Mereka semua menunduk mendengar Kakek Wawan berseru dengan ekspresi marah. Hanya Kakek Marwan dan Nenek Sundari yang menatap Kakek Wawan, mereka kesal karena merasa mereka berdua lebih tua darinya, tapi seolah ikut tersindir dengan kata-kata Kakek Wawan.
Marwan adalah anak tertua dari tiga bersaudara dan Wawan adalah yang terkecil adik dari Wawang ayah Ardan dan Pak Arga. Tapi, Marwan hanya bisa memendam kekesalannya di dalam hati, karena dia juga tahu apa yang dikatakan Wawan ada benarnya. Saat ini tidak tepat untuk membahas masalah harta dan sebagainya, sedangkan tahlil pun belum lewat tujuh hari.
''Gavin, Lu capek kan?!... Udah gih sono, lu tidur, udah malem!'' seru Kakek Wawan sambil menepuk lembut kepala Gavin.
''Iya kek... Kek, makasih ya,'' jawab Gavin dengan senyum lega di wajahnya.
Hampir saja dia meledak karena tidak sanggup menahan emosinya, beruntung kakek Wawan menyelamatkannya.
''Buat apa? Udah gih, tidur, kunci aja pintunya!... Udah malem, si Runa di rumah sakit 'kan?!'' sahut Kakek Wawan.
''Iya kek...'' jawab Gavin sambil mengangguk.
''Kasihan tuh anak, udah empat hari dia nungguin si kembar di rumah sakit, enggak ada yang gantiin...'' ujar nenek Halimah dengan suara yang lirih.
''Abis gimana nek, Gavin juga masih sibuk ngurus di sini...'' jawab Gavin dengan nada menyesal.
''Udah makan belom tuh bocah?'' tanya nenek Halimah lagi, dia tulus memperhatikan keadaan Aruna.
''Insyaallah, dia bisa jaga dirinya sendiri nek. Lagian ada Om Ardan yang juga rajin nemenin dia di Rumah sakit'' jawab Gavin, tapi dia tidak sadar kalau jawabannya menyentil rasa ingin tahu dari Kakek Wawan.
''Owh... Itu makanya Ardan kalo malem pulang cuma sekelebatan doang,'' ujar Kakek Wawan menyahut.
''Iya, Aruna kan perempuan. Om Ardan nggak bisa ngebiarin Aruna sendirian tidur ngegeletak di tempat umum begitu,'' jawab Gavin masih dengan sikap polosnya.
''Iya. Ya udah, mudah-mudahan si kembar bisa cepet pulang,'' ujar Kakek Wawan mendoakan, memberi semangat pada Gavin yang sudah terlihat sangat lelah.
''Amin...'' Gavin menjawab doa Kakek Wawan dengan senyum di wajahnya.
Kakek Wawan dan Nenek Halimah kemudian membawa istrinya pergi meninggalkan rumah Gavin setelah berpamitan. Ada beberapa hal yang mengganjal di benak Kakek Wawan selama empat hari terakhir, dia merasa janggal dengan Aruna dan Ardan, tapi tidak sampai hati menanyakannya pada Gavin yang sudah terlihat sangat lelah, raut depresi juga terpampang jelas di wajah remaja muda yang baru saja menyelesaikan ujian akhir SMA nya. Wajah Gavin sudah terlihat pucat dengan lingkar mata yang menghitam, bukan hanya kurang tidur tapi pola makannya juga sudah kacau karena tidak ada yang mengurusnya selama di rumah.
**
Bersamaan dengan jenazah Ibu Aisyah dan Pak Arga. Gavin dan Aruna pulang dari Rumah Sakit kemudian segera mempersiapkan proses penguburan jenazah. Karena Pak RT dan yang lainnya sudah lebih dulu pulang dan sudah mengkoordinir semuanya, segala sesuatunya sudah siap saat jenazah tiba di rumah. Sanak saudara dari Pak Arga juga sudah berkumpul dan sudah siap menyelesaikan seluruh proses pemakaman.
Aruna tidak bisa berlama-lama di rumah karena harus kembali ke rumah sakit untuk menunggui Syaffa dan Raffa di ruang NICU. Keadaan si kembar masih harus dipantau karena mereka lahir di saat situasi darurat di mana mereka belum cukup waktu untuk lahir ke dunia. Tapi, dengan kehendak Allah diperantarai kemajuan teknologi. Harapan besar untuk mereka berdua bisa selamat menjadi lebih besar.
Sebelum magrib semua proses pemakaman telah terselesaikan. Hanya ada sedikit masalah saat hendak menguburkan jenazah Ibu Aisyah. Karena makam yang digunakan adalah wakaf keluarga dari keluarga Pak Arga. Secara halus mereka sempat menolak jenazah Ibu Aisyah di kubur di sana. Tapi, Ardan dan Gavin tetap bersikukuh agar Bu Aisyah dimakamkan bersebelahan dengan Pak Arga. Atau kalau tidak, maka Ardan dan Gavin memilih untuk memakamkan Pak Arga dan ibu Aisyah di pemakaman umum. Dengan kebijaksanaan Ardan sebagai seorang yang sudah dewasa dan kerja sama dari Gavin. Mereka menyelesaikan masalah ini diam-diam tanpa sepengetahuan Aruna.
***
Segera setelah proses penguburan Pak Arga dan Ibu Aisyah, Aruna segera mengepak beberapa barang. Nenek Halimah, adik dari Almarhum nenek Gavin (Nenek Bibi) yang melihat Aruna membereskan beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam tas ransel kecil segera menegurnya.
''Run, elu ngapain neng?'' tanya Nenek Halimah, ''Kok beberes baju. Bapak ama emak lu barusan doang di kubur...'' tambah Nenek Halimah dengan ekspresi cemas.
''Ini?!'' seru Aruna terpekik, dia terkejut melihat ekspresi cemas Nenek Halimah, ''Bukan begitu... Enggak kok nek. Runa cuma mau rapihin dikit aja biar nggak bolak-balik nantinya,'' ujar Aruna menjawab dengan lemah lembut, dia menjelaskan pada Nenek Halimah yang salah paham mengira kalau Aruna akan pergi dari rumah hanya karena ibunya sudah meninggal.
''Biarin aja lagi mak... Kalau dia mau pergi, 'kan malah bagus,'' ujar Karsih dengan nada ketus menimpali perbincangan Aruna dan Nenek Halimah.
''Apaan sih lu?! Tuh mulut kalo ngomong asal jeplak aja lu...'' sahut Nenek Halimah menegur menantunya.
''Lah! 'Pan, dia sendiri yang mau pergi. Ya biarin aja, ngapain juga di alang-alangin...'' sahut Karsih masih tidak mau kalah.
''Karsih, lu diem!... Kebiasaan banget tu mulut. Tar gua lakban, baru tahu rasa lu...'' seru Darman menghardik Karsih istrinya saat dia baru saja masuk setelah menyelesaikan semua urusan penguburan.
''Mak, Man, pulang dulu yah...'' ujar Darman berpamitan pada Nenek Halimah, ''Run, mamang tinggal dulu'' segera setelahnya dia juga berpamitan pada Aruna sambil menyeret Karsih istrinya.
Aruna mengangguk sambil mencium punggung tangan Darman dan Karsih yang pamit hendak pulang.
''Neng, jangan dia ambil ati yah! Lu pan tahu gimana encing lu, si Karsih, kalau ngomong...'' ujar Nenek Halimah berusaha menghibur Aruna.
''Iya nek. Enggak apa-apa. Lagian Runa sekarang nggak punya waktu buat mikirin yang kek gitu,'' jawab Aruna sambil tersenyum.
''Iya. Terus ini elu ngepak baju, mau ke mana?'' tanya Nenek Halimah dengan wajah cemas.
''Mau ke rumah sakit nek. Pan si kembar masih di rawat, nggak ada yang nungguin''
''Astagfirullah! Ya Allah, nenek bener-bener lupa... Iya, anak si Arga ya,'' ujar Nenek Halimah, seketika itu juga dia kembali mengucurkan air mata.
Lagi-lagi dia bersedih mengingat keponakan sulungnya yang telah pergi menghadap ilahi terlebih dahulu. Sepeninggal kakak iparnya, ibu Pak Arga. Nenek Halimah yang paling sering memperhatikan Arga dan Ardan saat itu. Dia sering membawakan makanan untuk mereka berdua apalagi semenjak ayah Pak Arga yang menyusul istrinya meninggal delapan tahun kemudian.
''Udah dong nek, kasian bapak kalo nenek nangis melulu...'' ujar Aruna berusaha menenangkan Nenek Halimah.
Lumayan lama menenangkan wanita renta yang tidak bisa menahan kesedihannya karena ditinggalkan keponakan yang selama ini sudah seperti anaknya sendiri. Nenek Halimah dan Kakek Wawan Wiryawan. Adalah adik dan adik ipar orang tua Pak Arga, Wawang Wiryawan.
