Empat hari telah berlalu semenjak kematian Pak Arga dan Bu Aisyah. Ardan hanya kembali di saat malam, dia bahkan selalu melewatkan acara tahlil di rumah. Karenanya, dia kembali menjadi buah bibir di antara masyarakat. Begitu juga dengan ketidakhadiran Aruna di rumah, yang hanya muncul sekali-kala saja untuk membereskan keperluan baju gantinya selama di rumah sakit, menunggui dua adik kembarnya. Karena semua hal itu, hanya Gavin yang tersisa di rumah untuk mengurus semua keperluan selama berkabung.
''Cing. Ini gak bener... Ardan, gak akan bisa ngurus,'' ujar Tono salah satu sepupu Ardan.
''Maksudnya apa?'' tanya Nenek Halimah dengan ekspresi kesal melihat salah satu keponakannya bersikap kurang sopan karena meninggikan suara kepadanya yang jelas jauh lebih tua darinya.
''Sudah empat malam dia nggak ada di tahlilan. Pan tahlilan 'ni buat abang dia... Cuma dua bersaudara, udah tinggal tahlilnya doang, tapi tetep aja dia nggak peduli,'' jawab Tono dengan nada yang jelas memperlihatkan kalau dia kesal.
''Om Ardan ada urusan Cang...'' sahut Gavin, menekan nada suaranya.
Dia kesal, tapi karena dia jauh lebih muda berusaha untuk tetap bersikap sopan pada para kerabatnya yang jauh lebih tua darinya.
''Urusan apa Vin?!'' seru Rustam menyahut, ''Pengangguran tapi sok sibuk banget...'' tambahnya dengan cibiran yang sangat mengganggu.
''Dari mana encang tahu kalo Om Ardan pengangguran?!'' tukas Gavin bertanya dengan wajah kesal.
Darah muda Gavin bergejolak, dia berusaha menahan emosi tapi sulit di tengah gempuran kata-kata yang menohok perasaan.
''Lah... Vin, sudah banyak yang lihat... Om elu cuma keluyuran gak jelas,'' jawab Rustam balik menyahut dengan nada mulai meninggi. Dia tidak suka melihat ekspresi Gavin yang tampak sedang menantangnya.
''Iya Vin, gue juga pernah liat dia lagi kumpul sama preman-preman di tanjung priok,'' ujar Tono lagi, dia membenarkan ucapan Rustam.
''Kali aja dia kerja di sana,'' sahut Gavin lantang tidak mau kalah.
''Kerja apa?'' tukas Minan menyahut, ''Orang dia cuma jadi preman di sana,'' tambah Minan lagi. Dia salah satu sepupu Gavin, anak dari Rustam ikut menyahut dengan ketus.
''Bang... Belum ada buktinya, jangan asal ngomong!'' seru Gavin kembali menjawab dengan kesal.
''Vin, Gua tahu dia Om elu, adek bapak lu... Tapi, nggak gitu juga lu belain dia,'' ujar Marta ikut bicara, dia adik dari Minan. ''Udah banyak yang liat kelakuan Om elu itu... Kadang di Tanjung priok, kadang di Senen, kadang di Bantar gebang...''
''Iya, Vin. Elu denger...'' ujar Tono menanggapi, ''Kita ni punya niat baik buat elu juga buat adek-adek lu yang ada di rumah sakit. Jangan lu terlalu percaya sama si Ardan!''
''Bukan lagi satu, apa dua orang... Sudah banyak mata yang liat kelakuan Om elu itu. Selalunya dia kumpul ama orang-orang kagak bener, butuh bukti yang kek gimana lagi lu?'' tanya Rustam ikut menegaskan pernyataan Tono dan yang lainnya.
''Tetap saja Itu semua kan nggak jelas...'' sahut Gavin masih tegas membela pamannya.
''Vin. Elu musti inget, ada dua bayi yang mesti lu urus! Takutnya, abis, entar... Banda bapak lu di porotin ama si Ardan,'' sahut Rustam kembali mengukuhkan pendapatnya.
''Cang, jangan suudzon kek gitu! Om Ardan enggak kek gitu,'' seru Gavin masih tidak mau kalah, dia masih terus berusaha membela pamannya walau dia hanya sendirian di antara mereka semua yang telah bersikap skeptis pada Ardan.
''Vin... Elu tuh, masih bocah,'' ujar Kakek Marwan, dia yang tertua diantara semua yang berkumpul di situ. ''Elu mesti denger omongan orang tua, kita semua ni maksudnya baek, jangan elu dari tadi terus aja nyerocos, denger dulu! Terus elu pikirin baek-baek ni omongan, bukan buat orang lain, buat elu, buat adek-adek lu juga...''
Kakek Marwan angkat bicara dengan ekspresi tegas, menekankan otoritas yang dimilikinya. Dia adalah kakak dari kakek Gavin yang paling tua.
''Bener itu Vin... nggak gampang mengurus dua bayi kembar... satu aja, udah bikin stres, ini lagi dua...'' tukas Nenek Sundari istri dari Kakek Marwan.
''Bener itu Vin. Bocah kek lo nggak bakal bisa... Gue udah nggak punya anak kecil, entar biar adek lu gua yang urus. Tapi, pan elu tau gaji laki gue nggak seberapa... Kasih jatah satu, apa dua pintu, dari kontrakan bapak lu, buat beli popok ama susunya...'' ujar nenek Sarna, dia salah satu kerabat jauh yang masih satu rumpun dengan kakek Ardan.
''Si uwak kerepotan kali kalo ngurus dua-duanya, biarin, satu gue yang urus. Yang penting ada jatah susu ama popok kayak si uwak...'' ujar Demi salah satu sepupu Ardan, anak dari Rustam.
''Vin, kalo nggak biar gue aja yang urus. Gue masih muda... tenaganya masih full,'' ujar Carnih, adik sepupu Demi. Dia masih muda, usianya masih di awal dua puluhan.
''Lah! Elu Carnih, elu mah masih bocah, nggak punya pengalaman,'' sahut Demi kesal.
''Teh Demi, pan udah tua, emang kuat gendong-gendong bocah?! Carnih emang masih muda baru juga kemaren kawin tapi pan ada emak, emak bisa ngajarin Carnih nanti,'' sahut Carnih balik menjawab dan malah menyindir Demi.
''Iya, Mi. Gue bisa ngebantuin ngajarin si Carnih ngurus bocah... elu tenang aja Vin, adek lu bakal keurus,'' ujar Elis ikut menimpali, dia angkat bicara membela anak sulungnya.
Emosi Gavriel yang sudah terpancing sejak awal karena mereka menjelek-jelekkan pamannya tepat di hadapannya dan sekarang mereka malah berebut minta jatah. Semakin membuat Gavin berang karena apa pun yang diucapkan olehnya tidak digubris oleh para orang tua, yang ternyata hanya menginginkan harta almarhum ayahnya yang baru meninggal, di balik nasihat-nasihat dan ucapan simpati mereka. Gavin memang baru berusia sembilan belas tahun, dia baru saja menyelesaikan ujian akhir SMAnya, tapi, bukan berarti dia tidak tahu apa pun.
''Udah! Apa yang mau di ributin? Urusan si kembar, ada Aruna yang urus...'' ujar Gavin menengahi perbincangan yang malah makin karut marut di antara para sepupu ini.
ARUNA!
Serempak mereka semua menjawab Gavin dengan heran sekaligus kesal. Para paman, bibi, dan juga sepupu-sepupu Gavin . Mereka semua kaget dengan jawabannya barusan, ada rona kemarahan di wajah sebagian dari mereka. Mereka saling lirik satu sama lain, mereka yang tadinya dengan lantang bicara kesana dan kemari, sekarang, malah mendadak menggunakan bahasa isyarat.
''Apa yang salah memang?!’’ seru Gavin lantang dan tegas, dia menegaskan kembali kata-katanya, ‘’Urusan ngejaga si kembar, dari awal udah di amanatin bapak... Bapak udah wanti-wanti kalau Aruna yang bakal jaga.''
Gavin cukup kesal melihat tatapan-tatapan yang mulai merendahkan merendahkan, dan dia tahu pada siapa hal itu ditunjukkan. Tentu saja pada adik tirinya, Aruna Hashifa yang empat tahun yang lalu resmi menjadi adiknya.
''Vin, bapak lu kan waktu itu dalam kondisi...''
Rustam segera menjeda kata-katanya, dia sangat vokal tadi. Tapi, tetap saja, dia juga manusia yang masih punya perasaan. Dia tidak enak mengatakannya dengan lugas, kalau waktu itu ayah Gavin sedang sekarat.
''Cang. Bapak mungkin sekarat waktu itu, tapi bapak ambil keputusan yang benar menurut Gavin.''
Gavin segera menyahut, menegaskan apa yang tidak terucap oleh Rustam dengan lantang.
''Vin lu gimana sih, Si Aruna kan sama kek elu masih bocah?!'' seru Demi dengan nada ketus.
''Bukan cuma masih bocah, dia itu cuma sodara tiri elu Vin…'' ujar Kartiah ikut menimpali Demi dengan ekspresi cukup menyeramkan, dengan mata melotot.
''Tapi, dia tetep satu emak ama si kembar!'' sahut Gavin menjawab mereka berdua.
''Ikatan darah bapak lebih kuat,'' ujar Kartiah dengan lantang menyudutkan Gavin.
Sama seperti yang lain, dia juga sangat tidak setuju dengan keberadaan Aruna yang tidak punya hubungan kekerabatan apa pun dengan mereka. Apa lagi setelah meninggalnya Pak Arga, ayah tirinya.
''Gavin tahu. Makanya Gavin juga kan ikut jaga...'' sahut Gavin ketus, dia sudah mulai tidak bisa mengendalikan emosinya yang mulai jelas terlihat dari gelagatnya.
''Tapi elu kan...'' sahut Kartiah berusaha menimpali tapi langsung di potong, ''UDAH!'' seru Kakek Wawan tegap berdiri, setelah sedari tadi hanya diam menyaksikan perdebatan mereka semua, ''Ribut nggak bertempat! Kuburan si Arga masih basah, lu pada ribut apa?! Berhenti, balik enggak lu pada sekarang!'' tambah Kakek wawan dengan ekspresi marah menghardik mereka semua.
Dia kesal melihat semuanya memojokkan Gavin, sedangkan dia masih dalam keadaan berduka sekarang. Dia juga sedih melihat istrinya ikut merasa sakit hati, Pak Arga baru saja meninggal, acara tahlil bahkan belum genap tujuh hari tapi mereka semua sudah mulai melirik harta peninggalannya, padahal masih ada Gavin dan si kembar pewaris sah harta tersebut.
Hai pembaca GOODNOVEL, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA SUAMI SILUMANKU KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar. Guru gaul dan Murid sembrono
Mereka semua menunduk mendengar Kakek Wawan berseru dengan ekspresi marah. Hanya Kakek Marwan dan Nenek Sundari yang menatap Kakek Wawan, mereka kesal karena merasa mereka berdua lebih tua darinya, tapi seolah ikut tersindir dengan kata-kata Kakek Wawan. Marwan adalah anak tertua dari tiga bersaudara dan Wawan adalah yang terkecil adik dari Wawang ayah Ardan dan Pak Arga. Tapi, Marwan hanya bisa memendam kekesalannya di dalam hati, karena dia juga tahu apa yang dikatakan Wawan ada benarnya. Saat ini tidak tepat untuk membahas masalah harta dan sebagainya, sedangkan tahlil pun belum lewat tujuh hari. ''Gavin, Lu capek kan?!... Udah gih sono, lu tidur, udah malem!'' seru Kakek Wawan sambil menepuk lembut kepala Gavin. ''Iya kek... Kek, makasih ya,'' jawab Gavin dengan senyum lega di wajahnya. Hampir saja dia meledak karena tidak sanggup menahan emosinya, beruntung kakek Wawan menyelamatkannya. ''Buat apa? Udah gih, tidur, kunci aja pintunya!... Udah malem, si Runa di rumah sakit 'ka
Nenek Halimah yang sudah tidak lagi bisa memendam emosinya, berulang kali marah pada Ardan sambil memukul-mukul Ardan melampiaskan emosi yang sudah bertahun-tahun di tahan olehnya.''Lah. Nangisnya udahan cing?!'' ujar Ardan menggoda bibinya sambil menerima dengan tulus pukulan sayang darinya.''Udah!... Ilang sedih gue, gegara liat tampang lu. Tega banget lu sama orang tua. Lebaran aja lu kagak balik. Giliran lagi begini aja. Baru lu balik. Masa nunggu abang lu mati dulu baru lu nongol Dan...'' ujar Halimah malah semakin emosi sampai tidak bisa menahan kata-katanya.Air mata Nenek Halimah kembali berurai, mengingat Ardan yang sudah bertahun-tahun tidak jelas apa yang dia lakukan dan bagaimana keadaannya selama ini. Sekarang dia juga kehilangan keponakan sulung yang bijaksana. Kesedihan wanita tua ini sudah bertumpuk-tumpuk membuatnya kehilangan kontrol untuk mengendalikan dirinya.''Cing... Cing... Ampun cing... Udah... Ardan minta jangan di terusin lagi tuh omongan. Jangan... Iya, Ar
"Selamat Siang korban kecelakaan atas nama Arga Wiryawan?!'' seru pria gagah dan tinggi bertanya di meja resepsionis Rumah Sakit.''Oh! Iya pak. Tunggu sebentar, kami periksa dulu datanya...'' ujar petugas resepsionis itu terkejut karena pria tinggi dengan penampilan urakan itu tiba-tiba muncul di hadapan mereka.''Iya. Ada pak. Korban kecelakaan atas nama Pak Arga Wiryawan 45 tahun''''Iya betul''''Beliau ada di IGD. Ruang Triage merah bagian kritis. Silakan bapak langsung ke IGD saja dan bertanya lagi dengan petugas di sana''''Baik, terima kasih''Segera pria itu pergi meninggalkan petugas resepsionis dan bergerak menuju IGD yang di tunjuk petugas resepsionis tadi. Dia segera masuk ke dalam ruang IGD dan mencari ruangan IGD yang bertuliskan merah. Tepat di ruangan yang bertuliskan merah itu ada meja dokter yang berjaga.''Maaf dok, saya adik dari korban kecelakaan Bapak Arga Wiryawan''''Oh, sudah datang. Mari pak. Pak Arga ada di sini'' ujar dokter yang bertugas jaga di ruang IGD.
Ardan menitikkan air mata, mengingat pertemuan pertama dan terakhirnya dengan istri kedua dari kakak laki-lakinya. Dia hanya pernah melihatnya sekali, dan hanya pernah menyalaminya sekali saat mereka berdua menikah, itu saja. Dadanya terasa sakit, terbersit penyesalan di hatinya. Seandainya saja saat itu, dia bisa meluangkan waktu lebih banyak dan berbicara lebih banyak pada kakak iparnya.''Ibu Aisyah, istri Pak Arga meninggal di tempat kejadian perkara, tapi anak dalam kandungannya berhasil di selamatkan'' ujar dokter memberitahu sesuatu yang membuat Ardan terkejut.''Anak?!'' seru Ardan terpekik kaget.''Benar pak, Ibu Aisyah sedang mengandung. Anak kembar, usia kandungannya sudah cukup bulan'' dokter menjawab dengan wajah semringah.''Di mana anak-anak itu sekarang Dok?'' tanya Ardan dengan sangat bersemangat.''Ada di ruang NICU'' jawab dokter itu dengan wajah sedikit memelas.''Bagaimana keadaan mereka dok?'' tanya Ardan cemas.''Masih dalam pantauan. Pak Arga juga harus segera d
Aruna terdiam memperhatikan Ardan dari bawah ke atas dengan seksama, sedang berpikir apa yang harus di lakukannya pada tamu keras kepala di hadapannya. ''Cepetan dong!'' seru Ardan menghardik Aruna, ''Gue enggak bisa lama-lama'' ujarnya lagi mendesak Aruna. ''Eum gini aja...'' ujar Aruna acuh dengan wajah Ardan yang kembali dengan sikap seriusnya, ''Katanya pan adeknya bapak...'' ''Bukan katanya!... Tapi, emang gue adeknya'' potong Ardan yang sudah tidak sabaran. ''Ya, sabar dulu dong pak, denger dulu penjelasan saya. Enggak sabaran amat sih!?'' seru Aruna menghardik, '' Ya udah cepetan!'' seru Ardan langsung menyahut. ''Nah, 'kan berarti mamang dong... Karena adeknya bapak. Kalau begitu, bapak pasti punya nomor telepon bapak saya... Entar tunggu dulu!'' seru Aruna teringat sesuatu, dia meminta Ardan menunggu dengan kode tangannya, ''Maaf ya, saya tutup dulu pintunya...'' ujar Aruna masih dengan sopan tapi dia tetap menutup pintu bahkan menguncinya. ''Lah...'' ujar Ardan terperan
Sesampainya di Rumah sakit, Aruna segera mencari kamar tempat ayah tirinya di rawat. Sejak di bonceng ojek online tadi Aruna terus saja berusaha menghubungi Gavin dengan gawainya, tapi tidak bisa tersambung.''Gavin bego, ngapain aja sih?!'' seru Aruna bertanya sambil mengumpat, ''Dari tadi hp gak di angkat-angkat,'' ujar Aruna sambil meluapkan kekesalannya pada gawai di tangannya. ''Gavin!... Angkat dong!'' panggil Aruna ke gawainya dengan nada merengek dengan sangat kesal.Aruna terus saja menekan-nekan keypad di smartphonenya, bahkan sampai terdengar bunyi ketukan jarinya di layar smartphone.''Gavin!!!'' seru Aruna memekik, memanggil dengan gemas, masih dengan meluapkan kekesalan pada gawainya, ''Buat apa lu punya hp?!... Pas begini malah gak bisa di bel...'' ujar Aruna semakin kesal dia kemudian melanjutkan lagi meluapkan kekesalannya pada gawainya.Sambil menaiki lift yang membawanya naik, Aruna terus saja menggerutu meluapkan kekesalannya pada gawai yang sudah menemaninya bebera
Aruna yang masih sangat muda tak kuasa menghadapi amarah Karsih yang memang sangat membenci wanita-wanita jalang. Dan menurut Karsih, Aruna adalah salah satu dari wanita jalang menurut kriteria Karsih. Trauma masa lalu membuatnya membenci Aruna karena Insiden di masa lalu Aruna. Karsih menandai Aruna sejak saat itu, tidak peduli apakah yang dia dengar itu benar atau tidak.Kejadian itu terjadi tiga tahun yang lalu, tepat satu bulan sebelum Aruna lulus dari masa SMPnya. Tiga bulan semenjak Aruna memasuki rumah yang jadi tempat tinggalnya sekarang. Tepat tiga bulan setelah Ibunya Aisyah menikahi Pak Arga, ayah tirinya sekarang.***Kurang lebih ada sekitar seribuan lebih riuh ramai bising suara siswa dan siswi yang berhamburan keluar dari kelas masing-masing dan sebagian besar yang di buru oleh mereka adalah Kantin dan Toilet. Dari semua siswa dan siswi yang berlarian keluar dengan gembira karena akhirnya masa istirahat tiba juga. Ada seorang siswi yang ternyata malah sedang duduk dicera
Miss. Arin masih terganggu dengan pemandangan belum lama di lihatnya di lorong belakang sekolah tadi. Miss. Arin duduk termangu mejanya. Pikirannya menerawang terus memikirkan Aruna. ''Apa yang terjadi dengan anak itu?'' ''Apa yang aku lihat tadi, mungkinkah?!'' ''Kalau iya... Aku harus bagaimana?'' 'Haruskah kulaporkan pada kepala sekolah?' ''Bagaimana ini? Aku pusing... Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja...'' ''Ujian hanya tinggal seminggu lagi...'' Miss. Arin terus saja bergumam, dia bingung memikirkan tindakan apa yang harus di ambilnya sebagai seorang guru untuk menghadapi permasalahan Aruna yang sudah enam bulan di tanganinya. Tapi, sampai hari ini dia tidak bisa mendapatkan apa pun darinya. Sedang kan Kepala Sekolah juga telah berulang kali menegurnya.\ Kepala sekolah sudah berulang kali meminta Miss. Arin dan wali kelasnya untuk segera mengambil tindakan tegas perihal Aruna. Tapi, Miss Arin meminta untuk di berikan kesempatan sekali lagi pada Aruna, mengingat i
Dion dan Rafli bertindak mengikuti improvisasi dari situasi yang mereka ciptakan setelah terdesak.Desakan para preman yang meminta mereka untuk menyerahkan kunci mobil membuat mereka kesulitan mengulur-ulur waktu. Tapi, kreativitas dengan modal nyali nekat sekaligus bukti bahwa diklat yang mereka jalani menunjukkan kepiawaian mereka dalam melaksanakan tugas.''Lah, mana ya?!'' sahut Dion sambil kasak-kusuk berlagak mencari kunci di saku pakaiannya, ''Fli, mana kunci?''''Lah, bukannya ama elu?!'' jawab Rafli mengikuti skenario dadakan di lapangan.''Pe'a, kagak ada di gua... ama lu, kan...''''Kagak, kagak ada... tuh, liat!'' seru Rafli sambil menarik kantong pakaiannya keluar.''Ngelawak lu bedua!'' pekik preman yang menunggu kunci mobil mereka untuk di serahkan dengan mata melotot.''Ka-kagak bang, beneran dah... cek aja... kagak ada i
''Di mana ini?!" pekik Aruna ketika tali yang mengikat mulutnya dibuka saat sudah berada di sebuah ruangan, ''Mau apa kalian?!''Mereka yang ada di ruangan itu tersenyum sinis menanggapi kegelisahan Aruna dan Amira yang terkejut ketika tudung hoodie yang menutupi separuh wajah mereka dibuka, memperlihatkan suasana di sekeliling dengan lebih jelas sekarang.Salah seorang dari beberapa pria yang baru di lihat oleh Aruna dan Amira datang menghampiri.Pria itu mengangkat dagu Aruna dan Amira, memiringkannya ke kanan dan ke kiri, melihat mereka dengan seksama, menilai penampilan fisik mereka berdua.''Lumayan, biarpun enggak bisa laku mahal, tapi masih cukup ngejual,'' ujar Parta, pria paruh baya tapi punya aura mendominasi yang membuat Aruna dan Amira merasa sangat tidak nyaman, ''Enggak banyak duit yang bisa kamu dapet dari mereka berdua...'' tambah Parta seraya melirik kepada Karissa.
