Hujan membasuh kota. Petir gemuruh saling sahut menyahut di luar sana. Tidak nampak bulan apalagi bintang di langit gelap di luar sana. Kami menunggu di lobi rumah sakit sambil menunggu Pandi tiba. Dia bilang akan sedikit terlambat karena harus mengurus beberapa masalah yang ada di akademi. “Kau yakin cara itu akan berhasil?” Mino menoleh ke arahku. Kami duduk menghadap dinding yang terbuat dari kaca transparan dengan pemandangan mobil ambulance yang berlalu lalang. Aku menghela nafas. “Kita tak pernah tahu sebelum mencobanya bukan? Kita coba saja cara ini dulu.” Aku balas menatap Mino. “Kita tinggal pergi ke rumahnya besok. Mino masih saja ragu semenjak kami membicarakan masalah ini bersama Ali di kamarnya beberapa menit yang lalu. Aku menarik tirai menutup jendela. Suasana kamar menjadi berisik seiring suara hujan yang turun semakin deras. “Aku sudah memikirkan caranya.” Aku berbalik sambil menatap Ali yang duduk bersandar
Aku berjalan menyusuri lorong sepi menuju kelas. Belum ada yang datang di jam segitu. Aku memutuskan untuk berangkat lebih pagi dari sebelum sebelumnya. Pagi itu benar-benad dingin hingga kaca kaca di kelas berembun. Aku juga menggosok kedua telapak tangan ketika menunggu Mino di belakang sekolah. Setelah sepuluh menit berdiri. Barulah dia muncul tanpa rasa bersalah. “Kenapa lama sekali? Cuacanya dingin sekali.” Aku kembali mengomelinya. Mino langsung membuka jaket hitam yang dikenakannya. Aku menoleh. “Jangan bilang kau akan memakaikannya padaku?” Aku bertanya penuh selidik. Karena situasi kami saat itu persis seperti drama romansa yang kulihat di televisi. Betul saja. Mino langsung memakaikan jaketnya pada badanku. “Pakai saja. Kulitmu terlihat semakin pucat.” Dia tampak peduli lalu memasukkan tangan ke dalam saku. “Tidak usah.” Aku membuka lagi jaket dan memberinya pada Mino. Anak laki-laki itu tersentak karena
Aku dan Mino berjalan beriringan menuju gedung kasta tiga di belakang. Kami sudah berpisah dengan Arin saat melewati gedung kasta satu sebelumnya. “Sungguh menyebalkan melihat wajah manjanya.” Aku geli sendiri ketika Arin sudah tak berjalan bersama kami. “Nah, ini.” Aku meletakkan roti yang sudah tinggal setengah di tangan Mino yang kuangkat paksa. “Aku sudah kenyang.” Aku memasukkan kedua tangan ke dalam saku. “Siapa suruh kau mengambilnya tadi. Padahal dia memberikannya untukku.” “Ya..ya…ya… tuan muda Mino yang terhormat. Kau senang bukan?” Aku meledeknya karena terdengar kecewa tak bisa memakan roti pemberian dari Arin. “Aku bisa membelikan sepuluh kali lebih banyak dari ini.” “Apa?” Mino terkekeh. “Kenapa lagi dengan reaksi berlebihanmu ini?” Mino menilik raut wajahku yang tampak kesal. “Kau kesal atau cemburu?” “Aaaa…” Aku berteriak yang membuat Mino terlonjak kaget. Setiap anak yang melewati kami
“Kembalikan buku diariku.” Hana berteriak marah. Seisi gedung kasta satu heboh karena tiba-tiba saja Hana menantang Rey, anak paling ditakuti di kasta satu. Rey beda kelas dengan Rey. Dia pun ikut berlari menuju kelas Rey, menyibak kerumunan anak-anak lain yang sudah memenuhi kelas Rey. Hana mendatangi Rey yang tengah duduk bersantai di mejanya. “Kembalikan bukuku.” Hana berkata datar. Raut wajahnya menunjukkan kalau dia sudah sangat kesal. Itu pertama kalinya Hana melawan Rey setelah menerima perlakukan buruk selama ini. Rey mengangkat pandangan lantas menyeringai. Dia mendapati Hana yang tengah menatapnya dengan tajam. Rey melihat sekeliling dan suasana kelasnya tiba-tiba menjadi tegang. Dia berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku. “Apa? Buku apa?” Rey berlagak tidak tahu. Dalam hatinya dia sudah kegirangan karena dia tahu bahwa aku sudah berhasil mendapatkan buku itu karena gadis di depannya itu sudah kehilangan.
Mino langsung menutup buku diari di tangannya, namun aku menahan lengannya. “Tidak. Kita harus melihat semuanya sekarang. Kita tak tahu apakah buku ini akan tetap berada di tanganmu nanti jika sudah bertemu dengan Rey. Dia pasti sudah tahu jika aku berhasil mencuri buku milik Hana.” Aku menyuruh Mino kembali duduk. Dia mengeluarkan buku diari yang sudah dimasukkan ke dalam saku. Sementara aku mengeluarkan ponsel. Aku harus mengabadikan momen penting seperti ini. Setidaknya bisa melengkapi potongan puzzle yang sedang kususun. Kali ini mataku benar-benar membesar, begitu pula dengan Mino. Darimana Hana tahu tentang Arin? Ya. Di sana juga ada nama Arin. Hana menulis dengan lengkap bagaimana Arin menjual soal ujian pada anak-anak dari sekolah lain. Bagaimana gadis yang rambutnya dicat coklat itu mengatur pertemuan dan menerima pembayaran? Aku mengedipkan mata. Tanganku dengan cepat memotret halaman itu. Tidak. Aku merobek halaman itu.
Bel tanda pulang sudah berbunyi sekitar dua menit yang lalu. Aku menoleh ke samping mendapati Hana yang tampak lesu dan letih. Matanya juga agak sembab. Dia banyak menangis karena kejadian tadi. Dia juga tampak berbeda dari Hana yang biasanya kukenal. Aku melirik loker Hana. Apakah dia belum membuka loker? Jika sudah seharusnya dia tak lagi murung. “Begini…” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Hana menoleh menunggu kelanjutan dari kalimatku. “Begini.. kita berangkat sekarang?” “Oh maaf,” Hana melupakan janji kami untuk sesaat. “Maaf, sepertinya kita pergi lain kali saja, hari ini aku sangat lelah.” Aku menyeringai memaksakan seulas senyum. Tidak ada lagi wajah polos Hana yang terpancar pada raut mukanya. Hanya murung dan juga suram yang terlihat. Baiklah aku tak akan memaksa. Café di depan itu tidak akan tiba-tiba tutup esok hari bukan? Sehingga janji kami tak akan pernah terwujud? “Baiklah, kalau begitu.” Aku b
“Kau mau?” Arin menawarkan sebungkus rokok pada anak laki-laki yang tengah menatap langit malam. Anak laki-laki itu menoleh, namun tak menerima tawaran Arin. Arin menarik kembali kotak rokoknya dan duduk di samping anak laki-laki yang tengah memindai penampilannya dari atas kepala hingga ujung kaki. “Tutup matamu!” Arin menggertak. Anak laki-laki itu tertawa melihat perangai Arin. Terlihat jelas kalau dia anak yang nakal di sekolah. Waktu itu adalah pertama kalinya mereka bertemu. Dua bulan sebelum memulai bersekolah di sekolah baru yaitu sekolah yang sekarang. “Kau tinggal di sekitar sini?” Arin bertanya. Dia memantik api pada rokok yang terselip di antara bibir tipis merah mudanya. “Tidak.” Anak laki-laki itu menjawab singkat. “Lalu dimana? Kenapa bisa sampai di sini?” Arin terus bertanya. Dia menghembuskan asap rokok yang menggulung di tengah cuaca malam yang dingin. “Tidak sebelum dua hari yang lal
“Apa ini? Kalian saling kenal?” Aku balik bertanya. Ali dan Arin masih saling tatap. Gadis itu tak mengedipkan mata barang sekalipun. Dia masih berusaha untuk mengenali situasi yang sedang terjadi. “Kenapa kau ada di sini?” Kali ini Ali yang bersuara. Dia memindai Arin dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. “Kau sekolah di sini juga?” Ali menunjuk logo sekolah pada seragam Arin. Setelah percakapan mereka di supermarket yang di temani secangkir coklat panas malam itu, mereka tak pernah lagi bertemu setelah itu. Jangankan untuk bertanya apa kabar, tatap muka saja tidak. Bahkan Ali sudah menyempatkan diri untuk datang ke taman, mungkin saja dia akan bisa bertemu dengan Arin lagi. Tapi gadis itu tak datang. Ali berpikir jika Arin sudah pindah ke lingkungan lain dan perlahan ingatan tentang Arin mulai pudar. “Bagaimana denganmu?” Arin balik bertanya. Dia juga sudah melup