Aku berjalan menyusuri lorong sepi menuju kelas. Belum ada yang datang di jam segitu. Aku memutuskan untuk berangkat lebih pagi dari sebelum sebelumnya. Pagi itu benar-benad dingin hingga kaca kaca di kelas berembun. Aku juga menggosok kedua telapak tangan ketika menunggu Mino di belakang sekolah. Setelah sepuluh menit berdiri. Barulah dia muncul tanpa rasa bersalah. “Kenapa lama sekali? Cuacanya dingin sekali.” Aku kembali mengomelinya. Mino langsung membuka jaket hitam yang dikenakannya. Aku menoleh. “Jangan bilang kau akan memakaikannya padaku?” Aku bertanya penuh selidik. Karena situasi kami saat itu persis seperti drama romansa yang kulihat di televisi. Betul saja. Mino langsung memakaikan jaketnya pada badanku. “Pakai saja. Kulitmu terlihat semakin pucat.” Dia tampak peduli lalu memasukkan tangan ke dalam saku. “Tidak usah.” Aku membuka lagi jaket dan memberinya pada Mino. Anak laki-laki itu tersentak karena
Aku dan Mino berjalan beriringan menuju gedung kasta tiga di belakang. Kami sudah berpisah dengan Arin saat melewati gedung kasta satu sebelumnya. “Sungguh menyebalkan melihat wajah manjanya.” Aku geli sendiri ketika Arin sudah tak berjalan bersama kami. “Nah, ini.” Aku meletakkan roti yang sudah tinggal setengah di tangan Mino yang kuangkat paksa. “Aku sudah kenyang.” Aku memasukkan kedua tangan ke dalam saku. “Siapa suruh kau mengambilnya tadi. Padahal dia memberikannya untukku.” “Ya..ya…ya… tuan muda Mino yang terhormat. Kau senang bukan?” Aku meledeknya karena terdengar kecewa tak bisa memakan roti pemberian dari Arin. “Aku bisa membelikan sepuluh kali lebih banyak dari ini.” “Apa?” Mino terkekeh. “Kenapa lagi dengan reaksi berlebihanmu ini?” Mino menilik raut wajahku yang tampak kesal. “Kau kesal atau cemburu?” “Aaaa…” Aku berteriak yang membuat Mino terlonjak kaget. Setiap anak yang melewati kami
“Kembalikan buku diariku.” Hana berteriak marah. Seisi gedung kasta satu heboh karena tiba-tiba saja Hana menantang Rey, anak paling ditakuti di kasta satu. Rey beda kelas dengan Rey. Dia pun ikut berlari menuju kelas Rey, menyibak kerumunan anak-anak lain yang sudah memenuhi kelas Rey. Hana mendatangi Rey yang tengah duduk bersantai di mejanya. “Kembalikan bukuku.” Hana berkata datar. Raut wajahnya menunjukkan kalau dia sudah sangat kesal. Itu pertama kalinya Hana melawan Rey setelah menerima perlakukan buruk selama ini. Rey mengangkat pandangan lantas menyeringai. Dia mendapati Hana yang tengah menatapnya dengan tajam. Rey melihat sekeliling dan suasana kelasnya tiba-tiba menjadi tegang. Dia berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku. “Apa? Buku apa?” Rey berlagak tidak tahu. Dalam hatinya dia sudah kegirangan karena dia tahu bahwa aku sudah berhasil mendapatkan buku itu karena gadis di depannya itu sudah kehilangan.
Mino langsung menutup buku diari di tangannya, namun aku menahan lengannya. “Tidak. Kita harus melihat semuanya sekarang. Kita tak tahu apakah buku ini akan tetap berada di tanganmu nanti jika sudah bertemu dengan Rey. Dia pasti sudah tahu jika aku berhasil mencuri buku milik Hana.” Aku menyuruh Mino kembali duduk. Dia mengeluarkan buku diari yang sudah dimasukkan ke dalam saku. Sementara aku mengeluarkan ponsel. Aku harus mengabadikan momen penting seperti ini. Setidaknya bisa melengkapi potongan puzzle yang sedang kususun. Kali ini mataku benar-benar membesar, begitu pula dengan Mino. Darimana Hana tahu tentang Arin? Ya. Di sana juga ada nama Arin. Hana menulis dengan lengkap bagaimana Arin menjual soal ujian pada anak-anak dari sekolah lain. Bagaimana gadis yang rambutnya dicat coklat itu mengatur pertemuan dan menerima pembayaran? Aku mengedipkan mata. Tanganku dengan cepat memotret halaman itu. Tidak. Aku merobek halaman itu.
Bel tanda pulang sudah berbunyi sekitar dua menit yang lalu. Aku menoleh ke samping mendapati Hana yang tampak lesu dan letih. Matanya juga agak sembab. Dia banyak menangis karena kejadian tadi. Dia juga tampak berbeda dari Hana yang biasanya kukenal. Aku melirik loker Hana. Apakah dia belum membuka loker? Jika sudah seharusnya dia tak lagi murung. “Begini…” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Hana menoleh menunggu kelanjutan dari kalimatku. “Begini.. kita berangkat sekarang?” “Oh maaf,” Hana melupakan janji kami untuk sesaat. “Maaf, sepertinya kita pergi lain kali saja, hari ini aku sangat lelah.” Aku menyeringai memaksakan seulas senyum. Tidak ada lagi wajah polos Hana yang terpancar pada raut mukanya. Hanya murung dan juga suram yang terlihat. Baiklah aku tak akan memaksa. Café di depan itu tidak akan tiba-tiba tutup esok hari bukan? Sehingga janji kami tak akan pernah terwujud? “Baiklah, kalau begitu.” Aku b
“Kau mau?” Arin menawarkan sebungkus rokok pada anak laki-laki yang tengah menatap langit malam. Anak laki-laki itu menoleh, namun tak menerima tawaran Arin. Arin menarik kembali kotak rokoknya dan duduk di samping anak laki-laki yang tengah memindai penampilannya dari atas kepala hingga ujung kaki. “Tutup matamu!” Arin menggertak. Anak laki-laki itu tertawa melihat perangai Arin. Terlihat jelas kalau dia anak yang nakal di sekolah. Waktu itu adalah pertama kalinya mereka bertemu. Dua bulan sebelum memulai bersekolah di sekolah baru yaitu sekolah yang sekarang. “Kau tinggal di sekitar sini?” Arin bertanya. Dia memantik api pada rokok yang terselip di antara bibir tipis merah mudanya. “Tidak.” Anak laki-laki itu menjawab singkat. “Lalu dimana? Kenapa bisa sampai di sini?” Arin terus bertanya. Dia menghembuskan asap rokok yang menggulung di tengah cuaca malam yang dingin. “Tidak sebelum dua hari yang lal
“Apa ini? Kalian saling kenal?” Aku balik bertanya. Ali dan Arin masih saling tatap. Gadis itu tak mengedipkan mata barang sekalipun. Dia masih berusaha untuk mengenali situasi yang sedang terjadi. “Kenapa kau ada di sini?” Kali ini Ali yang bersuara. Dia memindai Arin dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. “Kau sekolah di sini juga?” Ali menunjuk logo sekolah pada seragam Arin. Setelah percakapan mereka di supermarket yang di temani secangkir coklat panas malam itu, mereka tak pernah lagi bertemu setelah itu. Jangankan untuk bertanya apa kabar, tatap muka saja tidak. Bahkan Ali sudah menyempatkan diri untuk datang ke taman, mungkin saja dia akan bisa bertemu dengan Arin lagi. Tapi gadis itu tak datang. Ali berpikir jika Arin sudah pindah ke lingkungan lain dan perlahan ingatan tentang Arin mulai pudar. “Bagaimana denganmu?” Arin balik bertanya. Dia juga sudah melup
Saat istirahat kedua, aku dan Mino duduk di bangku yang biasa kami tempati di tepi lapangan. Kalau dipikir-pikir lagi, sudah lama kami tak duduk di sana, meski hanya untuk saling bertukar cerita satu sama lain. “Sudah lama kita tidak duduk di sini.” Aku meluruskan kaki lalu menarik nafas dalam. Terik matahari terasa seperti akan membakar ubun-ubun menjadi daging panggang. Ungtunglah tempat duduk kami dilindungi oleh pohon rindang yang menjulang ke langit. Jika aku boleh menebak, mungkin usia pohon di belakang kami ini sudah puluhan tahun. “Hm. Kau yang selalu sibuk.” Mino menjawab singkat. Dia memasang wajah polos tak bersalah seolah dia tak sibuk. Aku berdecak sebal. Lapangan olahraga di depan kami kembali ramai. Aku heran kenapa mereka suka sekali berolahraga di tengah cuaca panas seperti ini.Aku menghela nafas, “apa mereka tidak kepanasan?” Aku bergumam sendiri.Sejujurnya juga tak menginginkan jawaban untuk pertanyaan itu. Aku hanya
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si
“Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin