“Besok Mister Han akan memenuhi panggilan Pak Beni sebagai orang tua,” lanjut Sekretaris Lin menjelaskan. Dia tak peduli dengan ekspresiku yang tampak terkejut. Ah, aku lupa. Aku kemarin membolos dan mengabaikan peringatan dari Pak Beni. Habislah aku kali ini. Apa yang harus kukatakan besok? Apa ini akhir dari semua perjalananku? Apa aku harus kembali ke Kanada dalam dua hari? “Jadi karena itu Mister Han mengajakku makan malam?” Aku memperbaiki raut wajah kembali datar sambil menilik raut wajah Sekretaris Lin. “Entahlah. Aku tak bisa menjawab. Mungkin saja dia hanya ingin makan malam bersamamu,” balas Sekretaris Lin singkat. Meskipun dia bilang tak suka padaku, tapi dia tetap menjawab setiap kali aku bertanya. Memang harus aku akui jika dia salah satu sekretaris yang paling setia pada majikannya. “Oh ya.” Aku teringat sesuatu. Pikiranku bercabang. Percakapanku dengan Rey di atap waktu itu tiba-tiba saja melintas. Waktu itu Rey menyebut t
Aku memainkan kuku jemari di atas pangkuan paha. Antara mendengar atau tidak, tadi Pak Beni menyuruhku menungguku di luar sementara mereka berbicara di dalam sebuah ruangan. Sesekali aku mengintip dari kaca transparan sambil menempelkan telinga pada pintu. Aku bisa mendengar suara tapi tak jelas apa yang mereka bicarakan. Saat pergantian jam pelajaran, ketua kelasku memberi tahu jika Pak Beni sudah menungguku di kantor guru. Baiklah. Sudah waktunya. Tidak ada waktu untuk terkejut ataupun pura-pura tidak tahu. Padahal tadi malam sudah di bahas dengan orang yang bersangkutan langsung. Kenop pintu didorong, pintu terbuka. Sontak aku langsung berdiri dengan kedua tangan tertaut di depan. Aku menelan ludah, bersiap apa yang hendak keluar dari mulut kedua pria paruh baya di depanku ini. Pak Beni menghela nafas berat. Dia menatapku dengan tatapan tak suka. “Akan aku beri kau satu kesempatan terakhir.” Pak Beni berlalu menuju meja kerjanya. Hasilnya di luar
Rey menghempaskan badanku pada pagar besi di belakang sekolah. Tempat ini termasuk tempat anak-anak biasanya merokok karena tak terjangkau kamera pengawas. Aku pernah sekali melewati tempat ini dulu. Aku mengaduh kesakitan. Punggungku telak mengenai pagar yang terbuat dari aluminium itu. “Bukankah sudah kubilang jangan berlagak jika berada di depanku?” Mino mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Rahangnya mengeras. “Kenapa? Kau takut?” Aku membalas menantang. Aku memasang wajah datar. Rey memukul pagar besi dibelakang hingga menimbulkan bunyi gemerincing. Sontak aku langsung menghindar dengan mata yang terpejam. Perlahan aku membuka mata mendapati tangan Rey yang berada tepat di sudut mataku. “Aku bilang aku juga bisa memukul perempuan.” Rey melotot padaku. Dia benar-benar marah. Hening sejenak. Menyisakan suara mobil yang melintas di luar sana. Sesekali suara klakson terdengar. Aku mendongak menyerahkan
Aku menoleh kaget. Apa katanya? Kesepakatan? Aku dan Rey?“Apa?” Aku memberinya tatapan tak percaya.“Lupakan kalau tidak mau.” Rey memotong singkat sambil mengambil keputusan sepihak.“Tunggu. Tunggu.” Seketika aku memejamkan mata untuk memahami situasi di antara kami. Beberapa waktu lalu kami masih menjadi musuhan. Tidak butuh waktu sepuluh menit, dia ingin aku menjadi rekan sekaligus temannya.Aku menarik nafas pelan lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba mengendalikan diri agar tak terlalu naik dan turun terbawa emosi.“Kesepakatan apa yang kau maksud?” Aku bertanya. Secara tidak langsung menunjukan ketertarikan pada tawaran Rey. “Biar aku dengar dulu apa yang bisa kudapat.”“Mudah saja.” Rey tersenyum picik. Dia memutar badan menghadap ke arahku.“Aku butuh buku diari hijau milih Hana. Seharusnya itu tidak sulit bagimu karena kau teman sebangkunya. Sebagai gantinya, kau bisa minta satu hal dariku.”“Apa katamu?” Aku mendengus. “Kau pikir itu mudah? Aku saja hampir ketahuan waktu
