“Ingat, disini kau hanya mendengarkanku.”
Al memahami cara gadis itu mengingatkannya untuk tak mencampuri urusan hidupnya. Toh, ia juga tak tertarik untuk ikut campur.
“Hari itu datang tepat ketika aku memasuki sekolah ini.”
3 years ago. Hari itu dimulai dengan cuaca yang terik membakar seluruh kulit peseta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dan gadis pucat dengan rambutnya yang dikucir kuda mulai tak tahan. Ia benar-benar ingin pingsan disana.
“Jangan membuat masalah di hari pertamamu, Maria!” tegas Maria pada dirinya sendiri.
Tuk! Tuk!
Astaga naga! Maria terkejut bukan main karena hanya dirinya yang berada di barisan paling belakang. Siapa? Maria mulai menoleh. Oh god! Apa dia melakukan kesalahan kali ini? Pikir Maria tak karuan melihat senior berada di belakangnya. Kala itu Maria tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terik matahari yang memantul dari belakang tubuh senior. Dan yang Maria bisa lakukan kala itu hanya tertunduk dan tak berkutik sama sekali.
“Apa kau mau ke UKS saja?” tanya senior membuat Maria sontak menggeleng.
Senior yang menjadi gemas dengan Maria yang padahal sudah terlihat sangat pucat seperti mayat berjalan membuat tindakan frontal. Srret! “Oh!” pekik Maria terkejut karena tiba-tiba saja badannya diangkat oleh senior itu.
“Ken, gadis ini pingsan! Aku akan membawanya ke UKS!” begitu teriak senior itu pada teman-teman pengurus lainnya. Anehnya, tak ada yang menaruh curiga padanya. Saat membawa Maria pun, ia menyuruh Maria untuk tidur.
Di lobby akan ke UKS, pembicaraan yang tak pernah Maria lupakan terjadi. “Namamu?” tanyanya. “Maria.”
“Maria Athena.”
Deg! Maria terbelalak seketika, “Bagaimana kau—“
“Di absen, bodoh.” Oh, hampir saja dirinya menjadi terlalu percaya diri. “Kau?” tanya Maria singkat. Tapi, itu terlalu cepat baginya untuk hanya mengetahui nama seniornya.
Mereka telah sampai di UKS. Seniornya mengurus data Maria di meja guru penjaga UKS setelah membaringkan Maria disana. “Terimakasih.”
Gadis itu tak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi, tapi bukan itu masalahnya. Kenapa wajahnya terasa panas? “Ah, pusing sekali.” Akhirnya ia pun memutuskan untuk berbaring tidur saja.
Jiwanya bak kembali ke raganya. Ia harus mengejar materi hari ini atau kena marah seniornya habis-habisan. Ia bangkit dan akan berlalu pergi. “Kau sudah sehat?” tanya guru penjaga UKS. Maria hanya balas mengangguk. Ia yang akan berlalu pergi pun terhenti di ambang pintu.
“Bu.”
“Ya, Maria?”
“Siapa nama senior yang membawaku kemari?” tanya Maria.
“Andreas Lionel.”
Maria membungkuk untuk berterima kasih lalu pergi dari sana. Ternyata, hari mulai petang dan tentu saja seluruh kegiatan MPLS hari pertama telah usai. Dan ia melewatkan itu.
“Hah, yasudahlah.”
Maria tak langsung pulang ke panti karena ia telah berjanji ia akan mencari pekerjaan paruh waktu dan beasiswa.
Saat berada di halte, seseorang dengan jaket bertudung hitam duduk di sebelah Maria. Bus datang, membawa keduanya masuk ke dalam. Sosok itu melewati Maria dan duduk berjauhan dengannya. Ingin sekali gadis itu menoleh, rasanya seperti dilihat terus menerus.
Maria turun di halte berikutnya.
“Ini ya ‘Foreign Co.’?”
Maria yang akan masuk ke dalam ruko dua lantai itu diserobot saja oleh orang aneh yang memakai jaket bertudung hitam tersebut. Maria juga mengikutinya. Ia yang disambut hangat oleh karyawan front office berbeda dengan orang tadi yang dibiarkan masuk begitu saja.
“Maria Athena, ya?” tanya staff.
