Rey menghempaskan badanku pada pagar besi di belakang sekolah. Tempat ini termasuk tempat anak-anak biasanya merokok karena tak terjangkau kamera pengawas. Aku pernah sekali melewati tempat ini dulu. Aku mengaduh kesakitan. Punggungku telak mengenai pagar yang terbuat dari aluminium itu. “Bukankah sudah kubilang jangan berlagak jika berada di depanku?” Mino mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Rahangnya mengeras. “Kenapa? Kau takut?” Aku membalas menantang. Aku memasang wajah datar. Rey memukul pagar besi dibelakang hingga menimbulkan bunyi gemerincing. Sontak aku langsung menghindar dengan mata yang terpejam. Perlahan aku membuka mata mendapati tangan Rey yang berada tepat di sudut mataku. “Aku bilang aku juga bisa memukul perempuan.” Rey melotot padaku. Dia benar-benar marah. Hening sejenak. Menyisakan suara mobil yang melintas di luar sana. Sesekali suara klakson terdengar. Aku mendongak menyerahkan
Aku menoleh kaget. Apa katanya? Kesepakatan? Aku dan Rey?“Apa?” Aku memberinya tatapan tak percaya.“Lupakan kalau tidak mau.” Rey memotong singkat sambil mengambil keputusan sepihak.“Tunggu. Tunggu.” Seketika aku memejamkan mata untuk memahami situasi di antara kami. Beberapa waktu lalu kami masih menjadi musuhan. Tidak butuh waktu sepuluh menit, dia ingin aku menjadi rekan sekaligus temannya.Aku menarik nafas pelan lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba mengendalikan diri agar tak terlalu naik dan turun terbawa emosi.“Kesepakatan apa yang kau maksud?” Aku bertanya. Secara tidak langsung menunjukan ketertarikan pada tawaran Rey. “Biar aku dengar dulu apa yang bisa kudapat.”“Mudah saja.” Rey tersenyum picik. Dia memutar badan menghadap ke arahku.“Aku butuh buku diari hijau milih Hana. Seharusnya itu tidak sulit bagimu karena kau teman sebangkunya. Sebagai gantinya, kau bisa minta satu hal dariku.”“Apa katamu?” Aku mendengus. “Kau pikir itu mudah? Aku saja hampir ketahuan waktu
Aku sengaja datang pagi-pagi sekali. Bahkan jalanan masih sepi ketika Pak Andra melajukan mobil di tengah jalan tol yang lengang. Hari masih pukul enam pagi. Semburat merah mulai muncul di tepi langit dari balik gedung-gedung tinggi. Mentari mulai menampakkan diri bersiap menerangi bumi sepanjang hari. Aku menurunkan kaca mobil. Membiarkan angin pagi menyapa pipiku. Aku juga mengeluarkan tangan. Hendak merasakan hembusan angin dingin dan embun pagi yang mulai mencair. Aku memandang jauh gedung gedung tinggi yang berjejer. Kacanya memantulkan cahaya matahari pagi. Sesekali mataku terpejam karena terkena pantulan cahaya. Menyilaukan. “Kenapa berangkat pagi sekali nak?” Pak Andra bertanya dari balik kemudi. Dia fokus mengemudi. Jalanan sepi lebih berbahaya dari jalanan yang padat. “Aku meninggalkan buku PR yang harus dikumpulkan hari ini pak.” Aku memberi alasan asal sambil menyerngitkan hidung manja. Lalu tersenyum semanis yang kubisa. Ya. Aku berboho
“Hei! Kau gila?” Mino balas berbisik. Dia memberiku tatapan tak percaya. Selama bersekolah di sini, tak terhitung berapa banyak pelanggaran yang sudah kulakukan. Mulai dari mata-mata, mencontek, mencuri, membobol ruang guru tanpa izin hingga merusak properti sekolah. Ya. Aku merasa telah mempelajari hal-hal itu di sekolah. Toh hukuman yang aku dapatkan tak pernah memberatkan. Dulu tak pernah terbayangkan kalau aku akan menjadi anak pemberontak seperti ini. Ini semua hanya karena sistem kasta bodoh di sekolah ayahku ini. Tidak hanya aku, Mino pun juga ikut terlibat. Pelanggarannya sama denganku, tapi untunglah dia tak mendapat hukuman sebanyak yang aku dapatkan. Hanya pertama kali ketika kami mencuri soal ujian waktu itu. Setelahnya tak lagi karena memang aku bertindak sendirian untuk kasus-kasus berikutnya. “Sekarang loker Hana terkunci, tapi aku tak punya ide untuk membuka gemboknya.” Aku mengabaikan pertanyaan Mino. Kami tak punya waktu untuk mem