Aku sengaja datang pagi-pagi sekali. Bahkan jalanan masih sepi ketika Pak Andra melajukan mobil di tengah jalan tol yang lengang. Hari masih pukul enam pagi. Semburat merah mulai muncul di tepi langit dari balik gedung-gedung tinggi. Mentari mulai menampakkan diri bersiap menerangi bumi sepanjang hari. Aku menurunkan kaca mobil. Membiarkan angin pagi menyapa pipiku. Aku juga mengeluarkan tangan. Hendak merasakan hembusan angin dingin dan embun pagi yang mulai mencair. Aku memandang jauh gedung gedung tinggi yang berjejer. Kacanya memantulkan cahaya matahari pagi. Sesekali mataku terpejam karena terkena pantulan cahaya. Menyilaukan. “Kenapa berangkat pagi sekali nak?” Pak Andra bertanya dari balik kemudi. Dia fokus mengemudi. Jalanan sepi lebih berbahaya dari jalanan yang padat. “Aku meninggalkan buku PR yang harus dikumpulkan hari ini pak.” Aku memberi alasan asal sambil menyerngitkan hidung manja. Lalu tersenyum semanis yang kubisa. Ya. Aku berboho
“Hei! Kau gila?” Mino balas berbisik. Dia memberiku tatapan tak percaya. Selama bersekolah di sini, tak terhitung berapa banyak pelanggaran yang sudah kulakukan. Mulai dari mata-mata, mencontek, mencuri, membobol ruang guru tanpa izin hingga merusak properti sekolah. Ya. Aku merasa telah mempelajari hal-hal itu di sekolah. Toh hukuman yang aku dapatkan tak pernah memberatkan. Dulu tak pernah terbayangkan kalau aku akan menjadi anak pemberontak seperti ini. Ini semua hanya karena sistem kasta bodoh di sekolah ayahku ini. Tidak hanya aku, Mino pun juga ikut terlibat. Pelanggarannya sama denganku, tapi untunglah dia tak mendapat hukuman sebanyak yang aku dapatkan. Hanya pertama kali ketika kami mencuri soal ujian waktu itu. Setelahnya tak lagi karena memang aku bertindak sendirian untuk kasus-kasus berikutnya. “Sekarang loker Hana terkunci, tapi aku tak punya ide untuk membuka gemboknya.” Aku mengabaikan pertanyaan Mino. Kami tak punya waktu untuk mem
Hana sudah berdiri di sampingku. Mengajarkan bagaimana cara pengerjaan soal di depan. Dia tampak dengan mudah menjawab soal yang sangat sulit bagiku. Dia memberiku senyuman. “Baiklah. Duduk kalian berdua.” Pak Beni menyuruh kami duduk. “Hana?” Panggil Pak Beni lagi. Hana menoleh. Pak Beni tersenyum lalu berkata, “kau sudah bekerja keras.” Aku menatap Hana yang tampak kebingungan. Kami pun kembali duduk dan Pak Beni terus menerangkan pelajaran bab selanjutnya. Begitu seterusnya hingga pelajaran berakhir. “Kau mau kemana sepulang sekolah?” Hana bertanya. Aku berhenti sejenak dari kesibukan merapikan alat-alat tulis di atas meja. Selama jam pelajaran tadi aku sibuk mengacak-ngacak meja, memainkan pulpen sehingga banyak pulpen yang berserakan di lantai atau menggambar dan mencoret kertas kosong. Jadi banyak sampah di atas meja. “Kenapa?” Aku balik bertanya. Mencoba bersikap ramah. “
Kami kembali ke kelas. Sebentar lagi pelajaran akan segera di lanjutkan. Pelajaran Sastra. Aku selalu bersiap jika nanti akan terjadi sesuatu di luar kendali. Jika ada tombol pause atau delete yang bisa kutekan dimana pun itu, aku sudah pasti akan sangat santai dan mempelajari sastra dengan sungguh-sungguh. Tidak membiarkan siapa pun dan apa pun itu yang bisa memecah fokusku. Aku melirik Hana di samping lalu beralih pada Bu Hani yang baru saja memasuki kelas. Dia juga wali kelasku, jadi sebelum pelajaran di mulai, Bu Hani akan menyampai beberapa informasi atau pengumuman-pengumuman kecil yang mengharuskan setiap murid tahu. “Baiklah. Hari ini ibu mau mengingatkan bahwa dalam sepuluh hari kita akan melaksanakan perjalanan wisata sebagai bagian dari pembelajaran prakter lapangan. Beritahu ibu jika ada yang tidak ikut.” Pelajaran Sastra selalu mengajak murid-muridnya untuk berjalan-jalan sekali dalam satu semester. Jangan kalian pikir kami akan berpikn