CKIITTTRem berdecit dan mobil yang dikendarai oleh para petugas yang mengikuti Karissa berhenti mendadak.''Dimana Pak Ardan?!" tanya Dion, salah satu petugas yang ditugaskan untuk mengawasi.''OTW,'' jawab Rafli yang jadi rekan bertugas Dion, ''Enggak jauh... dia pasti bentar lagi nyampe...''''Oke... keknya target udah sampe di tujuan. Gimana, kita lanjut masuk?''''Enggak tauk, tapi tempat ini sarang mafia, cuma kita bedua... ini mah nganter nyawa...''Dion dan Rafli berdiskusi tentang bagaimana langkah selanjutnya karena intruksi selanjutnya belum turun dari atasan mereka.''Terus gimana, target udah turun... iya kalo tujuan dia disini, kalo dia lanjut ke tempat laen... bakal repot...'' ujar Rafli dengan nada gemas.''Sialan!'' pekik Dion kesal, ''Gue juga bingung, kita cuma ditugasin buat ngintai... terjun langs
Ardan bergegas bergerak segera setelah mendapat laporan dari anak buahnya yang mengawasi rumah Amira.''Dua orang di seret paksa... kenapa dua?!'' tanya Ardan di dalam hatinya, ''Apa mungkin bukan Runa?!''Tidak banyak laporan yang diberikan anak buahnya selama dua hari terakhir karena sama sekali sulit untuk menemukan celah guna mengintip lebih dekat untuk melihat situasi di dalam rumah Amira supaya lebih jelas.Ardan bahkan meminta pada Ibunya Lita untuk menghubungi Amira dan menanyakan apakah ada hal lain yang dibutuhkannya supaya ada kesempatan baginya untuk bisa masuk ke dalam rumah Amira. Tapi, sayangnya, karena baru saja mendapat pasokan, Amira menolak tawaran bibinya.''Terserah deh... liat yang ini aja dulu. Enggak tauk kenapa tapi feeling gue beda tentang yang ini. Entah kenapa semangat gue naik buat ngejar yang ini... mudah-mudahan enggak salah...'' gumam Ardan d
Ardan memberikan beberapa foto Karissa dari berbagai posisi sebagai referensi agar Lita tidak salah mengenali.''Maafkan saya pak, saya tidak begitu yakin karena saya hanya melihat sekilas. Tapi pak, Ini bukan hal yang biasa di lakukan Kak Amira... Meski Kak Amira yang sekarang sangat jauh berbeda dengan Kak Amira tujuh tahun yang lalu. Tapi, tetap saja, saya merasa ada yang janggal...''Lita dengan jujur mengemukakan opininya karena dia juga tidak mau membohongi orang yang sedang kesulitan.''Saya tahu kalau ini tidak tepat,'' ujar ibu Lita menambahkan dengan wajah memelas menatap Ardan, ''Di saat bapak sedang susah saya malah merepotkan... tapi pak, bapak juga kan seorang petugas. Tolong bantu kami pak... Amira adalah anak baik yang ceria sebelumnya. Tapi, sejak tujuh tahun yang lalu tiba-tiba dia berubah... kami yakin ada sesuatu karena setelah tujuh tahun dia berdiam diri, tiba-tiba dia menghubungi kami.''&nb
Organisasi ilegal yang selama ini terselubung dengan bisnis taipan-taipan besar berjatuhan satu per satu. Pengacara-pengacara kecil mulai melejit naik menyaingi pengacara kondang yang telah penuh Schedule-nya karena banyak orang-orang berduit terciduk aparat. Semua itu bisa terjadi karena adanya efek domino dari penggerebekan-penggerebekan atas laporan dan data yang diberikan Ardan dan juga Rendra.Sudah sejak tujuh tahun terakhir satu per satu organisasi ilegal di jatuhkan Ardan secara diam-diam. Meski hanya organisasi kecil tapi sukses melemahkan pergerakan mereka sehingga mempersulit organisasi besar di atasnya untuk mengembangkan sayapnya. Karenanya, sejak Ardan menyusup tujuh tahun yang lalu, pergerakan organisasi ilegal yang meresahkan hingga merugikan negara berhasil di tekan seminimal mungkin.''Ardan, kita sudah mempersempit rute pelarian...'' ujar atasan Ardan, ''Kita akan segera menemukan istrimu, secepatnya...''
