Maria, si jenius yang hari ini terlihat muram. Ia yang datang saat pelajaran pertama dimulai jelas menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Melihat seluruh siswa di kelasnya yang memperhatikannya membuatnya merasa terancam. Ia tak tahu yang mana satu yang telah mengambil ponselnya. Yang mana satu yang menjadi ancaman terbesarnya.
Ia tak boleh terlihat lengah, begitu pikirnya. Yang membuatnya kini kembali tampak normal adalah apabila ia terlihat lengah, disanalah celahnya.
“Maria?” tunjuk Mrs. Helen.
Ia tersadar seketika dan terdiam memandang Mrs. Helen. Mrs. Helen mengernyit, “Are you okay?”. Rautnya kembali mendingin, “I am okay.” Tak ada yang bisa Mrs. Helen katakan lagi. Mrs. Helen hanya melanjutkan materinya. Walau tampak baik-baik saja, Al dapat melihatnya. Kelemahan itu ada di tangannya, bagaimana bisa ia tak melihatnya pada sang target?
“Ckckck, gadis yang licik.” Hari ini pun, Al memperhatikannya. Berbeda dari yang sebelumnya yang membuat Maria menjadi ancamannya, kini malah dirinya sendiri yang menjadi ancaman terbesar bagi Maria.
Kembali ke malam Al membajak ponsel Maria. Ia tak dapat berkata apapun selain tertawa kesal. “Bagaimana bisa ia tak terendus pihak sekolah? Apa karena label ‘sang jenius’ yang dimilikinya? Woah! Menyebalkan, ya?” gerutunya sepanjang malam yang dihabiskan untuk membajak ponsel Maria. Hanya satu yang tak ia pahami, “Sejenius apapun dia, aku yakin hanya dalam bidang akademis. Pertanyaannya, bagaimana bisa ia terjerumus ke dalam sini?” Itulah pertanyaan Al setelah menelusuri lebih jauh sebuah aplikasi yang Maria gunakan.
Ia hanya sedang menunggu. Menunggu jawaban Maria atas pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh orangnya sendiri. Kriing! Dan inilah waktunya, jam istirahat.
“Rivaldy Archer, Alan Kevin, dan juga Elena Yohanes. Kembalikan kamus-kamus yang telah teman-teman kalian gunakan.” Perintah Mrs. Helen yang langsung dibantah Elena pedas, “Mereka yang menggunakanya, kenapa harus kami yang mengembalikannya?”
Balasan itu terasa sia-sia ketika Rivaldy berdiri dan mulai mengumpulkan kamus-kamus itu. “Hei!” kesal Elena membuat Rivaldy menatapnya tajam, “Kita semua dalam masa percobaan, jangan meracau apalagi menyusahkan.”
Deg!
Pedas sekali, itu membuatnya terpaksa melakukan apa yang Mrs. Helen perintahkan. Mrs. Helen mengangguk. “Bukannya Maria Athena juga harus melakukannya, Mrs. Helen?” celetuk seseorang membuat Mrs. Helen dan Maria menoleh ke arahnya.
Alan Kevin, ternyata inilah waktu yang ditunggu-tunggu dirinya untuk beraksi. “Kenapa? Aku tak bodoh seperti kalian.” Celetuk Maria yang tak terasa menyakitkan lagi bagi Al. “Benar! Kau memang tak pernah bodoh, Maria. Hanya sedikit egois karena tak mau dihukum padahal sudah jelas kau terlambat masuk ke dalam kelas.” Hantaman yang sangat keras, bahkan Maria tak menyangka jika Al akan mengatakan hal seberani itu padanya setelah hari memalukannya kemarin. “Cih,” decak kesal Maria yang langsung berdiri dan ikut mengumpulkan kamus-kamus itu. Tentu Al meyeringai melihatnya, ini sesuai dengan rencananya.
