Sesudah keluar dari gang yang panjang dan berlika-liku, akhirnya aku dan Bu Widya selamat dari kejaran monster tersebut, yeah untung saja tadi aku menemukan sebuah gang sempit, kalau waktu itu aku tidak melihatnya sudah pasti bakal tamat riwayat kami dengan ending dijadikan santapan monster besar itu. Kami berhenti sejenak untuk menstabilkan nafasku. Aku yang sudah mulai hampir kehabisan tenaga karena menggendong Bu Widya pun celinguk ke kanan dan ke kiri dengan waspada untuk melihat situasi.
"Ughh... semoga saja monster tersebut tidak mengejar kita," ucapku sembari memegangi dadaku yang ngos-ngos an.
"Umm, Nak. Lebih baik kita bergegas dari sini ke tempat perlindungan. Firasatku tidak enak, takutnya monster tersebut berhasil menemukan kita," usul Bu Widya dengan raut wajah khawatir.
Aku yang mendengar hal tersebut pun setuju dengan usulan Bu Widya. "Baiklah, lebih baik kita cari bangunan untuk berlindung terlebih dahulu."
Tidak lama setelah kami berjalan, muncul sepucuk atap bangunan di atas pepohonan. "Hey Bu, lihat! Sepertinya di sana ada bangunan yang tidak terpakai." Aku menunjuk atap bangunan yang ada di depannya.
"Ayo kita ke sana untuk istirahat terlebih dahulu, Bu," lanjutku.
"Tapi, Nak. Apa kamu yakin di situ adalah tempat yang aman?" tanya Bu Widya dengan ragu ragu.
"Aman atau tidak, sebenarnya saya kurang tau. Tapi, kalau kita disini terus yang ada monster tersebut akan menemukan kita cepat atau lambat," balasku dengan percaya diri. Yeah, sebenarnya ini lebih baik daripada harus mencari bangunan kesana kemari. Lagian jarang jarang nemu bangunan di tempat mirip hutan kayak gini.
"Hmm, baiklah. Kamu yang pimpin jalannya," ucap Bu Widya tersenyum sambil menepuk punggungku. ‘Ugh kenapa ibu itu mempunyai kebiasaan yang aneh sih, bikin salah paham saja,’ ujarku dalam hati.
Sesaat kemudian kami sampai ke tempat yang ditunjuk oleh Bu Widya. Tempat itu masih bagus dan layak dipakai, mirip hotel. Luar bangunannya banyak kerusakan dan retakan tanah dimana-mana ditambah lagi banyaknya serpihan kaca di depan bangunan tersebut. Aku curiga itu pasti disebabkan oleh ledakan barusan. Melihat di sepanjang jalan banyak bangunan yang sudah menjadi puing-puing.
"Hati-hati Nak, ada banyak sekali pecahan kaca disini," Bu Widya terkejut melihat banyaknya pecahan kaca dimana-mana.
"Tenang saja Bu, saya pakai sepatu kok. Jadi tidak akan terinjak," sahutku sembari melangkahkan kaki ke dalam bangunan tersebut dengan penuh hati-hati.
"Benarkah? Tapi keliatannya yang kamu kenakan itu bukan sepatu," celetuk Bu Widya sambil menatapku dengan penuh selidik. Aku yang merasa ditatap pun hanya tersenyum canggung sembari meneruskan jalannya.
[Di dalam bangunan]
"Uhh… berantakan sekali disini," keluhku sambil berjingkat-jingkat setelah aku melangkahkan kaki ke dalam bangunan yang mirip hotel tersebut. Aku melihat sekeliling untuk mencari tempat yang cocok untuk beristirahat.
“Hey, Nak! Kamu mau kemana?" Bu Widya menatap bingung ke arahku, memang apalagi? tentu saja mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat sebentar. Apakah ibu itu tidak lelah? Hebat juga di usia yang kupikir sudah menyentuh kepala 4−bukannya aku meremehkannya ya, tapi jarang banget ada orang tua yang mampu lari secepat itu dari kejaran monster dan itu selamat pula.
"Ke depan sebentar, Bu. Mau membersihkan tempat supaya kita bisa beristirahat," balasku sembari menyingkirkan beberapa kayu dan sampah-sampah yang berserakan.
Setelah tempat itu bersih, Aku menurunkan Bu Widya di belakang tiang bangunan. Yah, walaupun ada sedikit retakan di bagian tengahnya tapi itu cukup untuk mereka beristirahat selama sepuluh menit.
"Huft, akhirnya kita bisa beristirahat juga, Bu." Aku mengelap keringatku yang mengucur deras seperti orang yang habis mandi. Hah, sudah berapa lama aku tidak berkeringat seperti ini.
"Ini tidak masuk akal!" Aku menatap Bu Widya dengan penuh tanda tanya.
"Kalau saja tidak ada monster itu, sudah pasti kita akan sampai di tempat perlindungan sejak tadi. Lagian, apakah ini masuk akal, Nak? Kenapa bisa di dunia ini ada monster dan makhluk aneh lainnya? Dan apa pula gempa yang tadi itu? Bukannya ini semua tidak masuk akal?" lanjut Bu Widya dengan nada ketus dan juga kebingungan.
"Saya juga sama herannya, Bu. Apakah ini benar benar dunia nyata? Atau ini hanya sekedar mimpi buruk, saya juga tidak tau. Tapi daripada memikirkan hal yang mustahil untuk dijawab saat ini, lebih baik kita pulihkan tenaga kita dan segera pikirkan langkah selanjutnya." Aku menyeletuk sembari meluruskan kakiku yang sudah pegal sedari tadi.
"Huh, kamu ini ditanya malah kayak begitu."
"Maaf?"
"Apa? Dari tadi saya tanya kamu cuman bisa mengelak saja, setidaknya coba kamu kasih penjelasan yang masuk akal walaupun hanya sedikit." Bu widya menyentak, memalingkan muka dariku.
Mendengar hal tersebut, Aku hanya bisa diam tertunduk. Bingung dengan situasi saat ini. Entah bagaimana nasib ibuku saat ini ditambah lagi situasi yang tidak masuk akal yang baru saja terjadi hari ini, yang membuatku hari ini ingin menangis dan menumpahkan seluruh hatinya di pelukan ibuku. Yeah, aku sendiri pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Bu Widya. Melihat Bu Widya yang kesakitan mungkin satu-satunya pelampiasan hanya itu, marah karena alasan sepele yang bahkan aku sendiri pun tau kalau kita berdua sama bingungnya dengan situasi saat ini.
......
Tak lama setelah aku dan Bu Widya beristirahat, terdengar suara raungan yang amat keras dari kejauhan.
"Sial! Monster-nya ternyata tidak cuma satu. Ayo, Bu! Mari bergegas pergi dari sini sebelum para monster menemukan kita!" seruku dengan panik. Namun sialnya saat aku hendak berdiri terlihat di depanku ada seekor monster yang muncul entah darimana asalnya. ‘Duh, kenapa harus sekarang sih?’ pikirku panik.
"Ada ap−" dengan reflek aku langsung membekap mulut si ibu sembari mengisyaratkan untuk diam, bisa gawat kalau kami sampai ketahuan.
"Sstt ... jangan berisik, tetap diam. Ada monster di depan kita," bisikku dengan raut wajah cemas. Untungnya saja monster tersebut tidak bisa melihat kami. Tubuh monster itu kurus dan tingginya sekitar 5 meter dan parahnya lagi dia mempunyai tiga tangan dan dua kaki. Aku curiga kalau itu monster itu merupakan tipe monster dengan kecepatan yang mengikuti arah suara.
Sial, kalau disini terus kita tidak akan bisa bertahan lama. ‘Bagaimana ini? Ayolah berpikir... Sial kurasa tidak ada pilihan lain, di situasi ini mau tak mau aku yang harus menjadi umpan. Uh, apakah ini akhir dari hidupku?’ pikirku dalam perenunganku. Melihat Bu Widya yang sedang menahan kesakitan aku jadi merasa iba, teringat akan ibuku yang selalu memasang wajah tegar di situasi yang sulit. Dan pada akhirnya aku membulatkan tekad untuk melakukan tindakan yang nekat, yang bahkan untuk seumur hidupku tidak akan terulang lagi. Yah, lelaki memang harus berkorban, kan?
Akhirnya setelah beberapa waktu kupikirkan untuk mengumpankan diri−tentu saja dengan strategi−ku pikir inilah saatnya. Saat akhirnya aku menggunakan otakku semaksimal mungkin. Behasil atau tidaknya, kita lihat saja nanti."Bu, biar saya yang akan jadi umpan. Setelah monster itu menjauh ibu bisa lari sekencang mungkin ke sebelah sana." Aku menunjuk ke arah pintu di depan monster tersebut.Bu Widya yang mendengar hal tersebut pun sontak menggelengkan kepala sambil menahan isak tangis. “Tapi, Nak... Bagaimana denganmu?" lirih Bu Widya khawatir."Tidak usah dipikirkan, di situasi seperti ini tidak ada solusi yang sempurna. Tapi gapapa, ibu harus bisa lolos supaya bisa melaporkan ke pihak berwajib, ya." bisikku sembari tersenyum percaya diri. Bu Widya menunduk sedih mendengar perkataanku di depannya itu barusan. Tak lama Bu Widya berpikir−entah apa yang dipikirkannya−dan dia akhirnya mengangguk setuju dengan wajah penuh tekad. "Baiklah, Nak. Kamu harus berhati-hati dan pastikan kamu bisa
POV: Bu WidyaDeg… Deg… Deg… Itulah yang kurasakan ketika monster mengerikan itu melewati diriku. Sensasi tegang menyelimuti atmosfer ruangan di tempatku bersembunyi, begitu mencekam seolah-olah ruangan tersebut akan memangsamu kapan saja. Sementara monster itu terus berjalan kesana-kemari, aku menutup mulut dan hidungku yang entah sampai kapan sembari menunggu monster tersebut pergi. "Ugh, kenapa monster sialan itu belum juga pergi, sih?" rutukku dalam hati.Andai saja jika kejadian ini tidak ada sudah pasti aku sedang bersantai-santai di rumah sembari menunggu anakku tercinta pulang dari sekolahnya. Huft, mau gimana lagi hidup memang tidak bisa ditebak, kan? Baru saja kemarin aku memikirkan bagaimana caranya untuk membayar tagihan air yang belum ku bayar selama satu bulan ini, ehh sekarang malah jadi seperti ini. Dikejar monster mengerikan yang tidak jelas darimana asalnya itu dan harus bersembunyi supaya tidak diterkam olehnya. Memikirkannya saja sudah buat aku bergidik ngeri. Ju
Hell York City, 25 September 2053. Musim gugur telah tiba di awal September, cuaca hari ini segar dan seperti biasa. Selalu dingin. Aku memandang keluar jendela, cuaca hari ini lebih mendung dari biasanya. Aku merasakan ada yang yang tidak beres hari ini. "Hmm... apa karena aku terlalu sensitif hari ini? Ah lupakan saja." Gumamku sembari merapihkan meja kasir. Namaku Alden. Seorang mahasiswa di Universitas kota Hell York. Umurku baru 18 tahun. Aku merupakan anak tunggal. Untuk anak seumuranku, tidak ada yang spesial tentang diriku. Rambutku berwarna hitam, pendek, dan sedikit bergelombang. Karena sedang liburan semester kuliah, tak terhitung berapa kali sudah aku bolak balik dari rumah ke toko untuk mengisi kebosanan yang tak kunjung usai dan yup, bekerja paruh waktu. Pasti kalian bertanya-tanya kenapa aku tidak main dengan temanku seperti anak remaja pada umumnya? Ya, jawabannya karena aku memang tidak memiliki banyak teman. Terlalu banyak teman membuatku lebih cepat lelah dan itu
Suasana di luar sangat kacau, banyak bangunan yang runtuh terutama gedung gedung yang menjulang tinggi. Tidak ada satupun yang tersisa, yang masih tersisa pun cuman ada beberapa yang berdiri dan itupun tidaklah utuh. Aku yang melihat pemandangan tak biasa pun terkesima dengan heran sambil memperhatikan sekelilingku. 'What the hell-, apa yang sebenarnya terjadi disini? Gilaa apa apaan pemandangan ini? Dan kemana perginya semua orang? Uh lebih baik aku telusuri lebih lama lagi,' pikirku sambil memperhatikan jalanan di sekitarku dengan perasaan terkejut, dan takut. Jalanan tampak sepi dan agak tenang, Aku melihat banyak puing bangunan bertebaran dimana-mana, jalanan yang retak, dan mobil yang rusak. Disaat kami sudah menelusuri jalanan cukup lama Aku melihat ada sekumpulan mobil yang cukup bagus (baca : tidak rusak parah). " Ayok bu kita kesana sepertinya ada mobil yang tidak terpakai." Aku menunjuk ke arah sebrang jalan. "T-Tapi nak... itukan bukan mobil kamu," jawab Bu Widya dengan
POV: Bu WidyaDeg… Deg… Deg… Itulah yang kurasakan ketika monster mengerikan itu melewati diriku. Sensasi tegang menyelimuti atmosfer ruangan di tempatku bersembunyi, begitu mencekam seolah-olah ruangan tersebut akan memangsamu kapan saja. Sementara monster itu terus berjalan kesana-kemari, aku menutup mulut dan hidungku yang entah sampai kapan sembari menunggu monster tersebut pergi. "Ugh, kenapa monster sialan itu belum juga pergi, sih?" rutukku dalam hati.Andai saja jika kejadian ini tidak ada sudah pasti aku sedang bersantai-santai di rumah sembari menunggu anakku tercinta pulang dari sekolahnya. Huft, mau gimana lagi hidup memang tidak bisa ditebak, kan? Baru saja kemarin aku memikirkan bagaimana caranya untuk membayar tagihan air yang belum ku bayar selama satu bulan ini, ehh sekarang malah jadi seperti ini. Dikejar monster mengerikan yang tidak jelas darimana asalnya itu dan harus bersembunyi supaya tidak diterkam olehnya. Memikirkannya saja sudah buat aku bergidik ngeri. Ju
Akhirnya setelah beberapa waktu kupikirkan untuk mengumpankan diri−tentu saja dengan strategi−ku pikir inilah saatnya. Saat akhirnya aku menggunakan otakku semaksimal mungkin. Behasil atau tidaknya, kita lihat saja nanti."Bu, biar saya yang akan jadi umpan. Setelah monster itu menjauh ibu bisa lari sekencang mungkin ke sebelah sana." Aku menunjuk ke arah pintu di depan monster tersebut.Bu Widya yang mendengar hal tersebut pun sontak menggelengkan kepala sambil menahan isak tangis. “Tapi, Nak... Bagaimana denganmu?" lirih Bu Widya khawatir."Tidak usah dipikirkan, di situasi seperti ini tidak ada solusi yang sempurna. Tapi gapapa, ibu harus bisa lolos supaya bisa melaporkan ke pihak berwajib, ya." bisikku sembari tersenyum percaya diri. Bu Widya menunduk sedih mendengar perkataanku di depannya itu barusan. Tak lama Bu Widya berpikir−entah apa yang dipikirkannya−dan dia akhirnya mengangguk setuju dengan wajah penuh tekad. "Baiklah, Nak. Kamu harus berhati-hati dan pastikan kamu bisa
Sesudah keluar dari gang yang panjang dan berlika-liku, akhirnya aku dan Bu Widya selamat dari kejaran monster tersebut, yeah untung saja tadi aku menemukan sebuah gang sempit, kalau waktu itu aku tidak melihatnya sudah pasti bakal tamat riwayat kami dengan ending dijadikan santapan monster besar itu. Kami berhenti sejenak untuk menstabilkan nafasku. Aku yang sudah mulai hampir kehabisan tenaga karena menggendong Bu Widya pun celinguk ke kanan dan ke kiri dengan waspada untuk melihat situasi. "Ughh... semoga saja monster tersebut tidak mengejar kita," ucapku sembari memegangi dadaku yang ngos-ngos an. "Umm, Nak. Lebih baik kita bergegas dari sini ke tempat perlindungan. Firasatku tidak enak, takutnya monster tersebut berhasil menemukan kita," usul Bu Widya dengan raut wajah khawatir.Aku yang mendengar hal tersebut pun setuju dengan usulan Bu Widya. "Baiklah, lebih baik kita cari bangunan untuk berlindung terlebih dahulu."Tidak lama setelah kami berjalan, muncul sepucuk atap bangun
Suasana di luar sangat kacau, banyak bangunan yang runtuh terutama gedung gedung yang menjulang tinggi. Tidak ada satupun yang tersisa, yang masih tersisa pun cuman ada beberapa yang berdiri dan itupun tidaklah utuh. Aku yang melihat pemandangan tak biasa pun terkesima dengan heran sambil memperhatikan sekelilingku. 'What the hell-, apa yang sebenarnya terjadi disini? Gilaa apa apaan pemandangan ini? Dan kemana perginya semua orang? Uh lebih baik aku telusuri lebih lama lagi,' pikirku sambil memperhatikan jalanan di sekitarku dengan perasaan terkejut, dan takut. Jalanan tampak sepi dan agak tenang, Aku melihat banyak puing bangunan bertebaran dimana-mana, jalanan yang retak, dan mobil yang rusak. Disaat kami sudah menelusuri jalanan cukup lama Aku melihat ada sekumpulan mobil yang cukup bagus (baca : tidak rusak parah). " Ayok bu kita kesana sepertinya ada mobil yang tidak terpakai." Aku menunjuk ke arah sebrang jalan. "T-Tapi nak... itukan bukan mobil kamu," jawab Bu Widya dengan
Hell York City, 25 September 2053. Musim gugur telah tiba di awal September, cuaca hari ini segar dan seperti biasa. Selalu dingin. Aku memandang keluar jendela, cuaca hari ini lebih mendung dari biasanya. Aku merasakan ada yang yang tidak beres hari ini. "Hmm... apa karena aku terlalu sensitif hari ini? Ah lupakan saja." Gumamku sembari merapihkan meja kasir. Namaku Alden. Seorang mahasiswa di Universitas kota Hell York. Umurku baru 18 tahun. Aku merupakan anak tunggal. Untuk anak seumuranku, tidak ada yang spesial tentang diriku. Rambutku berwarna hitam, pendek, dan sedikit bergelombang. Karena sedang liburan semester kuliah, tak terhitung berapa kali sudah aku bolak balik dari rumah ke toko untuk mengisi kebosanan yang tak kunjung usai dan yup, bekerja paruh waktu. Pasti kalian bertanya-tanya kenapa aku tidak main dengan temanku seperti anak remaja pada umumnya? Ya, jawabannya karena aku memang tidak memiliki banyak teman. Terlalu banyak teman membuatku lebih cepat lelah dan itu