Hana sudah berdiri di sampingku. Mengajarkan bagaimana cara pengerjaan soal di depan. Dia tampak dengan mudah menjawab soal yang sangat sulit bagiku. Dia memberiku senyuman. “Baiklah. Duduk kalian berdua.” Pak Beni menyuruh kami duduk. “Hana?” Panggil Pak Beni lagi. Hana menoleh. Pak Beni tersenyum lalu berkata, “kau sudah bekerja keras.” Aku menatap Hana yang tampak kebingungan. Kami pun kembali duduk dan Pak Beni terus menerangkan pelajaran bab selanjutnya. Begitu seterusnya hingga pelajaran berakhir. “Kau mau kemana sepulang sekolah?” Hana bertanya. Aku berhenti sejenak dari kesibukan merapikan alat-alat tulis di atas meja. Selama jam pelajaran tadi aku sibuk mengacak-ngacak meja, memainkan pulpen sehingga banyak pulpen yang berserakan di lantai atau menggambar dan mencoret kertas kosong. Jadi banyak sampah di atas meja. “Kenapa?” Aku balik bertanya. Mencoba bersikap ramah. “
Kami kembali ke kelas. Sebentar lagi pelajaran akan segera di lanjutkan. Pelajaran Sastra. Aku selalu bersiap jika nanti akan terjadi sesuatu di luar kendali. Jika ada tombol pause atau delete yang bisa kutekan dimana pun itu, aku sudah pasti akan sangat santai dan mempelajari sastra dengan sungguh-sungguh. Tidak membiarkan siapa pun dan apa pun itu yang bisa memecah fokusku. Aku melirik Hana di samping lalu beralih pada Bu Hani yang baru saja memasuki kelas. Dia juga wali kelasku, jadi sebelum pelajaran di mulai, Bu Hani akan menyampai beberapa informasi atau pengumuman-pengumuman kecil yang mengharuskan setiap murid tahu. “Baiklah. Hari ini ibu mau mengingatkan bahwa dalam sepuluh hari kita akan melaksanakan perjalanan wisata sebagai bagian dari pembelajaran prakter lapangan. Beritahu ibu jika ada yang tidak ikut.” Pelajaran Sastra selalu mengajak murid-muridnya untuk berjalan-jalan sekali dalam satu semester. Jangan kalian pikir kami akan berpikn
Kami berdiri sejajar di depan pintu menunggu ibu Ali keluar dari kamar setelah menyampaikan pesan pada Ali. Aku harap-harap cemas, takut jika dia menolak kunjungan kami. Pasti tidak mudah bagi Ali untuk bertemu seseorang yang sudah membuatnya masuk rumah sakit. Ibu Ali keluar dari kamar. Aku menatapnya penuh harap. “Bagaimana bu?” Wanita paruh baya yang mengenakan switer hitam itu menggeleng pelan. Putranya menolak untuk bertemu kami. Aku menoleh menatap Mino dan Rey yang masing-masing berdiri di sampingku. Mino juga tampak kecewa karena ini, sementara Rey tampak membuang muka seolah tak peduli. Hei! Seharusnya dialah yang paling kecewa mendapatkan penolakan ini. Aku menyikut lengan Rey. Menyuruhnya untuk mengatakan sesuatu. Rey balas manatapk. Dia melotot padaku. Ouh astaga, dia sama sekali tak membantu. “Maaf bu, bisa kau sampaikan sekali lagi kalau hanya aku yang ingin bertemu dengannya. Jianada. Ya. Tolong sampaikan kalau
Ali berlari-lari cepat karena sebentar lagi bel akan berbunyi. Namun tetap saja. Pintu gerbang utama baru saja ditutup tepat di depan matanya. Dia terlambat. Ali menghela nafas berat sambl mengusap rambutnya.Sebenarnya sebelum berangkat ibunya sudah berniat ingin mengantarnya tapi Ali kukuh ingin mencoba untuk berangkat menggunakan bus. Dia bilang ingin mencoba sesuatu yang baru. Dan hasilnya tak sebaik yang diperkirakan. Waktu itu baru satu bulan dia bersekolah di sekolah baru. Aku juga belum pindah ke Indonesia. Tentu saja setiap murid berusaha menciptakan citra untuk menjadi anak yang baik dan patuh bagi sekolah. Ali memutar badan dan berbalik. Dia mengelilingi sekolah, apakah ada celah yang bisa dilewatinya agar bisa masuk ke sekolah. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum pelajaran di mulai. Dia sudah seperti maling yang mengendap-endap bersiap untuk masuk. Seketika matanya berbinar ketika menemukan tembok yang agak rendah di bagian belak
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si
“Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin