Mino langsung menutup buku diari di tangannya, namun aku menahan lengannya. “Tidak. Kita harus melihat semuanya sekarang. Kita tak tahu apakah buku ini akan tetap berada di tanganmu nanti jika sudah bertemu dengan Rey. Dia pasti sudah tahu jika aku berhasil mencuri buku milik Hana.” Aku menyuruh Mino kembali duduk. Dia mengeluarkan buku diari yang sudah dimasukkan ke dalam saku. Sementara aku mengeluarkan ponsel. Aku harus mengabadikan momen penting seperti ini. Setidaknya bisa melengkapi potongan puzzle yang sedang kususun. Kali ini mataku benar-benar membesar, begitu pula dengan Mino. Darimana Hana tahu tentang Arin? Ya. Di sana juga ada nama Arin. Hana menulis dengan lengkap bagaimana Arin menjual soal ujian pada anak-anak dari sekolah lain. Bagaimana gadis yang rambutnya dicat coklat itu mengatur pertemuan dan menerima pembayaran? Aku mengedipkan mata. Tanganku dengan cepat memotret halaman itu. Tidak. Aku merobek halaman itu.
Bel tanda pulang sudah berbunyi sekitar dua menit yang lalu. Aku menoleh ke samping mendapati Hana yang tampak lesu dan letih. Matanya juga agak sembab. Dia banyak menangis karena kejadian tadi. Dia juga tampak berbeda dari Hana yang biasanya kukenal. Aku melirik loker Hana. Apakah dia belum membuka loker? Jika sudah seharusnya dia tak lagi murung. “Begini…” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Hana menoleh menunggu kelanjutan dari kalimatku. “Begini.. kita berangkat sekarang?” “Oh maaf,” Hana melupakan janji kami untuk sesaat. “Maaf, sepertinya kita pergi lain kali saja, hari ini aku sangat lelah.” Aku menyeringai memaksakan seulas senyum. Tidak ada lagi wajah polos Hana yang terpancar pada raut mukanya. Hanya murung dan juga suram yang terlihat. Baiklah aku tak akan memaksa. Café di depan itu tidak akan tiba-tiba tutup esok hari bukan? Sehingga janji kami tak akan pernah terwujud? “Baiklah, kalau begitu.” Aku b
“Kau mau?” Arin menawarkan sebungkus rokok pada anak laki-laki yang tengah menatap langit malam. Anak laki-laki itu menoleh, namun tak menerima tawaran Arin. Arin menarik kembali kotak rokoknya dan duduk di samping anak laki-laki yang tengah memindai penampilannya dari atas kepala hingga ujung kaki. “Tutup matamu!” Arin menggertak. Anak laki-laki itu tertawa melihat perangai Arin. Terlihat jelas kalau dia anak yang nakal di sekolah. Waktu itu adalah pertama kalinya mereka bertemu. Dua bulan sebelum memulai bersekolah di sekolah baru yaitu sekolah yang sekarang. “Kau tinggal di sekitar sini?” Arin bertanya. Dia memantik api pada rokok yang terselip di antara bibir tipis merah mudanya. “Tidak.” Anak laki-laki itu menjawab singkat. “Lalu dimana? Kenapa bisa sampai di sini?” Arin terus bertanya. Dia menghembuskan asap rokok yang menggulung di tengah cuaca malam yang dingin. “Tidak sebelum dua hari yang lal
“Apa ini? Kalian saling kenal?” Aku balik bertanya. Ali dan Arin masih saling tatap. Gadis itu tak mengedipkan mata barang sekalipun. Dia masih berusaha untuk mengenali situasi yang sedang terjadi. “Kenapa kau ada di sini?” Kali ini Ali yang bersuara. Dia memindai Arin dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. “Kau sekolah di sini juga?” Ali menunjuk logo sekolah pada seragam Arin. Setelah percakapan mereka di supermarket yang di temani secangkir coklat panas malam itu, mereka tak pernah lagi bertemu setelah itu. Jangankan untuk bertanya apa kabar, tatap muka saja tidak. Bahkan Ali sudah menyempatkan diri untuk datang ke taman, mungkin saja dia akan bisa bertemu dengan Arin lagi. Tapi gadis itu tak datang. Ali berpikir jika Arin sudah pindah ke lingkungan lain dan perlahan ingatan tentang Arin mulai pudar. “Bagaimana denganmu?” Arin balik bertanya. Dia juga sudah melup
Saat istirahat kedua, aku dan Mino duduk di bangku yang biasa kami tempati di tepi lapangan. Kalau dipikir-pikir lagi, sudah lama kami tak duduk di sana, meski hanya untuk saling bertukar cerita satu sama lain. “Sudah lama kita tidak duduk di sini.” Aku meluruskan kaki lalu menarik nafas dalam. Terik matahari terasa seperti akan membakar ubun-ubun menjadi daging panggang. Ungtunglah tempat duduk kami dilindungi oleh pohon rindang yang menjulang ke langit. Jika aku boleh menebak, mungkin usia pohon di belakang kami ini sudah puluhan tahun. “Hm. Kau yang selalu sibuk.” Mino menjawab singkat. Dia memasang wajah polos tak bersalah seolah dia tak sibuk. Aku berdecak sebal. Lapangan olahraga di depan kami kembali ramai. Aku heran kenapa mereka suka sekali berolahraga di tengah cuaca panas seperti ini.Aku menghela nafas, “apa mereka tidak kepanasan?” Aku bergumam sendiri.Sejujurnya juga tak menginginkan jawaban untuk pertanyaan itu. Aku hanya
Kamar Ali kembali lengang. Mereka menatapku lamat-lamat, memastikan tidak salah dengar. Suara pintu terbuka memecah sunyi. Seorang perawat baru saja memasuki kamar karena harus mengganti infus Ali yang sudah hampir habis. Masih dalam keadaan bingung dan linglung. Kami membiarkan perawat itu mengganti infus Ali. Tidak ada dari kami yang bersuara. Hanya saja aku agak menepi agar memberi ruang yang cukup agar perawat itu lebih leluasa bekerja. Tidak sampai lima menit, infus Ali sudah terpasang kembali dengan yang baru. Perawat itu tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan kamar. Kami semua membalas dengan senyum tipis sebagai sopan santun. “Tadi kau bilang apa? Video?” Arin bersuara untuk pertama kali. Dia kembali duduk di sisi paling bawah tempat tidur Ali. Aku menatap setiap pasang mata yang menunggu penjelasan dariku satu per satu. “Ya. Video. Kau pasti paham maksudku karena kita pernah membuatnya sebelumnya.” Aku menjawab Arin
Hari terus berganti. Hari itu hari Minggu. Aku sudah bangun lebih awal. Bersiap dengan setelan olahraga berwarna hitam. Tanpa ajakan dan paksaan dari Mino, melainkan dari niat hati. Aku memutuskan untuk berlari pagi. Sepertinya waktu istirahatku sudah cukup banyak. Kini saatnya mengambil langkah pertama. Aku membuka pintu, melangkah keluar. Sebenarnya hari masih terlalu pagi untuk lari karena embun tebal masih menghalangi pandangan. Aku hanya bisa melihat pagar rumah di depan sana. Sesekali lampu mobil yang melintas di depan rumah. Huft! “Apa aku terlalu pagi ya?” Aku bergumam sendiri. Aku tetap berjalan pelan membelah pekatnya embun yang membuat wajahku basah. Ternyata suhu di luar jauh lebih dingin. Untunglah aku sudah memakai baju berlapis sehingga rasa dingin tak terlalu menusuk sampai ke dalam. Jalanan masih lengang. Hanya satu dua mobil dan motor yang melintas. Hari libur memang banyak digunakan kebanyakan orang untuk b
Aku memasukkan seragam sekolah ke dalam tas ransel. Ya. Aku akan mengenakan pakaian itu nanti di dalam video. Mino langsung pulang setelah selesai berolahraga tadi pagi. Kami berpisah di taman. Lagi pula aku bukan lagi anak kecil yang harus diantar pulang. Aku bisa sendiri. Baju yang kekukenakan sekarang sangat biasa. Hoody berwarna hitam dan juga celana jeans lapang. Astaga! Aku berseru ketika melihat di cermin besar setinggi badan. “Apa aku bukan perempuan?” Aku menatap gambar diri sendiri yang tampak menyedihkan dari balik cermin. Jauh sebelum bersekolah di sekolah Mister Han, bisa dibilang aku adalah seorang princes di Kanada. Ibu selalu menyiapkan pakaian yang langsung dibuat olehnya sendiri untukku. Jadi aku tak pernah pusing jika memikirkan pakaian. Di sana aku terbiasa memakai dress atau pakaian yang feminim. Namun semenjak aku datang ke sini, semuanya berubah. Keputusanku untuk tak kembali ke Kanada bahkan setelah diperlakukan