“Kau mau sekalian membolos?” Mino memberi ide. Mataku membesar. Itu bukan ide buruk. Dengan cepat aku setuju dengannya. Sudah lama kami tak membolos. Waktu itu aku tak ingat pesan dan peringatan dari Pak Beni. Akhirnya aku tetap bolos bersama Mino sepanjang hari. “Kita mau kemana?” Aku bertanya. Kami berjalan menyusuri trotoar panjang sepanjang jalan. Banyak mobil yang berlalu lalang. Aku bisa menciup bau asap mobil yang pekat. Dari tadi kami benar-benar berjalan kaki. Tak membawa tas sama sekali. Hanya berjalan tanpa berpikir panjang. “Kau bilang mau mencari udara segar.” Mino menjawab singkat. “Hei! Ini yang kau sebut udara segar? Tidak ada udara bersih di sini, yang ada hanya karbon dioksida yang terhirup oleh hidungku.” Aku bersungut-sungut. Dia sama gilanya denganku. Eh, tidak lebih aneh. Matahari sudah hampir tergelincir. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Kami tiba di taman di pinggir kota. Aku memilih untuk dudu
“Ada masalah baru Mister.” Sekretaris Lin melaporkan dari balik kemudi. Nada suaranya terdengar serius. Dia tetap fokus ke depan memperhatikan jalanan yang sudah mulai padat. Mister Han menyimak. Dia mengalihkan pandangan pada Sektetaris Lin. “Jia mendapatkan surat peringatan satu karena sudah membolos sebanyak lebih dari lima kali. Pak Beni sudah menghubungi saya tadi siang.” Sekretaris Lin tetap fokus mengemudi. Baru saja sebuah motor menyalip meobil mereka. “Benarkah?” Sekretaris Lin melirik Mister Han melalui kaca kecil yang menggantung kemudian memberi anggukan. “Dia tidak sendiri Mister, tapi bersama teman sebangkunya Mino.” “Dia juga ikut?” “Waktu pelayanan masyarakat Jia sudah hampir berakhir Mister, hanya tersisa sembilan jam lagi.” Sekretaris Lin terus melaporkan perkembanganku pada Mister Han yang berstatus sebagai ayahku. “Baiklah. Besok aku akan menemui Pak Beni secara langsung.” Mister Han membalas s
“Besok Mister Han akan memenuhi panggilan Pak Beni sebagai orang tua,” lanjut Sekretaris Lin menjelaskan. Dia tak peduli dengan ekspresiku yang tampak terkejut. Ah, aku lupa. Aku kemarin membolos dan mengabaikan peringatan dari Pak Beni. Habislah aku kali ini. Apa yang harus kukatakan besok? Apa ini akhir dari semua perjalananku? Apa aku harus kembali ke Kanada dalam dua hari? “Jadi karena itu Mister Han mengajakku makan malam?” Aku memperbaiki raut wajah kembali datar sambil menilik raut wajah Sekretaris Lin. “Entahlah. Aku tak bisa menjawab. Mungkin saja dia hanya ingin makan malam bersamamu,” balas Sekretaris Lin singkat. Meskipun dia bilang tak suka padaku, tapi dia tetap menjawab setiap kali aku bertanya. Memang harus aku akui jika dia salah satu sekretaris yang paling setia pada majikannya. “Oh ya.” Aku teringat sesuatu. Pikiranku bercabang. Percakapanku dengan Rey di atap waktu itu tiba-tiba saja melintas. Waktu itu Rey menyebut t
Aku memainkan kuku jemari di atas pangkuan paha. Antara mendengar atau tidak, tadi Pak Beni menyuruhku menungguku di luar sementara mereka berbicara di dalam sebuah ruangan. Sesekali aku mengintip dari kaca transparan sambil menempelkan telinga pada pintu. Aku bisa mendengar suara tapi tak jelas apa yang mereka bicarakan. Saat pergantian jam pelajaran, ketua kelasku memberi tahu jika Pak Beni sudah menungguku di kantor guru. Baiklah. Sudah waktunya. Tidak ada waktu untuk terkejut ataupun pura-pura tidak tahu. Padahal tadi malam sudah di bahas dengan orang yang bersangkutan langsung. Kenop pintu didorong, pintu terbuka. Sontak aku langsung berdiri dengan kedua tangan tertaut di depan. Aku menelan ludah, bersiap apa yang hendak keluar dari mulut kedua pria paruh baya di depanku ini. Pak Beni menghela nafas berat. Dia menatapku dengan tatapan tak suka. “Akan aku beri kau satu kesempatan terakhir.” Pak Beni berlalu menuju meja kerjanya. Hasilnya di luar
