Sudah hampir satu tahun sejak Aurel tinggal dirumah Jessi dan Alva. Selama hampir satu tahun ini ada banyak perubahan yang terjadi. Salah satunya Aurel dan Alva yang semakin dekat dan terbuka.
Jessi yang sering keluar kota dan Aurel yang sering makan saat Alva pulang kantor membuat mau tak mau membuat Alva menerima ajakan makan malam bersama Aurel. Lagi pula siapa yang akan menolak ajakan itu. Makan malam dengan disuguhkan pemandangan dada indah. Alva sangat munafik jika dia menolaknya.
Selama makan malam bersama yang cukup sering, keduanya saling bercerita dan bertukar pendapat. Menurut Aurel, Alva adalah lelaki cerdas. Sangat mudah bagi Alva menyesuaikan diri dengan berbagai pembicaraan dan menurutnya Alva sudah sangat mudah dekat dengan orang meski perbedaan umur yang jauh seperti mereka.
Sedangkan menurut Alva, Aurel adalah wanita yang ingin ditaklukkan di ranjang. Suara lembut Aurel yang meminta nya bergabung untuk makan malam, sangat ingin didengarnya dalam versi berbeda. Alva sangat ingin suara lembut itu memintanya bergabung di ranjang nya, memintanya untuk memasukinya dan memuaskannya. Penilaian Alva pada Aurel tidak jauh dari nafsu dan ranjang.
"Jadi bagaimana selama satu tahun disini?"
"Nice, tapi Aurel pikir bakal sering ketemu dan keluar bareng Kak Jessi. Ternyata enggak."
"Kakak mu memang sangat sibuk, dia adalah wanita karir. Sepertinya impiannya tidak pernah habis."
"Kakak gak masalah kalau Kak Jessi jarang dirumah kayak gini?"
Tentu tidak masalah, apalagi kalau itu membuatku dihadapkan dengan wanita seperti mu Aurel. Gumam Alva dalam hati sambil tersenyum.
"Tidak."
Aurel mengangguk pelan sambil menutup mulutnya yang menguap. Aurel berdiri dari duduknya dan membawa piringnya dan juga piring Alva ke wastafel.
"Tidurlah Aurel jika mengantuk. Piring itu biar Kakak yang mencucinya."
"Enggak, enggak. Tadi Kakak udah masak makan malam buat Aurel, jadi Aurel yang nyuci piringnya." tolak Aurel.
Selain Aurel yang mengajaknya makan malam saat Alva baru sampai dirumah, selama hampir setahun ini Alva sering memasak makanan untuk makan malam mereka berdua.
"Piring itu bisa dicuci besok, tinggalkan saja."
"Kata Mama, Aurel gak boleh ninggalin piring kotor kalau mau tidur."
Alva menghela nafas panjang. "Baiklah, silahkan cuci piringnya."
Aurel tersenyum cerah pada Alva. Damn! Itu membuat Alva tidak bisa menahan libidonya pada Aurel. Ingin rasanya dirinya mencium bibir yang memberinya senyum cerah itu..
Saat sedang mencuci piring, Aurel tidak sengaja menjatuhkan piring karna tangannya yang licin. Dan lagi, Aurel tidak sengaja melukai tangannya saat membersihkan pecahan piring tersebut.
"Aaahhh." Aurel mendesah sakit saat ujung piring melukai tangannya.
Alva yang dikagetkan oleh suara piring jatuh, semakin kaget saat mendengar rintihan sakit dari Aurel. Alva langsung menghampiri Aurel yang jongkok tepat didepan piring yang pecah dengan tangan yang berdarah.
"Aurel, jangan sentuh pecahan piring itu. Biar Kakak yang membersihkan."
"Tap---
"Tangan kamu sudah berdarah, kamu duduk dimeja makan Kakak bersihkan ini dulu. Nanti Kakak obati luka kamu."
Aurel berdiri dan beranjak ke meja makan sambil menundukkan kepalanya. Dia merasa tidak enak pada Alva karna telah memecahkan piring. Setelah Alva membersihkan pecahan piring, Alva menghampiri Aurel dengan kotak obat ditangannya.
"Mana yang terluka?"
Aurel menyodorkan tangan kanannya yang terluka, tidak parah namun cukup besar mengingat kulit Aurel terlalu lembut.
Dengan perlahan Alva membersihkan dan memberikan obat pada Aurel. Aurel hanya diam berusaha menahan sakitnya. Alva tidak bisa berhenti tersenyum saat sedang mengobati tangan Aurel. Ini adalah salah satu keinginan, memegang tangan mulus Aurel. Dan kali ini dia punya alasan kuat untuk menyentuh tangan lembut itu sepuasnya.
"Sakit?"
"Lumayan Kak."
Alva menegakkan tubuhnya dan menatap Aurel, Alva mengernyit bingung melihat Aurel yang menunduk.
"Kenapa nunduk Aurel?"
"Aurel gak enak sama Kakak, karna udah pecahin piring." ujar Aurel sangat lembut.
"Gak perlu gak enak, cuman piring kan."
"Tapi kan tetap aja---"
Alva mengangkat sebelah alisnya. "Apa?"
"Gak enak."
Alva memasangkan plester pada tangan Aurel yang terluka. Lalu meniup pelan tangan Aurel.
"Sebagi gantinya lain kali kamu harus hati-hati nyuci piringnya. Dan pastikan jangan terluka seperti ini."
Aurel mengulum bibirnya menahan senyum. Kepalanya mengangguk mengiyakan permintaan Alva. Alva berdiri dari duduknya hendak mengembalikan kotak obat ketempat nya. Namun Aurel menahan dengan menarik baju Alva.
Alva menoleh pada Aurel dengan sebelah alis yang terangkat.
"Makasih Kak Alva."
Alva tersenyum tipis pada Aurel. Alva melepaskan tangan Aurel yang menahan bajunya dan menggenggamnya singkat. "Iya, sama-sama."
Alva pergi membawa kotak obat untuk dikembalikan ke tempatnya. Lalu balik ke meja makan lagi. "Tidur lah, biar piringnya saya yang lanjutkan."
Aurel mengangguk pelan lalu berdiri dari kursi. Aurel berjalan kearah kamarnya yang berada dilantai yang sama dengan dapur..
Alva meneguk salivanya melihat lenggokkan tubuh molek Aurel. Sangat sangat menggoda, batinnya.
"Hmm Kak Alva." panggilan Aurel membuyarkan lamunan Alva pada tubuh Aurel.
"Ya?"
"Hm, gak jadi Kak, maaf Kak."
Alva mengangguk pelan dan berjalan kearah wastafel untuk melanjutkan piring yang belum selesai dicuci oleh Aurel. Alva terkesiap saat sebuah tangan melingkar diperutnya saat sedang fokus mencuci piring. Tangan yang sangat dikenalnya, tangan Aurel.
Alva merasa ada yang berdiri diantara pahanya saat merasakan gundukan kenyal yang menempel dipunggung nya, itu adalah dada penuh Aurel yang sangat diidamkan nya.
"Aurel?"
"Maaf Kak."
"Ya? Maaf untuk apa?"
Aurel diam tak menjawab. Alva mencuci tangannya dan berbalik menatap Aurel. Wajah itu menunduk tak berani menatap Alva.
"Aurel?"
"Salah gak Kak?"
"Salah apa?"
Aurel menatap Kakak iparnya takut, "Salah gak Kak kalau misalnya Aurel suka sama Kakak?" tanya Aurel berhati-hati.
Alva tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. Menyukainya? Sungguh? Wanita berusia 20 yang memiliki badan menggiurkan ini menyukainya. Itulah berbagai macam pertanyaan dalam diri Alva.
"Aurel tau ini salah, tapi Aur----"
Alva meraup bibir pink yang diidamkannya itu untuk menghentikan ucapan Aurel. Gadis ini menyukainya, bukan kah itu bagus untuknya? Bagus untuk mengabulkan fantasinya pada Aurel selama hampir setahun ini.
Aurel sangat kaku, Alva berpikir jika ini adalah pertama kalinya Aurel disentuh oleh pria. Alva menggigit bibir bawah Aurel agar mempermudah dirinya melanjutkan aksinya.
Bulu kuduk Aurel meremang saat bibir tebal Alva meraup bibirnya, belum lagi sentuhan bulu halus diatas dan dibawah bibir Alva yang mengenai kulitnya. Pelan-pelan Aurel mulai terbiasa dan mulai membalas ciuman Alva. Keduanya saling melumat, membelit. Tak lupa Alva juga mengabsen tiap inchi gigi Aurel.
Alva melepaskan ciumannya karna khawatir Aurel akan kehabisan nafas. Aurel mengatur nafasnya dengan kepala yang tertunduk. Aurel semakin terlihat menggoda saat ngos-ngosan. Dada sintalnya naik turun menggoda mata Alva.
Alva menaikkan pandangan Aurel dengan menyentuh dagunya. Alva tersenyum tipis menatap wajah polos Aurel. "Apa ini menjawab permintaan maaf mu? Dan apakah bisa kita lanjutkan lagi?" tanya Alva tepat didepan bibir Aurel.
Pipi Aurel terlihat bersemu mendengar godaan Alva. Kepalanya mengangguk memberi izin.
Tidak, Alva tidak mau jika ini hanya sekadar berciuman. Alva ingin lebih dari ini, ya setidaknya dia ingin merasakan dada sintal Aurel, Alva ingin menyusu pada dada Aurel sepuasnya malam ini.
Ciuman keduanya jauh lebih intens dan menuntun dari sebelumnya. Perlahan, tangan Alva mulai berkerja. Tangan besar itu mulai mengusap tengkuk Aurel, menekannya agar ciuman mereka lebih dalam lagi.
Setelah puas dengan bibir pink Aurel, bibir Alva turun pada leher jenjang Aurel. Alva mengecupnya, menggigit kecil dan meninggalkan bekas merah sebagai tanda kepemilikannya.
Aurel mengulum bibirnya tangan Alva turun ke payudara nya, meremas keras sambil memberikan kecupan dan gigitan kecil pada tengkuknya. "Ahhh... Kak." Desahannya nikmat.
Alva tersenyum kecil mendengar desahan nikmat dari bibir Aurel. Alva menghentikan kecupannya pada leher Aurel. Alva menatap Aurel dengan tatapan berkabut sambil menarik keatas kaos Aurel. Damn! Payudara yang selama ini diimpikannya kini berada didepan matanya.
Alva tersenyum puas. Alva kembali meraup bibir Aurel, melumatnya dalam. Tangan Alva mengusap punggung Aurel. Alva melepaskan kaitan pada bra Aurel. Dan payudara sintal itu jatuh tepat didepan matanya. Tanpa membuang waktu Alva langsung memegangnya, meremasnya gemas.
Alva menurunkan wajahnya pada payudara kanan Aurel mengecup, menjilati dan mengulum putingnya. Aurel tak bisa menahan desahannya saat lidah Alva bermain di putingnya. Bukan hanya itu Alva meraih payudara kirinya, meremasnya kuat, memilin putingnya.
Aurel menekan kepala Alva agar semakin mengulum payudaranya. Ini pertama kalinya bagi Aurel dan Aurel tidak menyangka jika ini sangat nikmat.
Alva terus mengecup, menjilat dan mengulum payudara Aurel, menyusu selama yang dia mau. Sampai Alva merasa puas dan turun mengecup perut rata Aurel. Alva menatap Aurel saat sudah berlutut tepat didepan kewanitaan Aurel yang masih berada didalam hotpants nya.
"Can i?" tanya Alva sambil memegang pinggang Aurel dan mengelusnya sensual..
*****
Aurelmenekan kepala Alva agar semakin mengulum payudaranya. Ini pertama kalinya bagi Aurel dan Aurel tidak menyangka jika ini sangat nikmat.Alva terus mengecup, menjilat dan mengulum payudara Aurel, menyusu selama yang dia mau. Sampai Alva merasa puas dan turun mengecup perut rata Aurel. Alva menatap Aurel saat sudah berlutut tepat didepan kewanitaan Aurel yang masih berada didalam hotpants nya."Can i?" tanya Alva sambil memegang
Alvabangun terlebih dahulu pagi ini, dia masih berada didalam kamar yang di dominasi warna putih pink milik Aurel.Alva tersenyum tipis saat melihat punggung telanjang Aurel, Aurel masih tertidur pulas membelakanginya. Setelah tadi malam Aurel membujuknya agar dia tetap berada disana dan menemani Aurel tidur. Alva kembali menggagahi Aurel sampai gadis itu lemas dan tak berdaya.
Aurelsudah berada dikamar hotel yang dibooking oleh Alva. Alva belum berada disana, karna lelaki itu belum pulang dari kantor. Aurel menonton televisi sambil berbaring ditempat tidur. Sesekali matanya menoleh pada jam, entahlah dia sangat ingin cepat-cepat bertemu dengan pria yang sudah menggagahinya tadi malam.Aurel mengendus sebal, dalam hati dia bertanya mengapa waktu berjalan lama sekali. Ingin rasanya dia menjemput pria itu ke kantor dan membawanya pulang sekarang juga.
Aurelsudah kembali ke rumah sejak pagi-pagi buta, begitu juga dengan Alva. Tentu saja keduanya kembali dengan mobil yang berbeda. Kini Aurel sudah berada dimeja makan dan berhadapan dengan Alva dan Jessi."Kuliah kamu gimana Aurel?" tanya Jessi membuka obrolan."Hm? Baik Kak, good gak ada masalah apapun." ujar Aurel sambil menatap Jessi.
