggi dengan gigi taring yang bagus. Rambutnya lurus dan mata yang coklat.
"Apa ini?" tanyaku.
"Sebentar lagi akan kupastikan kalian pacaran!" ujar Alin dengan senyum sumringah.
Hah gila aja dia, pikirku. Tapi aku tidak menolak. Aku hanya melihatnya lalu berkata "terserah saja." Setidaknya ini jadi kesempatan buatku untuk merasakan cinta pertama, bukan?
Aku pulang pukul 5 sore. Setelah puas seharian menatap wajah Alin dan menelan semua guyonan kami. Aku melangkah seraya memikirkan apa yang Alin katakan tadi. Naufal, nama itu. Apakah benar nama itu benar akan menjadi cinta pertamaku? Aku berjalan seraya merogoh kantongku. Mencari handphone dan mengirim pesan pada bunda bahwa aku akan sampai sebentar lagi. Aku sudah berada di gerbang perumahan sekarang. Tinggal beberapa blok lagi dan aku akan sampai rumah. Ah benar juga, aku belum memberitahu kalian, bukan? Aku hanya tinggal berdua dengan bunda. Ayah sudah lebih dulu berangkat ke surga saat aku duduk di kelas 1 SMP. Ayah benar-benar orang baik, begitu juga bunda. Aku bahagia memiliki mereka bedua. Aku juga tidak punya kakak atau adik. Aku anak semata wayang yang benar-benar menjadi harapan bunda saat ini dan sampai selamanya. Jadi, jangan pernah lagi menanyakan dimana ayah dan saudaraku. Haha.Hari ini benar-benar melelahkan. Hingga rasanya malam ini aku hanya ingin menutup ma
Hari ini bagiku cukup melelahkan. Dan entah kenapa mood-ku hari ini sangat buruk. Aku bergegas pulang dan menolak ajakan Alin untuk ke toko buku dengan alasan sakit kepala. Sebenarnya memang sakit sih meskipun tidak terlalu. Aku sampai dirumah disambut bunda yang sedang asyik menjahit. Ya, itu pekerjaan bunda. Aku hanya bergantung pada bunda dan pekerjaannya."Assalamualaikum Bunda," ucapku.Bunda yang melihatku tersenyum lega. "Waalaikumsalam Kay, makan sana!" ujarnya.Aku bergegas masuk kamar dan tak sabar untuk merebahkan badanku. Aku memutuskan mendengarkan musik saja. Aku membuka handphone saat tiba-tiba sebuah notifikasi pesan whatsapp muncul.Alin : [Kay, gimana keadaanmu?]Kayra : [Aku udah rebahan Lin, semoga nanti enakan.]Alin : [send a photo]Alin : [Aku pengen beli jam tangan. Pilih satu diantara dua yang ku kirim!]Aku mengunduh foto yang dikirim Alin. Dua jam tangan warna putih dan biru. Aku dominan menyuka
"Kukuruyuukkkk!"Suara ayam jago tetangga membangunkanku. Namun ada yang aneh. Aku mendengar suara 'ngorok' yang entah darimana datangnya. Aku mencari-cari asal suara itu hingga aku menemukan handphone-ku yang.... masih tersambung dengan Naufal. Aku terkejut setengah mati. Jadi telponnya tidak mati semalaman? Astaga!Aku mencoba tenang, kuangkat pelan-pelan handphone-ku sepelan mungkin agar Naufal tidak terbangun."Kayra?" Astaga! Aku terkejut lebih hebat dari sebelumnya hingga tanpa sadar menjatuhkan handphone-ku."Kayra? Udah enakan badannya?" ucap bunda yang entah sejak kapan berada di pintu kamarku."Udah bunda, tapi masih nggak enak," jawabku.Bunda mengangguk. "Keluar ya, bunda masakin bubur," ucap bunda lagi. Aku hanya mengangguk seraya melihat bunda keluar dari kamar. Setelah bunda keluar, aku buru-buru mengambil kembali handphone yang jatuh ke lantai. Sial."Hufftt, untung nggak kenapa-kenapa," ucapku pelan.
"Belum reda juga panasnya Kau, udah minum obat?" tanya Naufal. Aku hanya mengangguk. Panas alami mulai kurasakan menjalar di sekujur tubuhku. Aku yang sejak kemarin lemas menjadi semakin lemas saja sepertinya."Kayra! katanya mau makan somay," ujar Alin mencairkan suasana yang canggung tadi. Aku membenarkan ekspresi wajahku dan menata ulang dudukku. Begitu juga Naufal yang entah sejak kapan sibuk dengan kantong celana jeans-nya."Aku ambilin mangkok ya," ucap Alin yang kemudian pergi begitu saja keluar kamar. Sejenak tadi aku lega dan sekarang aku mulai canggung dan badanku mulai memanas lagi. Apa kau sadar? Alin baru saja meninggalkanku berdua dengan Naufal. Kalau begini ceritanya, dia bukannya mencairkan suasana tapi malah membuat suasana makin canggung saja.Sesekali aku menatap Naufal. Dia tersenyum melihatku."Hai Kay, it's first time kita ketemu," ucapnya dengan senyum yang manisnya melebihi gula murni. Aku pun ikut tersenyum melihatnya."Iya
Aku bukan anak yang ambisius. Aku hanya anak seperti yang lainnya yang menginginkan kehidupan sekolah menengah atas yang sehat. Hanya saja beberapa rintangan mungkin bisa hadir dalam kehidupanku saat itu. Saat semua sahabatku masuk ke SMA favorit mereka, dan hanya aku sendiri yang tidak. Apa kau bisa bayangkan betapa sakitnya?Aku merenungi hal ini selama kurang lebih seminggu lamanya. Berdiam diri di kamar dan memandangi nilaiku yang kurang 5 point lagi agar bisa masuk bersama semua sahabatku. Semua ucapan semangat dari orang-orang pun rasanya tak bisa mengembalikan semangatku yang benar-benar hilang. Aku kacau saat itu hanya karena hancurnya mimpi awalku.Ah, kau benar juga. Aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Azkayra Laila Annisa. Kau bisa memanggilku Kayra. Nama yang bagus, bukan? Itu adalah nama pemberian ayahku saat aku masih berusia 6 bulan kandungan. Yap, aku anak pertama. Mungkin itu yang membuat ayahku bersemangat mencarikan nama untuk buah hatinya.
"Ahhhh, Kayraaaaaa!!!" Aul menepuk bahuku dengan sangat keras. "Kenapa kau tak tanya siapa dia?" ucapnya lagi."Diamlah Aul," jawabku.Benar juga. Memang bukan hal sulit bagiku jika aku mau bertanya siapa dia, namanya, alamat, dan kenapa dia bisa tahu alasanku dan... nama panggilanku, Kayra. Tapi tidak semudah itu. Auranya benar-benar misterius sehingga akupun tak mampu berkata apa-apa saat melihatnya."Tapi aneh juga ya, kok dia bisa tahu?" ucap Sabil.Aku mengangkat bahuku. "Entahlah, lagi pula aku tidak terlalu peduli padanya. Aku hanya ingin tahu darimana dia tahu tentangku," jawabku.Aul masih berdiri terpaku dengan tangan di dagu. Dia sepertinya akan mati penasaran jika tetap tidak tahu tentang pria itu. Kurang lebih namanya saja. Aku tersenyum melihat sahabatku yang satu ini. Menarik tangannya dan memaksanya duduk."Hei, sudahlah. Mending kau ceritakan padaku, bagaimana hari pertama kalian masuk sekolah? Ah sudah pasti seru sih,