Kakek Wawang, Kakek Wawan, dan Kakek Marwan. Mereka adalah tiga bersaudara yang hanya seorang petani dengan petak sawah yang luas peninggalan orang tuanya dulu. Tapi, seiring waktu. Penggusuran karena pengembangan kota menghilangkan mata pencahariannya sebagai petani. Sedikit demi sedikit tanah mereka di jual untuk berbagai keperluan dan hanya menyisakan beberapa saja yang kini di tinggali oleh anak-anak mereka dan juga untuk dirinya sendiri.
Di antara semua anak-anak mereka. Pak Arga yang paling rajin dan sangat mandiri. Karenanya tanah sepetak yang lumayan luas pemberian Kakek Wawang dikelola dengan baik oleh Pak Arga sampai bisa membangun rumah kontrakan sebanyak 20 pintu. Karena Pak Arga hanya dua bersaudara dengan Ardan, tanah miliknya lumayan besar jika dibanding saudara-saudara sepupunya yang lain. Apa lagi kedua orang tua Pak Arga juga sudah meninggal. Berbeda dengan Pak Arga yang punya beberapa rumah kontrakan. Saudara sepupunya yang lain hanya mengandalkan gaji bulanan dari pabrik tempat mereka bekerja.
Sejak kecil Ardan sangat dekat dengan Pak Arga, karena hal itu juga, Pak Arga tampak seperti punya dua anak. Ardan dan Gavin, Ardan juga sangat dekat dengan Gavin seperti dua kakak beradik. Di antara ke sepuluh saudara sepupu, hanya Ardan yang menikmati bangku kuliah. Bahkan dia telah mendapatkan ijazah S3, dengan dorongan dan dukungan Pak Arga. Ardan dulu sangat sibuk dengan kuliah kemudian pekerjaannya. Karenanya dia terus tinggal bersama Pak Arga, dan tanah jatah pemberian orang tuanya belum tergarap apapun hingga hari ini.
**
''Limah, lu kenapa lagi?... Malu ama si Runa, ini udah nenek-nenek masih doyan nangis aja,'' tanya Kakek Wawan yang datang bersama dengan Ardan dan Gavin setelah tuntas semua urusan penguburan.
''Run, di apain nenek, kok nangis?!'' seru Gavin bertanya dengan nada kesal yang di buat-buat.
''Kok Gue sih?!'' seru Aruna mengernyitkan dahi menjawab Gavin, ''Tapi... Iya sih, dikit...'' ujar Aruna menambahkan dengan ekspresi sedih karena merasa bersalah.
''Tuh kan bener. Ama elo...'' sahut Gavin dengan mata melirik pada Aruna.
''Maaf, nggak sengaja. Emang gegara Runa, nenek sedih keinget bapak lagi...'' ujar Runa dengan wajah setengah menunduk dengan ekspresi menyesal.
''Kagak... Kagak... Runa nggak ngapa-ngapain nenek... Cuma nenek aja yang masih belom bisa ngelepas kepergian bapak lu,'' ujar Nenek Halimah membela Aruna.
''Biarin aja deh... Encing biar puas dulu nangisnya. Tapi, Cing. Besok jangan disambung lagi. Cukup sekarang aja encing nangisnya ya...'' ujar Ardan sambil memeluk bibi yang sudah membantu mengurusnya sejak dia masih kecil.
''Nih anak, masih aja demen ngebecandain orang tua. Ke mana aja lu. Baru ini gua bisa ngeliat lu lama-lama anteng diem di rumah...'' ujar Nenek Halimah tangis air matanya langsung berubah jadi rasa kesal bercampur haru.