Rey menghempaskan badanku pada pagar besi di belakang sekolah. Tempat ini termasuk tempat anak-anak biasanya merokok karena tak terjangkau kamera pengawas. Aku pernah sekali melewati tempat ini dulu. Aku mengaduh kesakitan. Punggungku telak mengenai pagar yang terbuat dari aluminium itu. “Bukankah sudah kubilang jangan berlagak jika berada di depanku?” Mino mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Rahangnya mengeras. “Kenapa? Kau takut?” Aku membalas menantang. Aku memasang wajah datar. Rey memukul pagar besi dibelakang hingga menimbulkan bunyi gemerincing. Sontak aku langsung menghindar dengan mata yang terpejam. Perlahan aku membuka mata mendapati tangan Rey yang berada tepat di sudut mataku. “Aku bilang aku juga bisa memukul perempuan.” Rey melotot padaku. Dia benar-benar marah. Hening sejenak. Menyisakan suara mobil yang melintas di luar sana. Sesekali suara klakson terdengar. Aku mendongak menyerahkan
Aku menoleh kaget. Apa katanya? Kesepakatan? Aku dan Rey?“Apa?” Aku memberinya tatapan tak percaya.“Lupakan kalau tidak mau.” Rey memotong singkat sambil mengambil keputusan sepihak.“Tunggu. Tunggu.” Seketika aku memejamkan mata untuk memahami situasi di antara kami. Beberapa waktu lalu kami masih menjadi musuhan. Tidak butuh waktu sepuluh menit, dia ingin aku menjadi rekan sekaligus temannya.Aku menarik nafas pelan lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba mengendalikan diri agar tak terlalu naik dan turun terbawa emosi.“Kesepakatan apa yang kau maksud?” Aku bertanya. Secara tidak langsung menunjukan ketertarikan pada tawaran Rey. “Biar aku dengar dulu apa yang bisa kudapat.”“Mudah saja.” Rey tersenyum picik. Dia memutar badan menghadap ke arahku.“Aku butuh buku diari hijau milih Hana. Seharusnya itu tidak sulit bagimu karena kau teman sebangkunya. Sebagai gantinya, kau bisa minta satu hal dariku.”“Apa katamu?” Aku mendengus. “Kau pikir itu mudah? Aku saja hampir ketahuan waktu
Aku sengaja datang pagi-pagi sekali. Bahkan jalanan masih sepi ketika Pak Andra melajukan mobil di tengah jalan tol yang lengang. Hari masih pukul enam pagi. Semburat merah mulai muncul di tepi langit dari balik gedung-gedung tinggi. Mentari mulai menampakkan diri bersiap menerangi bumi sepanjang hari. Aku menurunkan kaca mobil. Membiarkan angin pagi menyapa pipiku. Aku juga mengeluarkan tangan. Hendak merasakan hembusan angin dingin dan embun pagi yang mulai mencair. Aku memandang jauh gedung gedung tinggi yang berjejer. Kacanya memantulkan cahaya matahari pagi. Sesekali mataku terpejam karena terkena pantulan cahaya. Menyilaukan. “Kenapa berangkat pagi sekali nak?” Pak Andra bertanya dari balik kemudi. Dia fokus mengemudi. Jalanan sepi lebih berbahaya dari jalanan yang padat. “Aku meninggalkan buku PR yang harus dikumpulkan hari ini pak.” Aku memberi alasan asal sambil menyerngitkan hidung manja. Lalu tersenyum semanis yang kubisa. Ya. Aku berboho
“Hei! Kau gila?” Mino balas berbisik. Dia memberiku tatapan tak percaya. Selama bersekolah di sini, tak terhitung berapa banyak pelanggaran yang sudah kulakukan. Mulai dari mata-mata, mencontek, mencuri, membobol ruang guru tanpa izin hingga merusak properti sekolah. Ya. Aku merasa telah mempelajari hal-hal itu di sekolah. Toh hukuman yang aku dapatkan tak pernah memberatkan. Dulu tak pernah terbayangkan kalau aku akan menjadi anak pemberontak seperti ini. Ini semua hanya karena sistem kasta bodoh di sekolah ayahku ini. Tidak hanya aku, Mino pun juga ikut terlibat. Pelanggarannya sama denganku, tapi untunglah dia tak mendapat hukuman sebanyak yang aku dapatkan. Hanya pertama kali ketika kami mencuri soal ujian waktu itu. Setelahnya tak lagi karena memang aku bertindak sendirian untuk kasus-kasus berikutnya. “Sekarang loker Hana terkunci, tapi aku tak punya ide untuk membuka gemboknya.” Aku mengabaikan pertanyaan Mino. Kami tak punya waktu untuk mem