Aurelsudah berada didepan kediaman orang tua Alva, Aurel pergi dengan Alva dan Jessi. Awalnya Aurel khawatir jika harus melihat Alva dan Jessi yang bermesraan di kursi depan. Aurel takut melihat adegan yang sebelumnya dilakukan Alva dengan dirinya. Aurel takut jika Alva menggenggam tangan Jessi dan mengecup mesra tangan Kakak nya itu.Egois memang. Namun semua tidak seperti yang dibayangkannya, Alva hanya sibuk menyetir dan Jessi sibuk dengan iPad-nya dan berbicara sesekali pada Aurel.
Waktuberjalan dengan cepat, sudah enam bulan berlalu sejak Aurel dan Alva punya hubungan diam-diam, sudah ada enam bulan mereka saling memberi rasa dan kenikmatan satu sama lain. Selama enam bulan ini keduanya melakoni sandiwara dengan hebat. Keduanya bersikap seolah mereka adalah ipar yang rukun dan damai.Tak jarang selama enam bulan ini Alva menerima pujian karna perhatian yang diberikannya pada Aurel adik iparnya yang mana terkadang Jessi Kakaknya pun tidak memberikan perhatian te
"Kak Al.""Hm?""Kakak sayang Aurel gak?" tanya Aurel sambil menatap Alva yang sedang menyetir.Alva menoleh pada Aurel, "Aurel----"
"Alva?" panggil tante Aliya.Keterdiaman Alva membuat Aurel semakin takut. Namun tak lama Aurel terkesiap saat tangannya diraih dan digenggam oleh Alva. Aurel menatap Alva dengan tatapan takut."Hmm, sebelumnya Alva minta maaf sama Mama, mungkin sikap Alva ini mengecewakan Mama."
Hari ini adalah hari ulang tahun Aurel. Alva sudah meninggalkan kamarnya sejak subuh dengan bucket bunga disamping Aurel. Alva sengaja pergi lagi buta dan berencana tidak mau bertemu Aurel sampai malam tiba. Dia berencana memberikan kejutan-kejutan manis untuk istrinya itu. Aurel bangun ketika cahaya matahari mulai memenuhi kamarnya. Aurel menoleh pada sebelahnya, tempat itu sudah kosong. Tidak ada Alva namun ada bucket bunga mawar merah yang sangat banyak. Aurel tersenyum dan menghirup aroma bunga yang sangat memanjakan indra penciuman nya. Aurel mengambil surat yang ada pada deretan bunga yang indah itu. Aurel tersenyum saat membuka surat tersebut, sangat manis dan romantis. My heart is all yours Baby. You make everydaymeaningfuland full of joy. I wish you
Aurel menjemput Ansel dan membawa Ansel makan disalah satu cafe tidak jauh dari sekolah Ansel. Keduanya duduk sambil menikmati makanannya. "Aurel." panggil seseorang. Tubuh Aurel menegang seketika, Aurel tau suara siapa itu. Suara sumber ketakutan terbesar Aurel, itu adalah suara Jessi. Aurel menoleh pada Jessi dan tersenyum. "Hai Kak Jessi." sapa Aurel lembut. Aurel melihat sorot mata Jessi pada Ansel Bayi kecilnya yang sedang menikmati makanannya, mata Jessi menatap Ansel intens. "Kak?" panggil Aurel membuyarkan tatapan Jessi pada Ansel. "Ya." Aurel menatap Jessi dengan se
Lima tahun berlalu, kehidupan Aurel dan Alva berjalan layaknya kehidupan rumah tangga orang pada umumnya. Romantis dan harmonis seperti yang diharapkan Aurel. Mereka sangat romantis baik didalam ataupun diluar rumah, saling berkerja sama dalam mengurus Ansel dan yang paling penting mereka sangat harmonis dan panas di ranjang. "Mami." panggil Ansel sambil mengunyah makanannya. "Iya sayang." "Daddy mana mami?" tanya Ansel. "Daddy masih mandi, kenapa sayang?" tanya Aurel sambil menyuapi makanan pada Ansel. "Ansel boleh jemput Daddy ke kamar gak mami?" tanya Ansel sambil menatap Aurel dengan tatapan berharap. "Setelah selesai maka
Berbulan-bulan sudah berlalu sejak hari itu, hari pertemuan Alva dan Jessi. Hari dimana perjanjian mereka berakhir begitu juga dengan pernikahan yang sudah dibina selama dua belas tahun. Seminggu setelah pertemuan Jessi dan Alva, Aurel melahirkan putra pertama mereka. Saat itu Alva selalu mendampingi istrinya. Keduanya menyambut kelahiran putra pertama mereka dengan suka cita. Putra yang diberi nama Ansel Arsenio Mahardika. Semenjak kelahiran Ansel, Alva lebih sering bangun pagi. Alva akan bangun dan melihat putranya dan menggendongnya. Alva sangat menikmati hidupnya menjadi seorang Daddy. "Kak." panggil Aurel sambil mengucek matanya. "Ya Baby." jawab Alva sambil berdiri menggendong Ansel dan mendekat pada Aurel ditempat
"Jadi Mama mau ngomongin apa ma? Tumben banget ngajak ketemu di luar. Biasanya dirumah." ujar Jessi tak berniat untuk mendengar basa-basi lebih lama lagi. Mama Aliya menarik nafas dalam-dalam. Menatap Jessi dan mengambil amplop coklat yang ada didalam tasnya, lalu memberikan pada Jessi. "Ini apa ma?" tanya Jessi bingung. Ini bukan amplop coklat tebal yang berisi uang yang diberikan seorang ibu saat meminta seorang wanita untuk menjauh dan pergi dari hidup putranya seperti di drama. Amplop coklat itu tipis, sangat tipis. "Kamu buka saja Jessi." ujar Mama Aliya. Jessi menegak salivanya kasar saat melihat stempel yang ada dimuka amplop tersebut, stempel pengadilan agama. Tanpa memb
Aurel bangun saat Alva sudah menutup sambungan teleponnya. Aurel mengucek matanya sambil manggil Alva. "Kak Al." panggil Aurel manja. Alva menoleh pada Aurel disebelahnya. "IyaBaby?" jawab Alva lembut. "Kakak habis nelpon siapa?" tanya Aurel sambil menarik tangan Alva keatas perut buncitnya. "Jessi." jawab Alva sambil mengelus perut Aurel lembut. Aurel menatap Alva intens. Tatapan Aurel sangat jelas tersirat rasa cemas, sedih dan ingin memiliki Alva untuk dirinya sendiri. Tidak untuk Jessi, hanya untuk dirinya sendiri. "Kak Jessi kenapa?" "Nanya Kakak pulang a
Alva tersenyum menatap Aurel yang sedang tidur pulas. Setelah acara kunjungan untuk Bayi kacang, Alva membersihkan diri dan juga membersihkan Aurel. Dan setelah puas dan bersih Aurel tertidur dengan pulas di dalam pelukan Alva. Suara ketukan pintu membuat atensi Alva pada wajah tenang Aurel teralih. Alva melepaskan pelukannya perlahan tanpa mengganggu ketenangan Aurel lalu berjalan menuju pintu guna membuKakan pintu. "Kenapa bik?" tanya Alva sesaat setelah membuka pintu. "Ini tuan, bibik mau tanya tuan sama non Aurel mau makan malam apa? Ibu Aliya nanya." ujar bibik menjelaskan. "Ohh, apa aja bik. Bebas." ujar Alva. "Baik tuan, bibik permisi. Maaf mengganggu tuan." pamit bibik.
Hari ini Aurel sudah berencana untuk pergicheckkandungannya. Kandungannya sudah berusia 36 Minggu, Aurelcheck upuntuk mencari due date kelahirannya. Selama 4 bulan Aurel hidup tenang tanpa memikirkan akan berbohong apa jika Jessi ingin bertemu dengannya, mengingat perutnya sudah sangat buncit. "Kak Al." panggil Aurel. "IyaBaby?" jawab Alva menoleh pada Aurel. "Kakak temenin Aurel ketemu dokternya kan?" tanya Aurel sambil menatap Alva yang berada disampingnya. Alva menoleh pada Aurel, "Iya sayang." ujar Alva mengelus pipi Aurel. Aurel tersenyum manis pada Alva. Saat ini keduanya sedang diperjalanan menuju rumah sakit. Hubun
"Alva." "Iya ma?" "Tadi apa? Kamu bicara soal apa?" tanya Mama Aliya. "Gak ada ma." "Gak ada kenapa Aurel sampai melamun, sampai tersedak lagi pas minum." "Aurel nanya sama Alva." "Nanya apa?" "Alva bisa lepasin Jessi atau enggak, kalau suatu saat Jessi tau soal hubungan Alva dan Aurel, tau soal kehamilan Aurel." "Dan kamu jawab?" "Alva gak jawab." "Kenapa?" "Alva ga