Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku masih harus membersihkan auditorium karena seharian sudah digunakan berolahraga dalam ruangan. Aku meyakinkan diriku untuk tak boleh mengeluh. Selama beberapa hari ini terlalu banyak mengeluh. Mungkin karena itu otakku seperti menolak untuk bekerja sana. Satu per satu murid mulai berjalan menuju gerbang utama di depan. Bersiap untuk pulang. Di depan sana aku bisa melihat belasan mobil sudah berjejer menjemput putra putri terbaik mereka. Tapi apa mereka tahu apa yang terjadi di sekolah ini? Kebanyakan para murid di sini tutup mata dan juga telinga jika melihat kasus-kasus bullian yang terjadi. Nilai dan reputasi jauh lebih penting bagi mereka. Hanya aku yang sibuk kesana-kemari sampai lupa cara untuk berbuat baik pada diri sendiri. Dulu aku memang pernah memimpikan ketika pulang sekolah dijemput oleh ayah, lalu dia menciumi keningku ketika aku menyalami tangannya. Menanyakan bagaimana hariku di sekolah, apa yang ku
Aku membuka sebuah buku kecil di meja. Akhir-akhir ini aku banyak menulis. Entahlah apa itu termasuk belajar menulis diari. Setidaknya bisa membuat jalan di depanku menjadi lebih jelas dan terarah. Suara TV di luar terdengar begitu keras hingga ke dalam kamar. Disusul gelak tawa dari Bi Ruri. Sepertinya beliau tengah asik menonton sebuah acara lawak di TV Nasional. Padahal menurutku tak lucu sama sekali. Candaan setiap generasi memang berbeda. Suara dering ponsel mengejutkanku. Sontak tanganku langsung meraih benda petak itu yang berada di atas kasur, sementara aku duduk di meja belajar. Siapa yang menelepon malam-malam begini. “Ada apa?” Aku mengangkat panggilan. Itu Mino. Dia bilang ada hal mendesak yang harus disampaikannya malam ini. Tapi aku tak terlalu yakin karena dia memang suka sekali membuat orang terbang tinggi dengan penuh harap tapi setelahnya dihempas sekuat-kuatnya ke bawah. Ya. Itu perumpamaan yang cocok untuk orang seperti Mino.
Aku memilih untuk mengabaikan Mister Han yang berdiri sambil tersenyum di sana. Baru dua langkah, aku menoleh. Rey masih berdiri dengan sopan di sana. Aku terpaksa memutar balik lalu menarik lengan Rey. “Ayo! Sebentar lagi bel akan berbunyi.” Entah kenapa aku bersikap sok akrab dengan Rey di sana. Tapi aku hanya tak ingin melihat Rey yang patuh pada Mister Han. Aneh. Rey pun juga langsung sopan ketika berhadapan dengan Mister Han. Apa menurut kalian juga aneh? Atau hanya aku saja yang mengajarkan Rey untuk bersikap kurang ajar pada orang tua. Rey juga tak menepis tanganku ketika aku menariknya menjauh. Boleh jadi dia juga ingin segera enyah dari hadapan Mister Han dan juga Sekretaris Lin. Ah, aku teringat sesuatu. Tatapan Sekretaris Lin pada Rey sangat berbeda. Entahlah. Sulit untuk kujelaskan. Yang pasti tatapannya berbeda dari biasanya ketika melihatku dan juga Mino. “Sekarang lepaskan tanganku.” Rey bergumam di belakang. Aku masih belum melepaskan tangannya
Dari berbagai banyak warna di dunia. Kenapa harus warna hitam? Padahal hitam tidak termasuk ke dalam warna pelangi yang tujuh. Sama seperti warna lainnya, hitam juga memiliki makna yang melambangkan kekuatan, keseriusan, kesunyian, misteri, dan juga kerahasiaan. Dari berbagai arti itu, akhirnya aku paham kenapa si pengirim misterius itu mengirimkan amplop berwarna hitam. Tak perlu di jelaskan pun aku sudah paham tujuan dan maksud dari orang misterius itu. Eh, tidak. Apa sekarang tidak lagi menjadi misterius karena aku sudah tahu sedikit banyaknya? Suasana kelas sepi, hanya menyisakan aku dan Mino. Boleh jadi mereka tengah mengantri untuk mendapatkan jatah makan siang di kantin. Membayangkannya saja aku menjadi tak selera makan. Ah, aku mengutuk dalam hati. Jika saja aku bisa merubah peraturan yang satu itu. Maka semua murid bisa makan dengan tenang. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya kekuatan untuk itu. Bertahan untuk bisa terus bersekolah di sini saja sudah membuatku
Rey mendaratkan tangannya tepat di pipi kanan Hana. Dia menampar telak Hana. Gadis itu terhenyak ke belakang hingga melangkah mundur. “Berapa kali kubilang jangan menulis hal-hal tak berguna di buku diari bodohmu itu, huh?” Rey berseru geram. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. “Gara-gara kau.” Kali ini Rey mendorong kepala Hana berulang kali. Sedangkan gadis itu tak melawan dan menerimanya begitu saja. Mulutnya seperti terkunci. “Gara-gara kau, dia tahu semuanya tentang kita. Bukankah kau bilang tak ingin bersamaku lagi. Oke. Aku sudah turuti semua kemauanmu, tapi seharusnya kau juga melakukan hal yang sama padaku. Baru adil namanya. Jika begini apa yang harus kulakukan? Apa perlu kuumumkan siapa kau sebenarnya?” Rey memukul angin kosong. Tangannya kembali terangkat yang membuat Hana semakin menunduk ketakutan. Hanya masalah waktu hingga tangan Rey kembali menampar pipinya. Tapi perkiraan Hana salah. Rey justru menurunkan tangannya dengan pelan dan membelai pipi Hana yang
Mino mencariku ke toilet wanita karena aku tak kunjung kembali ke meja kami di kantin. Aku juga sudah pergi terlalu lama jika hanya ke kamar mandi. Dia menunggu di depan pintu kamar mandi wanita dan juga bertanya pada setiap gadis yang baru keluar dari dalam. Apakah mereka melihatku di dalam atau tidak. Setelah bertanya pada beberapa anak perempuan, tidak ada satu pun dari mereka yang melihatku di dalam. Mino yakin kalau aku tak pergi ke kamar kecil melainkan ke tempat lain. Mino menyusuri lorong menuju ruang kelas kami. Tetap saja dia tak menemukan aku di sana. Dia juga mendatangi bangku tempat duduk kami biasanya di lapangan. Aku juga tidak ada di sana. Wajar saja jika Mino tak menemukanku karena aku masih berada di atap. Rey sudah turun beberapa menit yang lalu. Aku melihat anak-anak yang tengah berlari mengelilingi lapangan di tengah hari. Aku merutuk kesal. Kenapa ada jam olahraga di tengah hari seperti ini? Padahal masih banyak waktu yang bisa digunakan m
“Kau mau sekalian membolos?” Mino memberi ide. Mataku membesar. Itu bukan ide buruk. Dengan cepat aku setuju dengannya. Sudah lama kami tak membolos. Waktu itu aku tak ingat pesan dan peringatan dari Pak Beni. Akhirnya aku tetap bolos bersama Mino sepanjang hari. “Kita mau kemana?” Aku bertanya. Kami berjalan menyusuri trotoar panjang sepanjang jalan. Banyak mobil yang berlalu lalang. Aku bisa menciup bau asap mobil yang pekat. Dari tadi kami benar-benar berjalan kaki. Tak membawa tas sama sekali. Hanya berjalan tanpa berpikir panjang. “Kau bilang mau mencari udara segar.” Mino menjawab singkat. “Hei! Ini yang kau sebut udara segar? Tidak ada udara bersih di sini, yang ada hanya karbon dioksida yang terhirup oleh hidungku.” Aku bersungut-sungut. Dia sama gilanya denganku. Eh, tidak lebih aneh. Matahari sudah hampir tergelincir. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Kami tiba di taman di pinggir kota. Aku memilih untuk dudu
“Ada masalah baru Mister.” Sekretaris Lin melaporkan dari balik kemudi. Nada suaranya terdengar serius. Dia tetap fokus ke depan memperhatikan jalanan yang sudah mulai padat. Mister Han menyimak. Dia mengalihkan pandangan pada Sektetaris Lin. “Jia mendapatkan surat peringatan satu karena sudah membolos sebanyak lebih dari lima kali. Pak Beni sudah menghubungi saya tadi siang.” Sekretaris Lin tetap fokus mengemudi. Baru saja sebuah motor menyalip meobil mereka. “Benarkah?” Sekretaris Lin melirik Mister Han melalui kaca kecil yang menggantung kemudian memberi anggukan. “Dia tidak sendiri Mister, tapi bersama teman sebangkunya Mino.” “Dia juga ikut?” “Waktu pelayanan masyarakat Jia sudah hampir berakhir Mister, hanya tersisa sembilan jam lagi.” Sekretaris Lin terus melaporkan perkembanganku pada Mister Han yang berstatus sebagai ayahku. “Baiklah. Besok aku akan menemui Pak Beni secara langsung.” Mister Han membalas s