Hai pembaca GOODNOVEL, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA SUAMI SILUMANKU KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar. Guru gaul dan Murid sembrono
Nenek Halimah yang sudah tidak lagi bisa memendam emosinya, berulang kali marah pada Ardan sambil memukul-mukul Ardan melampiaskan emosi yang sudah bertahun-tahun di tahan olehnya.''Lah. Nangisnya udahan cing?!'' ujar Ardan menggoda bibinya sambil menerima dengan tulus pukulan sayang darinya.''Udah!... Ilang sedih gue, gegara liat tampang lu. Tega banget lu sama orang tua. Lebaran aja lu kagak balik. Giliran lagi begini aja. Baru lu balik. Masa nunggu abang lu mati dulu baru lu nongol Dan...'' ujar Halimah malah semakin emosi sampai tidak bisa menahan kata-katanya.Air mata Nenek Halimah kembali berurai, mengingat Ardan yang sudah bertahun-tahun tidak jelas apa yang dia lakukan dan bagaimana keadaannya selama ini. Sekarang dia juga kehilangan keponakan sulung yang bijaksana. Kesedihan wanita tua ini sudah bertumpuk-tumpuk membuatnya kehilangan kontrol untuk mengendalikan dirinya.''Cing... Cing... Ampun cing... Udah... Ardan minta jangan di terusin lagi tuh omongan. Jangan... Iya, Ar
"Selamat Siang korban kecelakaan atas nama Arga Wiryawan?!'' seru pria gagah dan tinggi bertanya di meja resepsionis Rumah Sakit.''Oh! Iya pak. Tunggu sebentar, kami periksa dulu datanya...'' ujar petugas resepsionis itu terkejut karena pria tinggi dengan penampilan urakan itu tiba-tiba muncul di hadapan mereka.''Iya. Ada pak. Korban kecelakaan atas nama Pak Arga Wiryawan 45 tahun''''Iya betul''''Beliau ada di IGD. Ruang Triage merah bagian kritis. Silakan bapak langsung ke IGD saja dan bertanya lagi dengan petugas di sana''''Baik, terima kasih''Segera pria itu pergi meninggalkan petugas resepsionis dan bergerak menuju IGD yang di tunjuk petugas resepsionis tadi. Dia segera masuk ke dalam ruang IGD dan mencari ruangan IGD yang bertuliskan merah. Tepat di ruangan yang bertuliskan merah itu ada meja dokter yang berjaga.''Maaf dok, saya adik dari korban kecelakaan Bapak Arga Wiryawan''''Oh, sudah datang. Mari pak. Pak Arga ada di sini'' ujar dokter yang bertugas jaga di ruang IGD.
Ardan menitikkan air mata, mengingat pertemuan pertama dan terakhirnya dengan istri kedua dari kakak laki-lakinya. Dia hanya pernah melihatnya sekali, dan hanya pernah menyalaminya sekali saat mereka berdua menikah, itu saja. Dadanya terasa sakit, terbersit penyesalan di hatinya. Seandainya saja saat itu, dia bisa meluangkan waktu lebih banyak dan berbicara lebih banyak pada kakak iparnya.''Ibu Aisyah, istri Pak Arga meninggal di tempat kejadian perkara, tapi anak dalam kandungannya berhasil di selamatkan'' ujar dokter memberitahu sesuatu yang membuat Ardan terkejut.''Anak?!'' seru Ardan terpekik kaget.''Benar pak, Ibu Aisyah sedang mengandung. Anak kembar, usia kandungannya sudah cukup bulan'' dokter menjawab dengan wajah semringah.''Di mana anak-anak itu sekarang Dok?'' tanya Ardan dengan sangat bersemangat.''Ada di ruang NICU'' jawab dokter itu dengan wajah sedikit memelas.''Bagaimana keadaan mereka dok?'' tanya Ardan cemas.''Masih dalam pantauan. Pak Arga juga harus segera d
Aruna terdiam memperhatikan Ardan dari bawah ke atas dengan seksama, sedang berpikir apa yang harus di lakukannya pada tamu keras kepala di hadapannya. ''Cepetan dong!'' seru Ardan menghardik Aruna, ''Gue enggak bisa lama-lama'' ujarnya lagi mendesak Aruna. ''Eum gini aja...'' ujar Aruna acuh dengan wajah Ardan yang kembali dengan sikap seriusnya, ''Katanya pan adeknya bapak...'' ''Bukan katanya!... Tapi, emang gue adeknya'' potong Ardan yang sudah tidak sabaran. ''Ya, sabar dulu dong pak, denger dulu penjelasan saya. Enggak sabaran amat sih!?'' seru Aruna menghardik, '' Ya udah cepetan!'' seru Ardan langsung menyahut. ''Nah, 'kan berarti mamang dong... Karena adeknya bapak. Kalau begitu, bapak pasti punya nomor telepon bapak saya... Entar tunggu dulu!'' seru Aruna teringat sesuatu, dia meminta Ardan menunggu dengan kode tangannya, ''Maaf ya, saya tutup dulu pintunya...'' ujar Aruna masih dengan sopan tapi dia tetap menutup pintu bahkan menguncinya. ''Lah...'' ujar Ardan terperan
Sesampainya di Rumah sakit, Aruna segera mencari kamar tempat ayah tirinya di rawat. Sejak di bonceng ojek online tadi Aruna terus saja berusaha menghubungi Gavin dengan gawainya, tapi tidak bisa tersambung.''Gavin bego, ngapain aja sih?!'' seru Aruna bertanya sambil mengumpat, ''Dari tadi hp gak di angkat-angkat,'' ujar Aruna sambil meluapkan kekesalannya pada gawai di tangannya. ''Gavin!... Angkat dong!'' panggil Aruna ke gawainya dengan nada merengek dengan sangat kesal.Aruna terus saja menekan-nekan keypad di smartphonenya, bahkan sampai terdengar bunyi ketukan jarinya di layar smartphone.''Gavin!!!'' seru Aruna memekik, memanggil dengan gemas, masih dengan meluapkan kekesalan pada gawainya, ''Buat apa lu punya hp?!... Pas begini malah gak bisa di bel...'' ujar Aruna semakin kesal dia kemudian melanjutkan lagi meluapkan kekesalannya pada gawainya.Sambil menaiki lift yang membawanya naik, Aruna terus saja menggerutu meluapkan kekesalannya pada gawai yang sudah menemaninya bebera
Aruna yang masih sangat muda tak kuasa menghadapi amarah Karsih yang memang sangat membenci wanita-wanita jalang. Dan menurut Karsih, Aruna adalah salah satu dari wanita jalang menurut kriteria Karsih. Trauma masa lalu membuatnya membenci Aruna karena Insiden di masa lalu Aruna. Karsih menandai Aruna sejak saat itu, tidak peduli apakah yang dia dengar itu benar atau tidak.Kejadian itu terjadi tiga tahun yang lalu, tepat satu bulan sebelum Aruna lulus dari masa SMPnya. Tiga bulan semenjak Aruna memasuki rumah yang jadi tempat tinggalnya sekarang. Tepat tiga bulan setelah Ibunya Aisyah menikahi Pak Arga, ayah tirinya sekarang.***Kurang lebih ada sekitar seribuan lebih riuh ramai bising suara siswa dan siswi yang berhamburan keluar dari kelas masing-masing dan sebagian besar yang di buru oleh mereka adalah Kantin dan Toilet. Dari semua siswa dan siswi yang berlarian keluar dengan gembira karena akhirnya masa istirahat tiba juga. Ada seorang siswi yang ternyata malah sedang duduk dicera
Miss. Arin masih terganggu dengan pemandangan belum lama di lihatnya di lorong belakang sekolah tadi. Miss. Arin duduk termangu mejanya. Pikirannya menerawang terus memikirkan Aruna. ''Apa yang terjadi dengan anak itu?'' ''Apa yang aku lihat tadi, mungkinkah?!'' ''Kalau iya... Aku harus bagaimana?'' 'Haruskah kulaporkan pada kepala sekolah?' ''Bagaimana ini? Aku pusing... Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja...'' ''Ujian hanya tinggal seminggu lagi...'' Miss. Arin terus saja bergumam, dia bingung memikirkan tindakan apa yang harus di ambilnya sebagai seorang guru untuk menghadapi permasalahan Aruna yang sudah enam bulan di tanganinya. Tapi, sampai hari ini dia tidak bisa mendapatkan apa pun darinya. Sedang kan Kepala Sekolah juga telah berulang kali menegurnya.\ Kepala sekolah sudah berulang kali meminta Miss. Arin dan wali kelasnya untuk segera mengambil tindakan tegas perihal Aruna. Tapi, Miss Arin meminta untuk di berikan kesempatan sekali lagi pada Aruna, mengingat i
Sesampainya Gavin dan Aruna di rumah ternyata sudah ada seorang wanita sebaya mereka, menanti mereka, menghalangi pintu masuk di pagar rumah.''Vin!'' Atikah memanggil Gavin sambil berkacak pinggang, ''Pantesin elu enggak pernah mau pulang bareng gue... Elu balik nyamperin Aruna?!''Ternyata Atikah menghadang di depan pintu pagar rumah, menegur Gavin dan Aruna dengan ketus. Terlihat jelas kalau dia merasa kesal.''Owh! Elu Tik... Iya, emang napa?'' sahut Gavin malah balik bertanya dengan santainya, padahal dia tahu kalau Atikah sedang kesal.Gavin yang sudah sejak balita bermain bersama Atikah tahu betul dengan sifat manja Atikah. Selama ini biasanya Atikah akan di bonceng oleh Gavin saat pulang sekolah karena mereka bersekolah di SMP yang sama.''Kagak! Gue pikir elu jemput cewek elu...'' Atikah menjawab sambil melirik tajam pada Aruna yang duduk di belakang di boncengan motor Gavin.''Gua cuma bosen... Balik bareng elu mulu... Kali-kali, gue pen ganti suasana,'' ujar Gavin menjawab A