''Brengsek!'' pekik Arjuna menggebrak meja sambil menatap layar laptopnya dengan mata nanar, ''Ada di mana lu?!''Sudah tiga hari sejak Aruna di culik dan belum ada tanda-tanda keberadaannya sama sekali. Ardan yang hampir putus asa menghubungi Arjuna meminta bantuannya.''Kagak ada bayangan apa pun tentang keberadaan Karissa?!''''Gue udah cari, tapi enggak ketemu...''''Apa Karissa ada sebutin sesuatu selama lu kenal dia selama ini?!''''Dari kemaren otak gue jungkir balik berusaha nginget sesuatu tentang Karissa yang mungkin ketinggalan...'' jawab Arjuna dengan nada kesal, dia lalu menjeda ucapannya kemudian mendesah putus asa setelahnya dia menggelengkan kepalanya sambil menatap Ardan dengan ekspresi menyesal.Ardan membanting bokongnya di sofa ruang tamu Arjuna lalu menyandarkan punggung, wajahnya menengadah ke langit-langit ruangan memperlihatkan betapa
''Brengsek!'' pekik Arjuna menggebrak meja sambil menatap layar laptopnya dengan mata nanar, ''Ada di mana lu?!''Sudah tiga hari sejak Aruna di culik dan belum ada tanda-tanda keberadaannya sama sekali. Ardan yang hampir putus asa menghubungi Arjuna meminta bantuannya.''Kagak ada bayangan apa pun tentang keberadaan Karissa?!''''Gue udah cari, tapi enggak ketemu...''''Apa Karissa ada sebutin sesuatu selama lu kenal dia selama ini?!''''Dari kemaren otak gue jungkir balik berusaha nginget sesuatu tentang Karissa yang mungkin ketinggalan...'' jawab Arjuna dengan nada kesal, dia lalu menjeda ucapannya kemudian mendesah putus asa setelahnya dia menggelengkan kepalanya sambil menatap Ardan dengan ekspresi menyesal.Ardan membanting bokongnya di sofa ruang tamu Arjuna lalu menyandarkan punggung, wajahnya menengadah ke langit-langit ruangan memperlihatkan betapa
Alis mata Ardan nyaris menyatu dengan sorot mata tajam, giginya bergemeretak menahan emosi hingga membuat salah tingkah beberapa bawahannya ketika Ardan, Rendra dan yang lainnya tiba di TKP selang waktu 40 menit setelah mendapat laporan.Suara sirene mobil polisi dan mobil ambulans bersahutan sebelum kedatangannya ke TKP. Kehebohan terjadi dengan beberapa mahasiswa terlihat tergeletak bertebaran dengan luka-luka di tubuh.Beberapa preman tertangkap dan babak belur, nyaris sekarat karena di hajar banyaknya warga kampus yang kesal apa lagi saat beberapa orang hampir tewas karena mini van yang nekat melaju menerjang kerumunan.''Vin, elu enggak apa-apa?!''''Dimananya?!'' jawab Gavin dengan nada ketus, ''Udah jelas bonyok begini...''''Baru bonyok...'' sahut Ardan sambil menepak dahi Gavin,''Nah bini gue, ilang lagi aja...''Ardan tampak tenang menanggapi Gavin,