Setelah mengembalikan kamus-kamus itu, Maria kembali dibuat kesal karena pertanyaan Elena yang tiada habisnya serta bujukan-bujukan yang sangat membuatnya risih. “Kau berisik sekali, sih! Kau pikir kita sedekat itu hanya karena aku mengajarimu? Ingat ini. Kau itu menyedihkan, cukup sampai hari itu saja aku mengasihanimu.”
Itu tetap terasa meyakitkan bagi Elena karena tak berada di posisi Al yang bisa membalasnya. Dalam keheningan Elena, hanya harapan untuk memberi pelajaran pada Maria datang. Andai saja ia merasakan ucapannya sendiri, itu sangat menyenangkan bagi Elena. Kling!
Ponsel itu berbunyi disaat yang tepat bagi Al. Al segera pamit pada mereka, “Ops! Aku ada janji temu, sampai bertemu kembali.” Ia langsung pergi begitu saja meninggalkan ketiganya. Tiga orang yang salah satunya tengah terdiam membeku, tangannya yang berkeringat, dan matanya yang bergetar terbelalak. Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk mengejar Al.
Di ruang tata tertib, Mrs. Helen kembali dengan lelah. “Hah …” helanya panjang sambil bersandar di kursinya. Mr. Sam yang melihatnya penasaran, “Apa yang membuatmu selelah ini, Helen?” tanyanya. Tetap pada posisinya, Mrs. Helen bahkan memejamkan matanya, “Entahlah, hari ini terasa melelahkan bagiku.”
“Apa anak-anak mulai bertingkah?” Pertanyaan Mr. Sam yang langsung dibalas gelengan oleh Mrs. Helen, “Aku sudah terbiasa akan hal itu, tapi tadi lebih parah dibandingkan kenakalan mereka!” kesal Mrs. Helen.
Mr. Sam mengernyit. Mrs. Helen membenarkan posisi duduknya, “Kelambanan mereka dalam memahami pola kalimat bahasa asing itu sungguh menyebalkan, Sam! Bagaimana bisa siswa-siswi tahun kedua tak tahu maksud dari ‘to be’ dalam kalimat?!” ujar Mrs. Helen kesal. Tawa Mr. Sam membuat Mrs. Helen semakin kesal dan pening.
“Beruntungnya kau masih memiliki si jenius itu di kelasmu. Bayangkan saja, di kelasku … tidak! Di kelas manapun tak ada murid sejenius itu!” ungkap Mr. Sam. “Itu memang benar, tapi … aku tidak yakin jika hari ini dia baik-baik saja.”
Mr. Sam yang ingin mendengarnya lebih banyak pun mendekat ke meja Mrs. Helen. “Apa yang terjadi?” tanyanya. Ada keraguan terpancar, “Dia telat masuk ke kelasku, lalu saat aku menunjuknya untuk menjawab, ia berkata jika kenapa harus dirinya?” ungkap Mrs. Helen. “Hah?” heran Mr. Sam yang tak dapat disembunyikan. “Parahnya, ia berkata bahwa aku pasti tahu jika ia dapat menjawabnya dengan benar lalu kenapa masih memberikannya pertanyaan.” Bahkan Mr. Sam yang hanya mendengarkannya pun tersentak tak percaya.
“Aku tak tahu jika dia sesombong itu.” Kekesalan Mr. Sam disanggah seketika oleh Mrs. Helen yang sangat menyayangi siswa-siswinya. “Hei, kau tak tahu wanita jika sedang dalam masa periodenya? Ia akan sangat sensitif.”
Tetap saja, bagi Mr. Sam itu sangat menyebalkan.
Dan gadis yang tak tampak seperti biasanya itu kini mulai mencari Al yang menuju gudang belakang. Kling! Suara notifikasi yang sangat familiar di telinga Maria itu terdengar kembali. “Dia ada disini.” Begitu gumam Maria yang masih mencari keberadaan Al.
“Oh, hai Maria!” sapa Al yang duduk santai di atas meja-meja tak terpakai. Ancamannya ada di depan mata, “Ah, ternyata kau.” Al tak merasa bersalah, bahkan menikmatinya. “Ya?” tanyanya menyebalkan.
“Bukankah katamu kau ada janji temu, ya? Haha.” Balasan Maria yang tak berarti pada Al. Al mengangguk, “Ya, denganmu.” Maria menghampirinya dan akan mengambil ponselnya. Sst!
“Eits, jika semudah itu kenapa aku harus membawamu jauh-jauh kemari?” ejek Al menggoda. “Kau mau kulaporkan atas tuduhan pencurian?” ancam Maria. Al menahan tawanya, “Bagaimana denganmu? Pencurian soal? Ah! Jual beli soal dan jawaban ujian? Apa itu kurang, ya?” tanya Al membuat Maria tak berani untuk menatap matanya. Al menjadi sedih karena Maria secepat itu merasakan kekalahan, ia mengangkat dagu Maria untuk kembali mendongak. “Aku yakin kau pasti terlibat organisasi besar yang illegal diluar sana, Maria …” lirih Al.
Plak! Maria menepis kasar tangan Al yang menopang dagunya. “Memangnya kenapa?! Kau mau membantuku keluar?!” kesal Maria terlihat putus asa. Al menggeleng cepat lalu tertawa, “Kenapa harus membantumu keluar? Apa keuntungan yang kudapatkan, Maria?! Haha!” balasnya lega.
“Sialan.”
Al turun dari tempatnya, lalu merangkul Maria. “Bagaimana jika kau membuatku juga bergabung?” tanya Al yang membuat Maria shock. “Kau gila?! Bagaimana bisa—“
“Aku tak peduli masalahmu, sialan! Yang penting kau harus membuatku masuk dan mendapatkan uang, sama sepertimu!” tegas Al. Maria menyerah, “Kau tak bisa masuk.” Al yang kesal mendengarnya pun mendorongnya, “Kau mencoba meremehkanku, ya?!” kesalnya.
“Bukan begitu.” Melihat Maria yang mulai terlihat lemah, Al ingin mendengarkan penjelasannya.
“Tak sembarang orang yang bisa masuk.”
“Cih!” decak Al kesal. Sampai akhir pun jawaban Maria terdengar mengesalkan. Ia yang mulanya membelakangi Maria karena kesal, mulai berbalik badan. Plak! Srrt!
Maria berhasil mengambil ponselnya. Murka, Al menatapnya tajam. “Apa kau merasa menang?” dinginnya. Maria menyeringai, “Kau tak punya bukti kan sekarang? Untuk apa aku bekerja sama dengan orang bodoh yang mengalihkan pandangannya saat bertarung? Bodoh.”
“Kau mengejekku, ya?” tanya Al kesal.
“Kau pantas mendapatkannya.”
Murka, Al mengeluarkan ponselnya. “Mati.” Kalimat yang tak Maria pahami karena Al seperti mengetik di ponselnya lalu melihat ponsel miliknya juga. Maria melihat ponselnya yang mati dan mencoba menghidupkannya, tak bisa.
“Menyala.”
Lagi-lagi Al meracau hal yang tak ia pahami dan bersamaan dengan itu ponselnya menyala kembali. “Mati.” Ponselnya ikut mati bersamaan dengan Al mengucapkan hal itu. “Menyala.”
“HENTIKAN!” teriak Maria ketakutan. Al hanya menatapnya dan tersenyum kecil. “Kau pikir aku hanya menyimpan ponselmu setelah mencurinya? Dan kini ada di tanganmu, apa semudah itu alurnya?” tanya Al membuat Maria memahaminya.
Ponselnya telah dibajak. “Aku tak butuh informasi selain caramu bergabung di aplikasi itu, sialan.” Ungkap Al tajam. Tak ada cara lain lagi, Maria benar-benar menyerah. Tak ada yang bisa dirinya lakukan kini.
“Itu adalah organisasi para preman yang berkedok beasiswa.”
Cerita gadis jenius yang terjerumus ke organisasi illegal karena terpuruk akan kondisi ekonomi yang sulit pun dimulai.
“Ingat, disini kau hanya mendengarkanku.” Al memahami cara gadis itu mengingatkannya untuk tak mencampuri urusan hidupnya. Toh, ia juga tak tertarik untuk ikut campur. “Hari itu datang tepat ketika aku memasuki sekolah ini.” 3 years ago. Hari itu dimulai dengan cuaca yang terik membakar seluruh kulit peseta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dan gadis pucat dengan rambutnya yang dikucir kuda mulai tak tahan. Ia benar-benar ingin pingsan disana. “Jangan membuat masalah di hari pertamamu, Maria!” tegas Maria pada dirinya sendiri. Tuk! Tuk! Astaga naga! Maria terkejut bukan main karena hanya dirinya yang berada di barisan paling belakang. Siapa? Maria mulai menoleh. Oh god! Apa dia melakukan kesalahan kali ini? Pikir Maria tak karuan melihat senior berada di belakangnya. Kala itu Maria tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terik mat
Maria bisa menebaknya. Rumah besar dan megah yang berada di atas bukit. “Kau berbohong, ya?” tanya Maria tanpa menoleh pada Al. “Apa?” balas Al bertanya. Maria menoleh, “Memangnya ada taksi yang mau mengantar sejauh ini? Dia pasti sopir pribadimu.” Mendengar jawaban Maria yang sangat sempurna membuat Al tertawa terbahak-bahak. Sesampainya disana, keduanya turun dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan pintu berkunci kode. Sama seperti yang Maria pikirkan, sangat sunyi. “Hanya tinggal bersama ayah?” tanya Maria membuat Al kesal lantaran menyebut sosok ‘ayah’. “Kau disini bukan untuk mengetahui hidupku.” Sontak Maria membalas ketus, “Apa salahnya untuk mengetahui kehidupan partnerku?” Al berbalik badan menghadap Maria, “Rupanya partnerku ini tengah mencurigaiku.” Maria tertawa hambar menatapnya, “Lagipula untuk apa mempercayaimu, sialan.” Setelah mengatakan sekaligus mengumpat, Maria mendahului sang pemilik ru
Sebenarnya, yang kami lakukan ini semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Dunia ini terlalu kejam, ya? Bagaimana bisa membuat murid Sekolah Menengah Atas seperti kami dipaksa mencari uang? Jika telah menikmati pekerjaan ini, apa semuanya menjadi salah kami lagi?Ssstt! Tiba-tiba saja, seluruh kelas menjadi sangat hening. Suara sepatu berhak tinggi, suara penggaris besi yang sengaja diseret, dan juga siulan merdu dari opera ke-20 milik Tchaikovsky yang berjudul ‘Swan Lake’ yang berhasil membangunkan bulu kuduk seluruh siswa tahun kedua terdengar jelas dari arah lorong. Takkan ada yang tahu kemana tujuan akhir suara-suara itu. Yang pasti, mereka tahu jika ada tiga orang yang akan masuk ke salah satu kelas mereka. Bagi kelas manapun yang akan menjadi destinasi akhir mereka bertiga, maka bersiaplah untuk menjadi kelas selebritas saat jam istirahat pertama. Hening. Tiba-tiba saja menjadi sangat hening bagi k
Jam pelajaran ketiga telah usai. “Bu Rai, apa ini tidak terlalu banyak?” protes salah satu siswa Kelas Bahasa. Mata bulat Bu Rai tersenyum di balik kacamata perseginya, “Hanya sebuah penelitian, kan?” Siswa itu menghela nafas panjang dan kembali ke kelompoknya. “Ah~ Bu Rai takkan memberi keringanan,” ucap siswa itu kepada teman-teman sekelompoknya. Sama seperti dirinya, teman-temannya juga mengeluh dibuatnya. Bu Rai meninggalkan kelas itu dengan senyuman yang sama tetap terukir di wajahnya. “Oh, oh, mereka sudah kembali,” bisik para murid melihat trio berandalan itu kembali ke kelas. Aneh. Mereka bertiga terlihat aneh. Keanehan itu dapat para murid rasakan karena entah apa yang terjadi di ruang konseling, namun itu membuat ketiganya terdiam membisu saat ini. Penasaran, salah satu siswi yang selalu menempel pada Al mulai mendekatinya. “Ada apa, Al? Ken
“Yohan, kau benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ucap Maria tak beranjak dari tempatnya. Hal itu membuat Yohan tersentak kaget, “Benarkah?” tanyanya masih tak percaya. Anggukan Maria pun masih tak membuatnya percaya. Yohan pikir itu hanya akal-akalan Maria saja untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Tapi, “Untuk apa juga aku menyelamatkanmu? Memangnya aku ada urusan denganmu?” celetuk Maria membuat semua tersadar. Benar-benar salah berurusan dengan gadis ini. Bahkan Rivaldy, Elena, dan Al pun tak bisa menahan Yohan lagi. Dengan penuh kebingungan, Yohan akhirnya pergi dari sana. Maria yang juga tak lagi memiliki urusan disana memutuskan untuk pergi. “Hei, Maria.” Panggilan itu membuat Maria terhenti dan membalikkan badan. Rivaldy berdiri dan berjalan ke arahnya. “Kau sudah membuat mentor kami pergi, tuh.” Celetuk Rivaldy yang sangat menyebalkan, padahal sud
Aneh sekali jika seorang Maria Athena membantu Elena mengerjakan sebuah laporan penelitian. Al tak bisa berhenti memikirkannya. Pasalnya, dirinya pernah satu kali berada dalam kelompok Maria. Dan berakhir namanya dicoreng, ia tak mendapat nilai kelompok, dan berakhir di ruang guru. Itu kronologis yang harusnya Elena rasakan, namun kini? “Bisa gila aku saat memikirkannya!” erangnya kesal. Memangnya apa yang sudah Elena lakukan untuk Maria? Tiba-tiba ia terpikirkan suatu hal, “Pasti kini Elena tahu jika Maria adalah salah satu anak asuh di Panti Asuhan kuno itu,” gumamnya. Srrt! Al ambil ponselnya dan mengirim pesan padanya.‘Elena.’‘Apa?’‘Apa kau tahu jika Maria adalah anak asuh di Panti Asuhan kuno itu?’‘Ya, kenapa memangnya?’‘Kenapa katamu? Hei, itu aneh sekali kan?’‘Apanya yang aneh?’
Jenius SMA Ki Hajar Dewantara tengah menghabiskan jam bebas belajarnya di perpustakaan. Hanya tempat itu yang membuatnya tenang. Drrt! Ponselnya bergetar, ternyata sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi. ‘Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara.’ Seringai kecil terukir di wajah mungil gadis itu. ‘Accepted.’ Ya, dia memencet tombol itu. Lalu, muncul sebuah notifikasi baru yang bertuliskan, ‘Permintaan klien diterima.’ Kini, ia menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan tempat ternyamannya. Gadis itu kembali ke kelasnya. Dengan kembalinya dia ke kelasnya saat sudah masuk jam istirahat membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak peduli. Al yang menatapnya tajam bersungut pun ia tak peduli, karena tak mungkin anak itu akan menghajarnya. Diluar dirinya adalah perempuan, di kelas ini terdapat banyak CCTV dan para penggemarnya yang kembali membutuhkannya.