Maria sontak mengangguk. Staff mengenalnya lantaran ia telah membuat janji temu sebelumya. Hari ini adalah hari dimana ia akan mengikuti tahap seleksi untuk menjadi anggota tetap perusahaan yang akan memberikan beasiswa untuknya.
“Bukankah harusnya seleksi diadakan secara serentak?” tanya Maria mengawali. Staff hanya tertawa dan memberikan Maria sebuah lembar kosong beserta alasnya dan tak lupa satu pena untuknya menulis.
“Ceritakan saja tentang dirimu.” Permintaan staff memang patut Maria curigai. “Apa ini bisa dikatakan sebagai sebuah interview?” tanya Maria frontal. Staff itu meringis, “Apa kau tidak sabar untuk mengerjakan sebuah soal?” tanyanya yang sontak dibalas anggukan oleh Maria.
“Ikuti aku.”
Dalam pikiran Maria, mungkin saja seleksinya bersifat internal. Ia mengikuti staff ke lantai dua. Deg!
“Ruang direktur?!” pekik Maria terkejut yang dibalas anggukan oleh staff.
Kriiet!
Kembali ke masa kini, Maria mulai mengernyitkan dahinya. Sekeras apapun dirinya mencoba mengingat wajah sang direktur tetap saja ia tak dapat mengingatnya.
“Tapi, apa kau tahu namanya?” tanya Al yang dibalas gelengan oleh Maria. Entah kenapa Al merasa kesal akan hal itu, pasti ada sesuatu yang membuat Maria tak mengingatnya.
Maria melanjutkan ceritanya.
“Ia memberiku beberapa lembar soal.”
Sangat jelas dalam ingatan Maria bahwa direktur memintanya mengerjakan seluruh soal itu.
“Apa kau seorang penipu?” tanya Maria saat mengambil soal di meja direktur. Direktur terkejut akan keberanian gadis yang datang ke kandangnya, “Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu?” balas tanya direktur.
Maria duduk di kursi depan meja direktur, “Tata caranya aneh, lebih bersifat internal, tak jelas aku akan mendapatkan apa disini, dan juga … ruangan ini seperti gudang.”
Direktur mengambil sebuah koper di bawah yang lalu diletakkan di atas meja, tepat menghadap Maria.
“Cih, siapa kalian ini sebenarnya?” tanya Maria menyeringai kesal.
Direktur membiarkan koper yang berisi limpahan uang tetap terbuka. Ia berkata, “Aku tak memberimu batasan waktu pengerjaan, tapi pastikan semua soal kau jawab dengan benar.”
“Maka aku akan dapat seluruh uang ini?” pancing Maria yang dibalas anggukan ringan oleh direktur.
Maria menatap Al tajam, “Lalu aku mendapatkan segalanya dengan menyingkirkan posisi seseorang.” Jawaban inilah yang membuat mata Alan Kevin membelalak lebar, “Siapa itu?”
Maria memandang jauh ke luar jendela, “Andreas, senior itu. Setelah hari itu dia menghilang seperti tak pernah diciptakan.” Al menebak, “Kau mengalahkannya?”
Kediaman Maria membuat Al kesal dan mulai mengikutinya. “Hei, hei! Bagaimana caramu mengalahkannya?” tanya Al. Maria berhenti dan menatapnya tajam, “Kenapa? Kau mau mengalahkanku?” Al meringis dengan percaya diri yang berlebihan.
“Seratus soal dalam 30 menit.” Jawaban Maria yang membuat Al hanya menelan ludahnnya. “Tapi itu milik Andreas …” lanjut Maria yang sekali lagi membuat Al terbelalak. Ia dapat bernafas lega setelah berpikir, “Ah, 30 menit itu memang normal kan untuk anak cerdas? Beberapa anak juga seperti itu.”
Tetapi, seketika ia sadar. Al menatap Maria gugup, “Ja-jadi, berapa lama waktu yang kau habiskan … untuk seratus soal?”
“10 menit.”
Deg! “Gila …” umpat Al yang tak tahan dengan gadis di sebelahnya ini. Jenius? Dia itu gila!
“Jadi, apa rencanamu?” tanya Maria yang tak mau dirinya dirugikan oleh bocah sombong ini.
Kriing!
Bel masuk. “Ck!” decak Maria kesal. Ia segera meninggalkan Al untuk kembali ke kelas. “Setelah pulang sekolah, ikut aku.” Maria terhenti dan sejenak menoleh pada Al. Lalu, ia benar-benar berlalu pergi.
“Al, ayo.” Ajakan Rivaldy ditolak tegas seketika oleh Al hanya dengan gelengan kepalanya. “Aku akan bolos kali ini.” Jawaban yang sangat mudah namun berdampak bagi Rivaldy dan Elena. Hal yang membuat Elena semakin kesal karena sikap sombong Al yang kembali dengan cepat. Elena menyeringai, “Entah karena Maria yang masih merasa kasihan padamu atau kau yang tak punya malu, bodoh.”
Al hanya mengangguk dengan raut mengejek. Lalu, hal yang mengejutkan bagi Rivaldy dan Elena adalah kenyataan bahwa Al menghampiri Maria.
“Naik bus?” tanya Maria. Al menggeleng, “Taksi, haha.”
Al menarik tangan Maria. Ketika melewati dua temannya itu, ia hanya bisa mengedipkan satu matanya. Baik Elena maupun Rivaldy hanya terdiam tak percaya. “Apa-apaan itu?” kesal Elena.
“Cepat atau lambat, kita akan mengetahuinya.”
Will be continue ... @yandaa.anne
Maria bisa menebaknya. Rumah besar dan megah yang berada di atas bukit. “Kau berbohong, ya?” tanya Maria tanpa menoleh pada Al. “Apa?” balas Al bertanya. Maria menoleh, “Memangnya ada taksi yang mau mengantar sejauh ini? Dia pasti sopir pribadimu.” Mendengar jawaban Maria yang sangat sempurna membuat Al tertawa terbahak-bahak. Sesampainya disana, keduanya turun dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan pintu berkunci kode. Sama seperti yang Maria pikirkan, sangat sunyi. “Hanya tinggal bersama ayah?” tanya Maria membuat Al kesal lantaran menyebut sosok ‘ayah’. “Kau disini bukan untuk mengetahui hidupku.” Sontak Maria membalas ketus, “Apa salahnya untuk mengetahui kehidupan partnerku?” Al berbalik badan menghadap Maria, “Rupanya partnerku ini tengah mencurigaiku.” Maria tertawa hambar menatapnya, “Lagipula untuk apa mempercayaimu, sialan.” Setelah mengatakan sekaligus mengumpat, Maria mendahului sang pemilik ru
Sebenarnya, yang kami lakukan ini semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Dunia ini terlalu kejam, ya? Bagaimana bisa membuat murid Sekolah Menengah Atas seperti kami dipaksa mencari uang? Jika telah menikmati pekerjaan ini, apa semuanya menjadi salah kami lagi?Ssstt! Tiba-tiba saja, seluruh kelas menjadi sangat hening. Suara sepatu berhak tinggi, suara penggaris besi yang sengaja diseret, dan juga siulan merdu dari opera ke-20 milik Tchaikovsky yang berjudul ‘Swan Lake’ yang berhasil membangunkan bulu kuduk seluruh siswa tahun kedua terdengar jelas dari arah lorong. Takkan ada yang tahu kemana tujuan akhir suara-suara itu. Yang pasti, mereka tahu jika ada tiga orang yang akan masuk ke salah satu kelas mereka. Bagi kelas manapun yang akan menjadi destinasi akhir mereka bertiga, maka bersiaplah untuk menjadi kelas selebritas saat jam istirahat pertama. Hening. Tiba-tiba saja menjadi sangat hening bagi k
Jam pelajaran ketiga telah usai. “Bu Rai, apa ini tidak terlalu banyak?” protes salah satu siswa Kelas Bahasa. Mata bulat Bu Rai tersenyum di balik kacamata perseginya, “Hanya sebuah penelitian, kan?” Siswa itu menghela nafas panjang dan kembali ke kelompoknya. “Ah~ Bu Rai takkan memberi keringanan,” ucap siswa itu kepada teman-teman sekelompoknya. Sama seperti dirinya, teman-temannya juga mengeluh dibuatnya. Bu Rai meninggalkan kelas itu dengan senyuman yang sama tetap terukir di wajahnya. “Oh, oh, mereka sudah kembali,” bisik para murid melihat trio berandalan itu kembali ke kelas. Aneh. Mereka bertiga terlihat aneh. Keanehan itu dapat para murid rasakan karena entah apa yang terjadi di ruang konseling, namun itu membuat ketiganya terdiam membisu saat ini. Penasaran, salah satu siswi yang selalu menempel pada Al mulai mendekatinya. “Ada apa, Al? Ken
“Yohan, kau benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ucap Maria tak beranjak dari tempatnya. Hal itu membuat Yohan tersentak kaget, “Benarkah?” tanyanya masih tak percaya. Anggukan Maria pun masih tak membuatnya percaya. Yohan pikir itu hanya akal-akalan Maria saja untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Tapi, “Untuk apa juga aku menyelamatkanmu? Memangnya aku ada urusan denganmu?” celetuk Maria membuat semua tersadar. Benar-benar salah berurusan dengan gadis ini. Bahkan Rivaldy, Elena, dan Al pun tak bisa menahan Yohan lagi. Dengan penuh kebingungan, Yohan akhirnya pergi dari sana. Maria yang juga tak lagi memiliki urusan disana memutuskan untuk pergi. “Hei, Maria.” Panggilan itu membuat Maria terhenti dan membalikkan badan. Rivaldy berdiri dan berjalan ke arahnya. “Kau sudah membuat mentor kami pergi, tuh.” Celetuk Rivaldy yang sangat menyebalkan, padahal sud
Aneh sekali jika seorang Maria Athena membantu Elena mengerjakan sebuah laporan penelitian. Al tak bisa berhenti memikirkannya. Pasalnya, dirinya pernah satu kali berada dalam kelompok Maria. Dan berakhir namanya dicoreng, ia tak mendapat nilai kelompok, dan berakhir di ruang guru. Itu kronologis yang harusnya Elena rasakan, namun kini? “Bisa gila aku saat memikirkannya!” erangnya kesal. Memangnya apa yang sudah Elena lakukan untuk Maria? Tiba-tiba ia terpikirkan suatu hal, “Pasti kini Elena tahu jika Maria adalah salah satu anak asuh di Panti Asuhan kuno itu,” gumamnya. Srrt! Al ambil ponselnya dan mengirim pesan padanya.‘Elena.’‘Apa?’‘Apa kau tahu jika Maria adalah anak asuh di Panti Asuhan kuno itu?’‘Ya, kenapa memangnya?’‘Kenapa katamu? Hei, itu aneh sekali kan?’‘Apanya yang aneh?’
Jenius SMA Ki Hajar Dewantara tengah menghabiskan jam bebas belajarnya di perpustakaan. Hanya tempat itu yang membuatnya tenang. Drrt! Ponselnya bergetar, ternyata sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi. ‘Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara.’ Seringai kecil terukir di wajah mungil gadis itu. ‘Accepted.’ Ya, dia memencet tombol itu. Lalu, muncul sebuah notifikasi baru yang bertuliskan, ‘Permintaan klien diterima.’ Kini, ia menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan tempat ternyamannya. Gadis itu kembali ke kelasnya. Dengan kembalinya dia ke kelasnya saat sudah masuk jam istirahat membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak peduli. Al yang menatapnya tajam bersungut pun ia tak peduli, karena tak mungkin anak itu akan menghajarnya. Diluar dirinya adalah perempuan, di kelas ini terdapat banyak CCTV dan para penggemarnya yang kembali membutuhkannya.
Maria, si jenius yang hari ini terlihat muram. Ia yang datang saat pelajaran pertama dimulai jelas menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Melihat seluruh siswa di kelasnya yang memperhatikannya membuatnya merasa terancam. Ia tak tahu yang mana satu yang telah mengambil ponselnya. Yang mana satu yang menjadi ancaman terbesarnya. Ia tak boleh terlihat lengah, begitu pikirnya. Yang membuatnya kini kembali tampak normal adalah apabila ia terlihat lengah, disanalah celahnya. “Maria?” tunjuk Mrs. Helen. Ia tersadar seketika dan terdiam memandang Mrs. Helen. Mrs. Helen mengernyit, “Are you okay?”. Rautnya kembali mendingin, “I am okay.” Tak ada yang bisa Mrs. Helen katakan lagi. Mrs. Helen hanya melanjutkan materinya. Walau tampak baik-baik saja, Al dapat melihatnya. Kelemahan itu ada di tangannya, bagaimana bisa ia tak melihatnya pada sang target? “Ckckck,
Maria bisa menebaknya. Rumah besar dan megah yang berada di atas bukit. “Kau berbohong, ya?” tanya Maria tanpa menoleh pada Al. “Apa?” balas Al bertanya. Maria menoleh, “Memangnya ada taksi yang mau mengantar sejauh ini? Dia pasti sopir pribadimu.” Mendengar jawaban Maria yang sangat sempurna membuat Al tertawa terbahak-bahak. Sesampainya disana, keduanya turun dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan pintu berkunci kode. Sama seperti yang Maria pikirkan, sangat sunyi. “Hanya tinggal bersama ayah?” tanya Maria membuat Al kesal lantaran menyebut sosok ‘ayah’. “Kau disini bukan untuk mengetahui hidupku.” Sontak Maria membalas ketus, “Apa salahnya untuk mengetahui kehidupan partnerku?” Al berbalik badan menghadap Maria, “Rupanya partnerku ini tengah mencurigaiku.” Maria tertawa hambar menatapnya, “Lagipula untuk apa mempercayaimu, sialan.” Setelah mengatakan sekaligus mengumpat, Maria mendahului sang pemilik ru
“Ingat, disini kau hanya mendengarkanku.” Al memahami cara gadis itu mengingatkannya untuk tak mencampuri urusan hidupnya. Toh, ia juga tak tertarik untuk ikut campur. “Hari itu datang tepat ketika aku memasuki sekolah ini.” 3 years ago. Hari itu dimulai dengan cuaca yang terik membakar seluruh kulit peseta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dan gadis pucat dengan rambutnya yang dikucir kuda mulai tak tahan. Ia benar-benar ingin pingsan disana. “Jangan membuat masalah di hari pertamamu, Maria!” tegas Maria pada dirinya sendiri. Tuk! Tuk! Astaga naga! Maria terkejut bukan main karena hanya dirinya yang berada di barisan paling belakang. Siapa? Maria mulai menoleh. Oh god! Apa dia melakukan kesalahan kali ini? Pikir Maria tak karuan melihat senior berada di belakangnya. Kala itu Maria tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terik mat
Maria, si jenius yang hari ini terlihat muram. Ia yang datang saat pelajaran pertama dimulai jelas menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Melihat seluruh siswa di kelasnya yang memperhatikannya membuatnya merasa terancam. Ia tak tahu yang mana satu yang telah mengambil ponselnya. Yang mana satu yang menjadi ancaman terbesarnya. Ia tak boleh terlihat lengah, begitu pikirnya. Yang membuatnya kini kembali tampak normal adalah apabila ia terlihat lengah, disanalah celahnya. “Maria?” tunjuk Mrs. Helen. Ia tersadar seketika dan terdiam memandang Mrs. Helen. Mrs. Helen mengernyit, “Are you okay?”. Rautnya kembali mendingin, “I am okay.” Tak ada yang bisa Mrs. Helen katakan lagi. Mrs. Helen hanya melanjutkan materinya. Walau tampak baik-baik saja, Al dapat melihatnya. Kelemahan itu ada di tangannya, bagaimana bisa ia tak melihatnya pada sang target? “Ckckck,
Jenius SMA Ki Hajar Dewantara tengah menghabiskan jam bebas belajarnya di perpustakaan. Hanya tempat itu yang membuatnya tenang. Drrt! Ponselnya bergetar, ternyata sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi. ‘Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara.’ Seringai kecil terukir di wajah mungil gadis itu. ‘Accepted.’ Ya, dia memencet tombol itu. Lalu, muncul sebuah notifikasi baru yang bertuliskan, ‘Permintaan klien diterima.’ Kini, ia menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan tempat ternyamannya. Gadis itu kembali ke kelasnya. Dengan kembalinya dia ke kelasnya saat sudah masuk jam istirahat membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak peduli. Al yang menatapnya tajam bersungut pun ia tak peduli, karena tak mungkin anak itu akan menghajarnya. Diluar dirinya adalah perempuan, di kelas ini terdapat banyak CCTV dan para penggemarnya yang kembali membutuhkannya.
Aneh sekali jika seorang Maria Athena membantu Elena mengerjakan sebuah laporan penelitian. Al tak bisa berhenti memikirkannya. Pasalnya, dirinya pernah satu kali berada dalam kelompok Maria. Dan berakhir namanya dicoreng, ia tak mendapat nilai kelompok, dan berakhir di ruang guru. Itu kronologis yang harusnya Elena rasakan, namun kini? “Bisa gila aku saat memikirkannya!” erangnya kesal. Memangnya apa yang sudah Elena lakukan untuk Maria? Tiba-tiba ia terpikirkan suatu hal, “Pasti kini Elena tahu jika Maria adalah salah satu anak asuh di Panti Asuhan kuno itu,” gumamnya. Srrt! Al ambil ponselnya dan mengirim pesan padanya.‘Elena.’‘Apa?’‘Apa kau tahu jika Maria adalah anak asuh di Panti Asuhan kuno itu?’‘Ya, kenapa memangnya?’‘Kenapa katamu? Hei, itu aneh sekali kan?’‘Apanya yang aneh?’
“Yohan, kau benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ucap Maria tak beranjak dari tempatnya. Hal itu membuat Yohan tersentak kaget, “Benarkah?” tanyanya masih tak percaya. Anggukan Maria pun masih tak membuatnya percaya. Yohan pikir itu hanya akal-akalan Maria saja untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Tapi, “Untuk apa juga aku menyelamatkanmu? Memangnya aku ada urusan denganmu?” celetuk Maria membuat semua tersadar. Benar-benar salah berurusan dengan gadis ini. Bahkan Rivaldy, Elena, dan Al pun tak bisa menahan Yohan lagi. Dengan penuh kebingungan, Yohan akhirnya pergi dari sana. Maria yang juga tak lagi memiliki urusan disana memutuskan untuk pergi. “Hei, Maria.” Panggilan itu membuat Maria terhenti dan membalikkan badan. Rivaldy berdiri dan berjalan ke arahnya. “Kau sudah membuat mentor kami pergi, tuh.” Celetuk Rivaldy yang sangat menyebalkan, padahal sud
Jam pelajaran ketiga telah usai. “Bu Rai, apa ini tidak terlalu banyak?” protes salah satu siswa Kelas Bahasa. Mata bulat Bu Rai tersenyum di balik kacamata perseginya, “Hanya sebuah penelitian, kan?” Siswa itu menghela nafas panjang dan kembali ke kelompoknya. “Ah~ Bu Rai takkan memberi keringanan,” ucap siswa itu kepada teman-teman sekelompoknya. Sama seperti dirinya, teman-temannya juga mengeluh dibuatnya. Bu Rai meninggalkan kelas itu dengan senyuman yang sama tetap terukir di wajahnya. “Oh, oh, mereka sudah kembali,” bisik para murid melihat trio berandalan itu kembali ke kelas. Aneh. Mereka bertiga terlihat aneh. Keanehan itu dapat para murid rasakan karena entah apa yang terjadi di ruang konseling, namun itu membuat ketiganya terdiam membisu saat ini. Penasaran, salah satu siswi yang selalu menempel pada Al mulai mendekatinya. “Ada apa, Al? Ken
Sebenarnya, yang kami lakukan ini semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Dunia ini terlalu kejam, ya? Bagaimana bisa membuat murid Sekolah Menengah Atas seperti kami dipaksa mencari uang? Jika telah menikmati pekerjaan ini, apa semuanya menjadi salah kami lagi?Ssstt! Tiba-tiba saja, seluruh kelas menjadi sangat hening. Suara sepatu berhak tinggi, suara penggaris besi yang sengaja diseret, dan juga siulan merdu dari opera ke-20 milik Tchaikovsky yang berjudul ‘Swan Lake’ yang berhasil membangunkan bulu kuduk seluruh siswa tahun kedua terdengar jelas dari arah lorong. Takkan ada yang tahu kemana tujuan akhir suara-suara itu. Yang pasti, mereka tahu jika ada tiga orang yang akan masuk ke salah satu kelas mereka. Bagi kelas manapun yang akan menjadi destinasi akhir mereka bertiga, maka bersiaplah untuk menjadi kelas selebritas saat jam istirahat pertama. Hening. Tiba-tiba saja menjadi sangat hening bagi k