Jenius SMA Ki Hajar Dewantara tengah menghabiskan jam bebas belajarnya di perpustakaan. Hanya tempat itu yang membuatnya tenang. Drrt! Ponselnya bergetar, ternyata sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi.
‘Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara.’
Seringai kecil terukir di wajah mungil gadis itu. ‘Accepted.’ Ya, dia memencet tombol itu. Lalu, muncul sebuah notifikasi baru yang bertuliskan, ‘Permintaan klien diterima.’
Kini, ia menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan tempat ternyamannya. Gadis itu kembali ke kelasnya. Dengan kembalinya dia ke kelasnya saat sudah masuk jam istirahat membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak peduli. Al yang menatapnya tajam bersungut pun ia tak peduli, karena tak mungkin anak itu akan menghajarnya. Diluar dirinya adalah perempuan, di kelas ini terdapat banyak CCTV dan para penggemarnya yang kembali membutuhkannya.
“Aku tak butuh tikus pengerat seperti kalian lagi, menjijikkan.” Ucapan itu Maria tujukan pada teman-temannya yang berusaha mendekatinya lagi. Setelah kalimat pedas itu terlontar dari mulut Maria yang mereka anggap dewi, mereka pun menyerah.
“Dia benar-benar telah menjadi sosok lain,” lirih Elena sedih. Rivaldy yang mendengarnya mengelak, “Bukan sosok lain, itu sosok aslinya.” Elena kesal pada Al, “Pokoknya ini semua jadi salahmu, dasar!”
Al yang sedaritadi tak bisa melepaskan pandangannya dari Maria semakin kesal karena tak bisa membalasnya. Lebih tepatnya, tak tahu cara untuk membalasnya.
Hari ini benar-benar menyebalkan. Al hanya menghabiskan hari ini dengan kesal. Dilihat sehari penuh pun Maria seperti tak memiliki kelemahan. Memang ada ya orang seperti ini? Herannya membatin.
Bahkan, sampai sekolah hari ini usai. Al terus menguntitnya dari kejauhan tanpa Maria sadari. Anak itu naik bus yang sama dengan Maria, dan juga menuju tempat yang sama dengan Maria. Malahan dirinya harap Maria menyadarinya dan kesal padanya. Namun, tanpa disangka Maria sama sekali tak menyadari kehadirannya disana.
“Eh?” ucap Al baru menyadarinya.
Kenapa ia ada disana? Tanyanya sendiri kebingungan. Setelah dipikir-pikir kenapa Maria kemari? Begitu pikirnya tanpa mendapatkan jawaban. Anak itu hanya memperhatikan gerak-gerik Maria yang mulai dari duduk di kursi sekitar taman, lalu membaca sebuah buku disana.
“Tak ada yang mencurigakan, kok.” Begitu pikir Al sebelum seseorang yang dikenalnya datang. Matanya terbelalak tak percaya, “Gibran?” herannya.
Yang Al lihat adalah Gibran Geovano, seseorang yang dulu mengikutinya sampai pada akhirnya menjebaknya. Ini kesempatan emas untuk menghajar biang kerok yang membuatnya harus hidup tersiksa seperti ini, pikir Al. Ia ikuti Gibran dan menunggu tempat yang pas untuk menghajarnya.
“Disini kan?” gumam Gibran yang dapat Al dengar dari belakang.
Setelah itu, Gibran meletakkan tas kecil di belakang tong sampah yang dikelilingi semak belukar. Setelah memastikan aman, Gibran bergegas ingin kembali. Jduk! Sialnya, ia menabrak Al yang telah berdiri kokoh di belakangnya.
“K-kau …”
PLAK!
Belum sempat menyebut nama temannya itu, Al dengan kesal menamparnya dengan kekuatan penuh hingga membuat Gibran tersungkur. Grrt! Al tak membiarkannya bangun darisana. “Al … Tolong, dengarkan aku kali ini saja—“
DUGH! Tendangan di wajah yang diterima Gibran membuatnya tak bisa melanjutkan kalimatnya. “Kau pikir aku ada waktu untuk mendengarkanmu? Cecunguk sialan!” umpatnya. “Maafkan aku, Al …” rengek Gibran memegang pergelangan kaki Al yang menyesakkan dadanya.
DUGH! DUGH! DUGH!
Untuk kali ini Al sangat marah hingga menjadi gila dengan menginjak berkali-kali Gibran dalam posisi yang sama. “MEMANGNYA APA YANG KAU DAPATKAN DARI ITU SEMUA?! MATI SAJA KAU DAN PERGI KE NERAKA! HIDUPKU HANCUR KARENAMU, BRENGSEK!” teriaknya gila akan kemarahannya. Hal itu membuat Gibran Geovano pingsan seketika di tempat. Al berhenti sejenak dan ingin mencari sebuah benda untuk menghabisi Gibran saat itu juga. Tetapi, saat ia berbalik ia membeku di tempat.
“Sialan … Kenapa harus ada kau, sih? Haha.” Tawanya yang hambar dapat menjelaskan bahwa ia tengah terpojok saat ini. “Oh, sudah?” tanya Maria dengan santainya lalu menghentikan rekamannya. Lalu, dengan santainya ia berbalik badan dan melanjutkan membaca bukunya dan berlalu bergitu saja.
Amarahnya yang memuncak kala itu membuatnya mengambil sebuah batu besar dan mengendap-endap akan menghantamkannya pada Maria. Srrt! Cekrik! Hanya dengan flash yang menusuk matanya dan bunyi ‘cekrik’ yang menyadarkannya. Ia membeku saat itu juga. Apa yang telah dilakukannya?
“Kau mau aku berteriak atau pergi saja?” ancam Maria. Aish, tak ada yang bisa dilakukannya selain pergi. Hari itu terasa sangat panjang bagi Al. Ia benar-benar ingin mati saja hari ini.
Hari itu pula yang membuatnya takut untuk masuk ke sekolah. Ia hanya mendekam di kamarnya yang luas. Sepi, mustahil terdengar suara seorang wanita yang membangunkannya atau memintanya sarapan pagi. Itu sangat mustahil. Rumahnya yang begitu luas dan penuh interior mahal tetapi sangat sunyi.
“Sudah satu bulan rupanya dia tak pulang.”
Al yang hidup hanya bersama ayahnya saja tentu merasa kesepian, Bahkan ia memanggil ayahnya dengan partikel ‘dia’. Sudah sebulan ayahnya tak pulang, bahkan ia sampai lupa akan wajah ayahnya itu.
“Kenapa aku masih bernafas hari ini?” gumamnya memejamkan matanya kembali. Dan tiba-tiba saja bayangannya menghajar Gibran terlintas dalam benaknya. Tetapi seketika berubah menjadi bayangan akan sosok tanpa wajah yang memukulinya, menginjaknya, dan memukulnya dengan vas.
Deg! Deg! Deg!
Ia lihat kedua telapak tangannya yang basah akan keringatnya yang bercucuran deras. Ia menjambak rambutnya sendiri. Ia menyangkal pikiran bahwa akankah dirinya tumbuh menjadi sosok ayahnya? Itu tak boleh terjadi. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan membatin, “Amarahku pasti dapat dikendalikan.”
Jalan setapak Ragunan, Al kembali ke tempat ini hanya untuk mengetahui apa yang Gibran sembunyikan kemarin. Pasti masih ada, hanya dirinya yang mengetahui tempat itu. Gibran tak mungkin kembali karena mengingat kondisi akan perbuatannya. Srrk! “Dimana? Aku yakin kemarin disini.”
Ia mencoba mengingatnya kembali. “Itu hanyalah sebuah tas kecil!” tegasnya. Ditambah saat itu tempat ini benar-benar sepi. Hanya ada dirinya, Gibran, dan … “Maria?” tanyanya tak yakin pada dirinya sendiri. “Aku akan kembali ke sekolah.”
Al datang melewati pintu belakang—jalur rahasianya. Seperti yang diperkirakan, ini adalah jam olahraga. Ia masuk ke ke kelas dan segera menuju bangku Maria. “Walau tak mungkin, aku akan terus berusaha membuatnya berada dibawah kendaliku—“
Kling! Kling! Kling!
Fokusnya menjadi teralihkan pada ponsel Maria yang mendapat banyak notif.
Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara mengirimi anda pesan.
Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara mengirimi anda pesan.
Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara mengirimi anda pesan.
“Hah?” herannya mengetahui jika Maria ternyata mengenal sosok Gibran. “Maria yang antisosial mengenal Gibran yang terkenal sebagai bawahanku? Haha.”
Entah apa yang akan dilakukannya pada ponsel yang bersandi itu, Al hanya ingin membawanya. “Aku hanya ingin mengetahuinya saja, kok.”
Dap! Dap! Dap!
“Aish, dasar merepotkan.” Maria terlihat seakan bergegas ke kelasnya, tetapi tampak dirinya yang tak menggunakan seragam olahraga. Ia terus menggerutu, “Karena si mulut besar itu, mau tak mau aku harus terlibat!” kesalnya mencari seragam olahraganya di tas.
Tunggu! Ada yang hilang, begitu pikirnya ketika tak melihat sebuah ponsel dengan case hitam di dalamnya. Deg! Deg! Deg! Deg! “Sialan, aku harus segera menemukannya!” resah seorang Maria. Pertama kalinya bagi seorang Maria merasa terancam.
Sedangkan seseorang yang mencuri ponsel Maria, Alan Kevin, kembali ke rumahnya dan memasang sebuah kabel data untuk menghubungkan ponsel Maria dengan komputer dua monitor di kamarnya.
Data is being analyzed …
Maria, si jenius yang hari ini terlihat muram. Ia yang datang saat pelajaran pertama dimulai jelas menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Melihat seluruh siswa di kelasnya yang memperhatikannya membuatnya merasa terancam. Ia tak tahu yang mana satu yang telah mengambil ponselnya. Yang mana satu yang menjadi ancaman terbesarnya. Ia tak boleh terlihat lengah, begitu pikirnya. Yang membuatnya kini kembali tampak normal adalah apabila ia terlihat lengah, disanalah celahnya. “Maria?” tunjuk Mrs. Helen. Ia tersadar seketika dan terdiam memandang Mrs. Helen. Mrs. Helen mengernyit, “Are you okay?”. Rautnya kembali mendingin, “I am okay.” Tak ada yang bisa Mrs. Helen katakan lagi. Mrs. Helen hanya melanjutkan materinya. Walau tampak baik-baik saja, Al dapat melihatnya. Kelemahan itu ada di tangannya, bagaimana bisa ia tak melihatnya pada sang target? “Ckckck,
“Ingat, disini kau hanya mendengarkanku.” Al memahami cara gadis itu mengingatkannya untuk tak mencampuri urusan hidupnya. Toh, ia juga tak tertarik untuk ikut campur. “Hari itu datang tepat ketika aku memasuki sekolah ini.” 3 years ago. Hari itu dimulai dengan cuaca yang terik membakar seluruh kulit peseta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dan gadis pucat dengan rambutnya yang dikucir kuda mulai tak tahan. Ia benar-benar ingin pingsan disana. “Jangan membuat masalah di hari pertamamu, Maria!” tegas Maria pada dirinya sendiri. Tuk! Tuk! Astaga naga! Maria terkejut bukan main karena hanya dirinya yang berada di barisan paling belakang. Siapa? Maria mulai menoleh. Oh god! Apa dia melakukan kesalahan kali ini? Pikir Maria tak karuan melihat senior berada di belakangnya. Kala itu Maria tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terik mat
Maria bisa menebaknya. Rumah besar dan megah yang berada di atas bukit. “Kau berbohong, ya?” tanya Maria tanpa menoleh pada Al. “Apa?” balas Al bertanya. Maria menoleh, “Memangnya ada taksi yang mau mengantar sejauh ini? Dia pasti sopir pribadimu.” Mendengar jawaban Maria yang sangat sempurna membuat Al tertawa terbahak-bahak. Sesampainya disana, keduanya turun dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan pintu berkunci kode. Sama seperti yang Maria pikirkan, sangat sunyi. “Hanya tinggal bersama ayah?” tanya Maria membuat Al kesal lantaran menyebut sosok ‘ayah’. “Kau disini bukan untuk mengetahui hidupku.” Sontak Maria membalas ketus, “Apa salahnya untuk mengetahui kehidupan partnerku?” Al berbalik badan menghadap Maria, “Rupanya partnerku ini tengah mencurigaiku.” Maria tertawa hambar menatapnya, “Lagipula untuk apa mempercayaimu, sialan.” Setelah mengatakan sekaligus mengumpat, Maria mendahului sang pemilik ru
Sebenarnya, yang kami lakukan ini semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Dunia ini terlalu kejam, ya? Bagaimana bisa membuat murid Sekolah Menengah Atas seperti kami dipaksa mencari uang? Jika telah menikmati pekerjaan ini, apa semuanya menjadi salah kami lagi?Ssstt! Tiba-tiba saja, seluruh kelas menjadi sangat hening. Suara sepatu berhak tinggi, suara penggaris besi yang sengaja diseret, dan juga siulan merdu dari opera ke-20 milik Tchaikovsky yang berjudul ‘Swan Lake’ yang berhasil membangunkan bulu kuduk seluruh siswa tahun kedua terdengar jelas dari arah lorong. Takkan ada yang tahu kemana tujuan akhir suara-suara itu. Yang pasti, mereka tahu jika ada tiga orang yang akan masuk ke salah satu kelas mereka. Bagi kelas manapun yang akan menjadi destinasi akhir mereka bertiga, maka bersiaplah untuk menjadi kelas selebritas saat jam istirahat pertama. Hening. Tiba-tiba saja menjadi sangat hening bagi k
Jam pelajaran ketiga telah usai. “Bu Rai, apa ini tidak terlalu banyak?” protes salah satu siswa Kelas Bahasa. Mata bulat Bu Rai tersenyum di balik kacamata perseginya, “Hanya sebuah penelitian, kan?” Siswa itu menghela nafas panjang dan kembali ke kelompoknya. “Ah~ Bu Rai takkan memberi keringanan,” ucap siswa itu kepada teman-teman sekelompoknya. Sama seperti dirinya, teman-temannya juga mengeluh dibuatnya. Bu Rai meninggalkan kelas itu dengan senyuman yang sama tetap terukir di wajahnya. “Oh, oh, mereka sudah kembali,” bisik para murid melihat trio berandalan itu kembali ke kelas. Aneh. Mereka bertiga terlihat aneh. Keanehan itu dapat para murid rasakan karena entah apa yang terjadi di ruang konseling, namun itu membuat ketiganya terdiam membisu saat ini. Penasaran, salah satu siswi yang selalu menempel pada Al mulai mendekatinya. “Ada apa, Al? Ken
“Yohan, kau benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ucap Maria tak beranjak dari tempatnya. Hal itu membuat Yohan tersentak kaget, “Benarkah?” tanyanya masih tak percaya. Anggukan Maria pun masih tak membuatnya percaya. Yohan pikir itu hanya akal-akalan Maria saja untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Tapi, “Untuk apa juga aku menyelamatkanmu? Memangnya aku ada urusan denganmu?” celetuk Maria membuat semua tersadar. Benar-benar salah berurusan dengan gadis ini. Bahkan Rivaldy, Elena, dan Al pun tak bisa menahan Yohan lagi. Dengan penuh kebingungan, Yohan akhirnya pergi dari sana. Maria yang juga tak lagi memiliki urusan disana memutuskan untuk pergi. “Hei, Maria.” Panggilan itu membuat Maria terhenti dan membalikkan badan. Rivaldy berdiri dan berjalan ke arahnya. “Kau sudah membuat mentor kami pergi, tuh.” Celetuk Rivaldy yang sangat menyebalkan, padahal sud
Aneh sekali jika seorang Maria Athena membantu Elena mengerjakan sebuah laporan penelitian. Al tak bisa berhenti memikirkannya. Pasalnya, dirinya pernah satu kali berada dalam kelompok Maria. Dan berakhir namanya dicoreng, ia tak mendapat nilai kelompok, dan berakhir di ruang guru. Itu kronologis yang harusnya Elena rasakan, namun kini? “Bisa gila aku saat memikirkannya!” erangnya kesal. Memangnya apa yang sudah Elena lakukan untuk Maria? Tiba-tiba ia terpikirkan suatu hal, “Pasti kini Elena tahu jika Maria adalah salah satu anak asuh di Panti Asuhan kuno itu,” gumamnya. Srrt! Al ambil ponselnya dan mengirim pesan padanya.‘Elena.’‘Apa?’‘Apa kau tahu jika Maria adalah anak asuh di Panti Asuhan kuno itu?’‘Ya, kenapa memangnya?’‘Kenapa katamu? Hei, itu aneh sekali kan?’‘Apanya yang aneh?’
Maria bisa menebaknya. Rumah besar dan megah yang berada di atas bukit. “Kau berbohong, ya?” tanya Maria tanpa menoleh pada Al. “Apa?” balas Al bertanya. Maria menoleh, “Memangnya ada taksi yang mau mengantar sejauh ini? Dia pasti sopir pribadimu.” Mendengar jawaban Maria yang sangat sempurna membuat Al tertawa terbahak-bahak. Sesampainya disana, keduanya turun dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan pintu berkunci kode. Sama seperti yang Maria pikirkan, sangat sunyi. “Hanya tinggal bersama ayah?” tanya Maria membuat Al kesal lantaran menyebut sosok ‘ayah’. “Kau disini bukan untuk mengetahui hidupku.” Sontak Maria membalas ketus, “Apa salahnya untuk mengetahui kehidupan partnerku?” Al berbalik badan menghadap Maria, “Rupanya partnerku ini tengah mencurigaiku.” Maria tertawa hambar menatapnya, “Lagipula untuk apa mempercayaimu, sialan.” Setelah mengatakan sekaligus mengumpat, Maria mendahului sang pemilik ru
“Ingat, disini kau hanya mendengarkanku.” Al memahami cara gadis itu mengingatkannya untuk tak mencampuri urusan hidupnya. Toh, ia juga tak tertarik untuk ikut campur. “Hari itu datang tepat ketika aku memasuki sekolah ini.” 3 years ago. Hari itu dimulai dengan cuaca yang terik membakar seluruh kulit peseta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dan gadis pucat dengan rambutnya yang dikucir kuda mulai tak tahan. Ia benar-benar ingin pingsan disana. “Jangan membuat masalah di hari pertamamu, Maria!” tegas Maria pada dirinya sendiri. Tuk! Tuk! Astaga naga! Maria terkejut bukan main karena hanya dirinya yang berada di barisan paling belakang. Siapa? Maria mulai menoleh. Oh god! Apa dia melakukan kesalahan kali ini? Pikir Maria tak karuan melihat senior berada di belakangnya. Kala itu Maria tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terik mat
Maria, si jenius yang hari ini terlihat muram. Ia yang datang saat pelajaran pertama dimulai jelas menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Melihat seluruh siswa di kelasnya yang memperhatikannya membuatnya merasa terancam. Ia tak tahu yang mana satu yang telah mengambil ponselnya. Yang mana satu yang menjadi ancaman terbesarnya. Ia tak boleh terlihat lengah, begitu pikirnya. Yang membuatnya kini kembali tampak normal adalah apabila ia terlihat lengah, disanalah celahnya. “Maria?” tunjuk Mrs. Helen. Ia tersadar seketika dan terdiam memandang Mrs. Helen. Mrs. Helen mengernyit, “Are you okay?”. Rautnya kembali mendingin, “I am okay.” Tak ada yang bisa Mrs. Helen katakan lagi. Mrs. Helen hanya melanjutkan materinya. Walau tampak baik-baik saja, Al dapat melihatnya. Kelemahan itu ada di tangannya, bagaimana bisa ia tak melihatnya pada sang target? “Ckckck,
Jenius SMA Ki Hajar Dewantara tengah menghabiskan jam bebas belajarnya di perpustakaan. Hanya tempat itu yang membuatnya tenang. Drrt! Ponselnya bergetar, ternyata sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi. ‘Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara.’ Seringai kecil terukir di wajah mungil gadis itu. ‘Accepted.’ Ya, dia memencet tombol itu. Lalu, muncul sebuah notifikasi baru yang bertuliskan, ‘Permintaan klien diterima.’ Kini, ia menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan tempat ternyamannya. Gadis itu kembali ke kelasnya. Dengan kembalinya dia ke kelasnya saat sudah masuk jam istirahat membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak peduli. Al yang menatapnya tajam bersungut pun ia tak peduli, karena tak mungkin anak itu akan menghajarnya. Diluar dirinya adalah perempuan, di kelas ini terdapat banyak CCTV dan para penggemarnya yang kembali membutuhkannya.
Aneh sekali jika seorang Maria Athena membantu Elena mengerjakan sebuah laporan penelitian. Al tak bisa berhenti memikirkannya. Pasalnya, dirinya pernah satu kali berada dalam kelompok Maria. Dan berakhir namanya dicoreng, ia tak mendapat nilai kelompok, dan berakhir di ruang guru. Itu kronologis yang harusnya Elena rasakan, namun kini? “Bisa gila aku saat memikirkannya!” erangnya kesal. Memangnya apa yang sudah Elena lakukan untuk Maria? Tiba-tiba ia terpikirkan suatu hal, “Pasti kini Elena tahu jika Maria adalah salah satu anak asuh di Panti Asuhan kuno itu,” gumamnya. Srrt! Al ambil ponselnya dan mengirim pesan padanya.‘Elena.’‘Apa?’‘Apa kau tahu jika Maria adalah anak asuh di Panti Asuhan kuno itu?’‘Ya, kenapa memangnya?’‘Kenapa katamu? Hei, itu aneh sekali kan?’‘Apanya yang aneh?’
“Yohan, kau benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ucap Maria tak beranjak dari tempatnya. Hal itu membuat Yohan tersentak kaget, “Benarkah?” tanyanya masih tak percaya. Anggukan Maria pun masih tak membuatnya percaya. Yohan pikir itu hanya akal-akalan Maria saja untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Tapi, “Untuk apa juga aku menyelamatkanmu? Memangnya aku ada urusan denganmu?” celetuk Maria membuat semua tersadar. Benar-benar salah berurusan dengan gadis ini. Bahkan Rivaldy, Elena, dan Al pun tak bisa menahan Yohan lagi. Dengan penuh kebingungan, Yohan akhirnya pergi dari sana. Maria yang juga tak lagi memiliki urusan disana memutuskan untuk pergi. “Hei, Maria.” Panggilan itu membuat Maria terhenti dan membalikkan badan. Rivaldy berdiri dan berjalan ke arahnya. “Kau sudah membuat mentor kami pergi, tuh.” Celetuk Rivaldy yang sangat menyebalkan, padahal sud
Jam pelajaran ketiga telah usai. “Bu Rai, apa ini tidak terlalu banyak?” protes salah satu siswa Kelas Bahasa. Mata bulat Bu Rai tersenyum di balik kacamata perseginya, “Hanya sebuah penelitian, kan?” Siswa itu menghela nafas panjang dan kembali ke kelompoknya. “Ah~ Bu Rai takkan memberi keringanan,” ucap siswa itu kepada teman-teman sekelompoknya. Sama seperti dirinya, teman-temannya juga mengeluh dibuatnya. Bu Rai meninggalkan kelas itu dengan senyuman yang sama tetap terukir di wajahnya. “Oh, oh, mereka sudah kembali,” bisik para murid melihat trio berandalan itu kembali ke kelas. Aneh. Mereka bertiga terlihat aneh. Keanehan itu dapat para murid rasakan karena entah apa yang terjadi di ruang konseling, namun itu membuat ketiganya terdiam membisu saat ini. Penasaran, salah satu siswi yang selalu menempel pada Al mulai mendekatinya. “Ada apa, Al? Ken
Sebenarnya, yang kami lakukan ini semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Dunia ini terlalu kejam, ya? Bagaimana bisa membuat murid Sekolah Menengah Atas seperti kami dipaksa mencari uang? Jika telah menikmati pekerjaan ini, apa semuanya menjadi salah kami lagi?Ssstt! Tiba-tiba saja, seluruh kelas menjadi sangat hening. Suara sepatu berhak tinggi, suara penggaris besi yang sengaja diseret, dan juga siulan merdu dari opera ke-20 milik Tchaikovsky yang berjudul ‘Swan Lake’ yang berhasil membangunkan bulu kuduk seluruh siswa tahun kedua terdengar jelas dari arah lorong. Takkan ada yang tahu kemana tujuan akhir suara-suara itu. Yang pasti, mereka tahu jika ada tiga orang yang akan masuk ke salah satu kelas mereka. Bagi kelas manapun yang akan menjadi destinasi akhir mereka bertiga, maka bersiaplah untuk menjadi kelas selebritas saat jam istirahat pertama. Hening. Tiba-tiba saja menjadi sangat hening bagi k