Maria bisa menebaknya. Rumah besar dan megah yang berada di atas bukit. “Kau berbohong, ya?” tanya Maria tanpa menoleh pada Al. “Apa?” balas Al bertanya. Maria menoleh, “Memangnya ada taksi yang mau mengantar sejauh ini? Dia pasti sopir pribadimu.” Mendengar jawaban Maria yang sangat sempurna membuat Al tertawa terbahak-bahak. Sesampainya disana, keduanya turun dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan pintu berkunci kode. Sama seperti yang Maria pikirkan, sangat sunyi. “Hanya tinggal bersama ayah?” tanya Maria membuat Al kesal lantaran menyebut sosok ‘ayah’. “Kau disini bukan untuk mengetahui hidupku.” Sontak Maria membalas ketus, “Apa salahnya untuk mengetahui kehidupan partnerku?” Al berbalik badan menghadap Maria, “Rupanya partnerku ini tengah mencurigaiku.” Maria tertawa hambar menatapnya, “Lagipula untuk apa mempercayaimu, sialan.” Setelah mengatakan sekaligus mengumpat, Maria mendahului sang pemilik ru
“Ingat, disini kau hanya mendengarkanku.” Al memahami cara gadis itu mengingatkannya untuk tak mencampuri urusan hidupnya. Toh, ia juga tak tertarik untuk ikut campur. “Hari itu datang tepat ketika aku memasuki sekolah ini.” 3 years ago. Hari itu dimulai dengan cuaca yang terik membakar seluruh kulit peseta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dan gadis pucat dengan rambutnya yang dikucir kuda mulai tak tahan. Ia benar-benar ingin pingsan disana. “Jangan membuat masalah di hari pertamamu, Maria!” tegas Maria pada dirinya sendiri. Tuk! Tuk! Astaga naga! Maria terkejut bukan main karena hanya dirinya yang berada di barisan paling belakang. Siapa? Maria mulai menoleh. Oh god! Apa dia melakukan kesalahan kali ini? Pikir Maria tak karuan melihat senior berada di belakangnya. Kala itu Maria tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terik mat
Maria, si jenius yang hari ini terlihat muram. Ia yang datang saat pelajaran pertama dimulai jelas menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Melihat seluruh siswa di kelasnya yang memperhatikannya membuatnya merasa terancam. Ia tak tahu yang mana satu yang telah mengambil ponselnya. Yang mana satu yang menjadi ancaman terbesarnya. Ia tak boleh terlihat lengah, begitu pikirnya. Yang membuatnya kini kembali tampak normal adalah apabila ia terlihat lengah, disanalah celahnya. “Maria?” tunjuk Mrs. Helen. Ia tersadar seketika dan terdiam memandang Mrs. Helen. Mrs. Helen mengernyit, “Are you okay?”. Rautnya kembali mendingin, “I am okay.” Tak ada yang bisa Mrs. Helen katakan lagi. Mrs. Helen hanya melanjutkan materinya. Walau tampak baik-baik saja, Al dapat melihatnya. Kelemahan itu ada di tangannya, bagaimana bisa ia tak melihatnya pada sang target? “Ckckck,
Jenius SMA Ki Hajar Dewantara tengah menghabiskan jam bebas belajarnya di perpustakaan. Hanya tempat itu yang membuatnya tenang. Drrt! Ponselnya bergetar, ternyata sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi. ‘Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara.’ Seringai kecil terukir di wajah mungil gadis itu. ‘Accepted.’ Ya, dia memencet tombol itu. Lalu, muncul sebuah notifikasi baru yang bertuliskan, ‘Permintaan klien diterima.’ Kini, ia menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan tempat ternyamannya. Gadis itu kembali ke kelasnya. Dengan kembalinya dia ke kelasnya saat sudah masuk jam istirahat membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak peduli. Al yang menatapnya tajam bersungut pun ia tak peduli, karena tak mungkin anak itu akan menghajarnya. Diluar dirinya adalah perempuan, di kelas ini terdapat banyak CCTV dan para penggemarnya yang kembali membutuhkannya.
Aneh sekali jika seorang Maria Athena membantu Elena mengerjakan sebuah laporan penelitian. Al tak bisa berhenti memikirkannya. Pasalnya, dirinya pernah satu kali berada dalam kelompok Maria. Dan berakhir namanya dicoreng, ia tak mendapat nilai kelompok, dan berakhir di ruang guru. Itu kronologis yang harusnya Elena rasakan, namun kini? “Bisa gila aku saat memikirkannya!” erangnya kesal. Memangnya apa yang sudah Elena lakukan untuk Maria? Tiba-tiba ia terpikirkan suatu hal, “Pasti kini Elena tahu jika Maria adalah salah satu anak asuh di Panti Asuhan kuno itu,” gumamnya. Srrt! Al ambil ponselnya dan mengirim pesan padanya.‘Elena.’‘Apa?’‘Apa kau tahu jika Maria adalah anak asuh di Panti Asuhan kuno itu?’‘Ya, kenapa memangnya?’‘Kenapa katamu? Hei, itu aneh sekali kan?’‘Apanya yang aneh?’
“Yohan, kau benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ucap Maria tak beranjak dari tempatnya. Hal itu membuat Yohan tersentak kaget, “Benarkah?” tanyanya masih tak percaya. Anggukan Maria pun masih tak membuatnya percaya. Yohan pikir itu hanya akal-akalan Maria saja untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Tapi, “Untuk apa juga aku menyelamatkanmu? Memangnya aku ada urusan denganmu?” celetuk Maria membuat semua tersadar. Benar-benar salah berurusan dengan gadis ini. Bahkan Rivaldy, Elena, dan Al pun tak bisa menahan Yohan lagi. Dengan penuh kebingungan, Yohan akhirnya pergi dari sana. Maria yang juga tak lagi memiliki urusan disana memutuskan untuk pergi. “Hei, Maria.” Panggilan itu membuat Maria terhenti dan membalikkan badan. Rivaldy berdiri dan berjalan ke arahnya. “Kau sudah membuat mentor kami pergi, tuh.” Celetuk Rivaldy yang sangat menyebalkan, padahal sud
Jam pelajaran ketiga telah usai. “Bu Rai, apa ini tidak terlalu banyak?” protes salah satu siswa Kelas Bahasa. Mata bulat Bu Rai tersenyum di balik kacamata perseginya, “Hanya sebuah penelitian, kan?” Siswa itu menghela nafas panjang dan kembali ke kelompoknya. “Ah~ Bu Rai takkan memberi keringanan,” ucap siswa itu kepada teman-teman sekelompoknya. Sama seperti dirinya, teman-temannya juga mengeluh dibuatnya. Bu Rai meninggalkan kelas itu dengan senyuman yang sama tetap terukir di wajahnya. “Oh, oh, mereka sudah kembali,” bisik para murid melihat trio berandalan itu kembali ke kelas. Aneh. Mereka bertiga terlihat aneh. Keanehan itu dapat para murid rasakan karena entah apa yang terjadi di ruang konseling, namun itu membuat ketiganya terdiam membisu saat ini. Penasaran, salah satu siswi yang selalu menempel pada Al mulai mendekatinya. “Ada apa, Al? Ken
Sebenarnya, yang kami lakukan ini semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Dunia ini terlalu kejam, ya? Bagaimana bisa membuat murid Sekolah Menengah Atas seperti kami dipaksa mencari uang? Jika telah menikmati pekerjaan ini, apa semuanya menjadi salah kami lagi?Ssstt! Tiba-tiba saja, seluruh kelas menjadi sangat hening. Suara sepatu berhak tinggi, suara penggaris besi yang sengaja diseret, dan juga siulan merdu dari opera ke-20 milik Tchaikovsky yang berjudul ‘Swan Lake’ yang berhasil membangunkan bulu kuduk seluruh siswa tahun kedua terdengar jelas dari arah lorong. Takkan ada yang tahu kemana tujuan akhir suara-suara itu. Yang pasti, mereka tahu jika ada tiga orang yang akan masuk ke salah satu kelas mereka. Bagi kelas manapun yang akan menjadi destinasi akhir mereka bertiga, maka bersiaplah untuk menjadi kelas selebritas saat jam istirahat pertama. Hening. Tiba-tiba saja menjadi sangat hening bagi k