Aku berjalan menuju tempat pemisahan sampah di belakang sekolah. Di sana aku tak melihat siapa-siapa. Kemudian aku meneruskan jalan menuju perpustakaan. Aku juga harus membersihkan rak buku yang sudah agak berdebu dan membersihkan kaca di sekeliling dindingnya. Ya. Jika kuingat-ingat lagi, perangaiku di sekolah ini memang banyak sekali jadi tak heran jika aku harus membersihakan seluruh sudut sekolah sebagai balasan. Tidak masalah asalkan tidak orang lain yang menanggungnya. “Kau tidak capek melakukan ini?” suara pelan seorang anak laki-laki terdengar. Sontak aku langsung menoleh untuk mencari sumber suara itu. Tak lama setelahnya dia muncul dari balik rak buku. Dia menyandarkan punggungnya pada rak dan bertumpu dengan sebelah kaki dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. “Aku tanya kau tidak capek melakukan semua ini?” “Kenapa kau bertanya? Pertanyaan itu sama sekali tak cocok untukmu,” balasku ketus. “Ya…aku bisa apa jika sudah menyangkut ana
Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku masih harus membersihkan auditorium karena seharian sudah digunakan berolahraga dalam ruangan. Aku meyakinkan diriku untuk tak boleh mengeluh. Selama beberapa hari ini terlalu banyak mengeluh. Mungkin karena itu otakku seperti menolak untuk bekerja sana. Satu per satu murid mulai berjalan menuju gerbang utama di depan. Bersiap untuk pulang. Di depan sana aku bisa melihat belasan mobil sudah berjejer menjemput putra putri terbaik mereka. Tapi apa mereka tahu apa yang terjadi di sekolah ini? Kebanyakan para murid di sini tutup mata dan juga telinga jika melihat kasus-kasus bullian yang terjadi. Nilai dan reputasi jauh lebih penting bagi mereka. Hanya aku yang sibuk kesana-kemari sampai lupa cara untuk berbuat baik pada diri sendiri. Dulu aku memang pernah memimpikan ketika pulang sekolah dijemput oleh ayah, lalu dia menciumi keningku ketika aku menyalami tangannya. Menanyakan bagaimana hariku di sekolah, apa yang ku
Aku membuka sebuah buku kecil di meja. Akhir-akhir ini aku banyak menulis. Entahlah apa itu termasuk belajar menulis diari. Setidaknya bisa membuat jalan di depanku menjadi lebih jelas dan terarah. Suara TV di luar terdengar begitu keras hingga ke dalam kamar. Disusul gelak tawa dari Bi Ruri. Sepertinya beliau tengah asik menonton sebuah acara lawak di TV Nasional. Padahal menurutku tak lucu sama sekali. Candaan setiap generasi memang berbeda. Suara dering ponsel mengejutkanku. Sontak tanganku langsung meraih benda petak itu yang berada di atas kasur, sementara aku duduk di meja belajar. Siapa yang menelepon malam-malam begini. “Ada apa?” Aku mengangkat panggilan. Itu Mino. Dia bilang ada hal mendesak yang harus disampaikannya malam ini. Tapi aku tak terlalu yakin karena dia memang suka sekali membuat orang terbang tinggi dengan penuh harap tapi setelahnya dihempas sekuat-kuatnya ke bawah. Ya. Itu perumpamaan yang cocok untuk orang seperti Mino.
Aku memilih untuk mengabaikan Mister Han yang berdiri sambil tersenyum di sana. Baru dua langkah, aku menoleh. Rey masih berdiri dengan sopan di sana. Aku terpaksa memutar balik lalu menarik lengan Rey. “Ayo! Sebentar lagi bel akan berbunyi.” Entah kenapa aku bersikap sok akrab dengan Rey di sana. Tapi aku hanya tak ingin melihat Rey yang patuh pada Mister Han. Aneh. Rey pun juga langsung sopan ketika berhadapan dengan Mister Han. Apa menurut kalian juga aneh? Atau hanya aku saja yang mengajarkan Rey untuk bersikap kurang ajar pada orang tua. Rey juga tak menepis tanganku ketika aku menariknya menjauh. Boleh jadi dia juga ingin segera enyah dari hadapan Mister Han dan juga Sekretaris Lin. Ah, aku teringat sesuatu. Tatapan Sekretaris Lin pada Rey sangat berbeda. Entahlah. Sulit untuk kujelaskan. Yang pasti tatapannya berbeda dari biasanya ketika melihatku dan juga Mino. “Sekarang lepaskan tanganku.” Rey bergumam di belakang. Aku masih belum melepaskan tangannya
Dari berbagai banyak warna di dunia. Kenapa harus warna hitam? Padahal hitam tidak termasuk ke dalam warna pelangi yang tujuh. Sama seperti warna lainnya, hitam juga memiliki makna yang melambangkan kekuatan, keseriusan, kesunyian, misteri, dan juga kerahasiaan. Dari berbagai arti itu, akhirnya aku paham kenapa si pengirim misterius itu mengirimkan amplop berwarna hitam. Tak perlu di jelaskan pun aku sudah paham tujuan dan maksud dari orang misterius itu. Eh, tidak. Apa sekarang tidak lagi menjadi misterius karena aku sudah tahu sedikit banyaknya? Suasana kelas sepi, hanya menyisakan aku dan Mino. Boleh jadi mereka tengah mengantri untuk mendapatkan jatah makan siang di kantin. Membayangkannya saja aku menjadi tak selera makan. Ah, aku mengutuk dalam hati. Jika saja aku bisa merubah peraturan yang satu itu. Maka semua murid bisa makan dengan tenang. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya kekuatan untuk itu. Bertahan untuk bisa terus bersekolah di sini saja sudah membuatku
Rey mendaratkan tangannya tepat di pipi kanan Hana. Dia menampar telak Hana. Gadis itu terhenyak ke belakang hingga melangkah mundur. “Berapa kali kubilang jangan menulis hal-hal tak berguna di buku diari bodohmu itu, huh?” Rey berseru geram. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. “Gara-gara kau.” Kali ini Rey mendorong kepala Hana berulang kali. Sedangkan gadis itu tak melawan dan menerimanya begitu saja. Mulutnya seperti terkunci. “Gara-gara kau, dia tahu semuanya tentang kita. Bukankah kau bilang tak ingin bersamaku lagi. Oke. Aku sudah turuti semua kemauanmu, tapi seharusnya kau juga melakukan hal yang sama padaku. Baru adil namanya. Jika begini apa yang harus kulakukan? Apa perlu kuumumkan siapa kau sebenarnya?” Rey memukul angin kosong. Tangannya kembali terangkat yang membuat Hana semakin menunduk ketakutan. Hanya masalah waktu hingga tangan Rey kembali menampar pipinya. Tapi perkiraan Hana salah. Rey justru menurunkan tangannya dengan pelan dan membelai pipi Hana yang
Mino mencariku ke toilet wanita karena aku tak kunjung kembali ke meja kami di kantin. Aku juga sudah pergi terlalu lama jika hanya ke kamar mandi. Dia menunggu di depan pintu kamar mandi wanita dan juga bertanya pada setiap gadis yang baru keluar dari dalam. Apakah mereka melihatku di dalam atau tidak. Setelah bertanya pada beberapa anak perempuan, tidak ada satu pun dari mereka yang melihatku di dalam. Mino yakin kalau aku tak pergi ke kamar kecil melainkan ke tempat lain. Mino menyusuri lorong menuju ruang kelas kami. Tetap saja dia tak menemukan aku di sana. Dia juga mendatangi bangku tempat duduk kami biasanya di lapangan. Aku juga tidak ada di sana. Wajar saja jika Mino tak menemukanku karena aku masih berada di atap. Rey sudah turun beberapa menit yang lalu. Aku melihat anak-anak yang tengah berlari mengelilingi lapangan di tengah hari. Aku merutuk kesal. Kenapa ada jam olahraga di tengah hari seperti ini? Padahal masih banyak waktu yang bisa digunakan m
“Kau mau sekalian membolos?” Mino memberi ide. Mataku membesar. Itu bukan ide buruk. Dengan cepat aku setuju dengannya. Sudah lama kami tak membolos. Waktu itu aku tak ingat pesan dan peringatan dari Pak Beni. Akhirnya aku tetap bolos bersama Mino sepanjang hari. “Kita mau kemana?” Aku bertanya. Kami berjalan menyusuri trotoar panjang sepanjang jalan. Banyak mobil yang berlalu lalang. Aku bisa menciup bau asap mobil yang pekat. Dari tadi kami benar-benar berjalan kaki. Tak membawa tas sama sekali. Hanya berjalan tanpa berpikir panjang. “Kau bilang mau mencari udara segar.” Mino menjawab singkat. “Hei! Ini yang kau sebut udara segar? Tidak ada udara bersih di sini, yang ada hanya karbon dioksida yang terhirup oleh hidungku.” Aku bersungut-sungut. Dia sama gilanya denganku. Eh, tidak lebih aneh. Matahari sudah hampir tergelincir. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Kami tiba di taman di pinggir kota. Aku memilih untuk dudu
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si
“Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin