“Mas! Kenapa aku yang jadi penjamin hutang Mas Wildan?” tanya Dirga dengan kemarahan memuncak tapi masih berusaha sabar.“Maaf, Ga. Aku benar benar kebingungan dan tidak tau harus apa. Jadi saat mereka meminta penjamin, aku menyebut nama dan alamatmu. Aku juga memberi mereka fotokopi KTP mu Ga. Maaf aku benar benar terdesak waktu itu dan hanya kamu yang aku ingat.”“Ya Allah Mas. Kok Mas Wildan setega itu? Apa karena aku menghasilkan banyak uang? Mas, uangku hampir habis untuk kuliah Nina, biaya berobat Bapak, dan aku baru beli rumah cash Mas. Uangku sekarang nggak banyak karena aku juga sedang renovasi rumah yang baru kubeli. Percuma Mas Wildan menjadikan aku penjamin, Demi Allah uangku nggak banyak, Mas. Di rekening tinggal beberapa juta untuk menyambung hidup,” jelas Dirga panjang lebar sambil menahan kesal.Dirga ingin sekali meluapkan emosinya tapi ia menahan diri. Baginya Wildan adalah sosok yang sangat ia kagumi. Sejak Dirga kecil, Wildan yang selalu membantu dan menemaninya. A
“Kenapa dia bisa begini?” tanya Rio sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Rio menatap iba ke arah Dirga yang masih berteriak tak terkendali. Kedua tangannya diborgol.Setelah kejadian, Ibu menelepon Farez dan memintanya ke kantor polisi. Farez yang belum lama jadi pengacara segera menghubungi Dillo dan Rio. Saat mereka tiba di kantor polisi, Dirga tengah dikurung sendirian di sel dalam kondisi masih mengamuk memanggil nama Wildan.“Dirga ... Istighfar Nak ... Istighfar ...” Dari luar sel, Ibu terus berusaha menyadarkan Dirga sambil menangis. Rio dan Priska, istrinya langsung menenangkan Ibu, sementara Dillo dan Farez mengurus proses hukum Dirga. Polisi masih belum bisa menginterogasi Dirga karena kondisi mentalnya yang belum stabil.Berjam jam Dirga mengamuk, sampai akhirnya dia tertidur karena kelelahan. Dirga terbangun saat sayup sayup azan subuh berkumandang dari masjid yang letaknya persis di depan kantor polisi. Saat melihat sekeliling, Dirga sadar dirinya berada di dal
“Dirga? Ga? Kamu nggak apa apa?”Suara Farez perlahan lahan terdengar di telinga Dirga. Seketika ingatannya tentang kenangan mengerikan tujuh tahun yang lalu mulai memudar. Dirga melihat sekelilingnya. Dia masih di kantor polisi, Farez duduk di sebelahnya, dan mereka berdua ada di sini karena kejadian tujuh tahun yang lalu terulang lagi dengan versi yang berbeda.“Kamu nggak apa apa? Kamu teringat kejadian tujuh tahun yang lalu ya?” tanya Farez menatap tajam Dirga, memastikan sahabatnya itu baik baik saja. Dirga mengangguk lemah.“Setiap kali mendengar nama Dokter Syarvan, mau nggak mau aku teringat kejadian itu, Rez. Padahal terakhir kali kami bertemu, aku sudah berjanji padanya dan pada diriku sendiri untuk mengubur semua kenangan buruk dan meninggalkan beban itu jauh jauh di belakang,” sahut Dirga sambil menghela nafas.“Kita hanya bisa berdoa, semoga semua baik baik saja,” ujar Farez sambil menepuk bahu Dirga. Keduanya terdiam sambil terpekur menatap garis lantai.“Rez, jaga Dinay
“Naya udah tidur Kak?” tanya Reisha pada Priska dengan suara pelan.“Udah. Kasian dia nangis seharian. Akhirnya capek dan ketiduran. Untung tadi mau makan walaupun sedikit. Kamu juga makan dulu Rei. Seharian belum makan kan?” tanya Priska khawatir.“Iya Kak, aku mandi dulu sebentar ya Kak. Nanti aku makan.”“Ya udah sana mandi dulu. Nanti kita makan sama sama. Aku nungguin Bang Rio tapi kayaknya dia nggak pulang. Barusan telepon katanya mereka bertiga mungkin menginap di rumah Mas Farez. Rumah Mas Farez paling dekat dengan kantor polisi. Malam ini mereka bertiga dan tim lawyer mau meeting lagi,” jelas Priska sambil menghela nafas.“Kak, maaf ya ... Semua orang jadi repot gara gara masalah ini. Makasih banyak ya kak sudah mau menampung aku di rumah ini.”“Ya Allah Reisha. Kamu kok masih ngomong gitu sih? Kan Bang Rio udah bilang, kamu, Dinaya, dan Mas Dirga itu udah kami semua anggap bagian dari keluarga. Bukan cuma aku dan Bang Rio, tapi juga Mas Farez dan Mbak Elga, Mas Dillo dan Mba
“Papaaaa!”“Naya kamu harus sehat. Kalau kamu nggak kuat, papa juga nggak kuat. Kekuatan Papa ada sama kamu sayang. Naya harus sehat ya? Harus kuat, harus kuatkan Papa. Papa sayang Naya ...”Dinaya tak bisa bicara lagi. Hanya isaknya yang terdengar. Dinaya masih terbaring di tempat tidur dengan selang infus tertancap di tangan dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Dokter mengatakan Dinaya terguncang secara psikis dan membuat tubuhnya ikut lemah. Ditambah lagi, sejak Dirga ditahan, Dinaya susah sekali diminta makan dan minum. Akhirnya gadis itu tumbang dan Priska memanggil dokter keluarga untuk memeriksa kondisi Dinaya.Setelah selesai pengobatan, dokter mengatakan Dinaya stress berat dan itu membuat tubuhnya melemah. Itu sebabnya Rio langsung menghubungi Dillo yang sedang berada di kantor polisi. Rio meminta Dillo menemui Dirga dan melakukan panggilan video dengan Dinaya.Baru melihat wajah Dirga di layar ponsel, tangis Dinaya pecah. Dia rindu sekali dengan ayahnya dan sangat kha
“Rei, ini kesempatan terakhirmu, saat nanti memberikan kesaksian, kasih informasi sebaik mungkin. Walaupun kemungkinan besar Dirga akan ditahan,” ujar Farez lirih.“Iya Mas Farez, InsyaaAllah aku hari ini berusaha sebaik mungkin,” sahut Reisha sambil berjalan ke arah tim penyidik yang akan mencatat kesaksiannya.Reisha gugup sekali. Tapi yang membuatnya gugup bukanlah kesaksian terakhirnya kali ini, melainkan tentang rencana yang dikatakan Shelly. Reisha masih belum yakin apakah rencana Shelly ini akan berhasil atau tidak. Tapi yang pasti resikonya besar sekali.Pihak keluarga Rehan pasti akan marah besar dan kalau itu sudah terjadi, entah apa yang akan mereka lakukan untuk membalas dendam. Itu saja sudah membuat Reisha ketakutan. Dia tak ingin semua ini pada akhirnya akan berimbas pada Dirga dan Dinaya.Tapi di sisi lain rencana yang disebutkan Shelly sangatlah masuk akal dan kemungkinan besar bisa membantu kalau memang berjalan lancar sesuai dengan yang mereka prediksi. Sampai saat
“Dia pembunuh Abangku! Abangku cuma ikut tiga temannya nonton bola. Malamnya, Abangku dan teman temannya dikeroyok Rehan dan gerombolannya. Tiga temannya sempat luka parah tapi sekarang sudah sehat, dan Abangku meninggal dunia karena pendarahan di kepala! Kami terpaksa bungkam karena waktu itu adik laki lakiku yang bungsu diancam akan dipukuli juga! Jangan salahkan Dokter itu, memang sudah seharusnya Pak Dokter memukuli Rehan sampai mati karena dia memang biadab!”“Ayahku mantan wasit sepakbola yang harus pensiun dini karena pernah dipukul si Rehan ini. Gara gara pukulannya itu, syaraf mata ayah bermasalah dan harus berhenti bekerja. Padahal keputusan ayah saat pertandingan memang adil. Kejadian itu berakhir damai dan ayah diberikan ganti rugi. Tapi tetap tidak adil. Dia hanya menerima skorsing dua bulan sementara ayahku hampir buta di umurnya yang masih muda. Pak Polisi tolong jangan salahkan Pak Dokter. Rehan memang pantas mati karena dia manusia kejam yang tidak punya otak dan hati
“Kita berhasiiiil! Nayaaaa! Kita berhasiiiil!”“Tapi Shel, kamu pastiin videonya nggak berat sebelah, nggak ada pencemaran nama baik atau fitnah kan? Takutnya pihak korban nuntut kita UU ITE,” ujar Dinaya waspada.“Nggak ada Nay. Aman. Aku kan konsultasi dulu sama kakakku. Dia kan pernah jadi jurnalis TV. Video itu udah dia liat berulang ulang. Dipastikan nggak berat sebelah, nggak membela salah satu pihak, nggak ada fitnah dan pencemaran nama baik, dan nggak ada informasi palsu karena semua info itu aku dapat dari keterangan polisi yang ada di artikel media besar. Di beberapa artikel juga disebutkan nama korban dan pelaku. Jadi ini udah jadi berita umum.”“Alhamdulillah kalau aman. Aku takut aja nanti pihak korban menuntut kita.”“Mudah mudahan sih nggak, Nay. Lagian berita ini udah kesebar dimana mana loh. Banyak yang tiba tiba bikin video yang sama termasuk akun akun berita viral, akun akun informasi kejadian terkini, akun akun media online yang gede gede juga. Terus banyak yang re
“Dia itu anak tirinya adik Mami.”“Hah? Gimana gimana?” tanya Aufa. Dia memang paling benci mengurai silsilah keluarga. Apalagi kalau sudah keluarga jauh yang rumit.“Jadi sebenarnya si Lala itu bukan sepupu langsung. Dia itu anak tirinya adik Mamiku. Jadi, Om Karel itu menikah dengan janda beranak satu. Anak janda itu ya si Lala. Salah satu bisnis Om Karel kan dealer mobil, nah si Tante ini dulu kerja jadi SPG di sana. Entah gimana, Om Karel malah nikahin dia. Hampir seluruh keluarga besar Mami nggak setuju. Bukan karena statusnya yang janda atau profesinya yang SPG, tapi karena kelakuannya ya ampuuun! Nggak banget! Belum apa apa udah keliatan banget matrenya. Oma yang paling nggak setuju. Masa dia ke acara keluarga bajunya kayak LC mau open BO? Nggak punya otak!” cibir Shelly.“Oooh, jadi bukan sepupu kandung. Cuma sepupu karena ikatan pernikahan aja. Syukurlah,” sahut Aufa sambil menghela nafas lega. Tak terbayang kalau Shelly ternyata benar benar sepupu kandung perempuan mengerika
“Hei! Bangun pemalaaaass!”Dinaya masih meringkuk di balik selimutnya yang nyaman dan hangat saat suara melengking nyaring dan sama sekali tak merdu itu tiba tiba merusak suasana. Aufa mendadak muncul dan menarik selimut Dinaya sampai gadis itu mengerang kesal.“Aaaah! Aku masih ngantuk, Fa,” protes Dinaya. Semalam dia tak bisa tidur, dan sehabis sholat subuh, Dinaya memutuskan untuk tidur sebentar dan minta bangunkan Bi Asih jam 9 pagi. Tapi bukannya Bi Asih yang membangunkannya dengan lembut, malah Aufa yang datang dengan teriakan tarzannya.“Anak gadis kok bangunnya siang, ntar jodohnya Om Om loh!” seru Aufa sambil menyibak selimut Dinaya sampai gadis itu terjaga sepenuhnya dan memelototi Aufa.“Sebentar lagi tahun 2025, kamu masih aja percaya mitos nggak masuk akal itu. Nggak ada relevansinya antara kebiasaan bangun siang dengan jodoh, Aufa! Terus kalau aku bangunnya sore jodohnya kakek kakek gitu? Gimana kalau aku bangun jam 3 pagi? Apa jodohku bocah SMP?” bantah Dinaya mematahka
Kalau ditanya kapan saat paling memalukan yang dialami Dinaya, dalam dua detik tanpa pikir panjang, dia pasti akan menjawab : tiga tahun yang lalu!Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12 Desember adalah hari yang ingin sekali dihapus Dinaya dari ingatannya. Kalau bisa selama lamanya. Sayangnya itu mustahil. Manusia punya amygdala, dan fungsi bagian otak yang satu itu adalah mengingat dan menyimpan memory yang berkaitan dengan emosi dan itu tentu saja dalam dalam jangka waktu yang lama. Itu sebabnya Dinaya tak pernah bisa melupakan peristiwa memalukan itu walaupun setengah mati ia mengusirnya.Dan sekarang, manusia yang punya andil paling besar membentuk kejadian memalukan itu ada di hadapannya entah darimana datangnya. Baru beberapa menit Dinaya menginjak bumi setelah terbang 15 jam dari London – Singapore – Jakarta sejauh lebih dari 11.000 km, tiba tiba saja makhluk paling menyebalkan itu berdiri di depannya dengan senyum memuakkannya. Argh!“Baru landing dari pesawat?” tanya lela
“Sayang? Udah tidur?” Dirga memanggil Reisha yang berbaring memunggunginya. Mata Dirga menatap langit langit kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu tidur di sisi meja. Reisha yang belum tidur berbalik menghadap Dirga.“Baru mau tidur Mas. Kenapa? Mas nggak bisa tidur ya? Mas kepikiran sesuatu? Soal Naya ya?” tanya Reisha sambil berbalik menghadap Dirga. Ia kebetulan memang belum tidur.Dirga menghela nafas seolah menyimpan beban pikiran yang benar benar menghimpit dan membuat dadanya sesak. Tebakan Reisha benar, yang memenuhi beban pikiran Dirga memang Dinaya.“Rei, besok Naya pulang ke Jakarta, dan aku entah kenapa takut banget melepas dia,” ujar Dirga jujur.“Yang kamu takutkan apa, Mas?” tanya Reisha meskipun sedikit banyak ia sudah tau jawabannya.“Aku takut Naya ketemu lelaki yang salah. Di Jakarta dia sendirian, Rei. Nggak ada kita yang bisa jagain dan ngawasin dia. Apalagi kondisinya yang sering sakit setelah kecelakaan waktu itu. Tadi aja aku hampir ikut beli tiket ke Jak
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh d
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakaknya
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon